From Kolom Emha Ainun Nadjib

Puasa adalah Ilmu Dosis

Rasulullah itu hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Jangan dipikir itu ilmu tentang makan, itu juga ilmu tentang puasa. Jangan dipikir ilmu tentang cahaya itu hanya ilmu tentang cahaya. Ilmu tentang cahaya adalah ilmu tentang kegelapan. Ilmu tentang kegelapan adalah ilmu tentang cahaya. Karena anda tidak mungkin memahami cahaya tanpa memahami kegelapan dan sebaliknya tidak mungkin anda memahami kegelapan tanpa memahami cahaya.

Selamat Tinggal Pak Harto

KETIKA BERUMUR 4-9 tahun kalau malam saya tidur di Langgar (Musholla) kalau tidur siang di kuburan atau tepi sungai tanggul Kali Gede. Ayah saya punya Sekolah SD tapi saya bersekolah di sekolah tetangga desa jauh. Berangkat dan pulang melintas tiga kali hamparan sawah, dan pada suatu siang yang sangat terik, karena haus tiba-tiba saja saya mengambil sebiji krai (mentimun hijau) langsung saya makan.

Buruh Itu Kekasih

Kalau hati para buruh beserta keluarganya bahagia, maka mereka ikhlas dan bangga bekerja di perusahaan saya. Dan kalau mereka ikhlas dan bangga di sisi saya, insyaallah mereka akan selalu memacu kerajinan serta kreativitas kerja. Etos kerja mereka akan maksimal. Hati mereka semua akan memancarkan energi, semangat dan doa bagi kemaslahatan perusahaan.

Kenduri Cinta si Udin

Apakah kehadiran Malaikat Izroil sekadar khayalan, persangkaan, pengetahuan ataukah keyakinan Udin? Pernahkah manusia benar-benar meneliti pilah, perbedaan, jarak atau kerancuan antara empat kemungkinan itu? Bahkan pada sebuah disertasi yang diakui kredibilitas ilmiahnya, tidak adakah kadar persangkaan, khayalan, klaim, keyakinan atau apapun dan bukan benar-benar pengetahuan?

Sakti, Ahmaq, atau Kalap

“Makanya saya tawarkan Catur Sila saja. Hapus Sila Pertama, daripada ruwet berurusan dengan Tuhan. Tapi kemudian saya pikir lebih lanjut: empat Sila yang lain juga merepotkan. Mana mungkin habitat politik nasional dan budaya kependidikan kita ditabrakkan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Mustahil Parpol-parpol dan Ormas-ormas, bahkan konstelasi ketokohan nasional dari berbagai latar belakang dituntut membangun Persatuan Indonesia. Lha wong mereka berhenti pada kebenaran masing-masing, tidak meneruskan langkahnya ke kebijaksanaan bersama. Mereka pikir kebenaran adalah puncak nilai hidup. Padahal kebenaran hanyalah salah satu input, alat, bekal, modal atau perangkat untuk bersama-sama mencapai hikmat kebijaksanaan”

Surat Pengusiran

Saya bilang sudah sejak lahir 72 tahun silam Indonesia sudah mendasari Negaranya dengan Pancasila. Dia membantah “Siapa bilang? Mana Buktinya?”. Kalau rakyatnya, terutama yang di bawah, relatif selalu sangat Pancasilais — tanpa merasa sok Pancasilais. Tapi elitnya? Pemerintahnya? Stakeholder-nya? Banyak perilaku mereka yang mencederai Pancasila, bahkan menentang atau mengkhianatinya”. Lantas kami berdebat, sangat panjang, dan makin tidak selesai.

Memang hutan di mana ia menyepi itu secara teritorial adalah bagian dari tanah air Indonesia. Hutan ini resminya milik Negara: entah siapa yang dimaksud Negara. Tetapi koordinat dan frekuensi rimba yang ia tinggali itu hampir tidak pernah tersentuh oleh mekanisme Negara.

Harga Mati NKRI

Harga Yang Mati itu NKRI yang mana. Yang awal mula diproklamasikan, ketika bergeser-geser formula kenegaraannya, ketika tangannya terluka dan jari-jarinya terputus 1948 dan 1965. Atau NKRI sesudah kakinya diborgol dan tangannya diputus oleh Amandemen. Ataukah NKRI yang menjelang terpenggal lehernya sekarang ini. NKRI yang tak pakai celana dalam dan celana luarnya sudah dipelorotkan oleh tangannya sendiri atas perintah kepalanya. NKRI yang membungkuk-bungkuk mengemis-ngemis.

NKRI yang tidak percaya kepada kebesaran Indonesianya sendiri. NKRI yang kaya raya tapi berlaku sebagai fakir miskin di muka bumi. NKRI yang raksasa tapi melangkahkan kaki seperti orang kerdil. NKRI yang papan namanya Republik tapi dikuasai oleh Kerajaan-kerajaan yang berwajah Parpol. NKRI yang ber-KTP demokrasi namun bergantung pada Raja-Raja, Ratu-Ratu, Putri Raja, Raja Baru, yang bersaing satu sama lain sebelum menemukan kesepakatan untuk berkuasa bersama. Kerajaan-Kerajaan samar yang terpecah belah dalam kesatuan, dan pura-pura berkawan di panggung persatuan.

Sila 1: Buy Two Get Four

Kita nikmati pernyataan Tuhan Buy Two Get Four, serta meyakini bahwa Ia lebih memenuhi janji itu justru kalau kita tidak menagih-nagih-Nya. Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhan, mengikatkan hidupnya selalu kepada-Nya dengan cara senantiasa waspada atas diri dan sesamanya (buy 1), akan memperoleh solusi bagi setiap masalahnya (get 1). Serta akan mendapatkan rejeki dari jalan yang tak terduga, yang di luar perhitungannya, bahkan di luar gaji atau pendapatannya (get more 1).

Dan barangsiapa bertawakkal (mewakilkan) kepada Tuhan (buy another 1), mempercayakan kepada-Nya urusan yang ia tidak sanggup menggapainya dengan batas kapasitas kemanusiaannya, akan memperoleh dua pemenuhan lagi (get 2 others) dari Tuhan. Pertama (atau ketiga di urutannya), Allah tampil sebagai manajer atau akuntan hidupnya, menyusun hitungan yang diperlukannya kemudian memenuhinya. Kedua (: keempat), menyampaikan hamba yang bertawakkal itu ke sesuatu yang diidamkannya, sepanjang disatu-arahkan dengan kebaikan menurut ilmu-Nya. Tentu saja ini tidak berlaku jika manusia merasa lebih tahu dibanding Tuhan tentang apa yang dibutuhkan atau dicita-citakannya.

Ah, Apa Tuhan Itu Ada

Demikian pun posisi Tuhan pada dan di Indonesia. Meskipun sudah resmi konstitusional dicantumkan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi pada manusia Indonesia, terutama Pemerintahnya, keberadaan Tuhan itu masih sebatas sosok ghaib di permukaan instingnya. Umumnya rakyat Indonesia mengenali keberadaan Tuhan secara samar-samar, meskipun mereka berposisi sangka baik, memiliki naluri untuk menghormati Tuhan.

Pada Pemerintah dan kumpulan makhluk yang menjulur-julurkan lidah kepadanya: sosok samar-samar Tuhan Yang Maha Esa itu direkrut sebagai anasir dari logo nasional, warna ikon, jargon, komponen emblem di kostum golongannya, serta dipakai sewaktu-waktu untuk memastikan keuntungan yang diperjuangkan demi kepentingan subjektifnya.

Bersegera Mem-Pancasila

Kita sendiri tak tahu jumlah helai rambut dan bulu badan kita. Jangankan jumlah pasir di Gurun Sinai. Kita tak bisa melihat warna buang angin kita. Tak ngerti dan tak punya otoritas besok sore jantung kita masih berdetak atau berhenti. Juga tak tahu persis aslinya isi hati istri atau suami kita. Bahkan sebenarnya diam-diam kita tidak memahami konstelasi kemauan riuh rendah kalbu kita.

“Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula. Dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab Lauh Mahfudz-Nya”