ERUPSI KORUPSI

Reportase Kenduri Cinta November 2010

Acara Kenduri Cinta bulan November kali itu sedikit berbeda. Kalau pada bulan-bulan sebelumnya kita dapati panggung yang memanjang dan sound system lengkap, di November ini hanya terdapat 4 sound system kecil yang letaknya saling berhadapan, juga panggung dengan ukuran setengah dari biasanya. Hal ini dimaksudkan untuk menghadirkan kedekatan antara pembicara dan jamaah, saling dan lebih merapat untuk berdiskusi bersama. Acara dimulai pukul 21.00 WIB dengan terlebih dahulu dibacakan surat Yasin yang dipimpin Rusdianto, dikhususkan untuk para korban bencana alam Mentawai, Merapi, dan Wasior.

Dilanjutkan dengan perkenalan Ketua Umum Kenduri Cinta periode 2010 yaitu Zainal Akroman yang akrab di sapa Oman. Dalam sambutannya, Oman menyampaikan bahwa di Kenduri Cinta itu tidak ada tokoh dan ditokohkan. Semua mempunyai andil yang sama dalam proses belajar. Kenduri Cinta murni sebagai majelis ilmu.

“Masa lalu dan masa depan itu harus ketemu, dan benang merahnya, penyambungnya adalah kita. Tapi kalau kita tidak sadar pada posisi itu, maka anak-anak kita tidak bertemu dengan kakeknya. Masa lalu adalah modal masa depan.”

Iwan Gunawan, Kenduri Cinta (Nov, 2010)

Selaku moderator, Iwan Gunawan membuka sesi diskusi dengan mempertanyakan kesiapan kepemimpinan kaum muda apalagi dengan begitu melimpahnya sumber daya alam Indonesia. Franky Welirang, sebagai salah satu pembicara malam itu, ikut katakan bahwa Indonesia diberi kenikmatan luar biasa dari segi geografi, berada di garis khatulistiwa, dengan dua musim, penghujan dan kemarau. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 5 benua besar. Namun dengan kondisi yang seperti itu, sampai sekarang tidak pernah melihat adanya kebijakan yang tepat di bidang transportasi laut. Padahal laut itu adalah transportasi/jalan tol yang paling murah, massal dan tidak macet. Tapi kenyataannya angkutan laut justru jenis transportasi yang paling mahal. Artinya, mengangkat barang dari Kalimantan ke Jakarta lebih mahal dari pada dari Singapura ke Jakarta, hal ini dikarenakan di Indonesia harga minyak untuk kapal lebih mahal.

Ada beberapa alasan mengapa pemerintah lebih memilih membangun jembatan daripada membangun pelabuhan. Padahal, menurut Pak Franky, masih lebih murah membangun pelabuhan, tetapi ketika membangun pelabuhan yang dipikir hanya membangun dermaga tanpa dibarengi dengan pembangunan perangkat-perangkatnya — seperti bongkar muat dan lain sebagainya — mengakibatkan kapal hanya bersandar pada saat pasang. Pelabuhan-pelabuhan di daerah hanya berlangsung selama 8 jam kerja, dampaknya harga barang di daerah menjadi mahal.

Untuk pesawat, sementara baru hanya ada 3 bandara di Indonesia yang beroperasi 24 jam, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Bali. Coba bayangkan bila semua bandara begitu, pasti barang-barang murah. Hari ini kalau kita melihat ke Indonesia bagian barat masih baik, tapi berbeda dengan Indonesia bagian timur dimana harga kebutuhan masih mahal, ditambah daya beli masyarakat Indonesia bagian timur juga masih rendah. Tantangan bangsa ini kedepan adalah bagaimana menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dengan angkutan yang baik dan murah sehingga pembangunan merata, tidak ada ketimpangan antara barat dan timur.

Pak Franky melanjutkan membahas mengenai perubahan iklim dan dampaknya pada bidang pertanian. Dengan perubahan iklim seperti sekarang, hasil pertanian pasti berubah. Kalau terjadi banyak hujan, proses sintesis menjadi tidak maksimal. Bulir padi yang tumbuh hasilnya kurang baik. Kemarau berlebihan juga dampaknya sama. Untuk kasus yang sama, di India sudah mempersiapkan benih-benih yang tahan terhadap panas dan tahan hujan. Di India telah disesuaikan. Bagaimana dengan kita? Hal ini harus menjadi pemerintah. Begitu hebatnya Indonesia dengan sumber daya alamnya, tapi kita belum mampu memaksimalkan fungsi dan manfaatnya.

Mengenai bencana, Pak Franky menyampaikan bahwa ada 3 (tiga) tahapan bencana, yaitu, tanggap darurat, masa darurat, dan masa konstruksi. Masa konstruksi merupakan masa yang paling sulit, masa peralihan, di mana masyarakat — khususnya yang terkena bencana — berusaha kembali kepada siklus kehidupan seperti sedia kala.

Pak Franky juga menyayangkan kondisi bangsa yang mudah goyah dengan berita-berita di media. Padahal berita tidak selalu jujur, berita selalu punya sudut pandangnya sendiri yang sangat berkepentingan. Contoh mengenai berita adanya bahan pengawet yang dilarang pada Indomie di Taiwan. Begitu ramainya dan begitu cepatnya berita itu tersebar tanpa ada informasi yang valid. Banyak orang yang tidak mengetahui. 300 toko yang ada di Taiwan langsung sepi. Malaysia, Brunei, Makau, dan Cina telah menyampaikan bahwa Indomie aman. Sedangkan pemerintah Indonesia sendiri justru tidak bereaksi. Percaya diri kita terhadap komoditas bangsa kita sendiri dinilai masih sangat kurang, serta mudah tergoyahkan.

“Kita memiliki hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan. Kalau keseimbangan ini terjadi maka bencana alam bisa ditanggulangi cepat.”

Arya Palguna, Kenduri Cinta (Nov, 2010)

Pada sesi selanjutnya, Iwan mempertanyakan, adakah sistem pembelajaran yang salah sehingga bangsa kita tidak mempunyai dialektika berpikir yang kuat? Sekolah dinilai kurang membuat rakyat menjadi cerdas. Tantangan kita sebagai generasi muda yaitu bagaimana kita mampu mempertemukan antara anak-anak kita sebagai generasi masa depan dengan kehidupan kakeknya di masa silam. Masa lalu dan masa depan itu harus ketemu, dan benang merahnya, penyambungnya adalah kita. Tapi kalau kita tidak sadar pada posisi itu, maka anak-anak kita tidak bertemu dengan kakeknya. Masa lalu adalah modal masa depan.

Arya Palguna melanjutkan diskusi dengan paparan tentang 3 klasifikasi bencana, yaitu bencana alam, bencana akibat ulah manusia, dan bencana sosial — contohnya konflik. Ketiganya memiliki korelasi yang signifikan. Kita memiliki hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan. Kalau keseimbangan ini terjadi maka bencana alam bisa ditanggulangi dengan cepat.

Arya mengkhawatirkan kondisi bangsa yang apabila terjadi bencana, yang sering terjadi dipertanyakan adalah pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya kuantitatif, bukan imani. Seperti: berapa korbannya? Kerugian berapa? Terjadi pengkategorian besaran bencana. Akibat pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya kuantitatif ini, masyarakat dididik menjadi masyarakat yang tidak mampu menangani bencana secara mandiri, masyarakat terlalu tergantung dan menaruh harapan besar kepada pemerintah.

Pembicara selanjutnya yaitu Dadang. Dadang dengan ke”kafir”annya, menyampaikan bahwa korupsi adalah sebagian dari iman. Manusia yang selamat adalah yang berpegang pada tali sunatullah, hukum alam. Dadang dengan pikiran-pikirannya yang nakal, menggiring jamaah kepada kejujuran berpikir. Mengajak kita berpikir dengan jernih.

Di penghujung acara, Dik Doank dengan diiringi gitarnya menyanyikan salah satu lagunya berjudul Menari, sebuah lagu yang mengajak manusia untuk mensyukuri hidup ini dengan menari. Alam semesta telah menari, angin menari, air menari, cahaya menari, dan manusia yang seharusnya paling bisa menari, justru malah merusak terminalnya sendiri.