NEITHER NOR

Reportase Kenduri Cinta Maret 2019

Ada yang berbeda di Kenduri Cinta edisi Maret kali ini. Panggung tampak lebih lebar dan lebih tinggi dari biasanya. Sesuatu yang tidak biasa itu belum terjawab hingga menjelang pukul lima sore. Sebuah mobil boks memasuki area Taman Ismail Marzuki, berhenti tepat di depan panggung. Beberapa orang terlihat menurunkan dan menata perlengkapan gamelan. Tulisan Sanggar Nani Topeng Losari tampak di mobil boks itu.

Pada Kenduri Cinta edisi Maret 2019, Mba Nani membawa rombongan Sanggar Tari Topeng asuhannya untuk pentas. Januari lalu, Mba Nani hadir di Mocopat Syafaat. Ia menceritakan perjuangannya melestarikan kesenian Tari Topeng Losari. Awalnya, Sanggar Tari Topeng diagendakan tampil di Kenduri Cinta pada bulan Februari 2019, namun saat mereka sedang di Kamboja, hingga baru bulan ini Mba Nani bisa hadir di Kenduri Cinta.

Gamelan ditata rapi oleh para nayaga. Nayaga adalah para penabuh gamelan, mereka lah yang nantinya mengiringi pementasan Tari Topeng. Menjelang Magrib, persiapan telah selesai. Mba Nani dan para nayaga melakukan check sound dan blocking area panggung. Alhamdulillah, hujan mereda saat mereka melakukan persiapan.

Terdengar logat ngapak khas Cirebon dari percakapan para anggota sanggar ketika mereka melakukan persiapan teknis sore itu. Memang, letak Cirebon yang berbatasan dengan Jawa Tengah melahirkan keunikan tersendiri, termasuk khasanah dialek. Meski secara geografis Cirebon berada di wilayah Jawa Barat, namun secara kultur mereka tidak bisa lepas dari budaya Jawa Tengah pesisir, seperti Brebes, Tegal dan sekitarnya.

Seorang nayaga sepuh berkisah, terakhir mereka pentas di Taman Ismail Marzukimadalah tahun 1982. Merka juga sempat ke Amerika. Tari Topeng Losari memang sudah mendunia, meski masih banyak masyarakat yang belum mengetahui kesenian ini.

Tema Kenduri Cinta kali itu adalah Neither Nor, sebuah diksi bahasa Inggris yang artinya tidak memilih diantara dua. Sejak sore, jamaah telah berdatangan. Warung angkringan Pak Dhe di pojok belakang menjadi tujuan cangkruk mereka. Banyak orang menyebutnya “café 3 ceret”, karena memang ada 3 ceret air yang selalu dipanaskan di atas tungku yang berbahan bakar arang. Nasi kucing dengan bumbu sambal teri atau orek tempe menjadi sajian andalan, selain sate usus dan sate ati ampela. Minuman hangat, baik teh, kopi, dan jahe melengkapi sajian yang dijajakan angkringan.

Langit mulai gelap, azan Magrib berkumandang. Masjid Amir Hamzah dipenuhi jamaah yang menunaikan salat Magrib. Setelahnya, jamaah mulai merapat duduk dekat panggung, layaknya “penduduk tetap” Kenduri Cinta. Seperti bertamasya, mereka membawa bekal, ada yang membawa termos berisi kopi, ada juga yang membawa bekal makanan.

Tepat pukul delapan malam maiyahan dimulai dengan lantunan Wirid Tahlukah. Beberapa penggiat memandu wirid. Sebelum dilantunkan, jamaah dipandu untuk membaca Al Fatihah untuk mendoakan korban penembakan di dua masjid di New Zealand. Kurang lebih 30 menit jamaah khusyuk melantunkan Wirid Tahlukah. Setelahnya, Donny Kurniawan bersama Sigit Hariyanto tampil memoderasi diskusi. Hadir juga Adi Pudjo, Amien Subhan, dan Pramono Abadi.

“Islam memiliki metode takwa, Maiyah memahaminya sebagai konsep kewaspadaan.”
Fahmi Agustian, Kenduri Cinta (Maret, 2019)

KOMPLEKSITAS BAIK-BURUK

Donny mengawali diskusi dengan pertanyaan: adakah orang jahat di dunia ini? Ia berpandangan tidak ada orang yang sepenuhnya jahat di dunia. Seseorang yang mencuri bisa saja melakukannya karena keterdesakan, dalam keadaan yang sangat membutuhkan, tidak tahu lagi bagaimana cara mendapatkan uang. Misalnya untuk makan anak dan istrinya. Artinya, tidak semua perilaku bisa kita hakimi sebagai sesuatu yang baik atau buruk. Ada banyak sudut pandang dan keadaan-keadaan yang mesti dianalisis. “Agar berada di tengah, kita mesti berpikir seribu langkah, memandang ke berbagai sisi,” tambahnya.

“Dengan banyaknya arus informasi, sulit untuk berposisi netral,” Pramono menyambung. Keberpihakan sudah menjadi keniscayaan. Pramono memperkaya pandangannya dalam memaknai peristiwa, dengan menyadur khasanah Jawa, yaitu maningal, manekung dan maneges. Maningal (paningal) adalah bagaimana kita melihat dengan indera penglihatan, manekung adalah metode bagaimana kita memusatkan daya pandang kita, dan maneges adalah memperjelas, mempertegas hasil dari apa yang kita lihat. Amien Subhan lalu ikut menambahkan konsep eling lan waspada. Konsep tentang manusia yang tidak mudah terbawa arus, selalu berpikir dan waspada.

Setelah rangkaian diskusi, Sigit mengajak jamaah untuk menikmati sajian musik akustik gambang kromong Betawi dari grup Pandan Nanas. Setelah penampilan Pandan Nanas, sesi diskusi kembali dibuka.

Pada paparannya, Amien menyebut bahwa baik atau buruknya perilaku tidak bisa sepenuhnya kita pastikan. Ia mengambil contoh kisah Pandhawa dan Kurawa yang informasinya turun temurun. Pedoman baku yang dipahami adalah Pandhawa kubu yang baik sementara Kurawa adalah kubu yang buruk. Padahal, jika diteliti lebih dalam, kita bisa menemukan kebaikan dalam diri para Kurawa, juga kita dapat menemukan kemungkinan buruk dari para Pandhawa.

Pada kesempatan berikutnya, Fahmi Agustian mengingatkan tentang ilmu keseimbangan, khususnya terkait dengan pemilihan presiden yang akan dilaksanakan tahun ini. Menyambung paparan Amien, tentu terdapat sisi baik dan sisi buruk pada kedua calon presiden. Ia menyayangkan informasi yang banyak beredar justru hanya pada sisi buruk dari keduanya. Hal itu terjadi karena sikap fanatisme yang berlebihan. Fahmi lalu mengulas ilmu ‘fakta’ dan ‘makna’ yang dipaparkan Sabrang di forum Kenduri Cinta bulan lalu, tentang fakta-fakta statis tak pernah berubah, namun pemaknaannya lah yang dinamis. “Islam memiliki metode takwa, Maiyah memahaminya sebagai konsep kewaspadaan,” tutup Fahmi.

Pemaknaan yang seimbang juga diamini oleh Ali Hasbullah. “Posisi kita terhadap kebenaran selalu relatif,” sambungnya. Ali sampaikan bahwa tidak ada manusia yang selalu benar, juga sebaliknya tidak ada manusia yang selalu salah. Setiap manusia memiliki sisi baik dan buruk. “Pertikaian selalu berpangkal dari merasa diri paling benar dan menganggap pihak lain salah. Maiyah melatih kita agar mampu melihat sisi baik dari setiap manusia. Bahkan terhadap kebenaran yang kita temukan saja kita harus selalu bersikap relatif, bukan mutlak. Sebab kebenaran bisa muncul dari siapa saja,” pungkasnya.

Menjelang malam, Sigit mempersilakan Sanggar Nani Topeng Losari bergabung ke forum. Mba Nani lantas menceritakan sejarah Tari Topeng Losari. Kesenian Tari Topeng Losari merupakan kesenian yang telah menjadi tradisi turun temurun sejak abad ke-16. Selain wayang kulit, kesenian Tari Topeng Losari juga menjadi media dakwah Islam yang dilakukan Sunan Gunung Djati dan Sunan Kalijaga. Mba Nani sendiri adalah keturunan ke-7 dari Pangeran Losari, cucu dari Sunan Gunung Djati. Tari Topeng Losari juga sering dilibatkan dalam tradisi-tradisi seperti ruwatan pernikahan, sedekah bumi, dan tradisi masyarakat Losari yang berkaitan dengan alam semesta.

“Jika menari menggunakan hati yang tulus dan ikhlas, maka energi positif akan lahir dengan sendirinya.”
Mbak Nani, Kenduri Cinta (Maret, 2019)

“DAHULU, kesenian Tari Topeng Losari dipentaskan di desa-desa, kemudian masyarakat memberikan hasil bumi sebagai upah kepada para nayaga dan penari,” Mba Nani menjelaskan. Beberapa nayaga sudah berusia senja, mereka saksi sejarah Tari Topeng Losari sejak generasi keempat. Sementara yang lain, anak-anak muda yang baru bergabung sekitar satu tahun terakhir.

Mba Nani malam itu mengungkapkan kebahagiaannya karena sanggar tari asuhannya diberi kesempatan tampil di Kenduri Cinta. Mba Nani menceritakan perjuangannya dalam melestarikan kesenian Tari Topeng Losari yang tidak mudah. Tak jarang ia harus keluar biaya untuk membiayai latihan para nayaga dan kebutuhan lainnya. Semua ia lakukan tanpa bantuan pemerintah. Mba Nani merasa Kenduri Cinta adalah rumahnya. Mereka merasakan suasana yang akrab, hangat, dan penuh kekeluaragaan, seperti saudara sendiri.

Dijelaskan Mba Nani, topeng yang digunakan tidak berlubang pada bagian mata. Topeng-topeng itu masih asli sejak generasi pertama. Filosofi yang dimaknai adalah tertutup rapatnya topeng mengajarkan para penari agar memiliki kesadaran bahwa menari harus dengan hati. Jika penari melihat banyak orang yang menonton maka akan muncul rasa sombong. “Jika kita menari menggunakan hati yang tulus dan ikhlas, maka energi positif akan lahir dengan sendirinya,” ungkap Mba Nani.

Di tengah perkenalan dari Mba Nani, Cak Nun hadir. Mba Nani lantas memperkenalkan satu-persatu anggota sanggar. Cak Nun pun ikut memberikan sambutannya, “Saya ingin anda mengungkapkan rasa cinta dan salut kepada para sesepuh, penari dan juga Mba Nani, sahabat-sahabat kita, anak-anak kita dari Losari, tepuk tangan untuk semuanya.”

“Saya sudah tidak tahan untuk menyaksikan penampilan Tari Topeng Losari ini, tetapi mari kita gunakan pijakan ilmu bahwa manis itu tidak terletak pada gulanya tetapi terletak pada kemampuan lidah untuk merasakan rasa manis. Selalu setiap mengalami apapun, anda harus melihat semua sisinya,” ajak Cak Nun menelisik lebih dalam nilai-nilai dari Tari Topeng Losari.

Memperkuat resolusi pandang jamaah, Cak Nun bertanya kepada jamaah: apa yang dilihat dari penari? Jawaban yang muncul adalah gerak, keindahan, harmoni. Jawaban-jawaban itu menunjukkan bahwa jamaah Maiyah mampu melihat peristiwa dengan resolusi pandang yang tinggi.

Resolusi pandang inilah mestinya dimiliki masyarakat Indonesia, melihat Pilpres bukan hanya soal 01 atau 02, bukan sekadar Jokowi atau Prabowo saja. Ada banyak hal yang seharusnya lebih ditajamkan dari sekadar dua pilihan. Cak Nun mengajak jamaah untuk terlibat diskusi. “Siapa yang menciptakan tangan dan kakimu? Siapa yang menciptakan rambutmu?” tanya Cak Nun. Serentak dijawab jamaah, “Allah Swt” Cak Nun melanjutkan pertanyaan, “Siapa yang membuat baju, celana, kain, dan atribut yang dipakai para penari?” Semua menjawab, “Manusia.”

Lebih dalam lagi, Cak Nun jelaskan, baju penari itu pada mulanya berasal dari kapas yang juga ciptaan Allah Swt. Hidup ini tidak sepenuhnya diciptakan Allah, ada juga bagian dari alam semesta dan kehidupan ini yang diciptakan kolaborasi antara Allah dengan manusia. Begitu juga dengan Tari Topeng Losari dimana ide lahirnya sebuah kreativitas datangnya dari Allah Swt, manusia kemudian menerjemahkan ide itu menjadi sebuah kesenian, menjadi sebuah kreativitas.

“Kita tidak bisa menghina siapa-siapa, yang bisa kita lakukan adalah menghormati, menghargai, dan bersimpati kepada fadhilah yang berbeda-beda.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2019)

KATA KREATIF dalam bahasa Inggris creative, berasal dari kata create, pelakunya adalah creator. Dalam bahasa Arab, kata paling tinggi yang sepadan dengan create adalah kholaqo, pelakunya adalah khooliq. “Tidak ada kreativitas manusia yang tidak berkaitan dengan kreativitas yang sejati yaitu kreativitas Allah Swt,” Cak Nun melanjutkan.

Mencuplik sebuah hadits qudsi: Wahai hamba-Ku, masing-masing dari kamu itu lapar kecuali Aku beri makan: mintalah makan kepada-Ku, maka Aku memberi makan kepadamu. Wahai hamba-Ku, masing-masing dari kamu itu telanjang, kecuali Aku beri pakaian: mintalah pakaian kepada-Ku maka Aku memberi pakaian, Cak Nun mengajak jamaah menyadari bahwa manusia tidak memiliki apa-apa, semua yang dimiliki manusia adalah rahmat dari Allah, Tuhan semesta alam. Begitu juga dengan kreativitas, manusia tidak mampu berkreasi tanpa bantuan Allah Swt. Kesadaran itu harus diteguhkan dalam diri kita. Kesadaran utama dari seorang seniman adalah kesadaran asal-usul untuk menyadari bahwa segala sesuatu yang ia kreatifi berasal dari Allah Swt.

Dari surat Al A’raf ayat 54, Cak Nun mentadabburi dua hal, yaitu tentang penciptaan langit dan bumi dalam enam masa, dan kedua tentang penciptaan menjadi hak Allah merupakan keniscayaan. Manusia hanya berposisi sebagai bagian dari hak mutlaknya Allah. “Kita menari, bersastra, melakukan apapun saja itu sebenarnya karena kita bertanggung jawab kepada Allah atas segala apa yang sudah dianugerahkan kepada kita,” Cak Nun melanjutkan, “Kita tidak memiliki hak untuk menciptakan kreativitas, tetapi karena kita bertanggung jawab kepada yang menciptakan kita, maka kita melakukan segala sesuatu dengan penuh tanggung jawab seolah-olah itu milik kita, padahal sesungguhnya itu milik Tuhan.”

“Malam ini saya ingin menyaksikan bentuk tanggung jawab dari teman-teman Losari kepada Allah Swt,” ucap Cak Nun menegaskan bahwa jika manusia dengan penuh keyakinan melakukan sesuatu atas dasar tanggung jawab kepada Allah, maka Allah akan menjamin manusia tidak akan kelaparan dan tidak akan merasa takut; falya’budu robba hadza-l-bait alladzii ath’amahum min juu’I wa aamanahum min khoufi. Cak Nun lantas mempersilakan Mba Nani dan anak-anak sanggar untuk mementaskan Tari Topeng Losari.

Gamelan ditabuh, hentakannya menjadi penanda gerak kaki para penari. Teriakan yang bersahut-sahutan menjadi nada yang mengharmoni mengiringi gamelan yang ditabuh. Tarian-tarian kolosal dimainkan. Setiap gerakan tari ditata begitu apik, diperagakan penari yang menjiwai setiap gerakannya. Keindahan gerak tubuh, berpadu dengan alunan gamelan yang dimainkan para nayaga. Pada sesi awal, tiga tarian dipentaskan, Tari Panji Sutrawinangun, Tari Rampak Patih Jayabadra dan Tari Tumenggung Mangandireja.

Setelah tiga nomer tarian, tiga jamaah diberi kesempatan merespon. Dimas, jamaah asal Bumiayu, ungkapkan bahwa yang tampak malam itu adalah Bhinneka Tunggal Ika yang sebenar-benarnya. Syahrul, jamaah asal Pasuruan, bertanya tentang feel penari ketika memakai topeng saat menari? Bayu, asal Sukoharjo, mentadabburi bahwa melalui pementasan tari topeng tadi, kita dilatih untuk melihat lebih detail dari sesuatu yang tampak secara materiil.

“Ada diantara anda yang bisa menari seperti Mba Nani dan teman-teman tadi?” Cak Nun melontarkan pertanyaan kepada jamaah, dan serentak dijawab, “Tidak.” Itulah yang namanya fadhilah. Bahwa setiap manusia memiliki fadhilah-nya masing-masing. Mba Nani memiliki fadhilah berupa kemampuan menari, sementara kita yang tidak bisa menari pasti juga memiliki fadhilah lain. “Itulah kekayaan hidup, dan kita tidak bisa menghina siapa-siapa. Yang bisa kita lakukan adalah menghormati, menghargai, dan bersimpati kepada fadhilah yang berbeda-beda yang diberikan oleh Allah kepada seluruh manusia,” tutur Cak Nun

“Tidak boleh ada satu langkah, satu tarikan nafas, satu detak jantung yang tidak ada kaitannya dengan ibadah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2019)

KEBAIKAN YANG BENAR

Mbak Nani menceritakan, proses menguasai tari-tarian yang dipentaskan tadi memakan waktu lebih dari 4 tahun. Dari proses itu, kita belajar proses istiqomah dan kerja keras yang dilakukan oleh Mba Nani dan anak-anak sanggar. “Anda tidak usah mengambil menarinya, tetapi anda ambil kerja keras dan istiqomah-nya untuk pekerjaan anda masing-masing. Pencapaiannya berbeda, tetapi bekalnya sama, yaitu kesungguhan dan kerja keras,” Cak Nun mengajak untuk mengambil nilai yang paling esensial dari proses anak-anak sanggar dalam belajar dan menguasai tarian.

“Ini kan pentasnya di Kenduri Cinta. Mengeluarkan biaya sendiri, sewa bus sendiri, latihan berbulan-bulan juga dengan biaya sendiri, maka tidak ada pola pikir kapitalisme, tidak ada pola pikir jual beli, tidak berpikir keduniaan. Mereka datang ke Kenduri Cinta dengan keikhlasan kepada Allah Swt,” Cak Nun mengapresiasi. Maka, tidak perlu kita menuntut pemberitaan media massa, serahkan sepenuhnya kepada Allah, Allah yang akan bertugas untuk menyebarluaskannya.

“Allah mengatakan: Alaika-d-da’wah wa ‘alaina-l-balagh. Wis to, pokok’e kerjake wae, anda kerjakan saja apa yang sudah anda yakini, nanti tugasnya Tuhan, karena Allah menugasi diri-Nya sendiri, untuk menyampaikannya kepada masyarakat, untuk menyampaikannya kepada orang lain yang menurut Allah memang mereka perlu untuk mengetahuinya. Sama dengan Maiyah, tanpa promosi, tanpa sponsor, tidak dibiayai oleh siapa-siapa, Allah membuat kita mampu melaksanakan Kenduri Cinta rutin setiap bulan sampai 19 tahun sekarang, dan itu tidak bisa dilakukan oleh parpol manapun, tidak bisa dilakukan oleh negara manapun. Tapi kita harus kembali ke awal, bahwa itu semua tergantung pada kreasinya Allah Swt,” lanjut Cak Nun.

“Jadi, Mba Nani, audien kita adalah Allah Swt. Orang ndak nyatet, ndak apa-apa. Tapi Allah telah mencatat, dan Allah Maha Tahu apa yang bisa dicatat dan apa yang tidak bisa dicatat,” kata Cak Nun. Selain kerja keras dan istiqomah, nilai lain yang dicatat oleh Cak Nun dari teman-teman sanggar tari topeng adalah keikhlasan, tidak berhitung kapitalisme, keyakinan bahwa mereka bisa hidup karena mereka sedang bertanggung jawab kepada Allah. “Dikasi akal, tanggung jawabnya adalah rajin berpikir. Dikasi hati, tanggung jawabnya adalah terus berkasih sayang kepada sesama manusia,” sambung Cak Nun.

Nilai lain yang dapat dipetik dari pementasan tari topeng malam itu adalah kesabaran. Bukan hanya sikap sabar yang harus diteladani, tetapi juga kesetiaan terhadap kata sabar juga penting. Dalam Alquran Allah berfirman: Wa tawashou bi- l-haqqi wa tawashou bi- sh-shobri. Kata sambung yang digunakan adalah “bi” bukan “an”. Ayatnya bukan Wa tawashou ‘ani- l-haqqi. Kalau “bi” itu artinya dengan, sementara “an” itu artinya tentang. Maka, menyampaikan kebenaran harus benar caranya, harus benar momentumnya, harus benar sopan santunnya.

Mentadabburi ayat lain, Wa maa kholaqtu-l-jinna wa-l-insa illa liya’buduun. Allah mengatakan: Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah. Dengan demikian, tidak ada kemungkinan lain pada setiap detik kehidupan manusia, kecuali untuk beribadah kepada Allah. Tidak boleh ada satu langkah, satu tarikan nafas, satu detak jantung yang tidak ada kaitannya dengan ibadah.

Cak Nun mengingatkan bahwa kita harus mampu menikmati dunia, tetapi tidak terpesona kepada dunia, sehingga kalah dan menghamba kepada dunia. Ada ziinatu-d-dunya dan ada juga ziinatu-l-jannah, ada kenikmatan dunia dan ada kenikmatan surga. Kenikmatan surga itu ada yang bisa kita nikmati dengan cara mempelajari estetika kenikmatan dunia.

“Tauhid artinya menyatukan diri kembali pada Tuhan. Aku dalam diri tidak otentik, bukan sejati, Aku yang sejati adalah Allah Swt.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2019)

SALAH SATU cara menikmati dunia, kata Cak Nun, seperti konsep saat memiliki uang Rp10.000,-, konsep dalam pikiran harus juga Rp10.000,-, jika pikiran konsepnya tidak sesuai realita, maka seberapa banyak uang yang dipunya tidak akan merasa puas. Akhirnya, dunia tidak bisa kita nikmati. Seperti halnya makan tempe tetapi imajinasinya makan daging. Sudah daging tak didapat, tempenya juga tidak terasa enak.

Kembali ke kegiatan berkesenian oleh Mbak Nani. Ia menyampaikan tantangan yang dihadapinya, salah satunya adalah pandangan negatif dimana para penari dianggap mengumbar aurat. Menyikapi itu, Cak Nun memberi gambaran tentang gradasi warna yang jumlahnya tak terhitung. Pada teknologi layar komputer saja, gradasi warna berjumlah jutaan. Apalagi gradasi kebaikan manusia. Katakan lah Mba Nani tidak memakai jilbab adalah sebuah keburukan, apa kemudian upaya melestarikan Tari Topeng yang dilakukannya tidak dihitung sebagai kebaikan oleh Allah? Ketika kita salat, apakah kita bisa memastikan bahwa salat kita diterima Allah Swt? Ada banyak hal yang sebenarnya kita stidak mampu memastikan. Posisi kita adalah disemogakan, maka kita juga harus memposisikan orang lain sebagai pihak yang disemogakan. Kita berdoa semoga atas perjuangan, atas sesuatu hal yang dilakukan oleh orang lain, dapat mengantarkan dirinya hingga ke Allah Swt.

“Menurut saya, hindarkan mengklaim ini salah atau benar,” kata Cak Nun. Hal itu karena setiap hal yang kita lakukan bergantung pada niat yang ada di dalam hati kita, yang tidak mungkin dilihat apalagi dinilai orang lain, begitu juga kita kepada orang lain, tidak mungkin kita mampu melihat niat yang tersimpan dalam hatinya.

Mba Nani menceritakan proses bagaimana Tari Topeng diwariskan turun-temurun berdasarkan hubungan darah. Tidak sembarangan orang berhak mewarisi kesenian Tari Topeng. Syarat menari lebih sedikit porsinya dibandingkan mendengarkan wejangan dari nenek Mba Nani. Artinya, ada proses yang lebih substansial dari hanya sekadar mewariskan kesenian tari yaitu proses mewariskan nilai-nilai luhur budaya.

Filosofi Tari Topeng Losari adalah menari untuk Tuhan, tubuh dan bumi. Artinya, ada persambungan ruhani yang dilakukan oleh penari, bahwa kesadaran menari bukan hanya sekadar menari, tetapi juga ada proses spiritual. Mba Nani menyadari bahwa sebagai seorang perempuan muslim, ada aturan dalam Islam untuk menutup aurat. Mungkin hari ini ia belum mampu melakukan itu, tetapi setidaknya dengan hubungan baik dengan manusia lainnya, terus berbuat baik kepada sesama, tidak menyakiti orang lain. Semoga semua itu mampu menutupi kekurangan-kekurangan yang dimiliki. “Saya hanya ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa Tari Topeng Losari masih tetap hidup sampai saat ini, masih terus meregenerasi, saya tidak mau Tari Topeng Losari hanya menjadi sejarah,” ungkap Mba Nani.

Mba Nani bercerita kenapa topeng-topeng yang digunakan masih awet dan kuat hingga sekarang. Ada penelitian bahwa kemenyan memiliki zat yang mampu menjaga kekuatan kayu-kayu topeng tersebut. Seminggu sekali, setiap malam jumat, memang ada tradisi untuk membersihkan topeng-topeng tersebut, salah satu ritualnya adalah dengan dibakar kemenyan, asapnya lalu dimanfaatkan untuk mengasapi topeng-topeng itu. Ternyata asap kemenyan itulah yang menjadikan kayu-kayu itu kuat hingga hari ini.

Pesan neneknya adalah jangan mempercayai topeng itu hidup, ia tetap benda mati. Tetapi, karena ia dijaga dengan kasih sayang, maka akan ada energi positif yang masuk ke dalam para penari, semakin memperkuat percaya diri, sehingga jika menarikannya dengan keikhlasan maka pementasan akan dipenuhi keindahan.

“Pikiran harus didasari dengan cinta, sehingga yang terpecah-pecah dapat anda persatukan kembali.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2019)

MANUSIA HANYA DISEMOGAKAN

Cak Nun mengingatkan, apa yang disampaikan di maiyahan bukan fatwa, bukan instruksi, apalagi doktrin, tetapi sebuah bahan pertimbangan. Setiap individu mengambil keputusan masing-masing karena kelak akan dipertanggungjawabkan sendiri di hadapan Allah. Rasulullah Saw pernah menyampaikan kepada sahabat bahwa yang menjadikan seseorang masuk surga bukan ibadahnya, namun karena rahmat Allah Swt. Hal itu bukan kemudian kita tidak perlu beribadah kepada Allah Swt, karena proporsi ibadah adalah kewajiban.

“Kalau Anda bersyahadat, urusannya kepada Allah, bukan kepada temanmu, apalagi dengan saya. Bersyahadatnya kepada Allah, jadi yang punya hak atas syahadat kita adalah Allah. Manusia dengan manusia, urusannya bukan ibadah, urusannya adalah akhlakul karimah,” Cak nun menjelaskan.

Cak Nun menggambarkan tugas manusia ibarat petani yang mencangkul tanah kemudian ditanami benih. Allah yang menumbuhkan benih itu menjadi padi, jagung dan sebagainya. Ada manusia yang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, ini yang kemudian dikenal dengan istilah murtad, yang dalam ilmu teologi disebut orang yang mengingkari perintah Tuhan.

Cak Nun menyarankan pemerintah dan setiap individu elemen bangsa berhitung, apa yang sudah dilakukan untuk Indonesia tetapi sebenarnya tidak boleh dilakukan, dan juga menghitung apa yang tidak dilakukan untuk Indonesia padahal seharusnya harus dilakukan.

Kembali ke persoalan syahadat, Cak Nun menjelaskan, esensi dari syahadat itu bukan hanya kesaksian, tetapi pengakuan. Saat kita bersyahadat maka kita mengakui bahwa Tuhan adalah Allah Swt. Ketika kita mengakui keberadaan Allah Swt, maka secara otomatis kita juga akan mengakui segala ciptaan Allah Swt. Dan salah satu ciptaan Allah adalah manusia dengan segala dinamikanya, dengan segala ide-ide kreatifnya yang kemudian diimplementasikan ke dalam banyak hal, salah satunya kesenian menari. Cak Nun mengingatkan kepada jamaah bahwa ada banyak ayat yang tidak difirmankan Allah Swt dalam Alquran.

Kita harus mampu melatih diri untuk membaca ayat-ayat tersebut. Kita harus mampu mendengar sepi, mampu merasakan gelombang, mampu membaca warna dan mendengarnya, mampu melihat sesuatu yang tidak kasat mata, mampu meraba sesuatu yang tidak dapat diraba.

Cak Nun mentadabburi ayat terakhir surat AS-Syarh: Wa ilaa robbika farghob. Apa saja yang kita lakukan, sepenuhnya pengharapan diserahkan kepada Allah. Jangan mudah menghakimi. Seperti perempuan yang tidak menutup auratnya. apa lantas ia salah. Bagaimana jika ibu, nenek kita, dan generasi terdahulu kita yang tidak sempat menutup auratnya? Apakah kita berani menghukum mereka masuk neraka?

Maksud Cak Nun adalah bahwa ada banyak dimensi, gradasi, tingkatan hidup yang kita sebagai manusia tidak akan mampu memahami. Posisi manusia hanya disemogakan, sehingga yang sepantasnya dilakukan manusia adalah mengusahakan, bukan memaksakan. Kebenaran apapun yang diyakini tidak bisa dipaksakan untuk diyakini oleh orang lain.

Merespon pertanyaan tentang topeng, Cak Nun menjawab, manusia hari ini menampakkan dirinya justru saat memakai topeng. Ketia ia menggunakan identitas asli, manusia justru tidak menjadi dirinya. Cak Nun mencontohkan fenomena media sosial dimana begitu banyak orang yang memalsukan identitasnya (fake account) justru memperlihatkan dirinya yang asli. Dari Tari Topeng Cak Nun mengambil nilai-nilai, mendoakan semoga penari yang mengenakan topeng memiliki kesadaran sebagai hamba yang sedang bertanggungjawab atas apa yang sudah dianugerahkan oleh Allah kepadanya.

Sanggar Tari Topeng Losari kemudian membawakan pementasan musik kontemporer yang dilanjutkan dengan Tari Rampak Kelana dan Tari Kelana Banopati Pajang.

“Agama itu datang dengan kegembiraan, basyiron wa nadziron. Jangan memberitakan Islam jika tidak dengan kegembiraan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2019)

DI TENGAH tari Kelana Banopati Pajang, dimana Mba Nani sendiri yang menari, terdapat selipan kesenian bernama bodoran. Layaknya ludruk, bodoran adalah humor selipan di tengah prosesi tari. Seorang nayaga sepuh, Mang Rahadi dan Mang Bandi, beradegan melakukan protes dengan melambatkan pukulan gendangnya. Mba Nani lantas mengajak Mang Bandi untuk berinteraksi, ngobrol dengan bahasa khas Cirebon, yang tentu saja penuh keluguan, penuh kejujuran, mengundang tawa jamaah.

Menariknya, Cak Nun dilibatkan dalam bodoran itu. Mang Rahadi tidak mengenal siapa itu Cak Nun, yang ia kenal adalah Emha Ainun Nadjib. Ia keukeuh bahwa yang ia kenal adalah Emha Ainun Nadjib, bukan Cak Nun. Tentu saja, guyonan itu mengundang tawa jamaah. Cak Nun secara spontan mengajak jamaah untuk mengumpulkan uang, mengapresiasi apa yang sudah dipentaskan oleh sanggar Tari Topeng Losari. Beberapa jamaah berinisiatif menggunakan peci mereka, mengumpulkan uang dari samping kiri-kanan mereka, kemudian uang yang terkumpul dibawa ke panggung untuk dihitung.

Cak Nun juga turut menyumbangkan uang, diambilnya sebuah amplop dari tas beliau, yang diakui oleh Cak Nun adalah honor ketika mengisi diskusi di UII beberapa hari sebelumnya, belum dibuka sama sekali. Cak Nun juga tidak mengetahui berapa jumlah uang yang ada di dalam amplop tersebut. Alhamdulillah, setelah semuanya dihitung, terkumpul sejumlah uang Rp32.093.600,-. Secara simbolis, Sigit mewakili Komunitas Kenduri Cinta menyampaikan uang tersebut kepada Adin sebagai perwakilan dari Sanggar Tari Topeng Losari. “Ini bukan transaksi, ini bukan honor, ini bukan jual-beli. Ini adalah ungkapan kemesraan kita bersama malam ini,” Cak Nun menyampaikan.

Pada sesi akhir, Cak Nun membuka forum tanya-jawab. Tiga orang bertanya tentang fikiran, tentang istiqomah, dan tentang cara memahami agama yang benar. Cak Nun secara tertata menjawabnya satu-persatu.

Maiyah mengajak orang berpikir karena berpikir merupakan perintah Allah. Ada banyak ayat Alquran yang menyatakan bahwa manusia harus berpikir. Tetapi, berpikir saja tidak cukup, harus diimbangi dengan cinta. Jika hanya berpikir tanpa cinta, maka yang terjadi adalah perpecahan demi perpecahan, karena fungsi dari berpikir adalah memilah. Cinta menyeimbangkan pikiran manusia, sehingga ia mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang seharusnya tidak dilakukan.

“Pikiran harus didasari dengan cinta, sehingga yang terpecah-pecah dapat anda persatukan kembali. Pilpres menciptakan perpecahan 01 dan 02, melahirkan perbedaan. Di Maiyah kita bersatu kembali menjadi Republik Indonesia,” Cak Nun menegaskan.

Bahasan berlanjut ke tauhid. Tauhid artinya adalah menyatukan diri kembali pada Tuhan. Aku dalam diri adalah aku yang tidak otentik, bukan yang sejati, karena Aku yang sejati adalah Allah Swt. Menusia harus mampu mengeliminir aku-aku dalam dirinya agar ia mampu menemukan Aku yang sejati; Allah Swt.

Ditambahkan oleh Cak Nun, pikiran adalah alat untuk mencapai sesuatu untuk kita pahami, jika kita tidak mampu mencapai pemahaman terhadap sesuatu itu maka alat yang kita gunakan adalah iman. Maka ada banyak hal dalam agama yang secara langsung diturunkan oleh Allah Swt, kemudian melalui Rasulullah Saw disampaikan kepada kita, sehingga kita memahami bagaimana cara bermesraan dengan Allah. Salah satunya adalah salat lima waktu, Allah memudahkan kita untuk menemukan cara berhubungan batin.

Cak Nun menambahkan, ilmu adalah sebuah konsep disiplin jarak, mencari tahu tentang banyak hal yang ada di luar diri kita maupun di dalam diri kita. Dengan ilmu, kita kemudian mencari informasi tentang itu semua. Maka dalam tradisi Jawa dikenal konsep sedulur papat limo pancer dimana dalam diri kita ada empat pihak lain; ada diri kita yang kita rasakan, ada diri kita yang ada di belakang kita, ada diri kita yang ada di depan kita, dan ada diri kita yang ada di atas kita; diri kita yang sejati yang menyatu dengan Allah Swt.

“Siapapun yang terpilih, 01 atau 02, yang menang harus rakyat Indonesia.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2019)

LEBIH JAUH, Cak Nun menjelaskan bahwa hakikat Allah tidak akan pernah bisa didefinisikan, tidak bisa kita konsepkan. Laisa kamitslihi syai’un, wa lam yakun lahu kufuan ahad. Dalam hidup ini ada banyak sekali yang tidak bisa dikonsepkan. Akal sangat berguna, tetapi hanya menjadi alat pertimbangan untuk bersinergi dengan hati kita, sementara pemimpin dalam diri kita adalah iman.

Dalam Islam, konsep keseimbangan itu bisa diimplementasikan dalam shodaqoh. Kata shodaqoh berasal dari akar kata yang sama dengan kata shiddiq. Shodaqoh adalah konsep keseimbangan, jika manusia tidak ber-shodaqoh maka tidak akan tercipta keseimbangan dalam kehidupan sosial masyarakat. Kenapa di Maiyahan bisa bertahan hingga jam 4 pagi? Salah satunya adalah karena kita utuh sebagai manusia, kita mampu berpikir seimbang sebagai manusia, sehingga kita saling mengamankan harta, martabat, dan nyawa satu sama lain.

“Kesalahan kita sekarang ini adalah menerima Islam tidak dalam keutuhan. Ada yang hanya menerima Islam dalam wilayah fiqih saja, ada yang menerima Islam dalam syariat saja, ada yang menerima Islam dalam urusan aqidah saja. Tidak menemukan Islam dalam bingkai kemesraan, keakraban,” Cak Nun melanjutkan. Padahal kemesraan adalah hal utama dalam dua pihak yang sedang berhubungan. Dijelaskan oleh Cak Nun bahwa seluruh makhluk ciptaan Allah mendapat wahyu dari Allah. Ada banyak ayat-ayat di dalam Aquran yang Allah secara langsung menyapa manusia: Yaa ayyuha-n-naasu, Yaa ayyuha-l-ladziina aamanuu, dan sebagainya. Ayat-ayat itu dengan jelas membuktikan bahwa Allah menyapa langsung dengan manusia, tanpa perantara, tanpa resisten, tanpa pilih-pilih.

Menambahkan urusan Pilpres 2019. Menurut Cak Nun, siapapun yang terpilih, 01 atau 02, yang menang harus rakyat Indonesia. Tidak perlu bertanya kepada orang lain siapa yang akan dia pilih, karena itu adalah aurat yang menjadi rahasia masing-masing ketika berada dalam bilik suara. Masing-masing dari kita memiliki hak untuk menentukan, menghitung, menimbang siapa yang memang benar-benar bertujuan untuk berjuang demi rakyat Indonesia.

Merespon pertanyaan tentang bagaimana membaca petunjuk Allah, Cak Nun menyampaikan bahwa setiap kita harus mampu menemukan kecenderungan dalam diri kita. Ada orang yang suka terhadap sesuatu hal, tetapi sebenarnya ia tidak berbakat dalam hal itu. Misalnya berdagang, ada orang yang suka berdagang tetapi ia tidak memiliki bakat berdagang. Begitu juga sebaliknya, ada orang yang sebenarnya berbakat untuk berdagang, tetapi dia tidak suka berdagang. Maka kita harus terus menerus waspada kepada Allah, maksudnya adalah titen kepada Allah. Yang datang kepada kita adalah kehadiran Allah, bukan Allah itu sendiri. Seperti aroma parfum, yang datang ke kita adalah wangi parfumnya, bukan cairan parfum itu sendiri.

Sholawatan adalah ritual yang kita gunakan untuk menghadirkan Rasulullah Saw dalam hidup kita. Dan dengan sholawatan itu, kita gondelan kepada Rasulullah Saw untuk menghadap Allah Swt. “Agama itu datang dengan kegembiraan, basyiron wa nadziron. Maka siapapun saja jangan memberitakan Islam jika tidak dengan kegembiraan,” tutur Cak Nun.

Menjelang puncak, hujan turun. Jamaah pun merapat ke panggung. Sebagian mereka berteduh di teras-teras gedung Taman Ismail Marzuki. Suasana itu sama sekali tidak mengurangi kegembiraan Kenduri Cinta. Selalu saja ada hal yang membuat jamaah untuk betah dan enggan bersegera pulang, meskipun sudah hampir subuh.

Di puncak Kenduri Cinta, Cak Nun mengajak seluruh jamaah untuk ber-sholawat Alfa Salam, kemudian masing-masing bermunajat, menyampaikan masing-masing hajatnya dalam hati, dipungkasi doa bersama yang dipimpin oleh Cak Nun.