SINAU RUMANGSA

Reportase Juguran Syafaat edisi November 2015

Sebelum acara dimulai, beberapa nomor lagu dipersembahkan oleh Ki Ageng Juguran dengan vokal Tita dan Ujang. Ki Ageng Juguran kali ini tampil dengan konsep simpel akustik. Beberapa nomor garapan sendiri ditampilkan ditambah dengan beberapa nomor adaptasi dari Kiai Kanjeng. Kukuh membuka dengan mengajak para sedulur untuk membaca Alquran secara tartil terpimpin dengan membaca surat Al-Fath. Dilanjutkan dengan wirid Padhangmbulan. Kukuh membuka sesi pertama dengan mengajak berkenalan dengan sedulur yang hadir. Beberapa diantaranya berasal dari Cilacap, Banyumas, Banjarnegara dan Purwokerto. Ki Ageng Juguran menampilkan nomor Marhaban dan Tuhan Aku Berguru.

Kusworo membuka sesi pertama, yang hilang saat ini dalam keseharian kita adalah sikap rumangsa. Rizky menambahkan dengan perkenalan tamu yang hadir Juguran Syafaat kali ini yaitu Toto Rahardjo dan Harianto dari Progress Jogja. Rizky memotret fenomena saat ini dimana acara televisi paling banyak adalah acara ngobrol, ini adalah gejala semakin individualisnya kita, sehingga membutuhkan ruang untuk saling berbagi. Dalam forum ini semoga yang hadir tidak hanya menonton orang ngobrol, tapi ikut berbagi bersama.

Arif dari Purwokerto, memberikan penjelasan bahwa forum Maiyah seperti ini mengajak kita untuk lekat dalam diskusinya. Menurut Togar dari Purwokerto, suasana Juguran Syafaat dan obrolan yang substantif itulah yang membuat dirinya betah mengikuti forum ini dari awal hingga akhir. Harianto ikut menambahkan penuturan tentang logika kata istimewa. Masyarakat sekarang menganggap sesuatu itu istimewa tapi seperti terlepas dengan yang lain. Contohnya, hari Jumat kita anggap istimewa, tapi tentunya tidak ada hari Jumat kalau tidak didahului hari yang lain. Keistimewaan bukan terletak pada bendanya, tetapi pada bagaimana kita memandangnya.

“Ketika bertemu sesuatu, temukan keistimewaan dibaliknya. Ketika bertemu sesorang, maka carilah keistimewaannya, maka kita tidak punya hak sedikitpun untuk merendahkannya. Kenapa setiap orang istimewa, karena kita diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Tidak ada manusia yang tidak istimewa, cara memandangnya saja yang salah,” kata Harianto.

Rizky menambahan bahwa rumangsa dalam khasanah Jawa adalah sistem kontrol internal paling bagus. Kalau kita bisa rumangsa maka segala sesuatunya menjadi terukur dan memiliki ketepatan.

TENTANG PENGASUHAN

Toto Rahardjo menyampaikan bahwa Maiyah bersifat feminim, dimana ada unsur keindahan, kesejukan, kepengasuhan, kesetiaan didalamnya, yang utama dari sebuah kecenderungan feminim adalah kepengasuhannya. Toto mengambil contoh, universitas adalah sebuah bentuk kefeminiman dimana fungsi ibu dijalankan, yaitu kebersamaan dan kemanusiaan.

Toto juga bercerita tentang poster ‘dilarang merokok’ yang seharusnya bisa membuat orang disekitarnya berhenti merokok, tapi yang terjadi adalah orang tetap merokok. Hal ini dikarenakan ada kontrol diri yang lebih kuat apakah kita bersikap permisif terhadap rokok atau tidak. Poster tersebut adalah bentuk sosialisasi yang goal-nya adalah mengorganisir pikiran. Kalau ditarik secara lebih luas, sekolah adalah ‘poster’ yang berfungsi untuk mengorganisir pikiran. Bisa jadi kenapa kita tidak menuai sesuatu dari sekolah, karena sekolah memang tidak menyenangkan. Sama seperti poster yang didesain dengan itdak menarik, maka pikiran kita pun tidak terpengaruhi.

“Nah, forum seperti ini adalah forum nguda rasa. Forum seperti ini harus indah, supaya pikiran kita bisa berfungsi lebih jernih dan maksimal. Mampu mengorganisir pikiran dan bisa sampai ke hati,” tambah Toto.

Toto menambah, lawan dari segala bentuk ‘poster’ itu tadi adalah keinginan. Maka dalam beberapa ideologi tertentu ditekankan untuk jangan hidup hedonis karena berbiaya mahal. Hedonis sendiri menurut Toto adalah kumpulan dari keinginan-keinginan, dan rumangsa adalah kontrol diri atas segala keinginan yang ada dalam diri kita.

Toto mencontohkan orang hamil, yang dulu menjadi tanggung jawab bersama, kini sudah menjadi tanggung jawab suami saja. Dalam sejarahnya, mitoni (upacara tujuh bulanan) digunakan sebagai bentuk peringatan atas sudah dekatnya waktu kelahiran dan ini diperingati oleh lingkungan sekitar. Mitoni disini bisa digunakan sebagai metode rumangsa yang diaktifkan dalam lingkungan bermasyarakat.

PENDIDIKAN YANG FEMININ

Selanjutnya Kusworo ikut bertutur, dalam pandangannya feminim maskulin bukan persoalan wanita atau pria, tapi lebih mengenai kecenderungan sifat. Dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan sifat itu tadi. Harianto ikut memperkuat, pendidikan berdasar pada feminimitasnya, sebab dasarnya adalah kepengasuhan. Jika berbicara rusaknya dunia pendidikan, maka kita cenderung menjadi putus asa, tetapi kalau kita rumangsa bahwa pendidikan bukan dilakukan oleh orang lain, bahwa kita lah yang ikut bertanggungjawab atas pendidikan, maka kita lebih belajar dan mempunyai harapan atas pendidikan di masa depan.

Mengenai kepengasuhan, Harianto menambahkan, Maiyah melihat segala persolan, baik Indonesia maupun dunia adalah sebagai anak. Harianto menilik kembali bahwa kepengasuhan dalam bahasa Arab adalah rabbi, terdiri dari huruf ro dan ba yang secara bentuk seperti orang yang sedang menggendong anak. Dalam surat An-Nas, Allah menjelaskan skema robbinnas, malikinnas, ilahinnas, yang pertama mengasuh, menguasai dan membuat peradaban. Ini adalah kunci dari Allah yang bisa kita pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Harianto menyayangkan yang terjadi saat ini pada beberapa aktivis muda, dimana mereka hanya sekedar gencar memprotes kondisi sosial. Mereka menginginkan prubahan tapi sebenarnya tidak siap terhadap perubahan itu sendiri. Jika kondisi berubah yang terjadi, hanyalah memberikan cek kosong kepada orang lain. Lalu, kenapa tidak kita sendiri yang mengerjakan perubahan?

js1

“Maiyah bersifat feminim, dimana ada unsur keindahan, kesejukan, kepengasuhan, kesetiaan didalamnya, yang utama dari sebuah kecenderungan feminim adalah kepengasuhannya.”
Toto Rahardjo, Juguran Syafaat (Nov, 2015)

RUMANGSA RUMANGSANI

Rumangsa adalah sikap menempatkan diri secara tepat terhadap apa yang terjadi sekarang. Merespon penjelasan Toto Rahardjo sebelumnya, Rizky menyimpulkan, rumangsa adalah bentuk mengatur keinginan diri, setelah kita mampu mengidentifikasi diri maka selanjutnya adalah menempatkan diri, lalu bisa mengetahui orientasi diri. Rumangsa juga berkaitan dengan limitasi diri, istilah jawanya ngukur awake dewek. Tapi juga rumangsa bisa berarti mengetahui kalau kita diberi kemampuan lebih tapi tidak memaksimalkannya.

Agus Sukoco lalu ikut mengagas, segala yang kita kejar di dunia adalah substantif. Sama seperti ketika datang ke Juguran Syafaat, yang utama bukan karena snack-nya tapi karena kehangatan diskusinya. Kalau kita sudah menemukanyang substantif maka tujuan materi sudah bukan yang utama. Ini terjadi kebalikannya dengan pembangunan nasional kita, dimana orang mengejar snack-snack saja, bukan menemukan hal yang lebih substantif seperti jati diri bangsanya.

Dalam hal pendidikan, Agus Sukoco urun rembug, Tuhan sudah menunjuk pengasuh terbaik kita dalam hidup di dunia yaitu orang tua yang melahirkan kita. Maka guru utama kita adalah orang tua kita. Institusi pendidikan adalah bentuk peran lanjut keorangtuaan kita di dunia. Maka dipesantren, ada akad yang jelas antara orang tua yang menitipkan anaknya ke kyai. Hal ini yang tidak berlanjut sekarang, akad pendidikan sekarang penuh dengan ancaman akan tarif pendidikan yang mahal, sehingga tujuan pendidikan tidak tercapai karena akad diawal yang sudah batal.

Mengambil cuplikan kisah Nabi Musa yang berjalan menuju ke majmaal bahrain, pertemuan dua lautan. Harianto ikut menyampaikan bahwa Allah memberikan penjelasan melalui amsal tersebut, bahwa dibalik majmaal bahrain maka segala sesuatunya menjadi hidup. Majmaal bahrain dalam kehidupan kita sehari-hari bisa diartikan sebagai benturan hidup. Maka orang yang mengalami benturan hidup, bisa mencapai pikiran yang lebih hidup. Ada istilah lain, orang kepepet lebih kreatif menjalani hidup.

Toto Rahardjo menambahkan bahwa kata Maiyah dalam Alquran tertulis sebanyak 162 kali, menjelaskan bahwa kalimat ini begitu penting karena disambungkan dengan Allah, Rasul, orang beriman dan lain-lain. Maiyah sendiri berarti kebersamaan. Dalam konteks lokal, Toto melihat bahwa fungsi kepengasuhan sesuai dengan watak orang Banyumas yang setia dan mengabdi kepada nilai luhur. Dalam istilah banyumasan terdapat kata kebo cinancang dadung emas yang bermakna bentuk kesetiaan masyarakat Banyumas terhadap nilai.

“Guru utama kita adalah orang tua kita. Institusi pendidikan adalah bentuk peran lanjut keorangtuaan kita di dunia.” (agus)
Agus Sukoco, Juguran Syafaat (Nov, 2015)

Rumangsa itu harus mengalami. Tidak bisa berfungsi hanya sebagai ilmu pengetahuan,” tambah Toto. Dilanjutkan, Banyumas diidentikkan bukan sebagai pembantu tapi sebagai pengasuh. Pengasuh itu adalah orang yang di belakang layar. Menurut Toto, kepengasuhan lebih tinggi derajatnya dari para ksatria.

Dalam pemahaman Hadiwijaya, orang Banyumas kalau sudah diikat dengan sesuatu yang berharga maka akan menjadi kekuatan, pamong untuk para ksatria atau pemimpin. Ungkapan tersebut adalah pemberian dari Keraton Solo sebagai bentuk kepatuhannya terhadap penguasa kala itu. Ditambahkan dengan simbol daerah Banyumas yang terkenal yaitu tokoh Wayang Bawor yang merupakan punakawan atau pamomong para ksatria pandawa. Terjadinya polemik saat ini adalah ingin mengganti simbol Bawor menjadi Bima, karena beberapa kalangan merasa inferior terhadap dirinya. Tapi yang berkembang di masyarakat kelas bawah, petani, buruh dan pedagang kecil, merasa Bawor lebih tepat karena hidupnya lebih merdeka. Hadiwijaya mengkisahkan bahwa kisah wayang yang diciptakan sebagai asal mula kehidupan berasal dari telur. Dimana disitu terdapat tiga bagian yang kemudian menjadi Ismaya (Semar), Tejamaya (Togog), dan juga Manikmaya (Betara Guru). Dalam kisah wayang, mereka bertiga adalah seorang pemomong di wilayahnya masing-masing.

Kembali perihal pendidikan, Agus Sukoco sampaikan bahwa pendidikan yang substantif adalah pengenalan diri. Dengan pengenalan diri maka orang bisa tepat menempatkan dirinya dalam kondisi masyarakat setelah itu baru bisa mengasuh orang lain untuk bisa menemukan diri mereka. Dalam Wayang Bima juga dikisahkan sebagai kstaria yang selalu berusaha mengenal dirinya sendiri melalui lakon Bima Suci.

Ari dari Purwokerto; ia menceritakan pengalamannya berkeliling dunia sebagai pelaut, dengan perjalanannya itulah ia banyak belajar bahasa bangsa lain. Ari menemukan tidak ada bangsa yang memiliki khasanah sekaya Jawa, dimana terdapat kata rumangsa, manunggaling kawulo gusti, tut wuri handayani.

Menceritakan kisah Habil Qabil, dimana kedua anak Adam Hawa berebut istri yang kemudian solusinya adalah persembahan terbaik kepada Tuhan, Harianto menyambung dengan rangkaian ayat berikutnya dalam Surat Al-Maidah diaman tertulis tentang kebingungan kaum Musa selama berpuluh-puluh tahun yang disuruh untuk kembali mengambil pelajaran dari kisah Habil Qabil. Hal tersebut menjadi amsal yang menarik, jika kita mengalami kebingungan, maka yang kita lakukan adalah persembahan yang terbaik kepada Allah dalam bentuk apapun. Maka Maiyah diharapkan menjadi pengorbanan atas diri kita di tengah kebingungan panjang bangsa Indonesia ini.

“Fungsi kepengasuhan sesuai dengan watak orang Banyumas yang setia dan mengabdi kepada nilai luhur.” 
Toto Rahardjo, Juguran Syafaat (Nov, 2015)

Pada kesempatan selanjutnya, Agus Sukoco sampaikan, pengguna teknologi berbeda dengan penemu teknologi. Penemu teknologi menjalani hidupnya dalam ketakjuban atas teknologi, tetapi pengguna teknologi biasa saja melihat perkembangan teknologi yang berlangsung begitu cepatnya. Seperti halnya manusia dalam kehidupan, apakah kita menjadi pelaku kehidupan atau pengguna atau korban kehidupan yang setiap harinya tidak melihat ketakjuban-ketakjuban atas kehidupan.

Toto Rahardjo melengkapkan bahasan malam itu, rumangsa bukan hanya kata, tapi juga sikap kepribadian kita, ada dimensi yang luas yang mencakup dalam istilah rumangsa. Toto, “Maiyah melakukan gerakan sosial apakah sama dengan gerakan sosial yang terjadi saat ini? Tentu beda, kalau Maiyah itu merumangsani ada Tuhan dibalik kita semua. Sedangkan gerakan sosial yang terjadi saat ini bersikap sekuler. Bahkan meniadakan Tuhan. Padahal Tuhan berada dalam hukum sebab akibat terhadap apa yang terjadi saat ini. Tapi selama ini kita hanya mengamini bahwa Tuhan hanya bekerja pada wilayah sebab.”

Agus Sukoco mematangkan diskusi, orang yang sudah matang hidupnya tidak memerlukan simbol untuk mengangkat dirinya. Simbol Bawor, atau apapun itu, diperlukan oleh masyarakat kelas bawah untuk menstigma dirinya, agar lebih percaya diri dalam menghadapi hidup.

Menutup diskusi, sebuah nomor musik dilantunkan secara apik oleh Ki Ageng Juguran berjudul Kehidupan Yang Hilang. Diskusi diakhiri pukul 2:45 dengan bersalaman, diiringi selawat Hasbunallah dan puji-pujian.