48 Jam di Kenduri Budaya Nusantara

JULI 2010. Saat itu bertepatan dengan perayaan 10 Tahun Kenduri Cinta. Momen perayaan tersebut begitu membekas dan berkesan dalam hati saya. Tak lama dari Haflah Maiyah diakhir tahun 2009 di Jombang, saya merapat dibarisan petugas dapur Kenduri Cinta. Dimana sudah menjadi kebiasaan rutin Kenduri Cinta, bahwa selalu ada pertemuan rutin disetiap minggunya pada hari Rabu malam, yang mereka sebut dengan Reboan. Hingga tiba waktunya Kenduri Cinta akan memasuki usianya yang ke-10.

Hajatan yang memang dirancang sedemikian rupa dengan tajuk “Kenduri Budaya Nusantara”, melibatkan beberapa simpul Maiyah untuk hadir, dan selain itu juga karena momen itulah pertama kali saya terlibat secara langsung dalam pengelolaan event besar di Kenduri Cinta. Bagi saya, “Kenduri Budaya Nusantara” inilah salah satu milestone saya secara pribadi dalam bingkai kegembiraan bersama Maiyah Nusantara.

Memang sudah menjadi sebuah tradisi di Kenduri Cinta, bahwa sebagai ungkapan rasa syukur, setiap tahunnya para penggiat begitu bersemangat dalam merumuskan sebuah event dalam rangka merayakan hari jadi Kenduri Cinta. Perhelatan itu dilaksanakan pada tanggal 9-10 Juli 2010. Ya, saat itu karena satu dan lain hal, perayaan ulang tahun Kenduri Cinta yang ke-10 dilaksanakan pada bulan Juli. Agenda besar ini dilaksanakan selama 2 hari, rangkaian acara terpusat di 2 tempat secara bersamaan, di Wisma Trisula dan Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.

Di Wisma Trisula, diadakan pertemuan penggiat Maiyah Nusantara. Dalam agenda itu, dilaksanakan diskusi dan rembug  bersama merumuskan dan membicarakan  bagaimana Maiyah mengambil dan menjalankan peranannya. Bisa dikatakan saat itu adalah Silaturahmi Nasional Penggiat Maiyah. Beberapa perwakilan dari simpul-simpul Maiyah hadir dalam agenda ini.

Sementara lokasi kedua di Taman Ismail Marzuki, dimulai sejak pagi hari pada 10 Juli 2010, beberapa kegiatan dilaksanakan; Lomba Musikalisasi Puisi, Bazzar dan Pameran Fotografi dokumentasi Kenduri Cinta. Kebetulan saat itu, saya diberi tanggung jawab oleh teman-teman untuk mengawal teknis lapangan dan berlangsungnya acara di Taman Ismail Marzuki ini, praktis saya tidak mengikuti agenda yang dilaksanakan di WismaTrisula bersama teman-teman perwakilan Penggiat Maiyah Nusantara saat itu.

Pada hajatan ke-10 tahun Kenduri Cinta, saya diserahi untuk mengawal persiapan teknis, dari mulai panggung didirikan, mengingat saat itu memang tak lazim, Kenduri Cinta membangun sebuah panggung yang besar dan bertingkat, karena saat itu KiaiKanjeng dan Letto direncanaka akan hadir dipanggung yang sama. Sebagai petugas perlengkapan lapangan, menunggu panggung selesai dibuat, tenda didirikan, pernak pernik panggung, semua harus selesai di pagi hari, kerena rangkaian acara akan dimulai sejak pukul 9 pagi. Singkatnya, Panggung besar itu sekesai didirikan tepat pada waktunya.

MC Darurat. Ada sebuah peristiwa lain yang juga sangat berkesan bagi saya. Sebenarnya sudah ada orang lain yang diserahi tugas untuk menjadi pembawa acara pada acara Kenduri Budaya Nusantara saat itu. Entah karena alasan apa, MC yang seharusnya bertugas saat itu berhalangan hadir. Mas Boim, Ketua Komunitas Kenduri Cinta saat itu, meminta saya untuk bertugas menjadi pembawa acara. Tentu saja saya tidak dalam posisi stand by untuk tugas tersebut. Saya sendiri tidak memiliki pengalaman berbicara di depan umum, apalagi di hadapan audiens yang sangat banyak. Tetapi saya berpedoman bahwa di Maiyah saya telah diajarkan; bahwa segala sesuatu itu asalkan baik, pokoknya dikerjakan saja. Nekad.

Sejak pagi hingga sore hari, saya bertugas menjadi MC. Selain menjadi penanggungjawab teknis, saya juga menjadi penanggungjawab konsumsi, dan harus tetap menjalankan tugas saya. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 5 sore, tanda jeda acara hingga ba’da Isya’. Lepas pukul 5 sore, saya meluncur menuju Kemayoran untuk mengambil rebusan kacang, ubi dan pisang sebagai hidangan untuk acara puncak di malam harinya. Capek, sudah pasti, karena malam sebelumnya hingga subuh saya dan beberapa teman menunggu panggung dan tenda selesai dipersiapkan.

Tetapi saya seperti mendapat asupan energi tambahan yang berlipat, sehingga tugas dan peran yang sedemikian banyak itu bisa saya jalani dengan lancar. Sekali lagi, saya hanya meyakini bahwa proses ini kelak akan membangun karakter dalam diri saya. Mungkin efeknya tidak saya rasakan secara instan, tetapi saya meyakini bahwa peristiwa yang saya alami itu akan loading dalam diri saya, dan akan bermanfaat di kemudian hari. Karena jika saya tidak meyakini hal itu, yang saya dapatkan hanyalah rasa capek, ngresulo, marah, mangkel, jengkel karena saya merasa terpaksa melakukan tugas yang seharusnya tidak menjadi tanggung jawab saya.

Ketegangan hari itu belum berakhir. Setelah saya menyerahkan rebusan kepada koordinator konsumsi di lapangan, saya dipanggil oleh beberapa teman-teman Penggiat Kenduri Cinta untuk berkumpul di Pondok Penus, sebuah warung makan di dekat area parkir sepeda motor di Taman Ismail Marzuki.  Di Pondok Penus itu, saya bertemu dengan beberapa teman-teman Penggiat Kenduri Cinta yang lebih senior dari saya; Mas Adi, Mas Andre, Mas Boim, Mas Rusdi, Mas Arya, Roni dan Gandhie. Dan saat itu ada Cak Zakki dan Mas Helmi yang datang dari Yogyakarta hadir dan menyampaikan bahwa Cak Nun dan KiaiKanjeng batal hadir di 10 Tahun Kenduri Cinta, kabar tersebut lumayan membuat kaget teman-teman, karena segala persiapan sudah dilakukan, namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Seperti bagaimana yang berlangsung di Maiyah, semua dapat diatasi dan acara dapat secara spontan di-set up ulang. Karena memang di hari yang sama, salah satu sahabat Cak Nun, Gun Jack meninggal dunia di Yogyakarta.

Puncak Kenduri Budaya Nusantara tetap harus berlangsung, entah ada ide apa, lagi-lagi saya ditodong untuk mengawal puncak acara tersebut malam hari itu. Acara yang dikemas layaknya Maiyahan Kenduri Cinta setiap bulannya. Anda yang saat itu turut hadir di event besar Kenduri Cinta ini pasti ingat seperti apa situasi panggung yang sangat besar saat itu. Dan saya, di panggung sebesar itu menjadi moderator diskusi sejak awal hingga akhir acara menjelang jam 4 subuh! Saya merasa bahwa saat itu saya benar-benar sedang ditatar oleh Kenduri Cinta, saya menginjak sebuah batu loncatan yang sebelumnya tidak pernah saya sangka-sangka.

Tetapi, keyakinan dalam hati saya begitu teguh. Pokoknya jalani saja dulu, tidak perlu dipikir apa dan bagaimana yang akan terjadi. Tempaan di Kenduri Budaya Nusantara itu sangat membekas bagi saya pribadi. Karakter dalam diri saya sangat terbentuk, mental dan keberanian saya untuk berbicara di depan umum saya akui semakin kuat sejak saat itu. Dan terbukti, pengalaman tersebut mempengaruhi kinerja saya di kantor, juga sikap dan perilaku saya di keluarga. Terlebih saat ini saya memiliki seorang istri dan seorang anak laki-laki yang beranjak 3 tahun usianya.


PERKENALAN SAYA dengan Kenduri Cinta terjadi pada penghujung tahun 2007. Seorang teman yang memperkenalkan saya dengan Kenduri Cinta. Teman saya itu adalah salah satu anggota milis PadhangmBulan Net. Tidak banyak yang saya ketahui dari Kenduri Cinta awalnya, namun sejak pertama kali saya menghadiri Kenduri Cinta, saya sangat merasa nyaman di forum ini. Naluri anak muda seusia saya saat itu adalah naluri yang bergelora dalam masa-masa pencarian jati diri. Dan saya sangat bersyukur di masa-masa itu saya dipertemukan dengan Kenduri Cinta.

Setelah saya ikuti beberapa tahun, saya rajin hadir di setiap bulannya dan kemudian ikut terlibat di Forum Reboan, saya menikmati betapa egaliternya forum Kenduri Cinta ini. Semua orang yang hadir di forum ini bukan hanya lintas suku dan agama saja, tetapi juga lintas profesi. Tokoh Nasional, public figure, selebritis hingga rakyat jelata, pedagang asongan, tukang ojek, pedagang kecil berkumpul melebur menjadi satu di forum ini. Dan layaknya Forum Maiyahan rutin di beberapa daerah, tata letak panggung yang tidak memiliki jarak signifikan, sehingga membangun atmosfer keakraban dan kehangatan bersama, yang kemudian puncaknya melahirkan kerinduan satu sama lain untuk kembali hadir di forum ini.

Tata letak panggung yang tidak terlalu tinggi, sementara narasumber yang hadir bisa dari kalangan politisi, anggota parlemen, Kiai, Pastur, Praktisi, Dosen dengan berbagai macam latar belakangnya. Andai saja ada orang yang benar-benar tidak suka kepada narasumber yang berbicara, tidak ada pasukan keamanan yang siap mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Tetapi, suasana kekeluargaan yang terbangun melahirkan kesadaran untuk mengamankan satu sama lain. Nuansa seperti inilah yang membuat saya kagum dan bangga dengan Kenduri Cinta ini.

Perjalanan Maiyah pertama yang saya alami adalah perjalanan menuju Menturo, Jombang untuk menghadiri Haflah Maiyah Nusantara pada akhir 2009 silam. Saya datang ke Menturo tidak bersama dengan rombongan Penggiat Kenduri Cinta saat itu, karena memang saya belum bergabung dengan ‘Dapur’ Kenduri Cinta. Setelah acara tersebut, saya baru bergabung di Forum Reboan, hingga akhirnya saya terlibat di acara Kenduri Budaya Nusantara. Setelah acara besar itu, saya juga kemudian terlibat dalam event Konser 8, juga dalam pementasan teater Nabi Darurat – Rasul Ad Hoc. Dan hingga hari ini, saya merasa betah di Kenduri Cinta, saya menemukan keluarga baru di Kenduri Cinta.

Perjalanan Maiyah selanjutnya adalah “Maiyah Safiinatunnajah” ke Mandar pada tahun 2011. Sebuah peristiwa yang sangat berkesan bagi saya saat itu, ketika rombongan baru sampai di Mandar, ada salah seorang anak dari Keluarga Maiyah di Mandar yang meninggal dunia karena kecelakaan. Yang mengherankan bagi saya saat itu, tidak terlihat suasana yang terkesan sedih, justru beberapa orang mengungkapkan kepada saya; “Ayahnya datang jauh-jauh dari Jogja, yang mengantarkannya bertemu Allah”. Awalnya saya agak bingung, hingga akhirnya Cak Nun sendiri bercerita bahwa dulu ketika anak tersebut lahir bersamaan dengan kedatangan Cak Nun di Mandar. Cak Nun menyambut kelahiran anak tersebut dan ikut mendoakannya ketika baru lahir dari rahim ibunya.

Cerita lain di Mandar. Banyak orang di Mandar yang menganggap Cak Nun adalah titisan Imam Lapeo, seorang waliyullah di Mandar yang juga merupakan salah satu murid dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Seorang wali yang kesaktiannya sangat dikagumi dan diakui oleh penduduk Mandar. Pada saat itu, saya juga bertemu dengan Bunda Camanna, salah seorang kekasih Allah yang ketlingsut di Bumi Mandar. Seorang pejuang penjaga tradisi Sholawatan di Bumi Mandar, yang hingga hari ini tidak pernah berhenti mendidik, membimbing dan menemani anak-anak di Mandar untuk bersholawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sangat terharu dan kagum saya mendengar Bunda Camanna melantunkan sholawat-sholawat saat itu di rumah beliau. Suaranya begitu indah mengalun, terucap puji-pujian ke haribaan Rasulullah Saw dengan iringan rebana, menghasilkan perpaduan musik yang sangat estetik.

Alhamdulillah waktu berjalan hingga hingga ini,  Kenduri Cinta menginjak usia 17 tahun. Dan momentum pada perayaan Ulang tahun ke 10 pada Juli 2010 silam, menjadi kegembiraan saya pribadi dan bersama penggiat Kenduri Cinta lainya , karena saya menjadi trending topic, bahan obrolan 48  jam petugas Kenduri Budaya Nusantara.

Menutup catatan ini , dengan kesadaran penuh tulisan ini saya buat atas kebahagian yang saya rasakan karena Kenduri Cinta berusia 17 tahun. Selamat Ulang tahun Kenduri Cinta, tetap berjalan memberi kebahagiaan. Terima kasih atas segala pelajaran hidup yang menempa saya hingga saya menjadi seperti ini, hari ini, di Kenduri Cinta.