Menjadi “Orong-Orong”

KENDURI CINTA menapak di usia ke 17 tahun. Tidak mudah saya pikir, perjalanan sebuah Komunitas nirlaba untuk dapat bertahan menuju dua dekade di Jakarta. Dua tahun terakhir, saya terlibat aktif di “dapur” Kenduri Cinta, melalui tulisan ini sedikit ingin saya ceritakan tentang apa dan bagaimana Kenduri Cinta, tentu saja dari sudut pandang dan pengalaman saya pribadi.

Diperjalankan

Jum’at minggu kedua bulan Agustus 2014, saya diperjalankan untuk pertama kalinya ke Taman Ismail Marzuki, Cikini, tentu saja untuk menghadiri Kenduri Cinta. Saat itu, tema yang diangkat adalah “Kemerdekaan Maiyah”. Suasana TIM bebar-benar ramai dipenuhi oleh orang-orang yang sepertinya sudah berkali-kali hadir di Kenduri Cinta. Jum’at kedua pada setiap bulannya adalah hari dimana Jamaah Maiyah di sekitaran Jakarta merayakan hari pertemuan akbar mereka di sini.

Ya, diperjalankan, frasa yang dikemudian hari menjadi sangat familiar di telinga saya. Baik dalam suasana canda, maupun ketika mendengar cerita pengalaman pribadi dari orang-orang yang pernah bersentuhan dengan Maiyah.

Diperjalankan Allah, begitu frasa lengkapnya, mengacu pada bagaimana kehendak hati menghantarkan seseorang ke suatu tempat. Dalam hal ini saya diperjalankan ke Kenduri Cinta. Diperjalankan karena tidak ada yang mengajak saya sebelumnya ke Kenduri Cinta, dan tidak ada yang memberi informasi apapun tentang Kenduri Cinta juga Maiyah kepada saya. Diperjalankan karena tidak juga karena sebelumnya melihat video Maiyahan di  YouTube.

Berawal dari mencari kata “kenduri” di mesin pencarian internet, saya menemukan laman kenduricinta.com. Memang tidak sesuai dengan apa yang awalnya saya cari. Saya kemudian membaca beberapa artikel di laman tersebut, ada beberapa kutipan Emha Ainun Nadjib, atau yang sering disebut Cak Nun. Yang bagi orang asli Bantul seperti saya, sosok Cak Nun sudah tidak asing lagi, karena Cak Nun dan KiaiKanjeng, cukup sering “didatangkan” ke desa-desa di daerah Bantul. Pertemuan online saya inilah yang kemudian mendorong saya untuk datang pertama kalinya ke Kenduri  Cinta di bulan Agustus 2014 silam.

Maiyahan

Cak Nun, Taufik Ismail, Abdullah Hehamahua, Kiai Hasan Abdullah Sahal, dan Syeikh Nursamad Kamba ada di panggung Kenduri Cinta Agustus 2014 saat itu. Nama terakhir adalah nama yang paling asing di telinga saya, hingga akhirnya saya mencari informasi tentangnya di Internet. Ternyata, beliau adalah salah satu Marja’ di Maiyah yang seringkali dijadikan rujukan keilmuwan di Maiyah, terutama dalam ilmu-ilmu Tasawuf.

Dalam hati saya, karena saya sendirian, tentang bagaimana bisa mereka semua bisa hadir di panggung yang tata letaknya tidak terlalu tinggi, berbicara di sebuah mimbar bebas, di sebuah acara gratis, di Jakarta pula, merupakan sebuah pertanyaan besar yang ada dalam pikiran saya malam itu. Yang pasti, saya untuk pertama kali duduk “mengaji” dari jam 8 sampai jam 4 pagi, tanpa ke Toilet untuk kencing. Adalah hal yang sangat luar biasa bagi saya, melihat tokoh-tokoh besar di Indonesia, yang mereka notabene adalah tokoh-tokoh yang sangat layak untuk tampil di televisi karena latar belakang keilmuwan mereka, namun mereka bersedia hadir di forum rakyat jelata seperti Kenduri Cinta ini.

Mendekati tengah malam, punggung saya ditepuk oleh seorang  yang  ternyata saya kenal baik, kawan kerja dan kawan sekolah saya. Cukup banyak pertanyaan saya lemparkan kepada kawan saya itu. Yang salah satunya terjawab; “Maiyahan“, begitu jawaban yang diberikan kawan saya ketika saya menanyakan acara apa ini? Kok ada ngajinya, ada puisinya, ada ceramahnya, ada kuliahnya, bahkan ada musiknya.

Setelah kemudian saya mencari informasi yang lebih detail, barulah saya mengetahui bahwa Kenduri Cinta merupakan bagian dari komunitas Maiyah Nusantara. Forum ini akhirnya menjadi pelabuhan tempat melingkar saya setiap bulan di Jum’at pekan kedua setiap bulannya. Dimana ternyata kemudian saya mengetahui bahwa banyak orang yang menurut saya adalah tokoh besar skala nasional pernah datang di forum ini. Dan tentu saja seperti orang-orang  yang baru datang di forum ini, saya ingin mendengarkan secara langsung apa yang disampaikan oleh Cak Nun. Karena Kenduri Cinta dan Cak Nun memang tidak bisa dipisahkan.

Menata hati menjernihkan pikiran

Ada suatu cerita rakyat yang sangat terkenal di Jawa tentang Sunan Kalijaga yang menghidupkan kembali orong-orong yang putus kepalanya. Sunan Kalijaga menghidupkan orong-orong yang mati karena kepalanya terbelah dengan badannya. Beliau, Sunan Kalijaga menyambung kepala orong-orong dengan badannya menggunakan pecahan kayu, tatal jati. Pecahan kayu jati yang dipakai untuk salah satu tiang di Masjid Demak. Dimana dari cerita rakyat itu, orong-orong bisa hidup kembali dengan sambungan kayu jati di antara badan dan kepalanya.

Cak Nun menggambarkan hikmah dari cerita ini dengan memberi makna bahwa badan, dimana hati atau qalbu atau tempat dimana jantung berada, harus singkron, harus connected dengan kepala, dimana otak yang digunakan untuk berpikir berada, otak yang digunakan untuk mendayagunakan akal. Sehingga tercapai keseimbangan pikiran dan perasaan dengan upaya mencari kesejatian dari setiap hal. Sehingga dapat menghasilkan output yang tidak hanya benar, tapi juga baik dan indah.

Di situlah ternyata maksud dari menata hati menjernihkan pikiran, yang menjadi semacam tagline dalam berbagai acara Maiyahan, termasuk di Kenduri Cinta, Jakarta.

Merangkai Nilai, Merajut Makna

Ya, kalimat itu adalah tagline Kenduri Cinta. Susunan kalimat yang seolah-olah sangat mewah dan menawan, mengawang karena tentu tidak mudah mewujudkannya. Bahkan pernah ada seseorang  yang mengatakan, ”hati-hati mas kalau datang ke Kenduri Cinta, di sana banyak orang yang sok tahu”. Tentu kata-kata itu bukan sebuah larangan karena yang disampaikan tujuannya untuk berhati-hati, tapi  ketika saya mendengarnya justru berasa seperti sebuah larangan.

Beberapa kali saya datang ke KC—begitu Kenduri Cinta sering disebut oleh banyak orang,—memang tidak semua pembicara adalah pakar di bidangnya, pakar dalam artian memiliki latar belakang pendidikan sampai tingkat tinggi di bidangnya.

Bolehlah pesan kawan itu didengar, tapi dengar pula apa yang sering disampaikan di KC, siapa saja boleh bicara apa saja, apakah diterima atau tidak, itu kemerdekaan masing-masing yang mendengarkan. Juga tentang pesan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA; undzur maa qoola,walaa tandzur man qoola, perhatikan apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.

Disitulah rangkaian nilai-nilai yang ada di Kenduri Cinta dapat menjadi sebuah rajutan indah yang  bermakna. Menjadi oase di tengah hutan beton di Jakarta. Menjadi telaga pelepas penat di antara himpitan kemacetan jalanan ibukota. Dan tentu saja, menjadi pelarian lara, tempat melepas tawa para jamaah yang kebanyakan adalah generasi millennial ini.

Dan di usia Kenduri Cinta yang ke-17 ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Kenduri Cinta. Semoga tetap dapat menjadi tempat berteduh ditengah panasnya suhu ibukota.