Selamat Tinggal Pak Harto

KETIKA BERUMUR 4-9 tahun kalau malam saya tidur di Langgar (Musholla) kalau tidur siang di kuburan atau tepi sungai tanggul Kali Gede. Ayah saya punya Sekolah SD tapi saya bersekolah di sekolah tetangga desa jauh. Berangkat dan pulang melintas tiga kali hamparan sawah, dan pada suatu siang yang sangat terik, karena haus tiba-tiba saja saya mengambil sebiji krai (mentimun hijau) langsung saya makan.

Ternyata ada pemilik sawah itu, marah-marah, meneriaki saya sebagai pencuri dan saya lari pontang panting. Sampai rumah gemetar saya ke Langgar dan shalat dluhur untuk minta ampun kepada Allah. Tapi rupanya Ibu saya sudah menunggu di luar Langgar, dan begitu saya selesai shalat beliau langsung ambil tangan saya sambil menjewer telinga saya: diseret ke jalan, sampai jauh, ternyata menuju rumah Pak Tani pemilik tanaman krai.

Saya disuruh menceritakan kembali kepada Pak Tani apa yang saya lakukan kemudian saya harus minta maaf, sambil Ibu saya juga menambah permintaan maaf kepada beliau Pak Tani Krai. Baru kemudian Ibu saya tersenyum, mengajak saya pulang, langsung diantar ke Langgar lagi dan diperintahkan untuk shalat Ashar kemudian membaca Istighfar 1000 kali.

Itulah yang pada tanggal 21 Mei 1999 saya lakukan kepada Pak Harto. Saya bertemu beliau dan bilang “Pak Harto sekarang ini Sampeyan bicara apa saja di forum apa saja dan di media mana saja tak akan dipercaya siapapun. Tapi masih ada satu forum yang terbuka bagi Pak Harto. Yakni Forum Ikrar Khusnul Khatimah (akhir yang baik), Pak Harto bertekad untuk membayar semua dosa dan memastikan mengakhiri sisa kehidupan dengan kebaikan-kebaikan”.

Kami ngobrol sejenak kemudian merumuskan 4 (Empat) Sumpah Suharto kepada Allah SWT, Rasulullah SAW dan rakyat Indonesia:

  1. Bahwa saya, Suharto bersumpah tidak akan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia lagi.
  2. Bahwa saya, Suharto bersumpah tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan Presiden Republik Indonesia.
  3. Bahwa saya Suharto bersumpah siap dan ikhlas diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan segala kesalahan saya selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia.
  4. Bahwa saya Suharto bersumpah siap dan ikhlas mengembalikan harta rakyat yang dibuktikan oleh Pengadilan Negara.

Beliau menandatanganinya, kemudian saya tinggali beberapa wirid dan kencan akan membacakan sumpah itu melalui sebuah upacara di Masjid Baiturrahim DPR-RI tgl 21 Mei 1999. Beberapa media menyebut rencana acara itu dengan istilah “Taubah Nasuha” – Pak Harto saya ajak bertobat, begitulah – tanpa saya pernah menyebut kata itu. Sejumlah pengamat politik nasional mewaspadai hal itu dengan menyimpulkan bahwa “Emha adalah mesin politiknya Suharto di bidang Agama dan berusaha menghindarkan Suharto dari Pengadilan Negara”.

Sangat rasional tudingan itu menurut ilmu politik konvensional, tetapi sebab utama kesimpulan itu adalah karena Politisi itu tidak pernah mencuri krai seperti saya. Pak Harto ke Baiturrahim 21 Mei 1999 itu seperti saya shalat dluhur sehabis mencuri krai. Ibu mentertawakan saya, karena Tuhan baru mengampuni dosa seseorang kalau yang berdosa sudah mempertanggungjawabkan dosanya kepada orang yang didosai – dalam kasus Pak Harto berarti seluruh bangsa Indonesia.

Sesudah Pak Harto bersumpah dan pasti tanpa saya suruh beliau tidak terlalu durhaka untuk tidak minta ampun kepada Allah, sebagaimana terkandung dalam butir wirid-wirid yang saya berikan yang berisi pertobatan namun tak pernah saya katakan kepada Pak Harto hal-hal mengenai tobat, apalagi Taubah Nasuha. Kalau api padam si api tak perlu bikin laporan atau pernyataan bahwa ia padam.

Tetapi permohonan ampun Pak Harto kepada Allah tak akan diterima sebelum ia mempertanggungjawabkan kesalahannya kepada rakyat Indonesia. Artinya, momentum Ikrar Khusnul Khatimah itu menegaskan dan mempercepat keharusan adanya Pengadilan kepada Pak Harto. Kalau tak ada Pengadilan atas Pak Harto, maka Khusnul Khatimah tak akan tercapai.

Namun berhubung tidak ada pihak yang percaya pada logika dan “policy” saya itu, terutama para pengamat politik, maka beberapa saat sesampainya saya dan banyak teman di Masjid Baiturrahim DPR-RI: saya mengambil keputusan untuk menelpon Pak Harto: “Selamat tinggal di rumah Pak, Pak Harto ndak usah ke Baiturrahim deh…. Pak Harto ikrar dan wiridan sendiri saja di rumah”.

Kemudian kepada hadirin dan wartawan yang datang pagi itu saya omong 1-2 menit: “Saudara-saudara, acara Ikrar Khusnul Khatimah saya batalkan, saya minta Pak Harto tak usah datang. Saya akan mempertimbangkan akan melaksanakan acara itu atau tidak nanti sesudah Anda dan para Pendekar Republik menyeret Pak Harto ke Pengadilan. Saya menyiapkan satu jari-jari saya untuk dipotong kalau sampai terjadi Pak Harto duduk di kursi terdakwa Pengadilan Negara Republik Indonesia”.

Kemudian era Reformasi makin marak. Indonesia makin jaya. Demokrasi dan kemajuan bangsa tak terbendung. Indonesia memancarkan cahaya, meningkat derajat kebangsaannya dan martabat kenegaraannya. Dunia makin hormat dan segan kepada NKRI. Setiap kali Soeharto sakit, para pahlawan riuh rendah teriak-teriak akan mengadilinya. Begitu Pak Harto sehat, mereka serak suaranya sehingga tidak teriak lagi. Bahkan Presiden Yudhoyono menunggu Pak Harto koma dulu untuk mengutus orangnya menawarkan ini itu kepada keluarga Cendana.

Kadang-kadang ingin ada perkelahian besar yang jantan dan lanang, sebab teater mengancam orang pingsan dan mendemo orang koma sudah overload.

Dimuat di Harian Sindo 18 Januari 2008