Dari Komunitas Epistemik Hingga Memperlambat Dunia

Percikan Ilmu Maiyah Rebo Legi Maret 2015 (Bagian 1)

Komunitas Epistemik dan Anti Wacana

Jika ada sekelompok orang dari latar belakang yang beranekaragam berkumpul, mereka memiliki tujuan yang sama yaitu memproduksi wacana, membangun narasi dan mereka diikat secara cair oleh nilai-nilai yang diperjuangkan, maka itulah komunitas epistemik. Demikian disampaikan Pak Djoko Saryono menerjemahkan secara bebas pengertian Komunitas Epistemik dari Pak Peter M. Hass.

Wacana adalah konstruksi gagasan yang utuh. Sederhananya lebih kurang adalah bangunan ide-ide yang  telah mengalami masa pengendapan, pengeraman, refleksi dan uji pengalaman sehingga layak dianggap telah matang. Dan tugas untuk membangun wacana itu ada pada kaum intelektual/cendekia. Di negara ini, tugas seperti itu menjadi sangat berat. Sebab, para cendekia harus berhadapan dengan masyarakat yang anti wacana. Negara ini sedang menjalankan perubahan tanpa “politik wacana”. Sekolah pun tidak identik dengan kecendekiaan. Dulu sekolah mendidik orang menjadi cendekia, namun sekarang sekolah hanya memproduksi ijazah. Memproduksi sarjana. Bukan cendekia. Padahal, zaman yang berubah dan bergerak menuntut gagasan yang lebih banyak. Maiyah adalah salah satu contoh dari komunitas sejenis ini, demikian menurut Prof. Djoko.

Salah satu ihwal yang memproduksi wacana dengan pemikirannya adalah puisi. Puisi adalah salah satu bentuk sastra yang maknanya pengetahuan yang mendalam (sas: pengetahuan, tra: mendalam). Puisi dalam bahasa Jawa adalah Kagunan Boso. Boso sendiri diartikan sebagai candi pikiran atau monumen pemikiran. Sehingga, Kagunan Boso atau Puisi adalah puncak-puncak pikiran yang berguna bagi manusia.

Manakala Penyair menggubah puisi, maka sejatinya dia sedang memproduksi gagasan. Penyair adalah juga seorang cendekia. Puisi senantiasa digubah dalam kondisi yang sublim, reflektif. Maka, puisi yang bagus memiliki sifat yang sublim serta reflektif pula.

Makanya, orang-orang dahulu puisi-puisi atau syair-syairnya tidak banyak, tapi selalu dilambari dimensi-dimensi spiritual. Karena semua gagasan/ide/wacana itu berawal dari spiritualitas. Salah satu contohnya adalah Penyair Ronggowarsito yang ajaran-ajarannya yang dituangkan dalam bentuk syair (puisi) menjadi dasar dari spiritualitas Jawa. Penyair memproduksi gagasan bahkan wacana yang berdasar pada spiritualitas.

Ronggowarsito adalah pembaca yang tekun, pelahap buku dan ilmu darimana pun. Bahkan, Syair Serat Hidayat Jati—yang menjadi dasar ajaran spiritualisme Jawa—80%-nya bersumber dari Kitab Bidayatul Hidayah karya Al Ghazali. Penyair yang bagus tidak hanya pembaharu dalam dimensi puitik atau estetika semata. Namun, dia juga pembaharu dalam politik gagasan. Penyair, cendekia, intelektual harus mengembara melintasi padang-padang pemikiran agar menyerap semakin banyak gagasan.

Wacana, gagasan merupakan hal yang tidak bisa ditolak atau dinihilkan. Sejarah mencatat bahwa keperkasaan kolonialisme sehingga mencengkeram dunia adalah karena didukung oleh Komunitas Epistemik yang kuat. Sebagai contoh adalah Raffles, sang Gubernur Jenderal Inggris. Sebengis-bengisnya Raffles, dia masih meninggalkan karya besar History of Java yang monumental dan menjadi rujukan tentang Jawa. Juga Snouck Hurgronje, seorang Belanda yang menguasai Islam hingga ke jantungnya sebagai alat untuk menundukkan Jawa dan Sumatra. Mereka adalah bagian dari pemilik dan pembangun gagasan sehingga menjadikan kolonialisme sedemikian gagah.

Memperkuat Narasi

“Kita harus memperkuat narasi,” demikian kata Cak Dil. “Sebab, seperti diutarakan Prof. Djoko, kita sedang melakukan perubahan tanpa politik wacana.” Arah gerakan masyarakat ini ke depan tanpa didampingi oleh plot. Tidak ada alur cerita yang di-design. Karena itu, diperlukan inisiasi untuk menumbuhkan semakin banyak komunitas-komunitas atau halaqoh-halaqoh yang mendiskusikan tema-tema yang serius, kajian-kajian yang di-design untuk memperkuat dan memperdalam wawasan, pengetahuan dan keilmuwan.

Karena, sekarang ini sulit ditemukan mahasiswa-mahasiswa yang mendiskusikan pemikiran-pemikiran mendalam. Mereka sudah menjadi anti-wacana. Atau menurut istilah Pak Djoko, perlu menumbuhkan tentakel-tentakel—kaki-kaki/tangan-tangan—sebanyak-banyaknya sebagai komunitas epistemik, sebagai komplotan ndakik-ndakik untuk memperkuat narasi, membuat semakin banyak orang berpikir sampai ke dasarnya.

Bangsa Teater

Pak Clifford Geertz, seorang antropolog yang banyak melakukan research di Indonesia, pernah menerbitkan salah satu hasil pencarian kembalinya di Indonesia dan diberi judul: Negara: The Theater State in XIX Century. Bangsa Teater di Abad 19. Obyek research-nya adalah di Negara, sebuah wilayah di Bali. Apa artinya, menurut Pak Klipod, orang-orang di Negara sangat sering menyelenggarakan upacara-upacara. Banyak hal diterjemahkan menjadi upacara. Dalam pengertian lain, seolah Negara ibarat sebuah panggung upacara, seperti pentas teater, panggung sandiwara dimana ketika setiap hal adalah upacara.

Poin ini kemudian diperluas, ditarik dan ditafsir ulang pada konteks masyarakat Indonesia modern. Indonesia ini adalah Negara Teater, masyarakat teater, pemerintahan teater bahkan beragama pun dilakukan sebagai teater-sandiwara. Dimana, poin yang primer adalah seremoni, upacara, sandiwara. Sementara mereka—sangat mungkin—abai terhadap  substansi, terjebak pada jalan hingga melupakan tujuan akhirnya. Kekuasaan menjadi prosaik—riuh, ribut, gebyar, klobot—tapi tidak memproduksi apa-apa. Sedangkan sifat puisi adalah reflektif, sublim dan substansial. Penuh perenungan, lembut dan dalam serta berorientasi pada muatan atau jagungnya. Malangnya, saat ini kita memiliki persepsi bahwa pada awalnya kehidupan kita adalah prosaik yang riuh, rebut, gebyar namun tidak mencapai inti.

Seperti dicontohkan pada diskusi malam itu, ritual-ritual keagamaan sengaja dibuat sebagai komoditas. Cak Dil menyebutnya industri zikir, tidak ada lagi spirit untuk mencari. Tidak lahir sense of curiosity-hasrat ingin tahu.

Banyak hal dari agama diambil secara serampangan untuk kepentingan pribadi manusia. Pemerintahan lebih banyak membangun sandiwara, bahkan masyarakat juga lebih suka sandiwara. Orang lebih suka dengan ritual seremonial dibanding isinya. Rupanya, Pak Klifod jauh lebih mengenal bangsa ini dibanding kita sendiri. Dan pada titik ini, menurut Cak Dil, ”Jamaah Maiyah harus menjadi pelopor perubahan.”

[Teks: Prayogi R Saputra]