DARURAT AKAL TIDAK SEHAT

Reportase Kenduri Cinta Desember 2019

Forum Kenduri Cinta edisi akhir tahun 2019 diselenggarakan pada hari Jumat tanggal 13 Desember 2019 di pelataran Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Para penggiat telah mempersiapkan beragam urusan teknis sejak pagi hari, memastikan tenda, tata suara dan berbagai hal siap digunakan. Tema edisi kali ini adalah Darurat Akal Tidak Sehat.

Kok bisa akal tidak sehat? Akal merupakan perangkat lunak (software) yang dimiliki manusia, berbeda dengan otak yang merupakan perangkat keras (hardware). Akal memungkinkan manusia untuk berpikir, merespon, mengeksplorasi, mendalami serta menghayati segala informasi, peristiwa, fenomena, persoalan yang dihadapinya. Akal adalah anugerah dari Allah. Sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Sayangnya, potensi akal acapkali tidak dimaksimalkan, sehingga terjadilah kedangkalan berpikir, menganalisa dan sebagainya.

Pemilihan tema Darurat Akal Tidak Sehat menjadi suatu bentuk keterpaksaan dari Cak Nun dalam rangka memberi peringatan kepada jamaah Maiyah melalui forum Kenduri Cinta. Sejatinya, tidak ada akal yang tidak sehat, akal pasti sehat. Karena akal adalah potensi rohani yang dianugerahkan oleh Allah dengan kompatibilitas otak sebagai perangkatnya.

Yang memiliki kemungkinan untuk sakit adalah hati. Maka Rasulullah SAW pun mengingatkan bahwa manusia sangat mungkin terkena penyakit hati yaitu iri, dengki, hasad, bohong, curang dan sebagainya. Kesemua penyakit itu menjangkit hati, maka kemudian dikenal konsep Tombo Ati atau obat hati. Allah pun dalam surat Al-Baqarah ayat 10 telah berfirman: Fii quluubihim marodhlo fazaadahumullahu marodhlo. Sebuah bukti bahwa hati adalah salah satu unsur dalam diri manusia yang bisa terjangkit penyakit.

Suatu kali, Cak Nun pernah menyampaikan bahwa manusia adalah makhluk kemungkinan, berbeda dengan malaikat dan iblis yang merupakan makhluk kepastian. Kepastian malaikat adalah patuh dan taat kepada Allah SWT, sementara kepastian iblis adalah ingkar kepada Allah SWT. Allah menciptakan malaikat diatas pijakan kepatuhan, dan menciptakan jin dengan pijakan kemerdekaan. Sementara manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan maksud menyeimbangkan semuanya, maka Allah mengkhususkan ayat: Innii jaa’ilun fi-l-ardhli khalifah.

Forum malam itu diawali dengan paparan awal tentang tema. Perwakilan penggiat tampil ke forum, memaparkan dan mengajak serta para jamaah untuk ikut mengemukakan pendapatnya. Tri Mulyana memantik forum dengan menyampaikan bahwasanya frasa dan diksi yang dipilih menjadi tema merupakan sebuah pintu untuk memasuki hutan belantara ilmu yang akan dijelajahi pada forum malam itu.

Menurut pendapat Pramono Abadi, akal itu berbeda dengan naluri. Akal lebih berkaitan kepada titik kesadaran makhluk. Naluri lebih berkaitan dengan tindakan seperti makan dll. Dengan akal maka manusia mampu menyeimbangkan hidupnya, menemukan konsep jeda, dimana tindakan makan tidak dilakukan sepanjang waktu. Pada tahap tertentu, manusia menemukan kesadaran bahwa ia memerlukan puasa, dimana kesadarannya tidak lagi sekadar tidak makan, menemukan pembelajaran tentang keseimbangan.

Ditambahkan Pramono, manusia memiliki lima jenis daya tangkap indrawi, yaitu penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap dan peraba. Lima daya tangkap itu dilengkapi dengan daya tangkap selektif, yang menjadikan manusia memiliki persepsi. Pada peristiwa-peristiwa yang dialami, manusia akan mereferensikan semua informasi yang ia miliki berdasar apa yang ia sukai, disini fungsi selektif itu bekerja. Dan pada beberapa tahun terakhir, terlihat bagaimana fungsi selektif dari manusia sangat bekerja. Dinamika politik lima tahun terakhir adalah cerminan itu semua.

“Dengan akal manusia menyeimbangkan hidupnya, menemukan jeda, belajar tentang keseimbangan.”
Pramono Abadi, Kenduri Cinta (Desember, 2019)

Fanatisme Hoaks

Forum baru saja berlangsung, namun telah terbangun suasana yang diskusi yang interaktif. Jamaah tak segan memberi respon atas paparan-paparan para penggiat Kenduri Cinta. Suasana ini memang menjadi kekhasan yang terbangun di setiap forum maiyahan. Forum menjadi podium bagi semua, tak hanya untuk mereka yang duduk di panggung tetapi juga para jamaah. Semua berhak berbagi wawasan, ilmu, informasi dan pendapatnya.

Pramono menambahkan, banjir arus informasi seperti yang terjadi pada era sekarang, sangat berpotensi membuat fungsi akal tidak optimal. Tidak mengherankan jika kemudian hoaks begitu mudah tersebar, karena filter dalam diri manusia tidak sebanding dengan guyuran informasi yang masuk. Hampir tidak ada waktu untuk mencerna informasi yang datang, karena setiap detik selalu ada informasi yang baru. Maka, pilihannya adalah memaksimalkan daya selektif. Memilah informasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya distribusi informasi yang tidak benar. Perlu latihan memang, karena jika tidak objektif juga akan menimbulkan fanatisme yang berlebihan.

Maka, itulah mengapa di Maiyah selalu ditanamkan konsep keseimbangan. Kenduri Cinta membuka pintu bagi semua orang, apapun latar belakangnya. Masing-masing individu memiliki kedaulatan berpikir, setiap orang bebas menentukan mana yang akan ia bawa pulang untuk dijadikan bekal dari nilai-nilai Maiyah yang ia terima di forum, tidak ada doktrin, sehingga setiap orang merdeka mengambil nilai yang mana saja.

Bulan Desember musim hujan. Angin yang berhembus malam itu terasa dingin, langit berkabut, tidak tebal dan tidak ada tanda-tanda akan turun hujan malam itu. Penjaja minuman hangat kebanjiran order dari para jamaah, tidak terkecuali warung angkringan di pojok belakang yang sudah menjadi ikon Kenduri Cinta.

Saat diskusi berlangsung intens, Cak Nun tampak hadir. Alami saja, Cak Nun berjalan dari sisi belakang, membelah kerumunan jamaah yang sedang asyik menikmati forum. Tampak wajah-wajah jamaah yang kaget, karena Cak Nun datang lebih awal dari biasanya. Yang jelas, ketika semua tersadar akan kehadiran Cak Nun, wajah-wajah jamaah tampak sumringah. Kerinduan mereka tunai. Tepuk tangan jamaah pun menyambut kehadiran Cak Nun.

Suasana kehadiran Cak Nun di Kenduri Cinta malam itu mengingatkan kita pada edisi Kenduri Cinta 5-6 tahun lalu. Ketika masih diselenggarakan di pelataran parkir halaman depan Taman Ismail Marzuki. Ketika datang, Cak Nun bisa sangat santai bergabung dan menikmati forum, duduk dimana saja, di tengah kerumunan jamaah, atau di bagian belakang turut menikmati forum. Bahkan, pernah satu edisi, Cak Nun baru bergabung di panggung menjelang pukul 3 dinihari.

Sebenarnya, suasana seperti inilah yang menjadi ciri khas forum maiyahan di Kenduri Cinta. Egaliter, tanpa sekat, tanpa perbedaan. Dan sejak dulu, di era 70’an, memang seperti inilah Cak Nun membangun citra dirinya. Dekat dengan siapa saja, membaur dengan orang kecil, kapan saja, di mana saja. Inklusifitas personal Cak Nun ini yang kemudian menjadikan Cak Nun diterima banyak kalangan.

Forum lantas mempersilakan seniman untuk tampil berkesenian. Panggung Kenduri Cinta memang telah menjadi arena bagi para seniman untuk menampilkan karya-karya mereka. Tidak terbatas pada musik saja, tetapi juga puisi, monolog, teater, pantomim dan sebagainya. Mungkin, di Jakarta, hanya di Kenduri Cinta musisi-musisi bisa menampilkan karya-karya mereka dengan lepas. Bahkan saat mereka tampil pada sepertiga malam, antusias jamaah untuk menikmati karya-karya mereka sama sekali tidak berkurang. Malam itu, Syifa dan Citra membawakan lagu dan puisi, diiringi alunan gitar akustik, ditemani angin dingin yang semilir. Sungguh asyik.

“Akal adalah alat utama yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia, tidak diberikan kepada malaikat dan jin.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2019)

Akal Mengakali

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya datang dengan cinta 100%. Saya datang dengan empati, simpati dan seluruh yang dibutuhkan untuk sistem komunikasi yang terbaik untuk manusia, tetapi badan saya 100%-nya tidak seperti 100% kemarin-kemarin. Saya mohon maaf agak turun kadar 100%-nya,” sapa Cak Nun kepada jamaah Kenduri Cinta.

Cak Nun lalu bercerita perihal sakit yang beliau alami. “Saya pernah menyatakan bahwa saya ini tidak sehat, saya hanya belum dikasih sakit oleh Allah. Dan Allah langsung membuktikan, saya dikasih sakit. Habib Anis dari Pati mengatakan bahwa apa yang saya alami ini, lidah saya agak celat, sama seperti yang dialami Nabi Zakaria AS, karena akan diberi anak baru. Mudah-mudahan anak-anak baru akan muncul dari Maiyah untuk zaman dan masa depan bangsa. Aamiin ya robbal ‘alaamiin,” Cak Nun mengungkapkan sebuah harapan yang diamini oleh jamaah.

Menurut teman-teman Bangbang Wetan, Cak Nun sedang mengalami nasib seperti Nabi Musa AS yang juga pernah celat lidahnya. Nabi Musa AS memerlukan saudaranya, Harun, untuk mewakilinya berbicara. Sementara, Sabrang punya pandangan lain, menurutnya Cak Nun sedang dikritik Allah agar benar-benar menjadi orang tua yang penuh dengan kebijaksanaan dan kearifan.

“Sabrang meminta saya untuk bicara pelan-pelan saja. Saya mengalami kesulitan karena pikiran saya speed-nya sangat tinggi, sehingga sering berbenturan dan mengalami pertengkaran antara kemampuan berbicara dengan arus pikiran saya. Maka saya mohon maaf kalau nanti agak kecetit-kecetit, agak terbata-bata, dan seterusnya,” lanjut Cak Nun.

“Tapi intinya, saya sedang sedih dan cemas, karena merasa mungkin saja Allah ini kurang menyayangi saya. Sejumlah doa-doa penting saya tidak dikabulkan, mungkin karena tidak memenuhi syarat untuk tidak dikabulkan oleh Allah. Akhlak saya belum baik, ibadah saya belum mencukupi, hati saya belum dipenuhi oleh cinta kepada hamba-hamba-Nya, sehingga oleh Allah masih diberi kritik yang sangat dahsyat. Saya sedang bangun pelan-pelan, menggeliat-menggeliat,” Cak Nun melanjutkan.

Memberi alas diskusi, Cak Nun menyampaikan empat kata kunci, yaitu akal, berpikir, kompleksitas dan komplikasi. Kembali Cak Nun menekankan bahwa tidak ada akal yang tidak sehat, akal pasti sehat. Munculnya istilah akal sehat dan akal tidak sehat lebih karena kekacauan zaman, dimana manusia tidak mampu berpikir secara wajar sebagaimana manusia seharusnya.

Sebuah pertanyaan dilempar Cak Nun untuk memantik diskusi, “Apa bahasa Indonesianya syukur? Apa bahasa Inggrisnya?” Jamaah pun mulai berpikir. Jawaban yang muncul: thank you, terima kasih. Cak Nun lantas menjelaskan bahwa terima kasih membutuhkan objek lain untuk disampaikan. Begitu juga kata matur nuwun dalam bahasa Jawa, itu bukan terjemahan dari kata syukur. Tidak ada kata lain selain dalam bahasa Arab yang mampu menerjemahkan kata syukur.

“Akal adalah alat untuk berpikir. Berpikir adalah mengenali sesuatu, memetakannya, menemukan sebab-akibatnya, menemukan relasi-relasi antara sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian merumuskannya dan menemukan padatan atau tajaman dari sesuatu yang dipahami itu supaya kita bisa menjalankan hidup kita secara jelas,” urai Cak Nun.

Kata pikir dan akal berasal dari bahasa Arab. Persoalan kata memang seringkali tidak setia mengacu pada makna. Cak Nun mencontohkan, dari kata pikir maka lahir kata kerja berpikir atau memikirkan. Sementara apa kata kerja dari akal? Jawaban yang muncul adalah ngakali atau mengakali, dimana lebih bermakna negatif. Mengakali lebih memiliki arti melakukan penipuan sedemikian rupa dengan menggunakan akal pikiran. Melakukan tipu daya.

“Padalah akal adalah alat utama manusia yang Allah anugerahkan, yang tidak diberikan kepada malaikat dan jin,” Cak Nun melanjutkan. Sementara berpikir, jika secara umum maka namanya tafkir sementara jika refleksi ke dalam diri disebut tafakkur. Dalam bahasa Arab sendiri ada pola yang demikian, maka dalam kata yang lain juga bisa diaplikasikan syukur dan tasyakur, tadbir dan tadabbur dan sebagainya.

“Akal adalah alat untuk berpikir. Berpikir adalah mengenali sesuatu, memetakannya, menemukan sebab-akibatnya, menemukan relasi-relasi.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2019)

CAK NUN lantas sedikit keluar dari konteks, sebuah pertanyaan dilontarkan, “Ini acara apa sebenarnya? Kenduri Cinta ini acara apa?” Jika di luar, orang berkumpul dengan jumlah yang banyak seringkali karena ada motif tertentu, misalnya kampanye, demonstrasi, nonton konser, seminar, simposium, diskusi, pengajian dan sebagainya. Kenduri Cinta ini masuk dalam wilayah yang mana? Diskusi? Benarkah demikian?

Cak Nun mengajak jamaah untuk lebih detil mengenali maiyahan, dimana mereka sendiri ikut mengalaminya. Berbeda dengan forum-forum diskusi yang berlangsung umum dalam wilayah akademis, biasanya forum dihadiri oleh orang-orang berpendidikan yang memiliki pengetahuan akademik. Sementara maiyahan dihadiri oleh semua orang, mereka bisa datang dan berpendapat tanpa harus dipersyarati apa-apa. Inilah konsep yang kita kenal dengan dengan Sinau Bareng.

“Apa yang membuat anda berkumpul disini?” Cak Nun bertanya ringan, namun menjadi buah diskusi yang serius. “Allah!” seorang jamaah berteriak lantang menjawab pertanyaan itu. Ia sangat meyakini bahwa hanya Allah yang membuat ia dan seluruh jamaah berkumpul di Kenduri Cinta. Jawaban membuat Cak Nun memberi pertanyaan lain. “Siapa yang memberitahumu bahwa nama Tuhan itu Allah? Muhammad SAW, Ayah kandungnya bernama Abdullah, maka sebelum itu sudah dikenal nama Allah. Jadi siapa yang memberi tahu manusia bahwa Dia adalah Allah?”

“Nabi Adam saja diajari tentang nama segala sesuatu di alam semesta ini oleh Allah. Jadi, mungkinkah Anda mengenal nama Allah kalau tidak dari Allah sendiri?” Cak Nun melanjutkan.

Begitulah suasana dan cara yang dibangun Cak Nun, mengajak jamaah berpikir secara ulang-alik, zig-zag, siklikal dan melingkar. Pada setiap maiyahan, melalui pertanyaan yang ringan dan sederhana, Cak Nun melatih jamaah berpikir kritis. Mempertanyakan tentang siapa yang pertama kali memperkenalkan kata “Allah” kepada manusia sebagai petunjuk untuk menyebut nama Tuhan, pertanyaan yang mungkin di fakultas Ushuluddin belum tentu mahasiswanya mampu menjawab dengan sederhana.

Di Maiyah, jamaah yang datang dari berbagai latar belakang pendidikan, dibutuhkan sebuah formula responsif untuk merespon pertanyaan-pertanyaan itu, jawaban yang disampaikan harus mampu mengakomodir semua audien yang hadir.

Diskusi lantas bergeser ke tema radikalisme. Bulan sebelumnya di Kenduri Cinta, Cak Nun mencontohkan bahwa ketika laki-laki memilih satu diantara puluhan bahkan mungkin ratusan perempuan untuk ia jadikan istrinya, maka itu peristiwa yang radikal. Tidak mungkin dalam proses pernikahan kita bersikap moderat, menjajaki satu persatu sampai detail. Karena ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Begitu juga dengan hukum, ia harus ditegakkan secara radikal, tegas. Take it or leave it.

Cak Nun menjelaskan kepada jamaah, istilah radikalisme, rasisme dan istilah-istilah lain saat ini digunakan penjajah untuk menjajah bangsa lain. Kita pada akhirnya memahami, bahwa untuk menghancurkan sebuah bangsa atau negara, tidak selalu dengan peperangan atau invasi militer, bahwa hari ini ada alat yang juga canggih untuk menghancurkan peradaban manusia bahkan memecah belah persatuan umat manusia. Alat tersebut adalah kata.

“Tidak ada akal yang tidak sehat, akal pasti sehat. Kekacauan zaman yang memunculkan ‘akal tidak sehat’, dimana manusia tidak mampu berpikir wajar sebagaimana seharusnya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2019)

Radikalitas Jamaah Maiyah

Kembali ke pertanyaan, Kenduri Cinta ini masuk dalam klasifikasi acara seperti apa jika menggunakan referensi mainstream? Cak Nun menyebut bahwa Kenduri Cinta ini tetap bisa disebut pengajian, bahkan sangat pengajian. Disebut forum bebas, jelas sangat bebas. Disebut sebagai forum diskusi, jelas sangat intelektual karena melibatkan banyak pihak dari lintas ilmu.

Untuk mengimplementasikan bahwa Kenduri Cinta juga merupakan sebuah forum diskusi ilmiah, Cak Nun seringkali memberikan bekal materi untuk workshop. Seperti malam itu, Cak Nun menyusun pertanyaan untuk didiskusikan oleh kelompok-kelompok dari perwakilan jamaah. Ketika Cak Nun melemparkan opsi untuk menjadi pertimbangan perwakilan kelompok, jamaah bersepakat bahwa masing-masing kelompok diisi berdasarkan rentang usia.

Kelompok pertama berisi anggota yang usianya kurang dari 20 tahun, kelompok kedua adalah kelompok yang anggotanya pada rentang usia 20-30 tahun, kemudian kelompok ketiga beranggotakan rentang usia 30-40 tahun.

Pertanyaan Cak Nun secara umum adalah sebagaimana berikut:

— Apa pendapat Anda mengenai: radikalisme, rasisme, politik anti khilafah, kekuasaan politik anti Islam, ambisius politik yang tidak mengerti arti kata dan sejarah khilafah, kaum muslimin yang takut tidak makan, golongan dari umat manusia di muka bumi yang memahami kebenaran Islam tapi merasa dirugikan oleh sportivitas nilai-nilai Islam, konsep (akhlak dan ilmu) tawadlu’ dan takabbur.

— Jelaskan selengkap mungkin lingkungannya, makna dan peta terapannya: kalimat dalam teks Pancasila atau UUD 1945 yang di dalamnya ada kata demokrasi.

—Terangkan bahwa Pilkades adalah pelaksanaan demokrasi, dan demokrasi adalah pelaksanaan Pancasila. Jelaskan sejauh pengetahuanmu persamaan atau kesesuaian, serta perbedaan atau pertentangan, antara demokrasi, Pancasila dan Islam.

Pertanyaan-pertanyaan diatas tentu berbobot dan berat untuk dijadikan materi diskusi, apalagi menjelang tengah malam. Namun, sepertinya hanya di Kenduri Cinta mereka semua justru antusias berkelompok dan berdiskusi. Setelahnya, masing-masing kelompok tampil ke forum mempresentasikan hasil diskusinya. Apakah hasil yang mereka kemukakan itu benar? Belum tentu. Tetapi juga belum tentu salah.

Disinilah keindahan Sinau Bareng. Sebuah pendapat tidak dapat diklaim final, apalagi memaksa orang lain untuk menyepakatinya. Setiap masing-masing mengemukakan pendapat dengan kemurnian dan kejujuran mereka. Setidaknya, setiap anggota kelompok sudah memperoleh manfaat dengan mendapat kenalan saudara baru di Kenduri Cinta. Manfaat selanjutnya, mereka mendapat kesempatan untuk mendengarkan pendapat orang lain.

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak berhenti hanya di Kenduri Cinta saja, tetapi juga dibawa pulang, kemudian menjadi bahan diskusi kecil-kecilan, atau mungkin juga hanya menjadi bahan renungan pribadi. Bukan soal apakah akan berguna bagi Indonesia atau tidak, tetapi setidaknya dengan kita meneliti kembali dan merespon pertanyaan-pertanyaan Cak Nun itu kita telah mendayagunakan akal untuk berpikir secara berdaulat.

Konsep Sinau Bareng Maiyahan menjadi sebuah metode untuk melatih berpikir lebih jernih dan kreatif. Dari hal yang sederhana dikupas bersama, melatih cara-cara berpikir agar tidak selalu linier.

“Orang yang pandai adalah orang yang mampu menjawab pertanyaan, sedangkan orang yang kreatif adalah orang yang mampu membuat pertanyaan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2019)

“ANDA kini menghadapi kompleksitas-kompleksitas yang semakin tinggi. Kalau Anda dulu ditakdirkan hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada Abu Jahal, ada Ali bin Abi Thalib, ada Abu Bakar dan yang lainnya, maka Anda tidak akan mengalami kompleksitas yang Anda alami hari ini. Anda tidak mengalami kompleksitas Pilpres, tidak mengalami 01-02, tidak mengalami Taman Sari, tidak mengalami jalan tol yang sangat kompleks di dalam peta pemikiran akal kita,” Cak Nun melanjutkan.

Kepastian manusia saat ini begitu lahir dari rahim ibu sudah dicatat sebagai penduduk sebuah negara. Mau tidak mau, setiap warga negara diwajibkan memiliki identitas berupa KTP. Jika tak memiliki kartu identitas penduduk saja, serangkaian masalah akan segera mendatangi kita. Berbeda dengan era Nabi Muhammad SAW, yang hidupnya lebih simpel dari hidup kita saat ini.

Cak Nun menjelaskan, kompleksitas adalah sebuah keniscayaan yang dihadapi manusia. Satu contoh, ketika seseorang mengucapkan “I love you”, apakah serta merta ucapannya itu membuktikan bahwa ia mencintai sepenuh hati? Belum tentu. Harus ada kompleksitas yang didalami untuk menemukan kepastian bahwa perilakunya selaras dengan apa yang diucapkannya.

Seperti kata sakinah yang merupakan peristiwa statis, dimana terus-menerus diperjuangkan. Mawaddah dan rahmah adalah anugerah yang sudah diberikan oleh Allah sebagai bekal sepasang suami dan istri untuk berjuang mendapatkan sakinah.
Kembali pada soal kompleksitas, pada Silatnas Penggiat Simpul Maiyah awal Desember 2019 lalu, Sabrang menyampaikan bahwa kompleksitas zaman harus dihadapi dengan kreativitas yang berbeda dengan zaman sebelumnya.

Cak Nun lantas mempersilakan tiga kelompok untuk mencari tempat berdiskusi dengan bahan-bahan yang diberikan sebelumnya, didampingi oleh penggiat Kenduri Cinta. Sementara untuk memberi jeda, El Bams tampil membawakan dua lagu karya Kiai Kanjeng yaitu Hasbunallah dan Rampak Osing. Lantunan lagu menambah semarak Kenduri Cinta malam itu.

Setelah penampilan El Bams, Cak Nun lantas menceritakan kisahnya bersama Bu Via saat berangkat ke Manila untuk menyaksikan pertandingan sepakbola babak final Sea Games 2019. Cak Nun dan Bu Via menemui Indra Sjafri dan para pemain U-23 yang akan bertanding. Mereka berdoa bersama Cak Nun dan Bu Via. Namun, apa daya, pada akhirnya Timnas Indonesia menelan kekalahan di pertandingan itu dan gagal membawa medali emas dari cabang olahraga sepakbola.

Cak Nun mengisahkan kegemasan yang dirasakannya saat berlangsungnya pertandingan. Sedikit selingan cerita dari Cak Nun yang kemudian memberi kesempatan kepada jamaah yang ingin bertanya atau merespon setelah serangkain poin-poin yang sudah disampaikannya.

“Kalau anda direndahkan di bumi, anda pasti langsung ditinggikan di langit. Anda direndahkan manusia, maka anda akan mendapatkan ketinggian dihadapan Allah SWT,” Cak Nun merespon seorang jamaah yang resah, mengapa di acara-acara sinetron di televisi nasional, orang Jawa selalu direndahkan. Cak Nun juga merasakan keresahan serupa sejak puluhan tahun lalu. “Orang yang merendahkan adalah orang yang paling tidak waspada dan orang yang direndahkan adalah orang yang memiliki peluang untuk lebih waspada, lebih kreatif dan lebih memiliki daya juang,” lanjut Cak Nun.

“Kalau anda direndahkan di bumi, anda pasti langsung ditinggikan di langit. Saat direndahkan manusia, anda akan mendapatkan ketinggian di hadapan Allah SWT.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2019)

Ahli Cinta, Ahli Ilmu

Kepada jamaah yang bertanya mengapa orang jawa menyebut Tuhan dengan istilah Gusti Pengèran, Cak Nun menjelaskan, Pengèran dengan Pangeran itu merupakan dua istilah yang berbeda. Pengèran itu artinya Tuhan. Suatu penemuan masyarakat Jawa untuk menyebut nama Tuhan, jauh sebelum nama Allah dikenal oleh manusia.

Cak Nun sampaikan bahwa nama Tuhan itu diperlukan sebagai media bagi manusia untuk bersaksi. Pada sekian generasi kita diperkenalkan nama Allah untuk menyebut Tuhan. Pada hakikatnya, Allah sendiri tidak membutuhkan nama. Nama Allah itu hanya sebuah syarat administratif agar kita dimudahkan untuk menyebut-Nya.

Perbedaan itu seperti halnya punokawan dengan ponokawan. Punokawan adalah orang bijak yang menemani raja dan penguasa dengan kebijaksanaan dan ilmunya. Ponokawan adalah orang yang menemani raja dengan kesetiaan dan cintanya. Jadi ada orang yang ahli cinta dan ahli ilmu.

“Anda semua berkumpul di sini untuk berusaha menjadi keduanya. Anda ahli ilmu dan anda adalah ahli cinta dan kebijaksanaan,” ungkap Cak Nun. Maiyahan adalah cara berlatih hidup di surga. Kita berkumpul tanpa ekspektasi apa-apa, begitulah kelak di surga, karena apa yang kita inginkan akan terwujud.

Merespon pertanyaan tentang bagaimana agar mudah memahami setiap persoalan, Cak Nun mengajak jamaah untuk mempelajari ilmu Al-Fatihah. Al-Fatihah adalah ibunya Al-Qur`an. Melalui Al-Fatihah, metode ayat demi ayatnya, urutan ayatnya bisa diaplikasikan untuk menghadapi berbagai persoalan dalam berbagai wilayah. Mulai dari keluarga, bertetangga, hingga pengelolaan perusahaan bahkan persoalan bangsa dan negara.

Secara rinci, Cak Nun menjelaskan, melalui ilmu Al-Fatihah, ketika kita menikmati buah mangga kita tidak akan berhenti pada irisan buahnya, kita juga akan melihat pohon mangga, daun mangga, kembang mangga, sampai ke akar, tanah dan biji mangga yang menumbuhkannya. “Setiap kata yang anda dengarkan, carilah maknanya sampai ke ibu dari kata tersebut,” tutur Cak Nun.

Cak Nun kemudian menceritakan saat Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar Bin Khattab ditanya oleh Rasulullah SAW mengenai kebiasaan mereka. Jika Abu Bakar memilih menunaikan salat malam sebelum tidur, sementara Umar memilih untuk menunaikan salat malam di sepertiga malam setelah ia bangun dari tidur. Rasulullah SAW dengan bijaksana menyampaikan bahwa Abu Bakar adalah orang yang hidup dengan kehati-hatian, karena ia memilih untuk menunaikan salat malam sebelum ia tidur. Sementara Umar adalah orang yang hidup dengan penuh keyakinan, karena ia memilih untuk tidur terlebih dahulu, kemudian ia yakin akan bangun di sepertiga malam untuk menunaikan salat malam.

Hal itu menggambarkan betapa bijaksana perangai Rasulullah SAW, sehingga selalu mengapresiasi semua orang yang ia temui. Bahkan, Rasulullah SAW sangat memudahkan orang untuk dicarikan alasan agar ia diterima oleh Allah SWT. Rasulullah SAW tidak pernah memaksa orang lain untuk memeluk Islam, Rasulullah SAW bahkan sangat bersyukur meskipun ketika menemui seseorang ia hanya pernah mendengar kata Islam tanpa berkeyakinan memeluk Islam sebagai agamanya. Kita sangat merindukan sosok seperti Rasulullah SAW yang begitu bijaksana perangainya, mendamaikan seluruh umat manusia.

”Belajarlah untuk menemukan kebaikan pada setiap yang buruk. Seburuk-buruk orang temukanlah kebaikannya, sejahat-jahat orang temukanlah kemuliaannya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2019)

MALAM ITU menggembirakan, Cak Nun berkelakar dengan candaan-candaan khasnya. Cerita-cerita keunikan orang Mandar, kelucuan orang Madura, kisah bijaksana korek jress Baharudin Loppa dan cerita-cerita lama yang diceritakan kembali oleh Cak Nun.

Setelah cukup waktu, tiga kelompok diskusi tampil ke forum mempresentasikan hasil diskusi mereka. Juru bicara masing-masing kelompok mendapat kesempatan untuk menyampaikan hasil diskusi kecil mereka. Apakah yang mereka sampaikan adalah sesuatu yang benar? Belum tentu. Tetapi juga tidak bisa disalahkan, karena mereka baru saja mengalami proses ijtihad untuk menemukan insight berdasarkan bekal informasi mereka sebelumnya yang kemudian dikombinasikan dengan nilai-nilai Maiyah yang mereka dapatkan selama ini.

Bagaimana mereka berbicara tentang demokrasi, Pancasila, politik, rasisme, radikalisme dan lain sebagainya membuktikan bahwa jamaah Maiyah juga memiliki khasanah ilmu dan wawasan yang luas. Metode workshop ini merupakan salah satu bukti bahwa maiyahan tidak sama dengan cangkrukan, duduk, ngopi, haha-hihi dari malam sampai menjelang subuh. Mereka membuktikan bahwa anak-anak Maiyah juga bisa diajak diskusi dengan tema-tema yang serius.

“Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim AS terhadap Namrud? Menghancurkan secara fisik berhala-berhala. Radikal apa nggak? Radikal!” Cak Nun mengajak jamaah berdiskusi mengenai radikal dan radikalisme. “Kita juga sekarang sedang menghancurkan berhala-berhala di dalam pikiran kita dan otak kita,” lanjut Cak Nun sembari menjelaskan bahwa salah satu persoalan kita adalah penyempitan dan pendangkalan cara berpikir yang disebabkan dari kesalahan kita memahami makna dari kata, dan berhala yang dimaksud adalah kata.

“Kata hadir ke dalam diri kita sudah menjadi produk dari manipulasi. Hati-hati setiap menerima kata apapun saja di dalam kehidupan bernegara yang penuh dengan pertempuran politik dan perebutan harta benda, supaya anda menjadi manusia yang lebih baik, menjadi pemimpin yang lebih baik dari yang ada sekarang,” Cak Nun menambahkan.

Merespon paparan mengenai takabbur dan tawadhlu’. Cak Nun menjelaskan bahwa takabbur adalah sifat Allah. Yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan kita adalah bahwa kita harus mampu takabbur kepada masalah dan persoalan yang kita hadapi. Kita tidak boleh kalah dengan persoalan yang ada di depan mata.

Berbicara tentang Pancasila dan demokrasi, Cak Nun mengajak jamaah untuk berpikir kritis, apakah Pancasila dan demokrasi bisa berjalan beriringan, atau jangan-jangan Pancasila dan demokrasi bukanlah jodoh yang tepat untuk dipadukan dalam sebuah sistem tata negara. Satu hal dicontohkan Cak Nun, apakah sila kelima dari Pancasila itu sejalan dengan nafas demokrasi? Jawabannya bisa bermacam-macam, maka Cak Nun menyarankan agar setiap jamaah bisa merenungkan pertanyaan-pertanyaan tadi di rumah masing-masing.

Menjelang akhir acara, Cak Nun kembali mengelaborasi Piagam Madinah yang disusun oleh Rasulullah SAW bersama kaum muhajirin dan anshor. Rasulullah SAW membangun Madinah tidak dengan tata kelola sistem politik, melainkan dengan kebijaksanaan dan cinta. Berkumpulnya umat Islam dan masyarakat Madinah (Yatsrib) saat itu bukan karena orientasi kekuasaan, melainkan kepada kebersamaan dan hidup sesrawungan bersama. Inilah yang sedang kita cari kembali melalui maiyahan.

“Carilah makna dari setiap kata sampai ke ibu dari kata tersebut, supaya anda menjadi manusia yang lebih baik.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2019)

Epilog

Malam itu, forum juga banyak membedah mengenai khilafah. Cak Nun mengajak jamaah untuk mencari makna sejati dari kata khilafah itu sendiri. Cak Nun paparkan bahwa Pancasila adalah khilafah versi Indonesia. Jika memang khilafah diterjemahkan sebagai sebuah sistem tata kelola bernegara, maka Pancasila sendiri merupakan produk asli Bangsa Indonesia yang sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari Islam. Bagaimana Piagam Jakarta menjadi rumusan dasar dari Pancasila itu sendiri, dari lima sila yang terkandung dalam Pancasila juga mengandung nilai-nilai keislaman yang luhur dan kental.

Maka akan menjadi aneh jika ada kalimat “Kita anti khilafah”. Cak Nun memperingatkan agar jangan sampai ada jamaah yang anti khilafah, karena yang memerintahkan manusia menjadi khalifah adalah Allah. Bahwa ada pemahaman yang berbeda mengenai khilafah, itu wilayah lain yang bisa didiskusikan lebih mendalam. Namun, menurut Cak Nun, secara substansi kita tidak mungkin anti terhadap khilafah. Terlebih dalam Al-Qur`an Allah telah menegaskan: innii jaa’ilun fi-l-ardhli khalifah.

Cak Nun menguraikan, bahwa kata yang digunakan oleh Allah dalam ayat tersebut adalah jaa’ilun bukan khaaliqun, menjadikan bukan menciptakan. Esensi dari kata jaa’ilun bahwa yang dipahami seharusnya adalah manusia harus memfungsikan kelengkapan fisik dan ruhaninya untuk menjadi khalifah. Innii jaa’ilun fi-l-ardhli khalifah. Bisa dipahami bahwa khalifah adalah manusia yang berjalan di muka bumi, melakukan segala sesuatunya berdasarkan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Pemahaman atas kata per kata berdasarkan denotasinya amatlah penting. Karena yang hari ini sampai kepada kita adalah konotasi-konotasi dari kata-kata yang maknanya sangat kontras dari denotasi kata itu sendiri. Kita sudah terlalu jauh berjarak dari ibu kata yang sebenarnya.

Apa yang diutarakan Cak Nun semakin menguatkan bahwa salah satu pijakan hidup kita di dunia memang sudah sepantasnya tidak boleh terputus dari ibu. Ibu apapun saja. Ketika mempelajari Al-Qur`an, maka kita harus memiliki keterkaitan dengan Ummu-l-Qur`an; Al-Fatihah. Dan seterusnya.

“Orang pandai adalah orang yang pintar menjawab, orang kreatif adalah orang yang pintar bertanya. Semakin anda punya banyak pertanyaan, semakin anda kreatif, semakin anda menemukan sesuatu yang baru. Nomor satu di Maiyah adalah bukan anda dikasih jawaban-jawaban, melainkan anda semua dirangsang untuk menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan, sebab kalau anda tidak pernah bertanya, anda juga tidak akan pernah matang jawabaannya,” tegas Cak Nun.

Waktu telah melewati pukul dua dinihari, Kenduri Cinta dipuncaki dengan ‘Indal Qiyam dan doa bersama. Genap sudah 12 edisi Kenduri Cinta di tahun 2019 terselenggara. Sebuah forum yang sudah menjadi rumah kita bersama di Jakarta, yang akan selalu kita rindukan. Terima kasih 2019, sampai berjumpa di Kenduri Cinta tahun 2020.