Alas Tikar Musik Puisi

Ebiet berjalan gontai, diiringi Emha. Di depannya, Eko berlarian di sepanjang jalan, lalu berbalik arah, tetap berlari, ke arah dua sahabatnya. Eko tetap ceria dengan joke-joke yang menggelitik. Ebiet dan Emha tersenyum kecut. Tangan kanan Eko memegang gitar bolong yang dipanggulnya, sesekali dengan isengnya, gitar dibunyikan tak beraturan. Greng, greng.

Emha menghisap dalam-dalam kretek 76, yang tinggal separo batang, bergantian dengan Eko, saling menghisap satu batang rokok. Di tangan Ebiet terselip kretek Dji Samsu menyala. Masih agak panjang.

Perjalanan pulang masih jauh. Dari Bulaksumur ke Kadipaten Wetan. Melalui jalan pintas supaya tak melelahkan. Jalan C Simanjuntak-Terban, menyeberang jalan Jend. Soedirman ke Kota Baru. Di pojokan Masjid Syuhada, istirah sebentar. Bau sampah menyengat. Teriakan dan cekikikan para pelacur sangat menggoda. Di pinggiran kali Code, depan RRI menuju Kretek Kewek lalu ke Malioboro. Sepanjang trotoar di pinggiran Malioboro, penjual-penjual makanan lesehan masih terlihat ramai.

Illustrasi di atas, salah satu kegiatan Emha Ainun Nadjib, Ebiet G Ade dan Eko Tunas, tak jarang bareng juga dengan Eha Kartanegara; memenuhi undangan beberapa kampus di Jogja untuk Musikalisasi Puisi. Puisi karya Emha dinyanyikan Ebiet dengan gitar akustiknya.

Keempat sahabat ini sering dijuluki Empat E; Emha-Ebiet-Eko-Eha. Ebiet, panggilan sebelumnya Abid dari Abdul Ghofar Djafar, lalu bermetamorfose jadi Ebiet G Ade, menyesuaikan awalan E.

Kelak Emha dikenal sebagai penyair dan kolumnis media massa yang sangat produktif; Ebiet merambah dunia rekaman yang sukses; Eko sebagai penulis cerpen, penyair, aktor dan pelukis. Sementara Eha, kala itu, mahasiswa Filsafat UGM, memilih karir sebagai wartawan Majalah Tempo dan Pemred Tabloid Adil (Republika).

Dinasti08

MUSIK PUISI

Dalam rentang waktu yang bersamaan, Emha bergumul dengan kawan-kawan Teater Dinasti. Karya-karya naskah drama yang sangat tajam mengkritik kebijakan represif “Kerajaan” Orde Baru dengan “Raja”-nya Soeharto, diangkat dalam Geger Wong Ngoyak Macan ditulis bareng Gadjah Abiyoso.

Bersama Karawitan Dinasti, sebagai illustrasi musik pentas-pentas teater Dinasti, Emha membacakan puisi-puisi karyanya bertajuk Musik Puisi. Karawitan Dinasti hampir sebagian orang-orangnya berasal dari kampung Dipowinatan; sebelumnya tergabung dalam Karawitan Dipo. Mereka antara lain: Novi Budianto, Joko Kamto, Sius, Godor, Jemek dll. Dalam teater Dinasti, selain mereka yang disebut di atas, tercatat juga: Fajar Suharno, salah satu pendiri teater Dinasti, Emha Ainun Nadjib, Gajah Abiyoso, Eko Winardi, Agus Istiyanto, Indra Tranggono, Bambang Isti Nugroho, Angger Jati Wijaya (yang seminggu lalu meninggal dunia). Dalam informasi lain, yang saya sendiri kurang mendalami, kapan masuknya, belakangan atau sejak awal; misanya, Neneng Suryaningsih (ibunya Sabrang), Butet Kartaredjasa, Djadug Ferianto dst.

Dinasti adalah singkatan dari Dana Informasi Nasional Teruna Indonesia, sebuah LSM, yang menerbitkan bulletin Refleksi.

Dalam catatan Hasta Indriyana: TD (Teater Dinasti, penulis) adalah salah satu kelompok teater di Yogya yang memiliki kelainan (the other) dibanding sanggar-sanggar teater yang ada. Anggotanya beragam, seperti intelektual, aktivis mahasiswa, pengusaha, pedagang, penyair, pencopet, tukang parkir, penganggur, dsb. Ia bukan sekadar sanggar kesenian tetapi juga menjadi `rumah klarifikasi’ bagi sejumlah pengalaman dan permasalahan yang berkembang menjadi bagian pengalaman. Diskusi dan pengkajian, sharing pengalaman dan ide terus dilakukan. Keunikan yang sangat khas TD adalah sebuah komunitas teater yang mengenal karya kolektif dan prestasi kolektif, misalnya penyutradaraan bersama, penulisan naskah bersama, didiskusikan bersama, semua orang memiliki hak menyeimbangkan gagasan-gagasan artistik, tematik, visi kesenian, dsb.”

Berbicara Musik Puisi atau Musikalisasi Puisi, dua istilah yang sebenarnya susah untuk dibedakan. Hanya kebetulan, bahwa Musikalisasi Puisi-nya Ebiet diusung sendiri, bernyanyi dan bergitar. Sementara Musik Puisi adalah pembacaan Puisi dengan mengangkut seperangkat gamelan dan alat musik barat.

Kiprah Emha membacakan puisi diringi gamelan, membuat Dewan Kesenian Jakarta agak bingung menjuluki Musik Puisi ini. Ini pembacaan puisi atau pertunjukan musik? Emha bersama Karawitan Dinasti adalah yang pertama menyuguhkan Musik Puisi. DKJ-TIM tahun 1970-an mengundang Emha untuk baca puisi. Seorang penyair daerah dikatakan “sukses” ketika karya tulisnya dimuat di Majalah Sastra Horison dan mampu menaklukkan penonton-penonton di TIM yang dikenal galak, yang dihuni oleh seniman-seniman besar dari berbagai aliran seni. Dan Emha “lulus” keduanya.

KIAI KANJENG

Karawitan Dinasti, pemain-pemainnya sebagian adalah juga pemain teater. Tak heran, usai melakonkan satu peran, lalu melompat ke belakang, menuthuk saron, misalnya. Iringan musik gamelan dan alat musik barat, sebagai semacam scoring pengadegan. Langkah pemain dalam berlakon, atau memulai menuturkan dialog-dialog diawali oleh musik atau jedanya musik.

Oleh Emha, Karawitan Dinasti diusung untuk “memperkuat” pembacaaan puisi-puisinya. Kadang di sela bacaan puisi, Emha melantunkan ayat-ayat suci, lalu disambung raungan alat musik.

Dalam perkembangan selanjutnya pemain-pemain Teater Dinasti mendirikan Teater Gandrik. Sebagian yang lain keliling Indonesia, pentas teater di desa-desa dalam Kelompok Teater Rakyat Indonesia; dan sebagian kecilnya bertahan di Teater Dinasti. Emha menambahkan kata “ampas” atau sisa-sisanya, menjadi Teater Dinasti Ampas.

Ketika pentas-pentas agak surut, berbarengan dengan dinamika perpolitikan Indonesia; Toto Rahardjo mengumpulkan kawan-kawan Eks Teater Dinasti dalam wadah Komunitas Pak Kanjeng, dengan niatan mementaskan Drama Monolog Pak Kanjeng, ditulis oleh Emha Ainun Nadjib. Tokoh Pak Kanjeng terinspirasi dari seorang pejuang di Kedung Ombo yang memimpin perlawanan pembuatan waduk yang membebaskan tiga Kabupaten (Boyolali, Salatiga dan Purwodadi) yang dirancang pemerintah Orde Baru.

Tokoh Pak Kanjeng diperankan oleh tiga aktor: Novi Budianto, Joko Kamto dan Butet Kertaredjasa.

Komunitas Pak Kanjeng bertahan selama dua tahun (1993-1995); sebagian bertahan dan menjadi Kiai Kanjeng dan yang lain mendirikan Kua Etnika.

PENUTUP

Malam ini, Emha dan Kiai Kanjeng diminta untuk mementaskan Musik Puisi di TBY, sebagaimana yang pernah dipentaskan Karawitan Dinasti tahun 1970-1980-an.

Catatan ini hanya alas tikar, silakan berselonjor kaki, menikmati klobot klembak menyan dan secangkir kopi pahit. Jika tikarnya ada yang sobek-sobek, maafkan, tambal dan sulamlah. Sebagian peristiwa saya tidak mengikuti. Tikar buatan saya berdesain cerita-cerita dan beberapa catatan yang sempat saya baca. Sekali lagi mohon maaf kepada yang disebut namanya atau luput namanya tak disebut.

Tabik!