Balada Raja Kodok dan Para Kecebong

PADA SENJA di musim kemarau yang masih sering hujan, si Raja Kodok meloncat keatas batu, “Teot te blung, teot te blung” memberikan instruksi, perintah dan arahan-arahan kepada aparatur pemerintahan dan seisi belantara rakyat hewan hutan Wanamarta. “Teot te blung, teot te blung” bersahutan kodok-kodok lelompatan bukan karena komando si Raja Kodok, namun lebih karena melampiaskan kesenangan masing-masing. Hutan Wanamarta pada saat itu belum terjamah manusia. Setelah lengsernya Raja Singa, supermasi Hukum Rimba diterapkan di Wanamarta. Beberapa kali berganti raja, hingga akhirnya terpilih si Raja Kodok yang begitu adanya. Merasa berkuasa namun sebenarnya tanpa daya, mendengar tapi tidak mendengarkan, melihat namun tak memperhatikan, dan perkataannya sebatas suara “Teot te blung”. Namun si Raja Kodok pada saat itu memang paling sesuai dengan keinginan masyarakat hewan hutan Wanamarta.

Tetapi begitulah Si Raja Kodok senantiasa GR, merasa ditaati oleh aparatur dan seluruh rakyatnya. Si Raja Kodok selalu PD pada setiap sidang kabinet dengan instruksi “Teot te blung” kepada menteri-menterinya. Sementara para menteri dari berbagai jenis hewan senantiasa berusaha mengerti dan bebas menginterpretasi arti instruksi “Teot te blung” itu. Staf-staf ahli para menteri yang mayoritas kodok-kodok juga sudah mempersiapkan laporan dan segala sesuatunya dengan “Teot te blung” dari masing masing kementrian. Walhasil keputusan dan kebijakan pemerintah selalu berisikan “Teot te blung”.

Tegaknya Hukum Rimba Wanamarta selalu digembar-gemborkan sebagai prestasi dari si Raja Kodok. Masyarakat kecebong, berudu, katak dan kodok terus-menerus membanggakan dan mengeluk-elukan ‘kepemimpinan teot te blung’ dari si Raja Kodok. Mereka beranggapan bahwa perubahan dan pembangunan besar-besaran yang terjadi di Hutan Wanamarta hanya karena “Teot te blung” dari si Raja Kodok. Padi menguning, “Teot te blung”. Telur ayam menetas, “Teot te blung”. Jaguar bebaskan kelinci yang ditawan anjing, “Teot te blung”. Hujan di musim kemarau, “Teot te blung”. Ular semakin rajin tangkap tangan tikus, “Teot te blung”. Buaya menyergap kancil, “Teot te blung”. Kepercayaan masyarakat kodok terhadap si Raja Kodok semakin menguat, dan kaum muda kecebong terus berlomba-lomba mendukung segala kebijakan “Teot te blung” dan mereka selalu teinspirasi oleh si Raja Kodok.

Masyarakat kecebong para pendukung Kodok tidak peduli dan tidak mau tahu bahwa yang sebenarnya terjadi adalah Hukum Rimba yang akan tetap berlangsung meski bukan Kodok yang memimpin hutan. Kecebong-kecebong tahunya hanya berusaha berenang kesana-kemari untuk mendapatkan perolehan suara “Teot te blung”. Kecebong-kecebong akan siap mati-matian mendukung kodok, dan pada gilirannya mereka akan menjadi kodok-kodok berikutnya. Padahal kodok-kodok tidak berdaya apa-apa dalam konstelasi perpolitikan Hutan Wanamarta. Kodok tidak berdaya sama sekali ketika kawanan serigala mengimpor sapi-sapi dari luar negeri. Kodok tidak mampu mengendalikan pimpinan daerah anjing, kucing, kambing, kerbau dan sapi apalagi ular dan buaya. Kodok dijadikan Raja hanya semata-mata supaya Hak Asasi Hewan dapat terus menjadi dasar aktifitas masyarakat hutan Wanamarta. Setelah lengsernya sang Raja Singa, masyarakat Wanamarta memilih untuk menerapkan Demokrasi Hukum Rimba, dengan begitu siapapun pemimpinnya sama saja.

Kecebong-kecebong itu hanya memikirkan profesi dan karier politiknya sendiri tanpa mau berusaha memahami apa yang terjadi di balik peta perpolitikan Wanamarta. Kenyataan bahwa sedang berlangsung pertarungan kekuatan yang tersembunyi antara Nagarawan dari utara dan Raksasa Jin Yudistira. Pertarungan itu meraka anggap sebagai cerita teori konspirasi omong kosong. Yang diperjuangkan kecebong-kecebong hanya sebatas proses metamorfosis menjadi Kodok. Kodok-kodok yang begitu dapat melompat akan tanpa merasa bersalah keluar-masuk lobang-lobang kekuasaan sesukanya. Kodok-kodok yang pada gilirannya berkuasa, sedikitpun tidak memberikan maslahat bagi masyarakat sekitarnya.