Mukadimah NEGERI SETENGAH HATI

Setiap anda dapat memberikan pemaknaan terhadap tema Kenduri Cinta, memperluasnya atau mempersempit secara harfiah. Bagi para petani, “setengah hati” bisa anda maknai sebagai dukungan terhadap penyediaan pupuk murah, insentif harga, pengadaan fasilitas, dan lainnya. Bagi para pegawai, silakan jika anda memaknai “setengah hati” dengan mengaitkannya pada tidak layaknya tunjangan, gaji dan sebagainya. Bahkan bagi anda yang tidak memiliki status, silakan jika “setengah hati” anda artikan sebagai idiom memberontak untuk meminta kembali hak-hak tanah leluhurmu, kebudayaan luhurmu, kerajaanmu yang dahulu telah mengamanatkan kemakmuran kepada anak ingusan yang bernama Negara Indonesia.

Anggaplah Negeri adalah sebuah kota atau desa, ada sawah-sawah subur, ada ternak yang ramai dan penduduknya bekerja setiap pagi dan berjaga di malam harinya, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Anak-anak Negeri mengaji tiap bakda Magrib, ibu-ibunya memberikan masakan terbaik bagi keluarga dan masyarakat adatnya. Kemudian datang musafir bernama Negara, dengan simbol-simbol kejantanan ia hadir menawarkan keperkasaannya kepada wanita yang bernama Negeri. Sayangnya si wanita lebih berkelas, lebih memiliki wawasan karena luhurnya peninggalan keluarga besarnya turun temurun. Ia tidak tertarik dengan keperkasaan Negara. Godaan demi godaan dilakukan untuk mencuri hati Si Negeri. Hari demi hari, tahun demi tahun pun berjalan, Si Negara terus berjuang mencuri perhatian Si Negeri yang selalu tampak anggun dan menawan, menggoda semua Negara yang lewat. Strategi kini tidak lagi terpusat pada Si Negeri tetapi meluas pada wilayah lain. Dikenalkan teknologi untuk merubah pola pikir Si Negeri, bahwa ajaran-ajaran leluhur itu semua tidak baik, bahwa warisan leluhur berupa tanah dan air akan menjadi usang, tak laku digerus jaman. Disodorkan model-model terbaru, idola-idola baru. Mulai tempatnya nongkrong ngopi, kapan ngopi yang tepat adalah bakda Magrib harus di tempat yang berkaca, cepat saji, kopi impor dan sebagainya. Lalu baju juga mesti bergaya dan berkelas, yang pokoknya membuat Negeri kalau disanggul terlihat jelek, kalau tidak lurus dan di-rebonding pasti ndak menawan karena rambut adalah mahkota wanita. Padi harus ditanam dengan pupuk khusus, dengan jenis khusus. Akhirnya pelan-pelan Si Negeri terpengaruh, takluk dan bersedia menikahi Negara dan merelakan seluruh bagiannya dipimpin oleh Negara.

Waktu demi waktu berlalu, Negara makin lupa diri dan menggagahi harta benda, adat-istiadat dan seluruh sendi bagian Negeri. Tanpa mempedulikan rakyat Negeri, sawah dan budaya ngaji. Semua dibeton, dicor dan salah atau benar di dasarkan pada media yang dimiliki oleh Negara. Sebagai bagian komitmen yang diucapkan Negeri untuk mempasrahkan seluruh jiwa dan raganya, Negeri hanya bisa berdoa dan pasrah kepada Tuhannya agar Negara menyadari khilafnya.

Sebenarnya, kapanpun Negeri mau memerintah, seluruh wilayahnya pasti tunduk dan patuh mengikuti, namun ini tak disadari oleh Negeri. Entah apa pertimbangan Negeri ini sehingga hanya pasrah seperti itu. Sama sekali tidak pro rakyat, tidak ada revolusi mental, tidak ada agenda untuk membuat Negara tandingan, bahkan wakil adat tandingan. Padahal setiap kali Negara memakai hasil panen dan sumber daya alam milik Negeri dikatakan sebagai bentuk “jasa”, bahkan patut diberi anugerah. Saat ada garong datang, dengan gagah berani Negara mengusirnya, padahal itu tugas dan tanggung jawabnya, bukan jasa atau patriotisme. Saar datang kolega Negara lain menawarkan bantuan dan dukungan persenjataan, teknologi, IT, asalkan diberi tanah dan kekayaan alam di dasar tanah dan lautan di wilayah Negeri, semua diberikan oleh Negara, tanpa meminta atau pamitan kepada Negeri. Lho dipikir ini warisan kakek-nenek Negara, hanya dengan modal pernikahan kemudian seluruhnya diambil dan dikuasai.

Dilema yang dihadapi Negeri makin akut, dimana ia dihadapkan pada posisi pengabdian sebagai seorang istri, kemudian sebagai pewaris tunggal harta benda serta tanggung jawab terhadap rakyatnya. Keduanya memiliki hak dan kewajiban luar biasa terhubung langsung dengan Sang Ghoffur, Maha Pengampun. Kesalahan telah dilakukan oleh Negeri, bertubi-tubi dilakukan dan didiamkan. Tergoda oleh Negara yang keblinger, menikahi dan menguasai seluruh sumber daya penting. Walau dihajar dengan berbagai paceklik, gagal panen dan bencana gunung meletus, banjir hingga tsunami. Walau para sesepuh Negeri menggerutu dan tidak sabar untuk melakukan kudeta terhadap Negara, Negeri tidak bertindak, tetapi tetap menasehati suaminya, Negara. Walau juga sudah dibentuk wakil rakyat agar mampu menjadi penyeimbang Negara, wakil-wakil ini pun setelah terpilih ternyata dalam melakukan tindakan juga lupa diri. Selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat, padahal dalam melakukan tindakan tidak pernah mengajak bicara rakyat pemilihnya. Apapun yang dilakukan ya pokoknya atas nama rakyat, titik. Hilang sudah harapan rakyat untuk membangun, membentuk sebuah harapan agar Negeri memiliki teman berdiskusi dan saling menasehati.

Negeri disandera kepentingan. Dibentuk lembaga dengan model apapun, selalu menimbulkan persoalan. Lahan, tanah dan harta benda Negeri dicuri. Jika malingnya adalah orang elit, pejabat, dan keturunan penguasa, gak pantas disebut maling, tapi koruptor. Jika yang mencuri rakyat disebut garong atau bromocorah. Satu dan yang lain saling sandera. Ya, inilah Negeri Setengah Hati.

Judul Kenduri Cinta edisi Nopember kali ini adalah Negeri Setengah Hati, mudah-mudahan kita dapat saling belajar bersama.

Comments

Comments are closed.