TRAUMA KAPITIS

HILANG PERSONALITAS, GAGAP IDENTITAS

Karena lokasi yang tidak memungkinkan, Bangbang Wetan edisi Oktober 2015 diadakan di tempat yang tidak seperti biasanya, Pendopo Taman Budaya Jawa Timur, berlokasi di Jalan Gentengkali 85. Warga Surabaya lebih mengenalnya sebagai Cak Durasim. Setelah ‘ritual’ nderes dan selawatan, Amin mengajak jamaah untuk mengaminkan doanya, “Semoga maiyahan di Pendopo Taman Budaya membawa berkah tersendiri, Maiyah bisa menjadi jawaban atas kerumitan dan keruwetan bangsa ini. Maiyah ada bukan untuk merebut Indonesia, tapi untuk bersedekah atasnya. Karena Indonesia adalah bagian dari Maiyah.”

Setelah prolog beberapa menit, Amin njawil jamaah agar mereka memberi perhatian atas tema malam itu. Trauma Kapitis — keadaan trauma akut yang disebabkan oleh benturan pada kepala — merupakan bahasa medis yang oleh penggiat Bangbang Wetan dianalogikan pada kehidupan sehari-hari. Di keseharian kita, sudah lazimnya menemui benturan-benturan dalam berbagai bidang. Dan saat manusia dibenturkan dengan hal-hal yang bertentangan dengan hati atau akalnya, tetapi dia menerima benturan itu, maka bisa dipastikan dia akan kehilangan personalitasnya, gawan bayinya. Dan ketika seseorang mulai kehilangan personalitas, lambat laun, dia akan mengalami gagap identitas. Lupa sebagai diri yang menjadi khalifah. Jamaah diajak untuk menceritakan pengalaman-pengalaman mereka yang berhubungan dengan tema.

Fani, ibu rumah tangga yang baru 6 bulan tinggal di Sidoarjo, membagi pengalaman “trauma kapitis”-nya di bidang pendidikan. Beliau menceritakan, saat masih tinggal di Jakarta, di sekolah anaknya sudah biasa menerima salam tempel dari orang tua murid saat penerimaan rapor. Dengan tujuan, murid ini bisa naik peringkat/ranking di semester depan. Setelah mendapat pengalaman trauma kapitis seperti ini, akhirnya Fani memutuskan untuk ‘mengeluarkan’ anaknya dari sekolah tersebut dan memilih home schooling. Sistem pendidikan saat ini sering berganti kurikulum seiring bergantinya menteri pendidikan sudah bukan rahasia. Dan lagi, sistem yang ditawarkan pemerintah ini tidak mampu menjawab keresahan para orang tua, apakah anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik di sekolah. Tidak hanya benturan-benturan di bidang pendidikan, setiap hari, masyarakat menerima benturan di bidang lain, entah itu politik, ekonomi ataupun lingkungan. Yang paling baru, kasus pembakaran hutan oleh perusahaan yang pelakunya ‘dilindungi’ oleh pemerintah. Hal-hal seperti ini makin menambah ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintahnya.

AMERIKA, TRAUMA DAN NGE-SUE

Di sesi kedua, Sabrang, Pak Suko, dr. Ananto, Jamal, dan Mr. Nord yang berasal dari Amerika, mulai naik panggung. Sebelum menjabarkan tema, Mas Sabrang diminta Pak Suko untuk ‘menghibur’ dengan Ruang Rindu-nya. Setelah Ruang Rindu dilantunkan, dr. Ananto membagikan pengetahuannya terkait tema. Menurut dr. Ananto, trauma kapitis dalam skala ringan, bisa menimbulkan amnesia atau kehilangan kesadaran secara raga dan terjadi selama 30 menit lalu pingsan. Dalam skala sedang, trauma kapitis bisa menyebabkan kita melupakan kejadian yang terjadi di kurun waktu 30 menit sampai 1 (satu) hari. Masih dalam skala sedang, menurut dr. Ananto, bisa pula menyebabkan perubahan perilaku. Misalnya, yang sebelumnya tidak gagap saat berbicara, tiba-tiba berubah gagap setelah terjadi benturan. Dan dalam skala berat, trauma kapitis bisa merusak jaringan-jaringan di dalam otak. Hal ini akan menimbulkan kecacatan permanen, karena otak merupakan organ tubuh yang tidak bisa melakukan regenerasi bila terjadi kerusakan. Sebagai contoh trauma kapitis skala berat, kita bisa saja melupakan Surat Al-Fatihah yang kita baca setiap hari selama 17 kali, bahkan lebih.

“Setiap orang memiliki potensi sakit jiwa. Bahkan, yang di atas panggung ini pun memiliki potensi. Karena logika-logika dari masyarakat umum yang kita terima, tidak masuk akal,” ujar Pak Suko. Beliau memberi contoh, anaknya yang ingin masuk kelas IPS, dilarang oleh gurunya. Dengan alasan (yang menurut Pak Suko tidak masuk akal) dia lebih pandai. Sebab, selama ini masyarakat awam berstigma bahwa anak kelas IPA lebih pandai dibandingkan anak kelas IPS. Menurut Pak Suko — sebagai orang yang mempelajari ilmu sosial — social order di masyarakat hari ini, seharusnya sudah bisa menyebabkan kita mengalami trauma kapitis, bahkan menjadi pasien rumah sakit jiwa.

Menyambung Pak Suko, Mr. Nord memberikan pandangannya mengenai Indonesia. Menurutnya, kendaraan-kendaraan di jalanan Indonesia yang dilihatnya tidak teratur, tapi memiliki angka kecelakaan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan Amerika. “Mengapa? Karena rakyat Indonesia masih memikirkan keselamatan orang lain. Berbeda dengan rakyat Amerika. Mereka hanya memikirkan keselamatan dirinya tanpa mempedulikan sekitarnya,” terang Mr. Nord menjawab pertanyaannya sendiri.

Jamal, juga dari Amerika, turut membagikan pengalamannya. Menurut Jamal, dalam sistem strata sosial hari ini, kita masih memandang orang bule memiliki strata yang lebih tinggi dibandingkan orang pribumi atau warga negara asli. Hal ini disebabkan pada masa penjajahan, pemerintah Belanda menetapkan aturan tentang ketatanegaraan mengenai stratifikasi sosial, bahwa penduduk atau masyarakat nomor satu adalah mereka orang-orang Eropa. Yang diikuti oleh orang-orang Cina/Arab/bule non Eropa. Penduduk pribumi sendiri, hanya menjadi masyarakat kelas tiga atau rendahan. Peraturan mengenai strata sosial ini berlangsung begitu lama dan akhirnya mendarah daging. Mau tidak mau, sadar tidak sadar, masyarakat hari ini menganut peraturan yang dibuat para penjajah untuk menguntungkan mereka. Masyarakat sudah terlanjur memiliki pemikiran seperti yang diharapkan para penjajah pada era kolonial. Saking parahnya, bahkan tidak pernah sedikitpun terbersit dalam pikiran kita, orang bule bekerja sebagai asisten rumah tangga alias pembantu. Jamal menceritakan, di Amerika kita bisa menuntut menyoal hal-hal remeh temeh. Misalkan, pada musim dingin atau salju, Si A melewati pekarangan rumah Si B. Lalu Si A terjatuh karena kesalahannya sendiri. Tapi, Si A bisa saja menuntut Si B dengan berbagai macam alasan. Istilahnya Jamal, nge-sue. Dalam pandangan Jamal, Amerika ini negara membingungkan. Sebagai contoh, tanggal 4 Juli yang merupakan hari kemerdekaan mereka. Sebenarnya Amerika ini merdeka dari siapa? Bukankah warga Amerika saat ini, kebanyakan adalah imigran dari Eropa yang menyisihkan warga Indian sebagai penduduk pribumi?

IMG-20151030-WA0002

“Perbedaan cara berpikir, itu bukan masalah sama sekali. Yang harus dilakukan adalah, bagaimana kita tetap istiqomah dan sungguh-sungguh berusaha atas apa yang kita yakini.”
Sabrang M.D.P, Bangbang Wetan (Okt, 2015)

Setelah Mr. Nord dan Mas Jamal memberikan pandangan dan membagikan pengalamannya, Sabrang pun turut menyumbang pikiran. Bahwa trauma kapitis ini bisa berakibat ketidaknormalan, maka Sabrang pun memiliki ganjalan dalam pikirannya. Sesungguhnya yang dikatakan normal itu yang bagaimana? Yang seperti apa? Apakah makna normal itu hanya deviasi dari persetujuan bersama? Jika memang bermakna seperti itu, maka sudah sangat tidak normalnya masyarakat Maiyah ini. Apakah normal, orang berkumpul, lesehan, sejak jam 7 malam hingga jam 4 pagi memikirkan hal-hal rumit? Dan menanggapi nge-sue, menurut Sabrang, orang Amerika yang hidup di dalam regulasi tata aturan itu tidak bisa dikatakan buruk, karena itu dibuat untuk kebersamaan. Pun demikian, mereka tetap memiliki sisi buruk juga. Kreativitas individual akan bertahan hidup menjadi lemah, berbeda dengan orang Indonesia yang kemampuan adaptasinya tidak diragukan lagi.

Amin sebagai moderator Bangbang Wetan malam itu pun tergerak untuk menggali pengetahuan dari Mr. Nord. Dia bertanya, apakah benar bahwa pendidikan di Amerika yang katanya gratis, ternyata memiliki sisi lain, yaitu hutang? Mr. Nord  membenarkan hal itu. Dan yang mengejutkan, banyak mahasiswa baru Amerika yang tak sanggup membayar ’hutang pendidikan’ mereka. Mr. Nord pun turut menggali pengetahuan tentang Indonesia. Beliau memberikan pertanyaan, apakah tradisi budaya Indonesia — khususnya Jawa sejak masa lampau— bisa diterapkan di masa depan? Apa yang harus diubah atau dilakukan, agar orang-orang yang hidup di sini, bisa tetap mengembangkan kreativitasnya dan bisa hidup dalam strata sosial yang harmonis?

Jamaah pun tak ketinggalan untuk menambah pengetahuannya dari para narasumber di atas panggung. Amin mempersilakan jamaah untuk maju dan menggali sendiri hal-hal yang ingin diketahuinya. Mas Idris, jamaah dari Mojokerto bertanya, “Kira-kira solusi apa yang bisa diberikan dari kelemahan sistem pendidikan di Indonesia?” Menurut Mr. Nord, sistem yang diberikan oleh Dikti masih kaku. Sehingga membatasi kreativitas dan inovasi-inovasi yang seharusnya bisa dijalankan universitas. Pak Suko turut menambahkan, masyarakat kita ini sebenarnya bukan masyarakat yang bodoh. Hanya saja, disiplin ilmu yang diterapkan masih dalam taraf belum serius. Seandainya saja disiplin ilmu yang didapat bisa diterapkan dengan sangat serius, maka bukan mustahil Indonesia bergerak maju dengan sangat baik. Maka dari itu masyarakat Indonesia harus lebih giat dan tekun lagi untuk belajar, belajar dan belajar.

dr. Ananto ikut pula menegaskan, bahwa tema tema Trauma Kapitis malam itu bukan untuk diartikan secara harfiah. Masyarakat Maiyah, khususnya Bangbang Wetan, sudah harus ‘naik tingkat’ dalam memahami sesuatu. Jangan hanya melihat dari fisik, tapi juga mendalam sampai ke maknanya. Beliau memberi contoh, apakah benar Indonesia dijajah selama 3,5 abad, lalu ditambah 3,5 tahun? “Tidak benar!” tegas beliau. “Tidak ada satu bangsa pun yang mampu menjajah Indonesia. Indonesia dijajah oleh bangsanya sendiri, dijajah masyarakatnya sendiri!” dr. Ananto menjelaskan. Selama ini masyarakat Indonesia dibenturkan dengan hal-hal yang sangat tidak masuk akal. Dan karena benturan-benturan itu dilakukan dengan sangat halus, secara tidak sadar akal kita menerima saja hal-hal yang tidak masuk akal itu.

Masyarakat sudah mengalami trauma kapitis sejak lama, karena itulah kita jadi merasa terjajah. Menanggapi pertanyaan Amin soal forum semacam Maiyah di Amerika, Jamal bercerita, di Amerika tidak ada kegiatan seperti forum Maiyah ini. Orang duduk berjam-jam berdikusi mengenai banyak hal, dan sesekali berusaha menemukan solusi dari keruwetan yang ada. Apalagi jika sudah masuk musim dingin, cuaca sangat tidak memungkinkan untuk orang-orang berkumpul di lingkungan outdoor layaknya maiyahan pada umumnya. Orang Amerika mayoritas bersikap individual, lain dengan masyarakat Indonesia yang komunal. Sabrang pun turut berdialog menjawab beberapa pertanyaan dari jamaah yang sangat heterogen ini.

“Tuhan tidak menuntut kamu harus berhasil, tapi bagaimana prosesmu berusaha tanpa pernah menyerah. Kita (Maiyah) tidak mencari siapa yang benar, tetapi apa yang benar.”
Sabrang M.D.P, Bangbang Wetan (Okt, 2015)

IMG-20151030-WA0004

MEKANISME BERPIKIR ALA CAK NUN DAN MAIYAH

“Apa yang benar pun, tidak harus disetujui bersama,” sambung Sabrang. Bahwa trauma itu penting. Trauma itu bukan untuk dihindari, tapi untuk dipelajari agar tidak jatuh ke lubang yang sama. Sungguh disayangkan jika ada pelajaran dari pengalaman yang tidak dipelajari. Menjawab pertanyaan lain, Sabrang membagi pengalamannya saat studi di Kanada. Pada posisi sosial, manusia itu memiliki 2 (dua) pandangan, yaitu: kehormatan dan tanggung jawab. Yang dialami Sabrang saat di sana, dosen lebih condong ke sisi tanggung jawab. Mereka bersedia 24 jam untuk ‘diganggu’ jika mahasiswanya menemukan satu hal yang tidak dipahami. Mereka dengan ikhlas hati akan memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan mahasiswanya kapan pun. Mereka membuka kesempatan sebesar-besarnya agar mahasiswanya bisa belajar dengan mudah. Sungguh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Dosen-dosen di sini lebih condong ke arah kehormatan, mereka hanya ingin dihormati, sementara mahasiswanya kesulitan untuk sekadar bertanya mengenai hal yang mereka kurang atau tidak pahami. Mereka ‘mempersulit’ mahasiswanya untuk mendapat ilmu, meski tidak semua dosen berlaku seperti itu.

Posisi sosial ini pun bisa dinilai dari para pejabat. Sejauh ini, orang-orang ingin menjadi pemimpin karena kehormatan. Mereka ingin dihormati. Seandainya mereka menilai pemimpin dari tanggung jawabnya, maka tidak akan ada seorang pun yang mau menjadi pemimpin. Karena beban tanggung jawab yang begitu berat. Alangkah baiknya jika kita memiliki presisi dalam menilai hal-hal seperti itu. Tampaknya malam itu jawaban-jawaban Sabrang cukup memuaskan para jamaah. Sambil menghantarkan Mr. Nord yang hendak pamit, Khoirul mengajak temannya untuk memainkan beberapa lagu dan beberapa penggiat dibantu jamaah mulai melaksanakan money politic.

Di sesi ketiga, Amin mengajak jamaah untuk merefleksikan apa saja yang didapat dari dialog tanya-jawab di sesi sebelumnya. Refleksi yang didapat amatlah heterogen. Ada yang mendapatkan proses kedewasaan dalam hal menyikapi perbedaan, ada pula yang mendapatkan pencerahan bahwa trauma itu bukanlah untuk dihindari, tapi dihadapi dan dipelajari. Bagaimana sikap kita merespon trauma itu sendiri tanpa kehilangan karakter, personalitas, dan identitas kita sebagai manusia. Tak lama kemudian, Kyai Muzammil mulai naik ke panggung. Muhammad Irfan dari BUDAL Komunitas pun turut menyuarakan refleksinya. Dia merasa mendapat pencerahan atas apa-apa yang sudah disampaikan para narasumber. Di sesi ini, Kyai Muzammil menyampaikan sesuatu dari apa yang didapatnya dari seorang waliyullah.

“Jika ingin hidup tenang di Indonesia, cukupkan 2 hal saja. Pertama, dekatlah dengan Allah Ta’ala. Kedua: jangan jadi orang pintar. Karena semakin kamu tahu dan menguasai tentang banyak hal, maka akan semakin pusing ndasmu.”
Kyai Muzzamil, Bangbang Wetan (Okt, 2015)

Maiyah itu memiliki mekanisme berpikir untuk sanggup menghubungkan segala sesuatu. Meskipun tidak ada hubungannya, Maiyah bisa menghubungkan. Kyai Muzammil mencontohkan mekanisme berpikir Cak Nun yang selama ini memang tidak bisa diraba oleh jamaah, bahkan mungkin oleh siapapun. Bagaimana 5 hukum Islam (wajib, sunnah, mubah, makruh, haram) yang masuk dalam terminologi fikih, dihubungkan oleh Cak Nun dengan pola pikir politik, fenomena sosial, musik, budaya dan berbagai macam hal lainnya. Di bidang politik, Cak Nun memberi contoh soal hukum presiden dalam terminologi fikih. Apakah presidenmu termasuk manusia wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram? Bagaimana Maiyah, dalam hal ini Cak Nun, bisa membuat terminologi hukum fikih menjadi pola pikir adalah hal yang luar biasa. Cak Nun bisa menjadikan syariat bukan hanya sebagai halal-haram, hitam-putih, tapi, menjadi sebuah pola pikir dan mekanisme kerja.

Kyai Muzammil melanjutkan, jika ada orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan dalih ‘investasi masa depan’, maka itu sama saja penghinaan terhadap anak dan penciptanya. Anak bukanlah aset, dia adalah khalifah. Anak memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri sebagai mana janjinya dengan Allah Azza Wa Jalla semasa di alam ruh. Pola pikir aset-investasi seperti inilah yang harus dihilangkan pada orang tua masa sekarang. Dalam contoh lain, Kyai Muzammil menyambungkan dengan shodaqoh. Bahwa ber-shodaqoh mengharapkan balasan dari Allah, apakah masih bisa dimaknai shodaqoh? Bahwa manusia di jaman ini diajak beramai-ramai ber-shodaqoh dengan iming-iming dibalas 10 kali lipat oleh Allah, apakah kita sedang berniaga dengan Sang Khalik? Apakah Allah berhutang kepada makhluk-Nya jika Dia tidak membalas shodaqoh kita? Pola pikir seperti ini menyepelekan Allah. Manusia tidak punya hak sama sekali untuk mengatur Allah harus berlaku bagaimana terhadap makhluk-Nya. Terserah-serah Dia mau seperti apa dan bagaimana terhadap kita sebagai makhluk-Nya. Itu yang selalu ditekankan Cak Nun di berbagai lingkar Maiyah. Tepat pada saat Kyai Muzammil menjelaskan tentang terminologi fikih, Cak Nun naik ke panggung. Kyai Muzammil melanjutkan, hukum terminologi fikih bukan ujug-ujug diadakan. Tapi, melalui 3 (tiga) proses, yaitu: Sebab, Syarat dan Manik (faktor penghalang, yang menyebabkan tidak bisa atau tidak boleh dilakukan).

Setelah mendapatkan penjelasan tentang 3 (tiga) proses terminologi fikih dari Kyai Muzammil, sejenak Khoirul melantunkan keroncong agar jamaah tidak pecah ndase.

“Jangan perbuatan satu kelompok kecil kamu timpakan kepada keseluruhannya. Karena itu saya mengukur manusianya. Dan yang saya bangun di Maiyah ini bukan sistemnya, tapi, manusianya. Jika sebagai manusia kamu benar, pikirannya benar, hatinya benar, maka akan menciptakan sistem yang benar juga.”
Emha Ainun Nadjib, Bangbang Wetan (Okt, 2015)

IMG-20151030-WA0011

INDONESIA BAGIAN DARI MAIYAH

Menjelang pukul 2 dini hari, Dudung mempersilakan jamaah untuk bertanya atas apa-apa saja yang benar-benar mencemaskan pikiran mereka. Mengawali dialog, Cak Nun menekankan, jamaah Bangbang Wetan untuk mempelajari materi atau ilmu yang sudah diberikan di Padhangmbulan sebelumnya, agar tidak terjadi gap akibat diulangnya kembali hal-hal yang sudah disampaikan. Salah seorang jamaah dari Madura memberikan beberapa pernyataan dari apa yang sudah ditangkapnya dari penjelasan narasumber Maiyah malam itu. Jamal diminta kembali oleh Cak Nun untuk menjelaskan bagaimana orang-orang Madura di Amerika, menyangkut pernyataan yang dilontarkan jamaah tersebut.

“Amerika itu bermacam-macam. Ada demokrat, republik, pemerintah, dan rakyatnya. Ada yang pro anda, ada yang anti anda. Jadi, jangan membenci Amerika,” jelas Cak Nun. Pun dengan Yahudi dan zionis, itu berbeda. Atau perbedaan PKI dengan komunis internasional, sosialis, dan atheis. Teliti dan pelajarilah dahulu, berpikirlah yang luas.

Di kesempatan malam itu, Cak Nun memberikan contoh mengenai siapakah yang benar, Sunni atau Syiah. Kecuali Allah, Malaikat dan Rasulullah SAW, semuanya punya kemungkinan benar dan salah. Tidak ada satu pun yang 100 (seratus) persen benar atau 100 persen salah. Demikian pula dengan Sunni dan Syiah. Tidak ada Sunni yang 100 persen benar, dan tidak pula Syiah 100 persen salah. Masing-masing memiliki kemungkinan untuk benar dan salah. Janganlah meng-agama-kan Sunni, Syiah, NU, atau Muhammadiyah. Boleh tidak ada NU dan Muhammadiyah, yang penting ada adalah Allah, Rasulullah SAW dan Islam. Selama kita di dalam Maiyah, jangan berpikir secara linier. Berpikirlah secara luas. Karena Maiyah tidak menghina siapa-siapa, Maiyah mencintai siapa saja.

Cak Nun berpesan kepada jamaah Bangbang Wetan untuk mempelajari buku beliau yang berjudul Indonesia Bagian Dari Desa Saya. Segaris dengan yang disampaikan Kyai Muzammil, ini sebagai pelajaran membentuk pola pikir kita terhadap Indonesia. Jamaah diajak untuk berpikir secara mendalam. Jika kita merasa menjadi bagian dari Indonesia, bukan tidak mungkin kita akan menuntut sesuatu dari Indonesia. Kita hanya akan menginginkan Indonesia untuk memenuhi hak-hak atas bagian dirinya. Tetapi, jika berpikir sebaliknya, Indonesia merupakan bagian dari kita, maka kita akan merasa memiliki kewajiban untuk memperbaiki atau bersedekah atasnya. Walaupun sebenarnya kita tidak memiliki kewajiban sama sekali untuk bersedekah kepada Indonesia. Maiyah tak memiliki kewajiban untuk memperbaiki negeri ini, Maiyah hanya bersedekah atasnya. Karena Indonesia adalah bagian dari Maiyah. Itulah kegembiraan Maiyah.

Menjelang pukul 03:00 pagi, Cak Nun mengajak jamaah untuk berdiri sejenak dan menyanyikan lagu nasional Syukur bersama-sama. Setelah lagu Syukur, Kyai Muzammil memimpin doa sebagai akhir dari Bangbang Wetan Oktober malam itu.