Dari Komunitas Epistemik Hingga Hidden Connection

Percikan Ilmu Maiyah Rebo Legi Maret 2015 Bagian 2

Spiritualisme dan Ritualisme

Belakangan ini, begitu dahsyatnya perkembangan ritualisme sehingga setiap hal “dipaksakan” menjadi ritual. Sebagai contoh orang membaca Alquran. Saat ini muncul gerakan membaca Alquran satu hari satu juz. Tentu itu sebuah ikhtiar membangun kebiasaan positif. Namun, jika kemudian fokus utama dari aktivitas itu adalah menyelesaikan 1 juz, maka dia hanya akan berhenti menjadi ritual. Membaca Alquran bukan lagi menjadi peristiwa sakral dan menggetarkan dimana manusia berhadap-hadapan dengan Tuhannya melalui Alquran. Namun, membaca Alquran berubah menjadi kebiasaan rutin yang—mungkin—datar, tidak memiliki ruh, bahkan target utamanya adalah laporan: kholas. Selesai. Finish.

Kondisi ini, menurut Pak Djoko adalah efek negatif dari kekuasaan yang mengejar “kekuasaan” dengan menyuntikkan cara berpikir yang merusak melalui pendidikan. Cara berpikir yang merusak itu, setidaknya ada 2. Pertama adalah cara berpikir fungsionalis, yaitu: cara berpikir yang mengharuskan sesuatu ada karena fungsinya (menurut maksud dan buatan manusia). Sebagai contoh adalah tanah kosong di tengah kota yang ditumbuhi pepohonan. Cara berpikir fungsionalis akan memandang bahwa lahan itu sia-sia. Tidak termanfaatkan. Maka, dibangunlah pusat perbelanjaan, pertokoan atau perumahan di atasnya. Padahal tanah kosong yang ditumbuhi pepohonan itu sejatinya berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem, lahan serapan atau juga menjadi pengendali polusi udara. Dalam kasus diatas bisa diartikan sebagai waktu adalah pahala. Semakin cepat selesai semakin baik. Semakin banyak yang dibaca dalam waktu singkat lebih baik lagi.

Dalam ranah yang berbeda, Maiyah ini bisa dipandang oleh kaum fungsionalis sebagai sebuah potensi massa. Kalau seorang politisi akan melihatnya sebagai lumbung suara. Kalau seorang penjual akan melihatnya semata-mata sebagai pasar. Cara berpikir fungsionalis tidak akan bisa menerima bahwa Maiyah diselenggarakan berdasarkan pada kemurnian niat untuk Maiyah itu sendiri. Dia lahir dan tumbuh karena kehendak alam, sosial serta kondisi-kondisi yang mengharuskan dia lahir sebagai dirinya.

Sedangkan cara berpikir kedua adalah mekanistik, yaitu cara berpikir yang menganggap dunia ini mekanik yang diam. Sehingga seolah-olah manusia bisa melakukan apa saja seperti apa yang dia kehendaki dan memiliki kemampuan untuk mengontrol resiko-resikonya. Manusia mekanis tidak memiliki kepekaan bahwa ada penghuni bumi lain yang juga harus dilibatkan untuk menjaga keseimbangan.

Setidaknya, dua cara berpikir inilah yang disuntikkan melalui pendidikan. Sehingga, pendidikan kita hanya copy paste dari model yang dianggap berhasil. Padahal, kuncinya bukan pada sistem yang dibangun seperti apa, tapi pada filosofi pendidikan yang responsif terhadap lingkungannya. Juara pendidikan terbaik dunia saat ini: Korsel, Singapura, Hongkong, Jepang dan Finlandia. Mereka menjalankan sistem pendidikan yang berbeda. Namun mereka memiliki filosofi yang kurang lebih sama, yaitu: pendidikan yang respon atas kondisi lokal. Misalnya kalau orang laut ya jangan diajari ilmu darat. Hal itu justru akan merusak, menyebabkan pembasmian kultur.

“Itulah mengapa selama ini kita kehilangan kesempatan memproduksi gagasan sendiri. Kita hanya sebagai ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk Pemikiran),” demikian Pak Djoko. Karena, semua pemikir besar adalah orang-orang yang ugahari, yaitu mereka yang memiliki keyakinan dan sikap bahwa ruh akan kembali kepada sang pemilik ruh dalam kondisi yang paling sederhana. Kecendekiaan sangat dekat dengan spiritualitas. Bahkan, mereka berdua seperti saudara kembar.

Perubahan-perubahan kecil yang dibangun membentuk jaringan akan lebih kuat dibanding gelombang besar namun hanya terjadi sekali.

Sastra, Kecendekiaan dan Spiritualitas

Diatas sudah disinggung bagaimana kecendekiaan dan spiritualitas itu ibarat saudara kembar. Telah pula disinggung bagaimana sejatinya sastra itu berawal jsutru dari spiritualitas. Sehingga, ketiga hal ini: sastra, kecendekiaan dan spiritualitas seperti hal yang tidak bisa dipisahkan. Maka, tidak heran jika para sufi itu juga adalah penyair. Mereka juga pembentuk gagasan. Gagasan tidak bisa dibentuk dalam keadaan riuh. Gagasan dibentuk dalam kondisi yang sublim dan reflektif seperti halnya menggubah puisi. Gagasan ini, bermula dari pengetahuan yang mendalam. Pengetahuan yang mendalam pasti telah mengalami transendensi dan kontemplasi. Transendensi dan kontemplasi merupakan tempat mukimnya spiritualitas.

Permainan tertua dalam peradaban manusia yang ditemukan adalah berpuisi. Puisi ini temukan sebagai naskah Gilgamus di Sumeria. Gilgamus merupakan sebuah rentetan puisi sekaligus sebagai doa orang-orang Sumeria meratapi tragisnya kehidupan raja Uruk. Begitulah puisi menjadi saudara kembar spiritualitas. Dan spiritualitas menjadi saudara kembar kecendekiaan.

Memperlambat Dunia dan Hidden Connection

Kompleksitas dunia 20 tahun terakhir lebih cepat 30 kali dibanding 20 tahun sebelumnya. Hal itulah yang mengubah cara pandang kita bahwa “yang cepat itu yang baik”. Dalam beberapa kasus kita bisa melihat aplikasinya. Misalnya dalam pendidikan di Indonesia dikenalkan dengan kelas akselerasi. Respon kita terhadap kecepatan dunia adalah hanyut, kita tidak memiliki gravitasi.

Padahal, di Skandinavia tidak ada kelas akselerasi. Secara akademik mungkin anak bisa mengejar kemampuan akademik. Tapi secara psikologis, perkembangan mental dan kedewasaan apakah bisa ditempuh dengan belajar akademik. Sebab, pertumbuhan dan perkembangan psikologis, mental dan kematangan emosi itu membutuhkan jam terbang, memerlukan waktu.

Contoh lain dari gravitasi atau anti kecepatan ini adalah tumbuhnya kota-kota lambat di Eropa. Sudah ada lebih dari 55 kota lambat di Eropa. Ciri-ciri kota lambat adalah: jalanan yang sempit, trotoar yang lebar, angkutan massal yang baik. Namun, pilihan Indonesia adalah tanpa gravitasi. Ibaratnya, kita tidak memiliki: rasa ingin tahu, tidak memiliki imajinasi dan tidak punya ketangkasan. Hal inilah pula yang menyebabkan kita terjebak tanpa sadar pada ritualisme. Karena kita tidak memiliki tatanan gravitasi nilai, sehingga apa pun menjadi sebatas ritual.

Nah, bagaimana untuk tidak terjebak bulat-bulat pada fenomena dunia ini, agar kita tetap memiliki gravitasi nilai. Fritjof Capra memperkenalkan Hidden Connection. Maiyah sebagai salah satu bentuk dari komunitas epistemik setidaknya telah memiliki basis nilai yang menjadi gravitasi dari kecenderungan dunia yang “melayang”. Orang-orang Maiyah memeluk nilai-nilai sendiri yang—bisa jadi—anti-mainstream. Upaya-upaya untuk membentuk jejaring sunyi antar komunitas epistemik merupakan salah satu upaya mempertahankan diri dari “zaman edan” dunia. Perubahan-perubahan kecil yang dibangun membentuk jaringan akan lebih kuat dibanding gelombang besar namun hanya terjadi sekali.

*Sumber: Diskusi Maiyah Rebo Legi – bersama Prof. Djoko Saryono dan Cak Dil.
Catatan bagian 1: Dari Komunitas Epistemik Hingga Memperlambat Dunia