Kenikmatan Laku Altruisme Dalam Maiyah

Reportase Riungan Jamparing Asih I dan 2

Setiap simpul Maiyah memiliki ciri khasnya masing-masing dalam menjalankan kebersamaannya. Simpul Maiyah Bandung, Jamparing Asih, menggunakan terminologi “Riungan” sebagai agenda kumpul rutin maiyahan yang diharapkan dapat berjalan istiqomah setiap 2 mingguan. Kata riungan atau ngariung dalam bahasa Sunda memiliki arti berkumpul yang biasa dilakukan oleh lingkaran pertemanan, kerabat dekat, sahabat, maupun keluarga dalam suasana persaudaraan. Penggiat Jamparing Asih sangat membuka diri kepada siapapun yang ingin ngariung untuk menikmati kebersamaan Maiyah di tatar Pasundan. Siapapun akan sangat disambut hangat untuk saling bertumbuh, membersamai, dan menemani satu sama lain dalam payung kebersamaan. Riungan Jamparing Asih telah berjalan dua putaran, pada tanggal 30 Oktober 2015 di Studio 1 RRI dan 15 November 2015 di kediaman salah seorang penggiat di daerah Antapani, Bandung.

Riungan perdana Jamparing Asih dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober di ruang Studio 1, RRI. Umumnya, jamaah yang hadir ketika riungan perdana tidak banyak yang saling mengenal satu sama lain, dengan sesama jamaah maupun dengan penggiat. Maka dari itulah, riungan menjadi wadah interaksi yang sangat kunci bagi para pejalan dan pelaku Maiyah Bandung untuk dapat bersilaturahmi, ber-muwajjahah, berdiskusi, menyambung hati, dan menyelaraskan langkah.

Riungan perdana dimoderatori oleh Andityas yang memperkenalkan dirinya sebagai penggiat Jamparing Asih. Turut hadir juga Ust. Bambang Pranggono yang merupakan salah seorang kasepuhan yang juga turut hadir sebagai pembicara bersama Cak Nun di Majelis Masyarakat Maiyah pernah sebagai salah satu pengayom Jamparing Asih pada tahun 2009. Selain itu, Pak Hasto, ketua RRI Bandung sebagai shohibul bait turut mendampingi keberjalanan riungan. Kang Wawan Gunawan dan Kang Mufti selaku kasepuhan Jamparing Asih dan Mas Adi selaku kasepuhan Kenduri Cinta juga hadir ngariung bersama.

Riungan malam itu diawali dengan pemaparan Jamparing Asih dan sejarah terbentuknya sedari Tali Kaasih yang juga sudah dipaparkan sebelumnya pada Majelis Masyarakat Maiyah Bandung perdana bersama Cak Nun Agustus 2015. Mufti mengangkat sejarah persinggungan Cak Nun dengan Bandung. Mufti menyebutkan bahwa di tahun 90-an Cak Nun memiliki forum di Pusda’i yang dinamakan Tali Kaasih yang kemudian berganti nama menjadi Jamparing Asih pada tahun 2003. Nama Jamparing Asih sendiri merupakan nama yang dipilihkan oleh salah seorang tokoh Sunda Wiwitan.

Maiyah malam itu juga mendiskusikan mengenai penggodogan format keberjalanan Maiyah Bandung ke depannya, dan terutamanya adalah silaturahmi dan muwajahah. Jamparing Asih menyadari betul perlunya menyambungkan rantai kebersamaan untuk bermaiyah, terlebih lagi Jamparing Asih adalah forum yang baru dilahirkan kembali, maka silaturahmi adalah langkah pengenalan awal, baik antar penggiat Maiyah dan jamaah, maupun pengenalan kepada konsep bermaiyah agar para pelaku dapat saling berproses dan menyerasikan persepsi juga langkah kaki. Selain itu, dibacakan pula 9 pointer Kedaulatan Manusia Maiyah.

IMG20151030184910

Forum dilanjutkan dengan petuah kearifan dan petikan-petikan kebijasanaan dari Ust. Bambang Pranggono yang merupakan salah seorang kasepuhan yang sudah lama malang melintang di berbagai pergerakan Bandung. Ust. Bambang yang pada malam itu datang ke bersama dengan istrinya menceritakan kisah bagaimana beliau didaulat oleh teman-teman Jamparing Asih untuk menjadi sesepuh karena memang belum ada orang tua di Bandung yang merangkul Jamparing Asih. Ia kemudian menceritakan latar belakangnya sangat beragam, mulai dari pemain band, kebisaannya menarikan tarian Jawa, Bali, Sumatra, tari piring, dan lain-lain, kemampuannya memainkan gamelan, melukis, dan pengalamannya menjadi ilustrator majalah musik Aktuil hingga sekarang menjadi pengajar, dan juga ketua yayasan di Mesjid Istiqomah. Keilmuan yang diajarkan oleh Ust. Bambang pun beragam, mulai dari perencanaan kota, manajemen, arsitek, filsafat islam, peradaban Islam, sampai kepada pengkajian Quran dari beragam disiplin ilmu. Beliau jadi teringat Cak Nun yang juga malang melintang kesana-kemari secara acak seperti pula dirinya.

Pengalamannya yang sangat gado-gado saat ia menjadi seorang aktivis dengan beragam pemikirian keislaman menjadikan dirinya seorang yang tidak membuat-membuat dalam usaha mencari kebenaran. Beliau menekankan bahwa di kehidupan ini tidak ada yang kebetulan. Semuanya rencana Allah. Seperti halnya beragam ritual ibadah yang merupakan cara Allah dalam mendidik manusia. Salah satu contohnya adalah peristiwa wukuf di Arafah. Ust. Bambang kemudian melontarkan pertanyaan, “Kenapa orang Islam setelah wukuf yang merupakan puncak ibadah haji masih harus mabit di Mina selama 3 hari 3 malam? Padahal melempar jumroh hanya sebanyak 7 kerikil kecil. Waktu yang dibutuhkan untuk pelemparan 7 kali pada 1 jumroh mungkin paling lama adalah 15 menit. Namun Allah memerintahkan jamaah haji untuk menginap di tenda-tenda di Mina dan besoknya berulang seperti itu lagi.”

Ust. Bambang mencoba memaknai peristiwa tersebut dari aspek keberagaman. Dalam ritual 15 menit tersebut, Allah menghendaki untuk para jamaah yang sudah melakukan ritual pensucian di Arafah untuk bercampur baur dengan manusia sedunia di Mina. Ketika di Mina, semua jamaah sudah tidak lagi memakai baju ihrom, tidak lagi diseragamkan sebagai mayat melainkan sudah mengenakan baju nasional masing-masing, kuliner lokal, dengan juga menggunakan bahasa nasional yang menunjukkan kayanya perbedaan yang dimiliki ummat manusia. Peristiwa tersebut menyadarkan manusia dengan berbeda warna kulit, rambut, mata, dan lain-lain untuk bertemu dan menghayati perbedaan selama 3 hari 3 malam sebelum pulang ke negaranya masing-masing. Dan ritual tersebut terus-menerus diulang setiap tahun. Islam sangatlah serius untuk meleburkan dan ‘memojokkan’ manusia untuk melihat perbedaan melalui ajaran-Nya, seperti yang tampak pada ritual ibadah haji. Ust. Bambang memiliki tesis yang sama akan Maiyah. Menurut beliau Maiyah adalah manifestasi dari puncak mabitnya manusia di Arafah dalam mengarifi pebedaan yang hadir di hadapan matanya. Perbedaan itu indah maka yang seharusnya dibuang/dilempar itu setannya bukan perbedaannya. “Silakan, pelajari keberagaman,” pungkasnya.

Maiyah mengenal ilmu yang sangat agung nilainya, yaitu menemani atau ngancani yang dalam bahasa Sunda dapat diartikan sebagai ngabaturan.

Diskusi selanjutnya disampaikan oleh Pak Hasto. Beliau sumringah dan berbahagia menekankan bahwa RRI bukan semata bermakna “Radio Rakyat Indonesia” melainkan juga mengemban amanah untuk menjadi tempat bernaung bagi rakyat Indonesia. Pak Hasto memperkenalkan akronim lain dari RRI sebagai “Rorompok Rahayat Indonesia” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “Rumah Rakyat Indonesia”. Beliau menceritakan pengalamannya bermaiyah di simpul Surabaya yang dikenal dengan Bangbangwetan. Persinggungan beliau dengan Cak Nun dikarenakan diselenggarakannya Bangbangwetan di kantor dekat dengan kantor RRI Surabaya yang kala itu dikepalai oleh Pak Hasto sendiri.

Pak Hasto menekankan bahwa RRI saat ini sudah jauh berbeda dengan masa orde baru. Ketika orde baru tidak dapat dipungkiri bahwa RRI dimanfaatkan sebagai corong dan kooptasi pemerintah. Kini RRI adalah corong penyampaian informasi dari dan untuk rakyat. “Merupakan sanjungan untuk RRI yang dijadikan tempat bekerja sama untuk bermaiyah berikutnya,” ungkap Pak Hasto. Ia menilai bahwa pemilihan RRI adalah tepat adanya karena RRI merupakan ranag publik yang tidak ada urusannya dengan kepentingan politik maupun pemodal. RRI berjalan atas amanah uang rakyat, dibiayai negara tapi sebenarnya uang rakyat. “Jadi, RRI sebenarnya adalah miliki rakyat,” ujarnya.

Pak Hasto berharap bahwa Jamparing Asih bisa sedahsyat Bangbangwetan. Terlebih lagi Bandung ia nilai sebagai salah satu pusat intelektual dan keilmuan. Ia merasa takjub ketika melihat berbagai macam kelompok masyarakat hadir dan membaur jadi satu saat ia hadir di Bangbangwetan. Selama bermaiyah di Bangbangwetan, Pak Hasto paling terkesan ketika teman-teman Maiyah menghadirkan Busyro Muqoddas yang ketika itu sangat intens dengan KPK. Sebagai seorang yang berkecimpung dengan dunia media dan juga jurnalisme, Pak Hasto memandang Bangbangwetan malam itu sangat memiliki nilai berita yang tinggi. Kemudian beliau mengambil inisiatif spontan malam itu untuk menyiarkan Maiyah Bangbangwetan secara menasional dengan obivan-nya hingga pukul 3 pagi, walau seharusnya RRI Surabaya berhenti beroprasi pada pukul 12 malam. “Sudah biar itu menjadi tanggung jawab saya,” janji Pak Hasto kepada reporter RRI. Setelah penyiaran BBW malam itu, ternyata RRI kebanjiran pertanyaan dan usulan dari pendengar agar RRI dapat terus menyiarkan maiyahan. Hal itu menjadi indikasi bahwa animo masyarakat terhadap Maiyah sangat tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan Maiyah dan siapapun bisa memetik buah di Kebun Maiyah sebagaimana yang dikehendaki setiap orang.

PERISTIWA ALTRUISME MAIYAH

Jamparing Asih berharap dapat bertumbuh menjadi naungan yang akan saling mengamankan dan menyamankan bagi orang-orang yang bernaung di bawah lingkupannya. Namun bagaimanapun, Maiyah tidak mengikat. Sangat dibebaskan untuk siapapun masuk ke dalam lingkaran untuk mendekat, maupun melangkah pergi menjauh. Maiyah tidak dibangun atas dasar kewajiban, melainkan kesadaran dan kerelaan untuk bersedekah dengan tidak mengharapkan timbal balik secara transaksional, baik menyedekahkan waktu, diri, ataupun rezeki. Pola sedekah Maiyah dapat disimpulkan dengan terminologi etika dan psikologi sebagai “Altruisme”.

Terdapat banyak bidang keilmuan yang mengangkat terminologi altruisme, salah satunya adalah bidang ethology atau biologi perilaku. Namun, altruisme yang dikedepankan Maiyah bukanlah prinsip paradoksal berupa konsep “pemukulan rata” dalam hal pengorbanan diri seperti yang dicontohkan oleh seekor lebah yang “merelakan” dirinya mati saat menyengat pengganggu guna menyelamatkan koloninya. Pola perilaku hewan dan manusia ini mengingatkan kembali lontaran ilmu yang disampaikan Cak Nun di Bandung Agustus lalu, bahwa: “Kebuasan itu hanya dikenal oleh tatanan dan struktur psikologi manusia. Buas itu kata-kata dari kebudayaan manusia. Binatang tidak mengenal kebuasan dan kejinakkan. Jadi kalau ada macan makan rusa, itu bukan kekejaman.” Begitupun adanya dengan pengorbanan diri hewan yang merupakan manifestasi dari sifat altruistik individu terhadap koloninya karena sunatullah-nya sudah berjalan seperti itu.

Dari perilaku-perilaku hewan tersebut manusia tetap diberi akal untuk bisa menjadikan pengamatannya baik terhadap manusia, hewan, maupun alam sebagai mahaguru kehidupannya. Seperti yang dituliskan Cak Nun dalam salah satu esainya, “Apa kau pikir belajar tasawuf itu hanya dari ulama, ustad, dan kiai? Apa kalian pikir cacing yang melata dan rerumputan yang diinjak-injak oleh kaki orang tidak bisa berfungsi sebagai sesama mursyid atau mahaguru bagi proses tasawuf kita?” Walau peristiwa altruistik lebah tersebut dapat tampak pada manusia seperti etos ksatria para pejuang dan syuhada, namun berbeda dengan binatang, manusia memiliki faktor-faktor pembeda yang jauh lebih kompleks dari falsafah ethology. Manusia mengalami perkembangan dan perbedaan tingkatan penyadaran baik psikologi individual, psikologi sosial, spiritual juga kemampuan waktu, rezeki, dan tingkatan amanah yang berbeda-beda.

Altruisme merupakan pola interaksi sosial dari sifat altruistik suatu individu ataupun organisme yang menunjukkan tindakan rela berkorban dan mementingkan orang lain. Altruisme yang dapat diangkat dari sisi Maiyah dapat diimplementasikan dalam akhlak manusia yang dalam Islam sendiri diartikan sebagai itsar yang secara bahasa bermakna melebihkan orang lain atas dirinya sendiri. Jamparing Asih dirasa perlu mencicil kembali konstruksi-konstruksi pemikiran dari yang terkecil seperti konsep bersedekah dalam Maiyah guna mengimplementasikan dan memposisikan diri secara tepat guna untuk dapat merekatkan persaudaraan di simpul Maiyah Bandung. Agar masing-masing individu memahami posisi dan menyelami arti serta batasan antara kesadaran, kerelaan, sedekah, kewajiban, dan tanggung jawab guna tercapainya keluhuran budi atau akhlakul karimah dan paseduluran yang sejati.

“Hanya dengan memahami siapa kita, siapa leluhur kita, darimana kita, maka kita akan sampai pada tahap kedaulatan. Kita harus mulai mencicil untuk mencari akar budaya.”

Sikap altruisme manusia dapat pula mengindikasikan tingkatan keterikatan seseorang terhadap dunia. Diri kita dan setiap apa yang dimiliki adalah amanah untuk diberdayakan sesuai dengan yang Allah kehendaki. Rasulullah hidupnya begitu altruistik dengan mendedikasikan dirinya untuk umat atas perintah Allah. Hidupnya bukan lagi perihal mensedekahkan harta benda tapi sudah pada tahapan pensedekahan diri. Bahkan yang diingatnya sesaat sebelum wafat adalah “ummati, ummati, ummati”. Ruang privasinya hanyalah kamar tidurnya. Terkadang kamarnya sendiri pun ia buka untuk umat, tentunya tergantung kedaulatan masing-masing diri. Bahkan Rasulullah memiliki rumah begitu mungil seluas 3 x 5 meter. Beliau-beliau itu menurut Nissa sudah sangat zuhud dan sadar bahwa yang menjaga diri dan harta yang dititipkan kepada mereka bukan lagi satpam, ataukah tetangganya —bila berada di masyarakat yang guyub— namun Allah-lah yang secara hakikat menjaga semuanya. Tidak hanya pada tataran kepemilikan materi, bahkan pembangunan keluarga pun didasari oleh prinsip “pelayanan”. Disadari atau tidak prinsip pembangunan keluarga yang teramati dewasa ini tidak didasari oleh asas sosial atau keumatan, melainkan—seolah-olah— pendirian dinasti kecil pribadinya sendiri-sendiri. Kita harus semakin sadar dalam memandang kehidupan, bahwa memang sebenarnya pada konsep-konsep pemikiran keseharian pun kita sudah sangat individualis.

Laku altruistik pada tahapan manusia arif ataukah insan kamil mungkin bukan lagi berada pada tahap menganggap apa yang dilakukannya sebagai sedekah. Mungkin mereka sudah tidak lagi berada pada tahapan yang membuatnya bergumam puas, “ah, aku sudah bersedekah, kok..” dan menuntut ganjaran surga atau mungkin sebatas kepuasan rasa. Mungkin mereka sudah melampaui maqam itu secara hakikat mereka telah menyerahkan dirinya kepada Allah untuk menghamba dan mengabdi. Ikhlas menerima apa yang berlaku atasnya dengan mentauhidkan diri hingga keinginannya menjadi sejalan dengan titah-Nya. Telah menjadi satu dengan iradhah-Nya. Meng-esa. Menyatu. Menjadi satu yang saru.

Secara logika, altruisme merupakan hal yang sangat berat dimana suatu organisme mengorbankan atau “menyumbangkan” dirinya sendiri demi kepentingan orang banyak tanpa mendapatkan imbalan apapun. Begitu pun para pejalan nilai Maiyah yang secara altruistik bergembira bersedekah bagi masyarakat tanpa menuntut imbalan. Para pejalan Maiyah memiliki etos memberi, mensedekahi Indonesia tanpa mengharapkan sesuatu apapun dari negara terhadap diri mereka. Orang-orang Maiyah biasa duduk berjam-jam bahkan bergerak secara militan dari kota ke kota untuk menggali kedalaman ilmu. Dan ketika mengalami proses bermaiyah, terkadang yang didapatnya ‘hanyalah’ ilmu, tawa, atau bahkan kebingungan dan kekagetan karena pemikiran yang selama ini telah dianut sangat diacak-acak dan terdekonstruksi.

Maiyah tidak dibangun atas dasar kewajiban, melainkan kesadaran dan kerelaan untuk bersedekah dengan tidak mengharapkan timbal balik secara transaksional. Pola sedekah Maiyah dapat disimpulkan dengan terminologi etika dan psikologi sebagai “Altruisme”.

Aris dari Sukabumi mengutarakan perasaannya saat pertama kali merasakan maiyahan di Bangbangwetan, Surabaya. Ia kaget dengan pola interaksi Maiyah yang seperti bermusyawarah dan berbincang-bincang. Pengalamannya bermaiyah ia tekankan pada proses karena ia sendiri mengerti lontaran-lontaran ilmu Maiyah bukan ketika di tempat majelis, melainkan ketika sudah pulang dan menyepi di kamar dengan peristiwa processing dan loading. Ketika menyadari ilmu yang didapat, ia tertawa dan cengar-cengir sendiri. Saat menghadiri Macapat Syafaat ia sangat menikmati bernyanyi dan bershalawat bersama hingga ia merasa vokalisnya adalah dirinya, bukan Cak Nun ataukah vokalis Kyai Kanjeng lainnya. Ia sangat bergembira dengan Maiyah dimana bisa bersama-sama tertawa, meresapi kehidupan bersama, bahkan bersedih bersama.

Tidak hanya mengambil sudut pandang dari Majelis Masyarakat Maiyah, begitu pun dengan diskusi rutinan simpul-simpul Maiyah. Mas Adi sebagai pinisepuh Kenduri Cinta menyampaikan bahwa ketika sudah semakin menyelami Maiyah, maka konsep berpikir dan cara pandang akan terbalik-balik. Seperti teman-teman Kenduri Cinta yang menyadari bahwa Maiyah sebenarnya berada pada forum mingguan penguatan internalnya yang disebut Reboan yang diselenggarakan setiap Rabu malam. Sementara forum bulanan Kenduri Cinta dipandang sebagai sedekah penggiat bagi masyarakat luas. Mas Adi menekankan kepada teman-teman Jamparing Asih untuk terus bersabar dan bersetia pada proses.

Kang Cecep yang merupakan guru agama SMA terlihat terdiam ketika teman-teman lainnya beradu pendapat di riungan kedua. Ketika ia diminta untuk menyampaikan pendapat, yang dikatakannya adalah bahwa ia senang mendengarkan. Ia senang mendengar lemparan-lemparan pemikiran dan pengalaman dari teman-teman yang hadir. Terlebih lagi seperti yang disampaikannya pada riungan perdana, sebagai seorang guru agama ia mencoba mencari banyak ilmu dan menggali perspektif untuk dapat membantunya dalam mendidik siswa-siswanya. Ia melihat riungan Jamparing Asih sebagai sumber inspirasi dan membuatnya merasa segar setiap kali pulang dari riungan atau maiyahan. Riungan Jamparing Asih bahkan dilihatnya sebagai penghilang penat dan kejenuhan. Hal ini merupakan fenomena yang unik, karena secara mainstream biasanya ‘obat’ kejenuhan adalah pelampiasan kesenangan seperti berekreasi, sedangkan di sisi lain riungan berisi diskusi dan “lempar-tangkap” wacana kehidupan, namun dipandangnya sebagi pelepasan kepenatan. Lontaran pendapat itu menunjukkan refleksi kesenangan dan kebahagiaan yang sederhana namun sangat bermakna.

Dari kaca mata dunia mainstream, hal ini mungkin terlihat sangat anomali dan tidak penting untuk dilakukan karena tidak menguntungkan secara materi. Akan tetapi di dalam nilai-nilai islam, hal ini bukanlah suatu hal yang mustahil. Dalam Maiyah kita tidak dididik untuk melihat segala sesuatu sebagai kausalitas sebab-akibat dan transaksional semata, melainkan juga mengenal pola siklikal, lompatan, bahkan spiral dalam mengarifi kehidupan. Karena di dalam kehidupan, atas izin Allah, tidak ada yang tidak mungkin terjadi.

ILMU NGANCANI BAYI

Jamparing Asih masih berumur sangat muda dalam perjalanan bermaiyah. Selayaknya bayi, teman-teman Jamparing Asih masih sangat butuh untuk ‘ditemani’ dan diperhatikan oleh para sesepuh Maiyah dan terutama oleh para penggiatnya. Teman-teman yang hadir di Riungan memiliki versi yang berbeda-beda tentang apa itu Maiyah, ada yang menyebut Maiyah adalah pengajian, ada yang menyebut sebagai ajang seni, forum silaturahim, oase, ilmu hidup, dan bahkan ada yang belum tahu Maiyah sama sekali karena sangat berfokus pada kefiguran Cak Nun. Bahkan diantara penggiat nyatanya memiliki ragam pemahaman yang berbeda-beda tentang Maiyah dan konsep-konsep “ilmu kehidupan” yang dihasilkan oleh proses bermaiyah selama ini. Pertumbuhan pemikiran, ragam pemahaman, dan perbedaan latar belakang tersebut justru dipandang sebagai proses dan PR bersama, terutama bagi para penggiat. Seperti mengasuh bayi yang baru dilahirkan tentu akan membutuhkan waktu lama dan ketelatenan yang tepat untuk mengajarkan sang bayi dapat berdiri dengan ajeg. Tapi bukankah memang yang terpenting dari semua itu adalah proses? Bukan tujuan. Biarkan saja semua proses mengalir apa adanya. Bahkan ketika ke depannya dirasa sudah ajeg pun, Jamparing Asih tidak boleh berhenti berproses dan mejadi organisme ‘pencari’.

Ada beragam “latar belakang” alasan yang membuat teman-teman yang hadir dapat saling bersingungan dengan beragam pula keresahan yang dihadapi. Salah satu yang hadir bercerita bahwa pencariannya berawal mula dari adanya perbedaan agama yang sedang terjadi di keluarganya. Teh Ully mengatakan sejarahnya hingga dapat ‘terdampar’ dengan maiyahan berawal dari rasa penasaran terhadap retweet salah seorang seniornya di Twitter. Iki mengungkapkan ia pernah menyengajakan diri dengan hanya berbekal spontanitas tanpa tahu apa-apa untuk sowan ke Kadipiro dan menceritakan keresahannya terhadap radikalisme pergerakan keagamaan mahasiswa Islam di kampusnya. Ada pula Kang Edi yang memiliki keresahan akan dunia seni musik. Ia pertama kali mengenal pemikiran Cak Nun melalui buku yang sedang dibaca temannya, penjual buku di Palasari, yang berjudul Kyai Bejo, Kyai Untung, Kyai Hoki. Begitu membaca buku tersebut, ia langsung membeli buku temannya itu.

Kang Edi dengan santai memaparkan figur Cak Nun di mata dirinya sebagai sosok “ayah yang rock and roll”. Hal tersebut menjadi perhatiannya karena ia sendiri adalah seorang musisi yang pernah memiliki sebuah band indie. Ia melihat cara mendidik Cak Nun kepada Sabrang begitu melepaskan namun objektif. Yang membuatnya ingin mendekat dengan Maiyah adalah ketika mengetahui Sabrang membuat jamaah Musik Edukasi yang manggung dari sekolah ke sekolah. Ia melihat Sabrang yang sedari awalnya menggeluti musik di ranah mainstream bisa “turun ke bawah”. Ia pun ingin “turun ke bawah” seperti itu, karena dunia musik mainstream menjadi salah satu keresehan dalam dirinya. “Dunia mainstream udah chaos, lebih asik berkomunitas di bawah. Malah yang katanya indie pun sudah tidak lagi memaknai indie secara esensi. Secara bisnis sudah mainstream dan gak asik. Jamparing Asih mengobati sakit hati saya dengan ke-mainstream-an.”

“Setiap kata dan gerak ada ilmu, tujuan baik ada washilah, ada cara, dan ghoyah. Tujuan sudah baik tapi ingat cara dan posisi untuk dipertimbangkan.”

Maiyah mengenal ilmu yang sangat agung nilainya, yaitu menemani atau ngancani yang dalam bahasa Sunda dapat diartikan sebagai ngabaturan. Paseduluran Maiyah sangat mengajarkan laku hidup ngancani dan membersamai. Proses untuk dapat saling menemani satu sama lain sebagai teman seperjalanan secara perlahan. Menemani untuk saling bertumbuh maupun menemani untuk mengobati kegelisahan. Proses penyadaran untuk saling menemani dimulai dari hal yang paling esensial bagi Maiyah, yaitu muwajjahah. Dalam muwajjahah, jamaah dapat saling sambung rasa dan membicarakan apa saja. Walau tampak receh, namun itulah titik keutamaan Maiyah : ngariung, ngumpul, bertatap muka. Dari riungan dan riungan yang rutin diadakan satu sama lain dapat saling berturkar pendapat dan kegundahan. Saling menemani dan bersama-sama menemani. Dalam kebersamaan itu, masing-masing individu akan dapat saling menguatkan dan mengajarkan kuda-kuda dasar agar ajeg dalam berpijak. Niscaya suatu saat masing-masing diri jamaah Maiyah akan menyadari bahwa semua proses, termasuk terbentuk kembalinya Jamparing Asih di tatar Pasundan, adalah karena diperjalankan dan diperkenankan oleh Allah.

Secara umum, Maiyah tidak menganut mahzab sistem manajemen struktural atau pola organisasi formal dan modern dalam keberjalanannya. Bila menggunakan kaca mata modern maka apa yang dilakukan oleh simpul-simpul Maiyah dinilai sebagai sesuatu yang tidak praktis dan tidak logis. Terlebih lagi di dalam Maiyah semua jenis orang dapat ditemukan. Dan perbedaan-perbedaan itu dianggap sebagai kekayaan dan keniscayaan. Hal tersebut mengingatkan Faqih pada kisah pengislaman Umar Bin Khattab. Pada masa itu Umar bin Khattab yang memiliki watak tegas dan keras didoakan oleh Rasulullah untuk memeluk Islam. Seseorang pernah berpesan kepadanya yang ia sampaikan di forum, bahwa orang sekaliber Abu Bakar saja tidak bisa memenuhi kebutuhan agama, maka dari itu dibutuhkan pula karakter seperti Umar bin Khattab. Kisah ini dapat juga dihubungkan dengan figur Silok yang diangkat oleh Kenduri Cinta bulan November dimana ia mengidentifikasikan dirinya sebagai free-man. Faqih merasa semuanya memang sepantasnya natural dan sudah ada sunatullah-nya, begitu juga dalam proses beragama. Sementara itu organisasi dan wacana-wacana berislam saat ini isinya tak jauh dari proses penyeragaman. Ada pula yang terlampau menekankan hanya kepada adab-adab seperti makan 3 jari, namun tidak meluas kepada ranah sosial dan budaya bermasyarakat. “Kalau semuanya diseragamkan lalu sunatullah-nya dimana?”, mungkin itu yang dapat menjadi pertanyaan lanjutan yang disimpan dalam hati pendengar terhadap diskusi yang dilontarkan oleh Faqih.

“Maiyah mengajarkan bahwa kesedihan adalah kenikmatan, kebuntuan adalah anugerah Allah dalam memperkenalkan Diri, keresahan adalah gerbang awal kepada kebaikan, dan keterpojokan adalah cara-Nya dalam memberi “pertanda” untuk “dibaca” ketika Ia ingin menitipkan amanah bagi tiap diri manusia.”

Jumee menambahkan mengenai wacana kefitrahan. Menurutnya yang paling enak dalam berproses adalah mengikuti fitrah yang setiap individunya berbeda-beda, bukan fitrah secara umum. Ia berkaca pada latar belakangnya yang pernah berkecimpung di partai politik dan menjadi aktivis bahwa baginya apabila menjalani aktifitas dimanapun yang telah dipandu oleh sesuatu yg firm dan tidak bisa diganggu gugat akan membuatnya jenuh dalam berproses. Jamparing Asih harus pula dapat saling mengkoreksi, karena kalau tidak bisa dikoreksi dari bawah akan membuatnya muak.

Ia menekankan agar Jamparing Asih bisa menjadi natural karena setiap hal memiliki perbedaannya sendiri-sendiri berdasarkan karakter maupun alam yang membentuknya. Harus pula dapat dibedakan antara natural dan neutral. Sebagai contoh, natural dari maling adalah mengendap-ngendap, orang baik punya nature-nya sendiri, kucing punya nature-nya sendiri, mahasiswa berproses dan pekerja tentu akan memiliki pola berproses yang berbeda-beda. Bahkan di Jamparing Asih pun berbeda-beda budaya.

Jumee mengatakan agar masa depan Jamparing Asih dibuat “natural” saja. Sesuatu yang natural tidak membutuhkan media inkubasi tertentu karena dikhawatirkan akan kembali menjadi produk massal dan terfabrikasi. Lebih baik jalan bersama mencari “enaknya gimana” bersama-sama. Tapi bagaimanapun tunggu saja prosesnya. Kalaupun harus netral sehingga harus ikut kesana-kesini pun tidak apa-apa. Kalau suatu saat ikut ke arah “sana”, nantinya harus juga ikut ke arah “sini”. Tapi tak perlu juga terlalu membanding-bandingkan, maka nanti akan terasa tertarik-tarik dan takutnya jadi gak kemana-mana,” ungkapnya.

“Dari tadi pemaparannya asik,” Kang Inin seorang jurnalis sebuah surat kabar menambahkan. “Semakin mempertebal (kesadaran) bahwa ini harus terus berjalan,” sambungnya lagi. Baginya yang telah teman-teman lakukan sejak tadi adalah bermaiyah di mana semua datang dari berbagai arah dan bertemu di 1 titik temu, yaitu Maiyah. Kang Inin yang sudah merasakan nuansa Riungan kemudian berbicara bahwa untuk kedepannya ada atau tidaknya narasumber pun bukan masalah, itu dinilainya sebagai bonus. “Toh kalaupun tidak ada mereka juga, yang sudah kita dapat juga sangat luar biasa.”

IMG_20151124_211410

PERGERAKAN SOSIAL ATAU PEMENDAMAN NILAI?

Pada riungan perdana Kang Wawan mengangkat diskusi tentang pergerakan sosial. Menurut Kang Wawan, berdasarkan sejarah kesinambungan Tali Kaasih dan Jamparing Asih dengan Cak Nun di Bandung adalah keberadaannya sebagai bentuk social movement bukan bersifat sebagai event organizer dari kegiatan. Kang Wawan membagikan pengalamannya ketika menjadi penggerak beberapa tahun silam bahwa menurutnya yang terpenting dari Jamparing Asih adalah keberlanjutan. Berulang kali Jamparing Asih ‘timbul dan tenggelam’ disebabkan sedikitnya jumlah penggerak pada saat itu.

Kang Wawan mengharapkan dengan adanya regenerasi di Jamparing Asih, maka teman-teman Jamparing Asih dapat menentukan arah keberjalanan maiyahan di Bandung, walau pada dasarnya Maiyah adalah memang ‘hanya’ terlihat sebagai sekumpulan orang-orang senang berdiskusi. Salah satu hal yang dapat mengikatkan ‘etos kerja’ teman-teman Jamparing Asih adalah pembuatan buletin mesjid. Mungkin memang terlihat sepele, tapi menurutnya hal tersebut sangat baik untuk menampilkan ‘pola pikir’ teman-teman Jamparing Asih, terlebih lagi, buletin yang disebar di mesjid rata-rata hanya berisi cacian dan makian. Contoh kasus tersebut dapat pula disambungkan dengan tema Macopat Syafaat bulan Maret 2015, yaitu “Rahmatan lil ‘Alamin-nya Manna?” Selain itu, tak hanya melalui tulisan yang berbentuk fisik, lebih krusial lagi, di era teknologi informasi sekarang ini pun sangat-amat marak manusia saling mengkavling-kavlingkan surga. Manusia kini telah menjadi “tuhan” semua sehingga surga dirasa hak prerogatifnya. Maiyah menjadi media yang meng-cover ketimpangan-ketimpangan itu dengan saling berdiskusi dan tabayyun tanpa saling membeda-bedakan.

Iwa urun pendapat bahwa yang menyatukan dan memperjalankan manusia-manusia di Maiyah adalah nilai. “Manusia Maiyah secara umum adalah para pejalan nilai. Bila melihat Maiyah sebagai social movement, maka pergerakannya tidak sama seperti organisasi mainstream, pergerakannya adalah: pembenahan pola pikir,” ungkapnya. Maka kunciannya adalah menginternalisasi nilai. Agar gerak dapat jelas terarah maka yang terutama untuk dipahamkan adalah bahwa ilmu dan nilai harus dipendam dalam diri, diinternalisasikan, sehingga dapat membuahkan laku maupun pergerakan sesuai dengan iradhah Allah terhadap Jamparing Asih di tatar Pasundan.

FITUR ILMU DAN PASEDULURAN TANPA BATAS

Pada inti dan kedalaman ilmunya, Maiyah tidak sekadar fenomena berkumpul bersama dan berdiskusi dengan menghadirkan narasumber. Secara an sich, Maiyah adalah sumber ilmu dan paseduluran. Yang diutamakan dari Maiyah adalah sharing ilmu sebanyak-banyaknya agar nanti setiap individu dapat menginternalisasikannya ke dalam kehidupannya masing-masing. Tidak kalah penting dari sumur ilmu, Maiyah adalah paseduluran tanpa batas. Maiyah menjadi wasilah dan akeselerasi untuk mencapai ghayah berupa ilmu dan paseduluran tanpa batas. Seperti proses bertani yang dipaparkan oleh Cak Nun bahwa petani nyingkal tanah itu adalah juga implementasi dari Maiyah. Ketika petani nyingkal tanah ia sedang menyambung pertemanan dengan tanah, kerbau, cangkul, dan lain-lain. Setiap singkalan tanah itu hakikatnya merupakan ilmu kehidupan yang mendalam. Aforismenya yang dapat mewakilinya adalah: Ngelmu iku kelakone kanthi laku.

Iwa yang sudah lama mengenal simpul-simpul Maiyah membagikan pengalaman yang dirasakannya dalam bermaiyah dan paseduluran-nya. Ia merasakan adanya perubahan posisi dalam lingkaran pertemanan. Yang terpenting adalah jalani saja, niscaya tiap-tiap orang akhirnya dapat menyadari bahwa tangan-tangan Allah itu luar biasa dekat dan jelas. Setiap ada simpul Maiyah dimanapun itu, ia akan menyempatkan datang. Hal tersebut bukan sekadar militanisme untuk kesenangan pribadi melainkan menikmati kebagiaan dalam menjalani Maiyah dengan sedulur-sedulur Maiyah lainnya. Tidak hanya menyambungkan persaudaraan sekadar “say hi”, namun Iwa juga belajar banyak hal dari sedulur-sedulur Maiyah yang ia temui karena semuanya dipandang sebagai sumber ilmu.

Nissa yang merupakan penggiat Jamparing Asih mengiyakan bahwa Maiyah adalah implementasi dari lelaku hidup. Ia pun merasakan adanya pergeseran lingkaran pertemanan itu. Kalau sudah dapat membaca pola, saling menangkap vibrasi, dan frekuensi sudah saling tersambung maka tak butuh waktu lama lingkar Maiyah akan secara magis, natural, dan tanpa paksaan menjadi sandaran yang saling menyamankan, tempat berkumpul yang saling mengamankan, dan tempat mengadu mengenai kehidupan dalam scope yang meluas dan mendalam. Bahkan satu sama lain secara intuitif akan saling memahami pola dan alasan masing-masing diri dipertemukan dan diperjalankan.

Lingkaran Maiyah tidak melihat kehidupan secara transaksional dan mengharuskan adanya sebab-akibat antara pemberian dan penerimaan. Bagi Nissa, Maiyah adalah teman perjalanan yang melandaskan pemberian atas dasar cinta kasih dan sedekah, bukan sebagai kewajiban. Lingkaran Maiyah tidak menuntut kesempurnaan diri dari kaca mata duniawi, melainkan membantu menjaga otentisitas sunatullah yang ada. Maiyah mengajarkannya bahwa kesedihan adalah kenikmatan, kebuntuan adalah anugerah Allah dalam memperkenalkan Diri, keresahan adalah gerbang awal kepada kebaikan, dan keterpojokan adalah cara-Nya dalam memberi “pertanda” untuk “dibaca” ketika Ia ingin menitipkan amanah bagi tiap diri manusia.

Internalisasi Maiyah bagi Nissa terasa sangat berharga saat memandang kehidupan yang bukan semata menggapai apa yang diinginkan untuk terjadi, melainkan terus membaca pertanda terhadap pola diperjalankan setiap diri. Belajar untuk terus meneliti positioning diri. Seperti yang kerap diingatkan oleh sedulur Maiyah kepada dirinya: “Titeni uripmu, nok…” Hal yang penting untuk dilakukan adalah mendengarkan karena ia meyakini sedulur Maiyah punya banyak hal berharga untuk diungkapkan ibarat seorang “pembawa pesan” guna “pencarian pola perjalanan”. Dari sedulur Maiyah ia belajar bahwa kuncian-kuncian yang penting untuk diingat adalah mengasah rasa dan nriman. Bukan pemaksaan target dan tujuan atau bayangan akan angan-angan terhadap pencapaian-pencapaian yang tak pasti sejati karena yang terpenting dari hidup adalah menghargai proses dan menikmati perjalanan. Bila dapat dirumuskan ke dalam 1 kata, maka hidup adalah “menjalani”. Ia juga merasa resah apabila yang menjadi “hak pakainya” tidak dapat dimanfaatkan secara benar utuk orang lain karena khawatir titipan Allah tidak diberdayakan sebagaimana yang diinginkan-Nya dan membuat titipan tersebut menjadi sesuatu yang mubadzir pada akhirnya.

IDENTIFIKASI MAKANAN, MINUMAN, DAN MLM

Pada riungan kedua teman-teman Jamparing Asih bersama-sama menikmati makan malam sederhana dengan beralaskan nyiru dan daun pisang. Menu makanan malam itu adalah tahu dan tempe goreng, sayur bayam, kerupuk aci, dan tentunya menu yang tidak akan terlewatkan sebagai orang Sunda, yaitu lalapan timun dan sambal dadak terasi. Seabagai penghangat suasana malam itu, teman-teman juga sama-sama menikmati wedang uwuh hangat yang dibawa oleh Iwa. Wedang uwuh memiliki sensasi yang menghatkan sekaligus menyegarkan. Di dalamnya terdapat campuran berbagai macam rempah sesuai dengan arti dari namanya, yaitu wedang ‘sampah’. Selain sebagai minuman yang menghangatkan, wedang uwuh juga biasa diminum untuk melegakan sakit tenggorokan. Pengistilahan dan ‘karakter’ wedang uwuh dapat diibaratkan dengan cita rasa bermaiyah yang melegakan dahaga dan serba ada. Semuanya tumpek-ruwek jadi satu.

Faqih mengungkapkan, “Maiyah membuat orang yang berada di dalamnya merasa nyaman dan tercerahkan. Tidak ada saringan, siapapun boleh masuk.” Ia mengibaratkan kondisi bermaiyah seperti sedang berkumpul mengelilingi suatu meja makan dengan 2 kemungkinan, yaitu membuat nasi goreng bersama-sama atau masing-masing orang membawa hasil makanan sendiri-sendiri untuk sama-sama dilahap di meja makan namun setiap orang harus saling mencicipi. Namun di atas kedua opsi tersebut, apabila pada akhirnya ada orang yang memilih untuk mie rebus ataupun gado-gado, maka hal tersebut tidak disalahkan. Dan di akhir tiap-tiap orang dapat menyimpulkan makanan buatan siapa yang paling enak karena pada akhirnya akan dikembalikan masing-masing melalui perjalanan hidupnya untuk menikmati rasa itu.

Baginya, Maiyah diibaratkan pula sebagai pemasak koki yang handal. “Di Maiyah agama itu ibarat garam, kalau makan nasi goreng tanpa garam tentu orang akan enggan makan karena tidak enak. Sedangkan kalau hanya disuguhkan makanan berupa garam saja tentu tidak akan dimakan pula. Menurutnya, Maiyah “jago” mengkomposisikan makanan, baik itu berkenaan dengan sosial, budaya, sunatullah, dan lain-lain. Dalam Maiyah, masing-masing orang dapat mengolah segala sesuatu dengan tingkat kelezatan yang disepakati hingga dapat dinikmati bersama-sama.

Iwa berpendapat bahwa pada dasarnya ia sendiri tidak mengetahui apa itu sebenarnya Maiyah. Namun, yang pasti ia merasakan kenikmatan dalam naungan Maiyah yang membuatnya ingin menyebarkan rasanya, mengajak orang-orang di sekitarnya untuk sama-sama menggali kenikmatan bermaiyah. Seperti ketika sedang menikmati yoghurt Cisangkuy khas Bandung yang ia rasa sangat nikmat, maka ia akan langsung teringat istri, anak, dan orang-orang tercintanya. Betapa dirasa ada yang kurang apabila orang-orang terkasihnya tidak ikut mencicipi nikmatnya minuman yoghurt tersebut. Begitupun dengan Maiyah. Sebagai jamaah yang sudah lama mengikuti Maiyah, mengenal orang-orang Maiyah, dan menyelami kenikmatan rasa bbermaiyah, ia ingin teman-teman Jamparing Asih ikut bersama-sama merasakan sensasi kenikmatannya dengan cita rasa kebersamaan.

Selain itu, ia juga mengibaratkan dirinya sebagai agen MLM (Multi Level Marketing). Sebagai seorang agen penjual juga harus nyetok produk untuk dijual dan digunakan sendiri. Seorang agen tidak mungkin menyuruh orang kalau dirinya sendiri belum mencoba produknya. Ketika seorang agen sedang memprospek downline maka ia akan luar biasa antusias karena product knowledge yang dimilikinya sudah luar biasa. Kurang lebih seperti itu perasaannya ketika “memprospek” orang-orang untuk dapat ikut mencicipi Maiyah. Maka ia mengajak agar teman-teman saling mengusahakan datang setiap kali mendapatkan undangan Jamparing Asih untuk sama-sama merasakan “khasiat” dari Maiyah.

MENCICIL KESUNDAAN MAIYAH DAN KERABUNAN PANDANGAN

Penggiat Jamparing Asih, Andityas mengungkapkan bahwa salah satu tantangan keberadaan Maiyah di tatar Pasundan adalah mengimplementasikan nilai-nilai Maiyah yang diyakini universal dengan kebudayaan Sunda. Jamparing Asih diharapkan dapat menjadi representasi dari “gado-gado nusantara” yang merepresentasikan kebudayaan Sunda. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Hal tersebut merupakan tantangan tersendiri karena nilai-nilai Maiyah selama ini sangat kental dengan budaya Jawa. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mensekat-sekatkan satu suku dan yang lainnya. Namun masyarakat Bandung khususnya sudah sepantasnya untuk mulai disadarkan kembali bahwa kebudayaan Sunda itu adalah kebudayaan yang luhur yang harus “dibangkitkan kembali”.

Iwa mengingatkan teman-teman Jamparing Asih kepada kutipan dari Ki Hajar Dewantara yang kurang lebih mengungkapkan seperti ini, “Saat bangsa ini akan mengalami kebingungan, ketika masa itu datang, kembalilah kepada nilai lama.” Sedari dulu tokoh nasional sudah memberikan jalan dan petuah seperti itu, maka sudah sepantasnya disambut. Hanya dengan memahami siapa kita, siapa leluhur kita, darimana kita, maka kita akan sampai pada tahap kedaulatan. Kita harus mulai mencicil untuk mencari akar budaya. Upaya awalnya adalah dengan sowan ke tokoh-tokoh Sunda, mencari sejarah pasundan, sejarah orang sunda, mencari nilai-nilai sunda, dan memperkenalkan nilai-nilai lama.

Iwa menceritakan pengalamannya melakukan studi pengamatan lapangan di Banten ketika SMA. Iwa dan teman-temannya menanyakan letak warung kepada warga sekitar dan dibalas dengan gestur menunjuk ke suatu arah menggunakan jempol sembari berkata, “caket”. Saat menapaki jalan, warungnya tidak ketemu-ketemu bahkan telah sejam berlalu. Gestur tersebut sangat biasa bagi orang Sunda yang sudah menjadi budaya turun-temurun, setiap menanyakan jalan dijawabnya dengan penunjukkan arah menggunakan jempol dan jawaban “caket” yang berarti dekat, walau pada kenyataannya lokasi yang ditanyakan bisa terbilang jauh.

Jawaban dari kebudayaan itu baru ia temukan dari salah seorang temannya yang sedang membantu masyarakat Ciwidey. Menurut temannya orang Sunda memiliki 2 gestur jempol walau untuk kedua gestur jawaban yang terlontar tetaplah kata “caket”. Gestur jempol pertama menunjukkan jarak yang sebenar-benarnya dekat, gestur kedua menunjukkan jarak yang sebenarnya jauh. Ucapan “caket” baik untuk jarak jauh sekalipun menunjukkan luhurnya orang-orang zaman dulu sebagai upaya menjaga mental penanya agar tidak jatuh dan ciut sebelum berusaha. Kalau diberi tahu “jauh”, maka penanya akan malas-malasan dalam mencari. Yang terpenting adalah mencari dan usaha dulu. Potongan peristiwa tersebut menunjukkan orang Sunda memiliki ilmu dan budi yang luhur.

Paseduluran Maiyah sangat mengajarkan laku hidup ngancani dan membersamai. Proses untuk dapat saling menemani satu sama lain sebagai teman seperjalanan secara perlahan. Menemani untuk saling bertumbuh maupun menemani untuk mengobati kegelisahan.

Keilmuan Barat mengacu ilmu kebudayaan sebagai local wisdom. Maka orang Maiyah harus mempertanyakan kenapa disebut kearifan lokal yang memberi kesan sebagai sesuatu yang baru, asing, dan melengkapi. Mempertanyakan kembali apa yang dianggap tradisional, modern, dan maju. Seperti yang disampaikan Cak Nun saat Jamparing Asih Agustus lalu untuk memahamkan mana yang bersifat alternatif, mana yang mainstream. Mungkin sudah menjadi PR Jamparing Asih kedepannya untuk berusaha me-mainstream-kan kembali yang selama ini dianggap alternatif. Kalau bangsa mau bangkit, nusantara mau bangkit, maka harus dirumuskan mau bangkit seperti apa. Kalau mau bangkit sebagai Garuda, harus tau Garuda itu apa. Apabila angkatan pertama burung Garuda dimasukan ke dalam kerangkeng, apakah anaknya masih bisa terbang? Bagaimana dengan cucu-cicitnya?

Bagi Andityas, Jamparing Asih ya Jamparing Asih. Karakter Jamparing Asih tidak bisa di-Mocopat Syafaat-kan atau di-Bangbangwetan-kan. Bukannya tidak mau namun Jamparing Asih harus berdaulat terhadap dirinya walaupun tetap apresiatif terhadap banyak kebudayaan. Andityas mengungkapkan bahwa boleh dibilang dewasa ini Sunda mengalami kelowongan dalam hal ketokohan. Sebagai contoh, tatar Sunda memiliki Kang Ibing sebagai ikon Sunda yang dikenal luas dan diterima oleh semua lapisan masyarakat. Maka arahan dari Jamparing Asih sekarang adalah untuk menggaet tokoh-tokoh Sunda sebagai pembawa budaya native-nya. Mang Udjo menurutnya sangat representatif bagi budaya Sunda di Bandung. Ia mengapresiasi keberhasilan Saung Angklung Udjo dalam melembagakan kreasinya hingga dapat membuat sentral belajar dan kebudayaan sendiri. Saung Angklung Udjo dilihatnya sebagai ‘ikon’ kesundaan yang sangat kuat dengan potensi budaya yang sangat besar pula.

Iwa menambahkan bahwa pencarian paling besar dalam setiap diri manusia apapun identitasnya adalah pencarian terhadap asal-usul diri. Dalam Bahasa Jawa-nya disebut ilmu sangkan paran ning dumadi. Setiap simpul ‘diharuskan’ untuk berusaha mencari akarnya sendiri-sendiri. Berkenaan dengan figur, Iwa kembali mengangkat mengenai kebrahmanaan. Di masa teknologi informasi dan maraknya media massa, sudah sulit untuk menemukan orang-orang tua arif. Figur Brahmana semakin jarang padahal dari merekalah kita dapat belajar tentang kearifan hidup yang benar. “Kita harus jeli dalam melihat bahwa orang bermutu belum tentu terkenal dan orang terkenal belum tentu bermutu. Carilah orang bermutu, meski belum tentu terkenal,” pungkasnya.

Altruisme yang dapat diangkat dari sisi Maiyah dapat diimplementasikan dalam akhlak manusia yang dalam Islam sendiri diartikan sebagai itsar yang secara bahasa bermakna melebihkan orang lain atas dirinya sendiri.

Faqih mengutarakan bahwa kini dirasakan banyaknya pengaruh-pengaruh yang membuat distorsi terhadap substansialisme dan pencekokan kerangka pikir tertentu. Hal tersebut menyebabkan kebingungan massal, kerabunan pikiran, dan ketumpulan berpikir secara sehat dan jujur. Semakin lama kita semakin mengalami krisis moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu disebabkan kesibukan yang (mungkin) berlebihan, gaya hidup yang sudah tidak karuan (pergaulan, pemborosan berlebihan, orientasi mutlak terhadap keduniawian). Sebagai seorang mahasiswa juga ia merasakan bahwa manusia pada umumnya dan mahasiswa khususnya sedang diarahkan ke ‘suatu tempat’ secara tidak sadar. Ia juga mengilustrasikan pergaulan yang diobservasinya seperti si A yang melihat si B mabok-mabokan dan main cewek, kemudian si A bergumam, “Ah, saya minum doang, si B kan udah minum-main cewek lagi.” Kemudian si B melihat si C yang melakukan tindakan lebih tidak baik dari sudut pandangnya bergumam. “Ah, saya kan cuma minum dan main cewek, si C kan udah minum-main cewek-nyandu narkoba lagi.” Dan begitu saja seterusnya hingga berlapis-lapis alasan dan bertingkat-tingkat pembenaran.

Menurut Faqih, lingkungannya memiliki tingkat kecuekan yang sangat tinggi dan tidak kritis. Seolah ada yang mencekoki pemikiran, “Nggak usah banyak mikir nanti kamu repot. Jangankan memberontak, mempertanyakan saja tidak.” Ia juga sangat menyayangkan dengan dirinya yang memiliki background teknik tidak mengajarkan mata kuliah filsafat ilmu. “Filsafat teknologi tidak ada, yang ada hanya dasar-dasar matematika distrik. Mahasiswa pun jarang bertanya. Entah jarang bertanya atau memang karena tidak pernah di-trigger untuk itu,” bebernya lagi. “Berbeda sekali dengan Cak Nun yang kerap berucap bahwa: saya tidak sedang mendikte, hanya mancing-mancing anda. Nanti anda yang akan cari sendiri jawabannya.” Ia merasa mungkin mahasiswa-mahasiswa di kota urban butuh ‘ditampar’, tidak literally ditampar, tapi ya ‘disadarkan’. Menurutnya forum Maiyah akan sangat bagus untuk mahasiswa di Bandung. Setidak-tidaknya mereka akan memiliki lebih banyak opsi pemikiran untuk dipilih.

Nissa menambahkan kemungkinan ‘strategi’ pendekatan Jamparing Asih dengan pemaparan akulturasi wali songo, konsep “ma lima”, dan kendurian. Menurut Pak Agus Sunyoto pada zaman sebelum masuknya Islam, “ma lima” merupakan pengistilahan yang dikenal sebagai laku ritual sakral, seperti mabuk dan memakan beragam jenis daging tergantung dari tingkat moksa-nya.”Mo limo” yang kini diperkenalkan oleh wali songo, yaitu madat, madon, main, minum, dan maling. Sama-sama berisi hal yang tidak baik, namun pengenalan terhadap terhadap kedua jenis tapi dengan petuah larangan, “Ojo mo limo!” yang membuat masyarakat semakin aware untuk tidak melakukan kedua jenis “mo limo” tersebut. Selain itu untuk membenahi masyarakat wali songo pun membuat lingkaran jamaah dengan budaya tandingan berupa kendurian atau selamatan, sehingga lama kelamaan budaya leluhur yang tidak baik pun terlupakan dan tergantikan dengan budaya baru. Mungkin memang tidak menempatkan diri sebagai “budaya tandingan”, melainkan seperti yang disampaikan Faqih yaitu dapat menjadi “opsi” kebudayaan yang dapat dipilih.

Iwa kembali menekankan kepada ilmu ngancani. “Posisi utama menampar adalah menemani. Ilmu ngancani luar biasa sulit dan tinggi.” Ketika Iwa sedang memaparkan bahasannya mengenai cara bertindak yang tepat terhadap fenomena saling menyalahi, Hadi beranjak dari posisi duduknya kemudian memberikan barang kepada teman di seberangnya. Pada saat memberi barang tersebut ia tidak sengaja menyandung gelas yang ada di hadapannya. Peristiwa tersebut kemudian dengan spontan dijadikan sumber ilmu oleh Iwa, “Jangan sampai ketika sudah megang dan menjalankan nilai Maiyah dimanapun berada, cara kita seperti ini: Wah, ada seseorang yang butuh disedekahi. Ia sedang kesulitan’ Kemudian bersikap menolong, memberikan barang tapi nggak kelihatan ternyata pas ngasih malah nyandung gelas,” yang disambut oleh tawa teman-teman yang hadir. “Setiap kata dan gerak ada ilmu, tujuan baik ada washilah, ada cara, dan ghoyah. Tujuan sudah baik tapi ingat cara dan posisi untuk dipertimbangkan.”

INKLUSIFITAS

Seperti filosofi pendopo yang mengajarkan proses demokrasi dan kebebasan berpendapat, Jamparing Asih mengajak sedulur semua untuk datang dan duduk bersama di ‘pendopo’ inklusif Jamparing Asih. Yang akan menjadi ‘pendopo’ kita bila engkau berkenan. Berdasarkan filosofinya, pendopo adalah bangunan yang luas dan terbuka (tanpa sekat), yang biasanya terletak di depan rumah atau pelataran. Di pendopo, setiap orang dapat masuk dan bebas untuk berbicara, berdiskusi, dan berdialog apa saja. Setiap orang diizinkan untuk mengutarakan pendapatnya sekalipun setiap kepala dari orang yang melingkar di pendopo memiliki pendapat yang sama sekali berbeda satu sama lain.

Selain untuk berinteraksi, pendopo adalah tempat bermusyawarah untuk mendapatkan mufakat. Apabila hasil dari musyawarah tersebut memiliki kesamaan cara pandang, maka sang tamu dapat beranjak dari pendopo ke rumah bagian dalam, hingga menuju ruang utama atau inti dari hunian. Lebih jauh lagi, apabila sang tamu memiliki kebertuhanan yang sama, maka sang tamu dapat bermeditasi di sentong. Dalam konteks ini, tamu yang datang dan berembuk di pendopo dapat diibaratkan dengan orang-orang Maiyah dari latar belakang yang beragam, sedangkan sentong dapat dianalogikan sebagai Diri yang Sejati.

Apabila hasil pembicaraan di ‘pendopo’ dirasa tidak sesuai, maka sang tamu dengan kesadaran sendiri akan beranjak ke bagian luar rumah, yaitu ke bagian pelataran ataupun pergi ke jalan untuk melanjutkan perjalanannya. Begitu pun bila melihat riungan seperti saung di tengah sawah. Apabila obrol-obrol yang dilakukan di saung saat ngaso setelah penat bertani dirasa tidak cocok baginya, maka setiap orang boleh dengan bebas pergi ke tempat yang ditujunya atau pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi perlu disadari, bahwa petir begitu memekakan telinga dan hujan begitu derasnya. Yakinkah kau mau berjalan sendirian di tengah gemuruh itu? Silakan datang bertandang dan berteduh bersama.. Dihaturanan kasumpinganana.