Audien Utama Kita Adalah Allah

HUJAN YANG mengguyur Jakarta di Jumat sore (15/3) cukup deras, bahkan merata di berbagai daerah, tidak hanya di Jakarta saja. Alhamdulillah, menjelang pukul 5 sore, hujan mulai reda. Penggiat pun menggelar karpet untuk alas duduk jamaah. Panggung Kenduri Cinta kali ini tampak lebih besar dari biasanya, karena memang pada edisi Maret ini Kenduri Cinta kedatangan teman-teman rombongan dari Sanggar Nani Topeng Losari. Rombongan yang dipimpin oleh Mba Nani ini memang diagendakan untuk mementaskan beberapa tari-tarian dari Losari pada Kenduri Cinta kali ini.

Menjelang maghrib, semua alat gamelan dari Losari sudah tertata dengan rapi di panggung, sound system pun sudah diatur dan sudah diuji coba, bahasa kerennya sudah check sound. Mba Nani dan para Nayaga pun sempat mencoba tata suara dan memainkan sebuah tarian, sekadar untuk beradaptasi dengan situasi panggung di Kenduri Cinta. Sementara para penari lainnya sudah berada di kamar transit untuk persiapan pementasan.

Langit mulai gelap, senja telah berlalu, beberapa jamaah tampak sudah mulai berdatangan. Gerobak angkringan pun mulai diserbu oleh mereka yang memang merindukan kudapan khas warung angkringan, jahe panas, nasi kucing, sate usus dan lain-lainnya. Kudapan-kudapan sederhana, namun memang sudah menjadi salah satu ciri khas Kenduri Cinta, sehingga mereka yang datang lebih awal tentu memilih untuk duduk-duduk di sekitar gerobak angkringan ini, sekaligus menikmati senja di Taman Ismail Marzuki sembari menikmati kudapan-kudapan ringan itu.

Menjelang pukul 8 malam, jamaah sudah mulai memenuhi area depan panggung. Karpet yang tergelar pun mulai dipenuhi oleh jamaah. Meskipun angin yang berhembus masih cukup kencang, mereka sama sekali tidak khawatir bakal turun hujan. Toh memang seperti biasanya, di Kenduri Cinta sudah bukan hal yang aneh jika hujan turun. Jamaah sudah terbiasa dengan kondisi yang ada, bahkan jika sejak awal hujan turun cukup deras seperti di Kenduri Cinta edisi Agustus 2018 lalu, sama sekali tidak mengurangi niat mereka untuk sinau bareng di Kenduri Cinta.

Setelah pembacaan wirid tahlukah, beberapa penggiat mula mbeber kloso, untuk mengurai tema yang diangkat kali ini; “NEITHER NOR”. Donny Kurniawan selaku moderator mengawali, menurutnya di dunia ini seluruh manusia pada dasarnya merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling benar. Tema “NEITHER NOR” ini salah satu pijakannya adalah untuk melatih diri kita agar terbiasa seimbang, berada di tengah-tengah, tidak terlalu Pro A juga tidak menolak B, tidak terlalu ke kiri dan juga tidak terlalu ke kanan. Dalam istilah Al Qur`an; Laa syarqiyah wa laa gharbiyah.

Adi Pudjo memiliki pandangan, bahwa memilih untuk tidak berpihak, atau katakanlah berposisi netral, itu bukan dalam rangka tidak memilih, justru pada posisi netral setiap kita memiliki kesempatan untuk berpikir lebih jernih sebelum menentukan sebuah pilihan. Mungkin terkesan lamban, karena keputusan tidak diambil secara cepat, namun dalam beberapa hal justru memang kita membutuhkan waktu yang lama untuk menentukan pilihan. Seperti PILPRES 2019 ini misalnya, kita memiliki waktu yang cukup lama untuk benar-benar menentukan pilihan yang terbaik menurut kita, pilihan yang tidak berdasarkan ikut-ikutan dengan pilihan orang lain.

Sigit Hariyanto menyambung, bahwa manusia adalah makhluk kemungkinan, sehingga manusia harus siap dengan segala kemungkinan yang ada. Bahkan, manusia harus siap dengan kemungkinan bahwa kebenaran yang ia yakini hari ini tidak akan berlaku esok hari. Sebelumnya, Pramono memiliki pijakan bahwa ketidakberpihakan seseorang terhadap sebuah piihan bisa jadi bukan karena memang dia tidak ingin memilih, tetapi bisa jadi karena informasi yang masuk ke dalam dirinya tentang pilihan-pilihan yang ada memang terlalu sedikit, sehingga informasi yang yang datang tidak bisa dijadikan pijakan yang kuat untuk dijadikan alasan dalam memilih sebuah pilihan.

Grup musik Pandan Nanas yang digawangi oleh Bedur, malam itu memberi jeda di sesi awal. Beberapa nomor keroncong betawi ia bawakan. Tentu saja suasana diskusi semakin menarik, namun agar tidak terlalu cepat diajak berpikir lebih mendalam, jamaah disuguhi beberapa nomor-nomor lagu agar suasana tetap segar. Belum lagi, mereka juga akan menyaksikan pementasan Tari Topeng Losari malam itu.

MEMASUKI DISKUSI sesi selanjutnya, Tri Mulyana selaku moderator mengajak Amien Subhan, Fahmi Agustian, dan Ali Hasbullah untuk bergabung ke panggung, mengelaborasi lebih dalam tema Kenduri Cinta kali ini. Amien menyampaikan bahwa dalam hidup, manusia membutuhkan presisi yang tepat kapan harus optimis dan kapan harus pesimis. Karena memang hidup tidak selalu seperti yang kita harapkan. Mengambil benang merah dari poster yang sudah terpasang, Amien menitikberatkan pada posisi wayang yang tidak wajar sesuai pakem yang berlaku. Namun bukan sebuah persoalan, justru dengan terbaliknya posisi wayang, Amien menjelaskan bahwa seperti itulah kondisi kita hari ini sebenarnya. Tidak jelas mana kiri dan mana kanan, tidak jelas mana positif dan mana yang negatif, tidak jelas mana yang baik dan mana yang buruk. Apakah Pandawa selamanya baik dan Kurawa selamanya buruk? Tentu saja tidak. “Seperti bawang merah, semakin kita iris kulitnya justru semakin kita tidak menemukan inti dari bawang merah itu sendiri”, pungkas Amien.

Fahmi menambahkan, bahwa netral itu adalah sebuah keniscayaan. Kebenaran yang kita yakini hari ini belum tentu menjadi kebenaran yang kita yakini esok hari. Sebaiknya, memang kita selalu berada di posisi tengah, tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu ke kiri. Namun demikian, betapa dinamisnya hidup kita, sehingga kita tidak mampu memastikan bahwa posisi kita selalu stabil. “Itulah mengapa kita sehari mengucapkan; Ihdinash-shiroto-l-mustaqiim setidaknya 17 kali sehari, karena memang posisi kita adalah disemogakan agar tetap dna terus berada di jalan yang lurus”, lanjut Fahmi.

“Prinsip utama ketika kita sinau bareng di Maiyah adalah bahwa kita diajarkan untuk melihat sebuah persoalan dengan utuh, sehingga kita tidak terburu-buru menyatakan apakah sesuatu itu buruk atau baik”, Ali Hasbullah turut merespons. Maiyah mengajarkan kita bahwa yang terpenting bukanlah siapa yang berbicara, tetapi apa yang ia sampaikan itulah yang menjadi fokus utama. Bukan berarti kita meremehkan siapa yang berbicara, tetapi ini merupakan pijakan keseimbangan kita di Maiyah, untuk menentukan skala prioritas dalam menyerap informasi.

Diskusi berlangsung sangat interaktif, jamaah yang hadir pun mulai memadat. Belum genap jam sepuluh malam, sudah tampak jamaah yang berdiri di bagian belakang. Sigit pun meminta jamaah untuk semakin merapatkan duduknya agar jamaah yang masih berdiri mendapat ruang untuk duduk. Namun, pembahasan tema harus segera disudahi, karena harus beranjak pada sajian berikutnya yaitu pementasan Tari Topeng Losari. Sigit kemudian mengundang Mba Nani dari Sanggar Nani Topeng Losari bersama para penari dan nayaga. Mba Nani pun kemudian menyapa jamaah Kenduri Cinta, sembari memperkenalkan kesenian Tari Topeng Losari kepada jamaah.

Mungkin banyak orang yang terheran-heran, apa hubungannya Tari Topeng dengan Maiyah? Apalagi bagi sebagian masyarakat di Indonesia, Maiyah adalah sebuah forum pengajian. Kok bisa-bisanya dalam pengajian dipentaskan Tari Topeng? Inilah indahnya Maiyah. Dalam setiap Maiyahan, kita menerima siapa saja yang datang, terserah dia mau mementaskan apa, mau menyampaikan apa, ukurannya sangat sederhana, asalkan apa yang disampaikan atau yang dipentaskan tidak menyakiti orang lain, tidak menghina orang lain, dan tidak mengancam harta dan nyawa orang lain, sudah cukup. Apa bahayanya Tari Topeng Losari ini bagi masyarakat yang hanya memahami Maiyah sebagai sekadar forum pengajian?

Mba Nani menjelaskan bahwa kesenian Tari Topeng Losari ini adalah kesenian yang sudah turun-temurun diwariskan sejak sebelum Abad ke-16. Sunan Gunung Djati dan Sunan Kalijaga adalah dua diantara sekian tokoh di Nusantara yang turut memperkenalkan kesenian Tari Topeng Losari ini, bahkan menjadi salah satu media dakwah Islam saat itu selain wayang kulit. Mba Nani sempat mengalami pergolakan  batin yang sangat tragis, karena apa yang Mba Nani lakukan dengan melestarikan Tari Topeng Losari ini justru pernah ditentang oleh keluarganya sendiri, karena dianggap mempertontonkan aurat perempuan kepada orang lain yang bukan mahramnya.

Ditengah-tengah perkenalan personel Tari Topeng Losari, Cak Nun hadir di Taman Ismail Marzuki malam itu. Cukup mengagetkan bagi Mba Nani, karena ternyata Mbah Nun hadir lebih awal dari biasanya. Cak Nun pun kemudian turut bergabung di panggung, menyambut kedatangan rombongan Tari Topeng Losari di Kenduri Cinta.

“Apa yang pertama kali Anda lihat dari sebuah tarian?”, Cak Nun melempar sebuah pertanyaan. Ada banyak jawaban yang muncul dari jamaah, mulai dari rasa, keindahan, gerak dan lain sebagainya. Namun, yang diharapkan oleh Cak Nun malam itu adalah jawaban resolusi rendah dari sebuah pandangan mata, bahwa yang pertama kali dilihat adalah kaki, tangan, wajah, rambut, tubuh dari penari itu sendiri. Namun, dengan jawaban yang muncul sebelumnya, Cak Nun justru menyampaikan bahwa asumsi bahwa kesenian tari adalah pertunjukkan yang mempertontonkan aurat sudah terbantahkan di Kenduri Cinta malam itu, karena ketika ditanya jawaban yang pertama kali muncul adalah tentang rasa, keindahan dan gerak tari itu sendiri, bukan kaki, tangan, wajah dan bagian tubuh lainnya yang disebut sebagai aurat dalam ilmu fiqih.

Cak Nun kemudian mencuplik salah satu hadits qudsi; “Wahai hamba-Ku, masing-masing dari kamu itu lapar kecuali Aku beri makan: mintalah makan kepada-Ku, maka Aku memberi makan kepadamu. Wahai hamba-Ku, masing-masing dari kamu itu telanjang, kecuali Aku beri pakaian: mintalah pakaian kepada-Ku maka Aku memberi pakaian”. Cak Nun mengajak jamaah untuk berpikir bahwa sejatinya manusia itu tidak memiliki apa-apa, karena semua yang dimiliki oleh manusia adalah rahmat dari Allah, Tuhan semesta alam ini.

Begitu juga dengan kreatifitas Tari Topeng, bahwa ide utama dari kreatifitas itu sendiri datangnya dari Allah. Mustahil manusia secara mandiri tanpa bantuan Allah akan melahirkan kreatifitas yang indah seperti Tari Topeng Losari ini. Bahkan, Mba Nani sebelumnya menjelaskan bahwa ketika menari Tari Topeng Losari ini, merupakan salah satu bentuk dari kemesraan antara hamba dengan Tuhan. Cak Nun menjelaskan bahwa untuk bermesraan dengan Allah tidak melulu dengan ibadah ritual yang menjadi panduan fiqih setiap hari. Cak Nun mentadabburi surat Adz-Dzariyat ayat 56; Wamaa kholaqtu-l-jinna wa-l-insa illa liya’buduuni. Bahwa tidak lain dan tidak bukan diciptakannya jin dan manusia adalah untuk beribadah. Maka, seluruh hidup manusia adalah manisfetasi dari ibadah kepada Allah. Maka dalam Islam dikenal dengan pembagian ibadah mahdhoh dan dan ibadah mu’amalah.

Dan yang perlu dipertegas lagi adalah bahwa audien utama dari apa yang kita lakukan selama kita hidup ini adalah Allah, bukan manusia. Cak Nun menyampaikan bahwa apapun yang kita lakukan di dunia, asalkan niat kita baik, maka lakukan saja. Dengan keyakinan bahwa Allah adalah “penonton” utama kita, maka Allah pasti akan menjamin hidup kita. Kenduri Cinta di penghujung tahun 2013 silam sudah mengangkat tema “Allah Audienku-Bahagialah Yang Terasing”, yang membahas lebih detail bahwa audien utama kita adalah Allah, bukan manusia.

Setelah Cak Nun mengalaborasi beberapa pointers di sesi awal, Mba Nani bersama para penari yang merupakan anak didiknya kemudian mementaskan 3 tarian awal. Jamaah pun disuguhi pementasan yang penuh dengan keindahan. Para penari dengan gerak yang lembut, menari-nari diatas panggung dengan diiringi gamelan Losari yang begitu harmonis dimainkan. Bunyi-bunyian dari Saron, demung, boning, gendang hingga gong saling bsersahutan, mengiringi gerak penari. Tari Panji Sutrawinangun, Tari Rampak Patih Jayabadra dan Tari Tumenggung Mangandireja berturut-turut dimainkan.

SETELAH PEMENTASAN 3 tarian awal, Cak Nun kembali naik ke panggung. Fahmi memoderasi dan meminta 3 jamaah untuk merespons 3 tarian yang baru saja dipentaskan itu. Ada satu respons yang cukup menarik, salah satu jamaah bertanya bagaimana feel yang penari rasakan ketika memakai topeng pada saat menari tadi.

“Apakah Anda bisa menari seperti apa yang diperagakan oleh Mba Nani dan teman-teman?”, Cak Nun melempar pertanyaan lagi, dan serempak jamaah menjawab; tidak. Cak Nun menjelaskan bahwa itulah yang disebut fadhilah. Mba Nani dan anak-anak didiknya memiliki fadhilah dalam bentuk kemampuan menari yang kita tidak bisa melakukannya. Begitu juga sebaliknya, kita yang tidak bisa menari Tari Topeng seperti Mba Nani juga memiliki fadhilah yang lain yang tidak dimiliki oleh Mba Nani dan teman-teman penari. Dan memang begitulah hidup kita, orang jawa mengatakan sawang sinawang.

“Itulah kekayaan hidup, kita tidak boleh menghina siapa-siapa. Yang kita lakukan adalah mengapresiasi atas apa yang orang lain lakukan”, Cak Nun melanjutkan. Bahkan, para penari yang masih muda itu dididik oleh Mba Nani sejak mereka masih sekolah di Sekolah Dasar, sementara rata-rata mereka saat ini duduk di bangku SMU kelas 1. Artinya, sudah 5 tahun lebih mereka menekuni kesenian Tari Topeng Losari.

Kenduri Cinta ini sudah berlangsung selama 19 tahun, istiqomah, tidak peduli berapa banyak yang datang jamaahnya, bahkan tidak jelas dari mana uang pembiayaannya. Bagi Cak Nun, keistiqomahan yang dilakukan oleh Mba Nani dalam melestarikan Tari Topeng Losari dan juga teman-teman penggiat Kenduri Cinta setia menjaga keberlangsungan forum ini adalah karena atas dasar keyakinan kepada Allah, bahwa jika kita yakin kepada Allah atas niat baik yang kita lakukan, maka kita akan dijamin oleh Allah sehingga tidak kelaparan dan tidak merasa takut terhadap segala sesuatu. Fa-l-ya’budu robba hadza-l-bait alladzii ath’amahum min juu’I wa aamanahum min khoufi.

 Setelah jeda diskusi, Mba Nani dan beberapa penari mementaskan lagi 2 tarian yang sebelumnya para nayaga memainkan alunan musik kontemporer dari alat musik gamelan yang mereka mainkan. Setelah musik kontemporer dimainkan, Tari Rampak Kelana dan Tari Kelana Banopati Pajang diperagakan oleh Mba Nani dan anak didiknya. Di tengah pementasan Tari Kelana Banopati Pajang, ada sela yang dinamakan Bodoran. Mungkin, jika di Jawa Timur, Bodoran ini seperti Ludruk. Ketika salah satu nayaga “protes”, dengan memperlambat tabuhan alat musiknya, kemudian Mba Nani mengajak 2 nayaga untuk diajak ngobrol, sekadar hah-hihi untuk menyegarkan suasana. Gelak tawa jamaah pun membuncah, karena obrolan-obrolan para nayaga itu memang mengundang tawa dan penuh dengan humor-humor segar.

Secara spontan, Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk mengapresiasi pementasan Tari Topeng Losari malam itu. Cak Nun mengajak jamaah untuk mengumpulkan uang, terserah berapa saja uang yang akan dikumpulkan, beberapa jamaah mengambil insiiatif mengumpulkan uang kemudian dibawa ke panggung untuk dihitung bersama-sama. Cak Nun pun turut menyerahkan uang pribadinya. Cak Nun mengambil sebuah amplop dari dalam tas, yang diakui oleh bliau adalah honor ketika mengisi diskusi di UII beberapa waktu yang lalu, yang sama sekali belum dibuka, sehingga Cak Nun pun tidak mengetahui berapa jumlah uang yang ada di dalam amplop tersebut. Cak Nun meminta kepada Fahmi untuk menggabungkan uang tersebut dengan uang yang dikumpulkan oleh jamaah. Alhamdulillah, malam itu uang total terkumpul sebanyak Rp. 32.093.600,-

Peristiwa ini jika kita potret dengan kacamata mainstream, maka kita akan menyebutnya sebagai peristiwa kapitalisme, pengumpulan uang akan dianggap sebagai saweran. Namun di Maiyah, kita tidak memandang itu sebagai saweran. Inisiatif Cak Nun mengajak jamaah untuk mengumpulkan uang adalah dalam rangka mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Sanggar Nani Topeng Losari malam itu di Kenduri Cinta, namun juga perjuangan yang telah dilakukan sejak lama, istiqomah, menghadapi berbagai persoalan, namun mereka setia melestarikan kesenian Tari Topeng Losari, itulah yang juga harus diapresiasi.

Selalu. Suasana Kenduri Cinta melahirkan keindahan-keindahan peristiwa yang momentumnya tidak terduga sama sekali. Peristiwa-peristiwa sepontan yag menghadirkan kegembiraan dan keindahan, sehingga setiap jamaah yang datang merasa betah untuk tetap berada di Maiyahan, enggan untuk disudahi, enggan untuk beranjak pulang. Dan Kenduri Cinta edisi Maret 2019 ini tidak terasa bahkan, ketika Cak Nun bertanya sudah jam berapa, ternyata sudah hampir jam 4 pagi. Mau tidak mau, Maiyahan kali ini harus segera disudahi. Makan yang baik adalah makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Itulah prinsip keseimbangan kita di Maiyah.

Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk memejamkan mata sejenak, semua diminta bermunajat kepada Allah atas hajatnya masing-masing, Cak Nun mengiringinya dengan sholawat dan kemudian berdoa bersama.

Sampai jumpa di Kenduri Cinta edisi April 2019, semoga kita bertemu kembali dengan kerinduan yang lebih membahagiakan.