DARI SANA SINI KEMARI

Reportase Kenduri Cinta Juni 2011

Kenduri Cinta bulan Juni diawali dengan pembacaan Alquran dan selawatan, dilanjutkan dengan pemaparan dari para penggiat tentang latar belakang pemilihan tema Dari Sana Sini Kemari. Adi Pudjo mewakili penggiat menyampaikan, “Yang jelas kalimat itu  (Dari Sana Sini Kemari) menunjukkan lokasi. Sebelum menemukan arah, kita pasti mencari petunjuk.” Para penggiat mengharapkan dengan diadakannya forum Kenduri Cinta sebagai majelis ilmu, kita dapat belajar dan belajar untuk mengenali lagi petunjuk-petunjuk kehidupan itu; apa, di mana, bagaimana cara mencarinya dan apakah petunjuk tersebut benar-benar berasal dari Allah, dalam kebersamaan di forum Kenduri Cinta kita bisa saling mempertanyakannya. “Intinya adalah Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” jelas Adi.

Suparman menambahkan, “Ungkapan itu (Dari Sana Sini Kemari) mengandung makna tersirat maupun tersurat. Gerak tangan dan anggota tubuh yang lain, semuanya bergerak ke arah hati. Dalam Surat Yaasiin, kita diminta pertanggungjawaban atas semua perbuatan kita, atas gerakan tubuh kita. Manusia yang awalnya tidak ada kemudian menjadi ada, suatu saat pasti akan kembali ke tidak ada.”

Dalam suasana Ulang Tahun Kota Jakarta, Mathar Kamal yang seringkali aktif dalam pergerakan masyarakat perkotaan, malam itu membahas tentang sejarah Kota Jakarta dan politik-politik kekuasaan yang menyertainya. “Penetapan hari ulang tahun Jakarta tanggal 22 Juni sangat panjang ceritanya. Gubernur Sudiro melalui SK tahun 1957 dengan konsiderans, melakukan penetapan itu untuk ‘menjinakkan’ Masyumi. Babad Tanah Cirebon dan Priangan jilid 1 tahun 1901 banyak mengungkap kekeliruan penetapan hari lahir Jakarta,” ungkap Mathar pada sebagian penjelasannya.

Tak lama setelah sesi prolog, tampil musik sebagai bagian dari ekspresi kultural. Gombloh, bernama asli Sudjito, membawakan beberapa lagu miliknya. Disusul Asep Tohari yang membawakan puisi berjudul Doa di Pinggir Trotoar, dan disambung kolaborasi lagu-lagu denga aransemen akustik dari Mbah Yuli dan Anjar.

“Manusia tidak punya bakat benci, punyanya bakat cinta. Benci adalah cinta yang terlukai.”

Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Jun, 2011)

BELAJAR PADA DIRI SENDIRI

Sesi berikutnya, Arya Palguna membuka diskusi dengan melontarkan beberapa hal terkait regenerasi kepemimpinan, “Anda adalah generasi baru yang berpikiran tua. Menurut anda, bagaimana jenis kepemimpinan generasi muda agar mampu menggantikan yang tua-tua? Kita tahu, Syahrir menjadi perdana menteri pada umur 31, Hatta pada umur 37, Soekarno berumur 40-an, bahkan Panembahan Senopati memimpin saat berusia 18 tahun. Apakah ada proses kepercayaan dalam konteks tersebut? Atau ada keberlanjutan proses? Adakah juga ada upaya transformasi budaya?”

Merespon hal tersebut, Sabrang utarakan pendapatnya, “Dua atau tiga tahun lalu saya menulis essai (dimuat di Kompas) berjudul Generasi Larva. Hipotesis saya ada lingkaran setan. Informasi yang tidak lengkap menghasilkan disinformasi, disinformasi memproduksi konklusi salah, dimana konklusi yang salah menghasilkan sikap yang salah, sikap salah kembali lagi akan menghasilkan informasi yang salah dan demikian seterusnya.”

Secara empiris, menurut Sabrang hal tersebut dapat diperbandingkan dalah hal pengetahuan dan keberanian bertanya antara generasi lalu dengan generasi sekarang. Sabrang berpendapat, yang harus dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan semacam sekolah adalah keberanian dan pengetahuan tentang pertanyaan-pertanyaan, semikan banyak dan luas pertanyaan yang dihasilkan maka semakin sukses sebuah pendidikan.

“Kita harus punya rumusan sendiri, dengan cara mempertanyakan. Kita belum punya budaya untuk bertanya kepada diri sendiri,” Sabrang lalu mencontohkan, “Ada teman di Kanada bernama Hariyanto, seorang sosialis. Cita-citanya membuat seluruh dunia berpaham sosialis. Gagasan-gagasan itu tidak bisa kita tolak seratus persen. Justru, lama-lama saya jadi menemukan ada banyak kesamaan juga dengan Islam ya? Komunis itu kan berasal dari kata komunal, yang artinya kebersamaan. Kesimpulan saya sederhana saja: sesuatu yang baik tidak harus selalu berasal dari yang mengkilat-mengkilat. Yang baru saja saya lakukan adalah dekonstruksi diri saya sendiri. Ini harus berasal dari pikiran saya sendiri.

“Tidak ada proses mengajari. Yang ada adalah proses memberi kesempatan belajar. Pada bayi, misalnya, tidak ada yang mengajarinya. Kalau kata Cak Nun: Tuhan sendiri yang mengajari. Tentu cara Tuhan mengajari tidak seperti guru. Seorang bayi tumbuh dan belajar tidak dalam konstruksi sosial. Manusia punya insting untuk mengikuti dulu, prosesnya belakangan. Kalau hak asasi ‘menimbang’ sudah diputuskan oleh guru kita, bagaimana kita bisa bikin generasi baru?”

Proses belajar dan mengajari tersebut juga dituangkan Sabrang dalam berkarya, bermusik atau menulis lirik lagu, ”Lirik itu tentang gagasan, bukan tentang kata-kata. Gagasan tidaklah mentah, melainkan harus diasah. Menulis lirik, sepanjang pengalaman saya, hanya butuh waktu 2 sampai 3 jam karena gagasannya sudah jelas. Yang saya tulis bukanlah potret kejadian, melainkan skema atau scene-nya, sehingga bisa diartikan apa saja. Skema-skema yang saya tuliskan itu merupakan pemantik bagi pendengar.”

“Yang saya tulis bukanlah potret kejadian, melainkan skema atau scene-nya, sehingga bisa diartikan apa saja. Skema-skema yang saya tuliskan itu merupakan pemantik bagi pendengar.”

Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Jun, 2011)

dari sana sini kemari

PLAGIAT ATAU RISET

Agung Waskito ikut menyampaikan pendapatnya, “Ada berita yang ‘memukul’ saya sebagai pekerja seni. Sinetron-sinetron sekarang syuting satu hari harus untuk dua episode. Penulisnya anak-anak yang masih baru, sangat muda, tinggal di suatu apartemen mewah dengan mobil dan kalau ditanya tentang teori penulisan skenario nggak ngerti sama sekali. Yang mereka lakukan adalah menonton VCD film-film Korea, India, Barat, dan sebagainya, kemudian menerjemahkannya dan jadilah skenario sinetron.

“Plagiat berarti maling. Itulah yang setiap hari kita tonton. Pada masa lalu, saat saya masih sekolah, Ismail Subarjo menulis skenario film layar lebar berjudul Perempuan dalam Pasungan, yang saat itu diduga merupakan plagiat sebuah film Hongkong. Awalnya dia mengelak, tetapi setelah dibandingkan ternyata terlihat persis. Dihujatlah dia habis-habisan. Sekarang yang terjadi justru sebaliknya, semua plagiat dan nggak ada yang menghujat.

“Plagiat itu apa sih? Kalau Edison tidak menciptakan listrik, apakah dunia kita akan gelap gulita? Tidak, karena akan ada orang lain yang melakukannya. Berbeda dengan halnya seni. Kalau misal Cak Nun tidak menciptakan buku Slilit Sang Kiai misalnya, apa ada yang akan membuatnya? Itulah bedanya penemuan sains dan seni. Dunia musik masih dihargai, tapi kalau yang lain sudah hancur.

Agung Waskito mengajak jamaah untuk melakukan perubahan-perubahan, “Perubahan bisa dilakukan oleh satu orang saja, tapi alangkah indahnya jika itu kita lakukan bersama-sama.”

“Perubahan bisa dilakukan oleh satu orang saja, tapi alangkah indahnya jika itu kita lakukan bersama-sama.”

Agung Waskito, Kenduri Cinta (Jun, 2011)

dari sana sini kemari

SINTESIS TITIK TEMU

Forum dilanjutkan, kali ini Andri Dwi yang menyampaikan pandangannya, “Berangkat dari uraian Sabrang tadi: ada sudut pandang, ada cara pandang dan ada jarak pandang. Saya tambahkan dua lagi yaitu: instrumen pandang dan fokus pandang. Selama ini kita selalu memakai tesis – antitesis – sintesis. Yang lebih cocok menurut saya adalah tesis – protesis – sintesis, karena dalam dialektika antitesis tidak akan ketemu formula. Dalam teori penciptaan alam, untuk menuju blackhole harus ada big bang.

“Mumpung sekarang tanggal 10 Juni, dalam sejarah tanggal 6 Juni merupakan hari kelahiran Bung Karno; tanggal 8 Juni lahirnya Pak Harto. Kita harus cari titik temu antara Bung Karno dan Pak Harto. Melalui Nasakom-nya Bung Karno menekankan bahwa yang penting bukanlah agamanya melainkan metodenya. Pak Harto dengan trilogi pembangunan-nya menekankan pembangunan fisik. Kita harus bisa mencari titik temunya.

“Sesuatu yang mikro harus dipertemukan dengan yang makro. Yang hakikat dengan syariat. Yang wacana dengan yang skill. Yang roh dengan yang jasad. Harus ada eksekutor, bukan hanya konseptor atau motivator. Jangan mempertentangkan, tapi carilah titik temu.” Andri Dwi juga menyoroti krisis nilai yang terjadi belakangan, “Tahun 1992-1997 terjadi krisis ekonomi di Indonesia, memunculkan orang kaya tapi miskin. Tahun 1997-2002 terjadi krisis politik, melahirkan orang kuasa tapi lemah. Tahun 2002-2007 terjadi krisis ilmu, banyak orang pintar yang goblok. Nah, tahun 2007-2012, silahkan kalau mau dihubungkan dengan kalender Maya, terjadi krisis spiritual, di mana banyak orang alim tapi brengsek.”

Ketika dibuka sesi tanya jawab, sebuah kritik datang dari Iqbal yang berpendapat banyak hal yang tidak bisa dipertanyakan lagi soliditasnya, salah satunya adalah pancasila. Ia kembali mempertanyakan apakah pancasila itu produk budaya atau ilmiah. Ia memandang bahwa yang mau mengutak-atik pancasila itu adalah anak-anak muda yang nggak ngerti sejarah, yang tidak memahami kultur saat pancasila itu dibikin.

Sabrang merespon, “Kalau anda bilang tadi bahwa yang mau mengutak-atik pancasila nggak ngerti sejarah, dan saya merasa ditunjuk, selamat! Anda benar seratus persen! Justru karena itulah maka saya bertanya. Saya mengajak: mbok jangan gampang percaya. Kalau kita lihat buku-buku yang beredar sekarang: itu berdasar pengetahuan penulisnya atau berdasar edisi sebelumnya? Nek ada yang salah berarti juga kebawa salahnya. Dasar demokrasi adalah ketidakpercayaan kepada orang lain, maka (dalam demokrasi) ada sistem kontrol.

Mengenai plagiarisme, Sabrang berpendapat, “Kalau anda bikin skripsi nyontoh dari satu skripsi itu plagiat, kalau dari 10 skripsi, itu namanya riset. Piye iki jal? Kalau hal-hal kecil saja kita nggak mampu bereskan, bagaimana mau ngurusin hal-hal besar? Yang saya tawarkan adalah berpikir kritis. Pertanyakan segala sesuatu. Mari kita berpikir lagi atas keputusan-keputusan anda. Urip kok mung manut-manut wae.

“Tidak ada proses mengajari. Yang ada adalah proses memberi kesempatan belajar.”

Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Jun, 2011)

EPILOG

Lewat tengah malam, Letto hadir menyuguhkan beberapa lagu, sebagian diambil dari album barunya: Cinta Bersabarlah. “Manusia tidak punya bakat benci. Punyanya bakat cinta. Benci adalah cinta yang terlukai, “ ujar Sabrang di sela-sela penampilannya. Setelah Letto, Ustaz Widjayanto memberikan kesegaran dengan guyonan-guyonannya tapi tentu saja juga penuh dengan muatan-muatan ilmu. Beliau mengingatkan tujuan utama diadakannya forum Kenduri Cinta, yaitu sebagai majelis ilmu, sebagai media bersama untuk saling belajar. “Setiap orang yang datang ke sini, pastikan bahwa terjadi 5 hal ini, minimal salah satunya, yaitu: bertambah ilmunya, bertambah sahabatnya (saling mengenal di antara sesama), muncul nilai-nilai ekonomi, bertambah baik perilakunya dan membawa keberkahan,” tutur Ustaz Widjayanto.

Kenduri Cinta kemudian ditutup dengan berdoa bersama.