Buruh Itu Kekasih

SAYA SEORANG BOS, meskipun sampai detik ini sama sekali saya belum mengerti apa sebenarnya arti kata ‘bos’. Delapan tahun yang lalu saya seorang kuli bangunan. Yang ini sangat jelas. Pekerja kasar. Buruh kecil. Saya memegang cangkul untuk mencampur pasir, gamping dengan semen. Sedikit demi sedikit saya mengerti bagaimana memperlakukan batu bata, kayu, paku, serta apapun yang berkaitan dengan pekerjaan membangun rumah.

Akhirnya, benar-benar saya membangun rumah, dengan uang yang saya kumpulkan sendiri, ditambah utang kepada seorang teman. Sebiji saja. Rumah sangat sederhana. Boleh juga disebut RSSSSS… rumah sangat sederhana sesak sumpek suntuk semprul sekali… silakan menambah seribu huruf ‘s’ lagi semaumu.

Mungkin karena kerjaan saya rapi dan bercampur simpanan kalbu yang bernama keprihatinan dan ketekunan, maka seseorang membeli rumah itu sebelum benar-benar selesai. Terutama juga karena saya agak maniak-kebersihan. Tidak ada puntung rokok tergeletak. Haram secawuk debu menabur tidak pada tempatnya. Dilarang ada yang serampangan. Ketika mengerjakan bangunan, harus langsung menyingkirkan setiap benda tak terpakai yang menunjukkan ada bekas orang membangun. Tangan dan badan harus dicuci pada detik pertama ia mesti dicuci. Segala sesuatu harus bertahan bersih tanpa ada satu menit penundaan atas “agama” kebersihan di ruangan yang saya tangani.

Hal itu saya praktikkan ketika kemudian bulan demi bulan saya diperkenankan Tuhan mengembangkan usaha rumah. Dari satu rumah yang dibeli, saya bikin dua berikutnya dengan segala daya upaya. Demikian seterusnya sampai sepuluh, seratus, dan akhirnya saya mulai membuat sejumlah kompleks real-estat.

Pada eksterior, taman dibangun dulu, pada interior, lantai marmer ditancap dan ditata dulu, sebelum dinding dan segala yang berdiri lainnya. Pada pekerja saya dibimbing oleh taman yang indah dan marmer yang mengkilat selama bekerja. Dituntun tidak hanya dalam hal memelihara kebersihan maksimal, tapi juga kehati-hatian dan optimalitas pengerjaan semua unsurnya.


DULU PEKERJA SAYA beberapa orang, sekarang ribuan. Saya menyeleksi dan memilih sendiri siapa yang sebaiknya bekerja pada saya. Saya hanya tamat SMP, maka saya tidak mengerti psiko-test atau apapun. Saya meraba kepribadian mereka dengan firasat, kepekaan hati, melalui sorot mata mereka, cara omong mereka, tema-tema dari pikiran dan kalbu mereka, gerak-gerik mereka. Selebihnya test terakhir adalah doa permohonan saya kepada Tuhan agar diperkenankan tidak keliru memilih sahabat dalam hidup yang pasti hanya satu kali ini.

Kalau memang harus dirumuskan, maka kriteria yang saya pakai adalah keikhlasan dan kejujuran. Soal keterampilan sangat gampang ditumbuhkan dan dibina. Sejumlah sarjana teknik dan ekonomi saya terima, namun dimana saya letakkan tergantung pada firasat dan rasa ketepatan saya. Para direktur dan manajer yang langsung menjadi bawahan saya adalah orang-orang yang menurut hati saya merupakan sahabat sehati saya. Yang kalau ketemu saya cium pipi mereka, saya ajak berdoa agar perusahaan kami bisa mendapatkan kemudahan dan berkah dari Allah.

Berkah itu harus terutama dinikmati oleh para buruh, pekerja atau karyawan, karena merekalah tulang punggung perusahaan saya. Kalau saya tidur satu minggu, perusahaan tetap jalan. Tapi kalau buruh saya mogok sehari, produktivitas anjlok, hubungan kemanusiaan di antara kami menjadi rusak.

Saya upayakan gaji buruh saya di atas dua kali lipat dibanding standar gaji buruh umum pada levelnya. Setiap pekerja yang baru masuk, saya kasih gaji tiga bulan, yang berlaku untuk bulan pertama ia bekerja. Istrinya saya panggil, atau orang tuanya kalau ia belum nikah, untuk menerima gaji pertama itu. “Ini uang supaya rumah tangga kalian aman. Biarkan suami bekerja tanpa beban kesusahan rumah tangga di sini. Kalau ada problem yang benar-benar tak bisa kalian atasi, jangan pernah tidak bilang kepada saya, asalkan kalian tidak mencari-cari”.

Nanti datang hari peringatan kemerdekaan 17 Agustus, para buruh menerima gaji tiga bulan. Juga kalau tiba hari Maulid Nabi dan lain sebagainya. Kalau Idul Fitri harus lima bulan gaji. Juga, maaf, kalau saya berulang tahun, sebisa-bisa saya kasih tiga bulan gaji, agar doa mereka lebih khusyuk. Pokoknya gaji setahun minimal 23 bulan.

Kalau Idul Adha, minimal per-3 KK harus dapat seekor sapi dan beberapa ekor kambing untuk korban. Pokoknya apa saja yang bermanfaat bagi pekerja dan mampu diberikan oleh perusahaan, wajib diberikan. Yang saya minta sebenarnya mungkin hanya satu; kejujuran. Tidak ada korupsi, karena korupsi adalah ketidakjujuran terhadap kebenaran ekonomi. Tidak ada kemalasan, karena kemalasan adalah ketidakjujuran terhadap anugerah Tuhan atas potensialitas kerja hamba-Nya. Tidak ada nguthit, tidak ada curang, tidak ada menang sendiri—sebab itu semua merupakan ketidakjujuran terhadap keharusan nilai-nilai manusia hidup.


SAYA INI LEMAH menghadapi ketidakjujuran. Sehingga setiap saya jumpai pekerja yang tidak jujur, terpaksa langsung saya keluarkan. Tidak ada peringatan, tidak ada penundaan, tidak ada kesempatan kedua. Perusahaan harus efektif dan efisien dalam kosmos kerja yang jujur, sehingga tidak punya waktu dan dana untuk peringatan, penundaan, permaafan, atau pemberian peluang kedua sesudah ketidakjujuran yang pertama. Maafkanlah kelemahan manusiawi saya ini.

Sebab siapapun saja di perusahaan ini harus memberi ruang kepada setiap kemungkinan untuk menolong siapapun yang sebaiknya ditolong. Bahkan kalau saya mencintai sahabat saya yang perusahaannya memiliki keterbatasan yang tak mungkin diatasi sehingga karyawannya tidak begitu maksimal kesejahteraannya, saya menyediakan dana untuk tambahan gaji bulanan bagi perusahaan sahabat saya itu. Itu karena saya tidak bisa mengatasi hati saya yang terlalu gampang terharu. Itu saya lakukan sampai kapan pun saya mampu. Kalau hati saya terharu melihat jalanan rusak, bisa saja langsung saya suruh ukur untuk saya perbaiki, tidak perduli bahwa itu kewajiban pemerintah.

Juga kapan saja para pekerja saya bisa menolong orang lain, saya anjurkan untuk melakukannya. Tak usah peduli apakah yang harus ditolong itu orang PPP, Golkar atau PDI. Jangan perhatikan apakah ia orang Islam atau Kristen. Jangan ingat apakah ia Muhammadiyah atau NU, Orla atau Orba, termasuk golongan penindas atau kaum tertindas- pokoknya mereka manusia.

Ketemu siapa saja di jalan, kalau pas punya uang dan kalau orang itu terasa layak mendapatkan uang, kasihlah uang. Ketemu tukang koran, anak-anak di perempatan jalan, penjual gerobagan yang tidak begitu laku, kaum pengamen atau siapa pun yang engkau rasakan perlu mendapatkan pertolongan darimu, ulurkanlah tangan.

Termasuk para pengemis. Banyak orang mengritik, “Jangan kasih uang kepada pengemis. Itu tidak mendidik”. Kritik mereka benar. Kalau engkau sanggup mendidik mereka, bawalah ke rumahmu. Kumpulkan dan asramakan. Biayai. Dan kasih kursus bagaimana hidup tidak mengemis. Tapi kalau engkau tidak mampu mengangkut mereka ke rumah dan mendidik mereka, kasihlah uang langsung. Jangan sampai engkau tidak mendidik tapi juga tidak ngasih apa-apa.

Selalu awasi tetanggamu di tempat masing-masing, jangan sampai ada yang mendapatkan kesulitan lantas kamu tidak tahu dan tidak membantu apa-apa. Jangan sampai engkau mendapatkan kesulitan dan tidak ada yang datang menolongmu. Jangan sampai ada yang orang di sekitarmu yang mengalami kesusahan lantas engkau tuli dan tidak menolongnya. Berdoalah kepada Tuhan agar engkau diizinkan untuk bertemu dengan orang yang bisa menolongmu, serta tidak lolos dari persentuhan dengan orang yang memerlukan pertolonganmu.


ZAKAT PERUSAHAANKU per tahun rata-rata 12 sampai 15 milyar rupiah. Para buruh harus punya rumah semua. Satpamku harus punya mobil standar, harga minimal 20 juta saat ini. Hubunganku dengan Satpam dan para pekerja lain adalah hubungan manusia. Saya tidak sanggup memandang wajah buruhku dan berkata dalam hati, “Kupekerjakan kamu di sini, kukasih upah sebulan sekian, selebihnya aku tidak tahu. Kalau sesekali kamu mendapatkan problem, kecelakaan misalnya, yaah nanti dipertimbangkan oleh para direksi untuk membantu ala kadarnya….”

Tidak. Saya tidak sanggup berlaku profesional yang demikian. Hati saya sangat lemah. Perusahaan saya membutuhkan doa mereka semua kaum pekerja. Agar mereka semangat berdoa, baik pada tahlilan dua minggu sekali yang kami selenggarakan untuk semua buruh maupun di rumah masing-masing atau bahkan kapan saja—maka hati mereka harus berbahagia.

Jalan agar hati mereka bahagia adalah memberi upah yang kalau bisa jauh di atas rata-rata ukuran upah buruh. Memberi fasilitas-fasilitas yang di perusahaan lain rata-rata mereka tidak bisa mendapatkannya. Rumah tangga masing-masing buruh harus dibereskan oleh perusahaan. Tidak hanya keberesan duniawi mereka, tapi juga investasi akhirat mereka. Anak istri mereka harus merasa menjadi bagian dari keluarga perusahaan.

Kalau hati para buruh beserta keluarganya bahagia, maka mereka ikhlas dan bangga bekerja di perusahaan saya. Dan kalau mereka ikhlas dan bangga di sisi saya, insyaallah mereka akan selalu memacu kerajinan serta kreativitas kerja. Etos kerja mereka akan maksimal. Hati mereka semua akan memancarkan energi, semangat dan doa bagi kemaslahatan perusahaan.

Sahabat-sahabat saya pernah bertanya, “Kalau begitu, buruh adalah aset utama perusahaan ya?”

Saya menjawab, “Buruh adalah kekasih.”

“Tapi bagaimana mungkin menyusun manajemen keuangan perusahaan dengan kemurahan-kemurahan yang tidak rasional seperti itu?”

“Sepanjang pengalaman saya, itu sangat rasional. Manajeman modern-rasional itu benar, tapi hanya satu sisi, flat dan linier logikanya. Keberlakuan untung ruginya dengan demikian juga hanya pada wilayah yang datar itu. Yang saya yakini, saya gunakan dan saya alami adalah manajemen barokah atau manajemen berkah. Wilayahnya bukan hanya lempengan yang terdiri atas panjang, lebar, dan tinggi, tapi bulatan. Dalam manajemen berkah, 5 minus 7 tidak = minus dua, melainkan bisa plus 10, plus 20 bahkan bisa plus 700. Sebab Tuhan memang menjanjikan demikian, meskipun di antara 700 itu bisa saja yang berupa finansial duniawi hanya 200 sementara yang 500 adalah investasi surga. Kalau keperluan para buruh pada suatu saat melebihi kas perusahaan, nanti datang ‘plus’nya dari wilayah di luar panjang-lebar-tinggi. Asalkan produk perusahaan kita maksimal dan unggul dari produk lain berkat kerja keras, keikhlasan, dan doa para buruh, insyaallah menaburnya hujan berkah itu selalu mengagetkan kita. Kata para Ustadz itu yang namanya, ‘min haitsu la yahtasib’, bersumber dari momentum dan segmen yang sama sekali di luar dugaan ilmu manajemen yang tercanggih pun.”

Sahabat saya itu senyum-senyum, “Kalau demikian kenapa perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh kelompok-kelompok keagamaan mayoritas di negeri kita ini umumnya malah tidak maju?”

“Saya tidak mengerti”, jawab saya, “Yang saya tau hanya saya tidak boleh memusatkan diri pada keuntungan finansial. Yang lebih tidak boleh lagi adalah mendayagunakan agama untuk kepentingan profit, menjual idiom-idiom agama untuk promosi komoditas, apalagi pada wilayah linier-datar. Di situ Tuhan dijadikan faktor produktif dan sekular. Menurut logika Tuhan, di situ tak mungkin ada barokah-Nya. Saya sendiri tidak berani menggelar sajadah dan bersujud pada obsesi keuntungan duniawi. Yang saya tahu adalah kewajiban bekerja maksimal, mencintai para kekasih yang bekerja dengan saya, sebagai perwujudan dari cinta primer saya kepada Tuhan… maafkan terpaksa saya omong begini.”

Sahabat saya senyum-senyum lagi, “Bagaimana dengan ribuan perusahaan lain yang toh pakai manajemen datar-linier namun maju dan menjadi raksasa?”

“Ongkos sejarahnya jauh lebih mahal dibanding jumlah omset seluruh perusahaan yang raksasa itu.”

“Ongkos apa?”

“Kesenjangan yang tidak sungguh-sungguh diatasi, membuat politik harus ikut menindas buruh. Hilangnya hubungan kemanusiaan, sehingga para pelaku ekonomi bersaing dan bertarung bagai burung gagak pemakan bangkai atau serigala. Ketidakadilan struktur, yang membuat perubahan sangat sukar diselenggarakan, sampai-sampai pemilu yang sangat mahal biayanya tidak memiliki efektivitas konkret bagi kehidupan rakyat. Kolusi, dominasi, pilih kasih, kecurangan sejarah, yang mengacaukan kosmos keindahan hidup ummat manusia, serta memproduk generasi penerus yang cengeng dan hanya mampu mengincar kekuasaan melalui dalih-dalih idealisme….”

Saya kaget—seolah-olah saya ini intelektual. Sahabat saya memotong, “Sampeyan ini ada dalam impian atau ada benar?”

“Kapan saya tunggu Sampeyan makan siang di kantor saya di Jakarta Selatan?”

 

Diterbitkan di harian Kompas, 6 Juni 1997