Sepakbolaisme

Kalau konsumerisme diartikan sebagai gaya hidup yang menganggap produk-produk yang dibeli adalah ukuran kesenangan hidup. Dalam konteks seperti itu juga istilah di atas dipakai sebagai judul, meski mungkin bukan sesuatu yang baku menurut tata bahasa.

Ya, kita melihat hari ini sepak bola menjadi bagian yang tak bisa ditinggalkan dari dinamika peradaban manusia modern. Seperti halnya di negara-negara Aropa dan Amerika Latin, di negeri ini sepak bola tak lagi sekadar menjadi olahraga atau tontonan, tapi juga sudah menjadi gaya hidup, menjadi tema besar perbincangan dalam pergaulan sosial, juga memicu perdebatan di media sosial.

Sepak bola juga menjadi permainan konsol terlaris, bahkan bagi sebagian orang, nama dan bendera klub sepak bola menjadi identitas pribadi atau kelompok, atau juga menjadi semacam “tools” untuk aktualisasi diri. Kita lihat jersey klub sepak bola, utamanya klub Eropa dipakai masyarakat kita, mulai dari pedagang kaki lima hingga eksekutif muda, mulai dari kanak-kanak sampai bapak-bapak, tak sekadar sebagai baju untuk menutup tubuh, tapi juga ekspresi untuk menunjukkan kepada siapa dukungan ditujukan.

Sampai pertengahan 90-an, bagi yang masih ingat, mungkin mengalami bagaimana “sepakbolaisme” belum begitu mewabah. Sepak bola “cuma” jadi perbincangan di warung atau obrolan di halaman sekolah, sementara pada segmen masyarakat lain, sepak bola menjadi semacam wahana untuk unjuk fanatisme kedaerahan. Peralatan sepak bola yang ada di pasaran pun masih menunjukkan bahwa sepak bola adalah olahraga, yakni sekadar sepatu dengan kaos kaki panjangnya.

Namun hari ini kita dengan mudah menjumpai toko sepak bola yang menjual produk-produk yang tidak ada urusannya dengan olahraga, mulai dari jersey alias seragam klub sepak bola, syal, poster, sticker, ataupun cangkir. Sepak bola sebagai gaya hidup membuat apa yang di dalamnya dengan mempunyai nilai komersil yang cukup lumayan. Apapun yang berhubungan dengan sepak bola, utamanya yang berkaitan dengan klub favorit ataupun pemain terkenal dianggap punya nilai jual.

Sepak bola yang awalnya sekadar permainan sederhana berlari dan menendang bola, kini sudah menjelma menjadi industri yang melibatkan milyaran hingga trilyunan rupiah, yang cakupannya meluas tak sekadar urusan sepasang kaki untuk berlari dan menggiring bola.

Di luar perkara tontonan olahraga, sepak bola juga menjadi bagian penting dari industri media dan memiliki tempat tersendiri di industri fashion. Sepak bola dengan pemain-pemainnya yang popular juga menyokong industri lainnya mulai dari otomotif, industri permainan sampai industri consumer goods. Ya, sepak bola industri hadir di depan wajah kita dengan beragam bentuk, mulai dari sepatu dan jersey dengan merek yang dipakai sang pemain, shampoo yang digunakan sang pemain, minuman yang diminum sang pemain, wahana permainan, bahkan akun social media milik klub ataupun pemain favorit. Kita seperti tidak mau ketinggalan berita ataupun telat mengikuti trend mutakhir dalam sepak bola.

Menurut pesepakbola legendaris asal Belanda, Johan Cryuff, sepak bola itu sederhana tetapi hal yang paling sulit untuk dilakukan adalah memainkan sepak bola yang sederhana. Begitu juga dalam hal memahami dunia sepak bola. Sekilas mungkin sederhana, semacam pertandingan olahraga lainnya, datang, melihat, menang bergembira, kalau kalah kecewa.

Tapi ternyata tak sesederhana itu penggemar sepak bola yang kecewa karena tim kesayangnnya bisa melakukan hal-hal — yang bagi orang yang tidak menyukai olahraga sepakbola mungkin terlihat ganjil, seperti sedih berhari-hari sampai tak mau menengok berita tentang kekalahan timnya, atau mengkspresikan kekalahan dengan aksi destruktif. Bahkan pernah terjadi pertandingan sepak bola menjadi pemicu — meski bukan penyebab — perang selama 100 jam antara Honduras dan El Salvador pada akhir dekade 60-an. Aksi militer kedua negara yang dipicu pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1970 antara tim nasional Honduras dan El Salvador itu mengakibatkan ribuan orang tewas, gangguan ekonomi, juga menimbulkan ketegangan kedua negara tetangga tersebut selama satu dekade berikutnya. Di sisi lain pertandingan sepakbola semacam Piala Dunia mampu meredakan ketegangan di daerah konflik, meskipun cuma untuk sementara waktu.

Ya, urusan sepak bola tidak sesederhana permainan bola seperti disebutkan di atas, sepak bola menjadi gaya hidup mulai dari kelas bawah hingga kelas menengah. Di kamar anak remaja mudah kita temui poster pemain dan logo klub sepak bola kesayangan, berita tentang sepak bola menjadi menu wajib untuk dibuka baik di laman internet maupun media konvensional macam surat kabar dan majalah. Informasi tentang perkembangan terbaru soal sepak bola, utamanya tim kesayanagan tidak boleh terlambat. akhir pekan menjadi hari yang ditunggu untuk menonton tim kesayangan main di layar televisi. Dan mungkin bagi banyak penggemar, atau lebih tepatnya penggila bola, menonton langsung tim kesayangan di stadion kandang mereka sudah menjadi cita-cita seperti keinginan mengunjungi tanah suci untuk beribadah. Cita-cita yang mesti diwujudkan sebelum mereka meninggal. Dan beruntunglah penggila bola yang bernasib mewah yang mampu “berziarah” ke stadion kebanggan tim favoritnya.

Mungkin ini lebay, tapi bagi sebagian orang, sepak bola sudah menjadi semacam agama, mereka memuja klub kesayangan sedemikian serius, mengikuti sejarahnya, sampai ke kehidupan para pemainnya. Bagi penggila bola macam iitu hari pertandingan adalah hari suci dan stadion menjadi semacam kuil tempat peribadatan. Repotnya, seperti fundamentalis agama yang mengangkat begitu tinggi bendera kelompoknya sendiri. Sebagian pendukung tim sepak bola juga bertindak sama, menganggap yang bukan mereka adalah “liyan” yang kalau perlu dimusuhi. Seperti cinta yang melahirkan kebencian kepada yang lainnya. Hingga kadang batas-batas kepatutan pun ditabrak begitu saja, utamanya ketika tim yang kita dukung menderita kekalahan.

Bagaimanapun sepak bola tak sekadar pemainan tapi juga pertandingan yang harus ada pemenang dan ada yang kalah, maka ujung dari pertandingan 2 x 45 menit ini hanya ada dua kemungkinan, yakni meraih kemenangan atau harus menerima kekalahan. Mungkin secara naluriah kita lebih siap untuk menghadapi kemenangan, dan tak terlalu memiliki kesiapan jika harus menerima kekalahan, bahkan sekadar membicarakan kekalahan pun enggan, dianggap hanya akan membawa pada kekalahan yang sesungguhnya. Tapi kembali kepada hakikat sepak bola yg sekadar sebuah permainan, kalah menang adalah realitas setelah perjuangan selama 90 menit. Bagi para suporter kekalahan tentu menyakitkan, apalagi jika terjadi dalam pertandingan krusial. Meski begitu apresiasi tetap diberikan kepada para pemain jika permainan cantik dan kerja keras ditunjukkan di lapangan hijau. Bahkan kemenangan yang diraih dengan cara yang curang boleh jadi diam-diam malah meninggalkan luka.

Artinya bagi pemain di lapangan memenangkan hati penonton dengan permainan cantik dan menawan juga tidak kalah pentingnya. Para pendukung akan memberi apresiasi tinggi untuk usaha seperti itu. Ini seperti pelajaran dalam kehidupan yang tak melulu soal menang atau kalah, soal sukses ataupun tidak sukses, namun ada yang lebih bermakna dari itu, yakni bagaimana hidup kita bisa berharga, berharga bagi sendiri, berharga bagi orang lain dan juga lingkungan. Dari sepak bola — juga permainan lainnya — kita belajar bahwa proses yang baik, elegan, tanpa kecurangan jauh lebih bernilai ketimbang proses pragmatis untuk meraih kesuksesan. Tak bisa dipungkiri kesuksesan atau kemenangan adalah sesuatu yang manis, tapi juga sesuatu yang jika dirayakan harus dengan penuh kehormatan, sebab dibalik hiruk pikuk perayaan kemenangan atau kesuksesan yang kita raih seringkali ada pihak lain yang harus menerima kekalahan.

Kita lihat sisi lain sepak bola, dimana mungkin kita bisa juga mengambil pelajaran hidup. Dalam pertandingan sepak bola, saat peluit kick off dibunyikan, disitulah kita harus berkomitmen, bahwa selama 90 menit ke depan harus bermain sesuai aturan yang sudah digariskan, menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak diijinkan aturan main dalam sepakbola, seperti tak boleh menggunakan tangan, mencederai lawan ataupun merendahkan kehormatan lawan. Ini seperti apa yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, ketika kita menjadi bagian dari suatu komunitas masyarakat kita dituntut memiliki komitmen untuk mengikuti aturan main dan etiket sosial yang ada, juga menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat mencederai dan mengganggu kehidupan orang lain.

Jika dalam pertandingan sepak bola, adakalanya seseorang harus melakukan tackling terhadap kaki lawan, tentu saja dengan catatan bahwa tackling harus dilakukan atas dasar perhitungan rasional yang jika tak dilakukan akan membahayakan gawang sendiri, bukan karena niat untuk mencederai kaki lawan. Maka di luar lapangan hijau, dalam kehidupan bermasyarakat kadang perlu juga untuk melakukan semacam tackling-tackling sosial, seperti saat kita harus memarahi ataupun dimarahi saudara atau kawan kita sendiri, karena secara metodologi memang perlu dimarahi demi perubahan ke arah yang lebih baik, bukan atas dasar kemarahan atau kebencian.

Perilaku kita dalam jagad sepak bola kadang juga seperti dalam dunia politik. Saat kepimpinan wasit buruk dan lebih menguntungkan tim lawan kita dengan mudahnya mencaci dan mempersalahkan wasit, namun saat kepemimpinan wasit yang buruk itu justru menguntungkan kesebelasan yang kita dukung, kita mengatakan “wasit memimpin dengan baik”, atau setidaknya diam saja. Seperti pendukung tim sepakbola begitu juga perilaku kita dalam dunia politik, untuk mengatakan baik atau buruk, benar atau salah, demokratis atau tidak demokratis seringkali tergantung kepada siapa kepentingan dititpkan dan kepada siapa dukungan ditambatkan. Bahkan terhadap kebenaran pun seringkali kita lebih membenci pada kebenaran, ketimbang kepada kejahatan yang sesungguhnya, hanya karena kebenaran itu mengancam kepentingan dan eksistensi kita.

Ya, hari ini sepak bola sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita, khususnya generasi muda — meski tentu saja tak dipungkiri banyak orang yang kurang suka atau malah tidak suka dengan sepak bola. Anak usia ABG rela begadang menahan kantuk demi menonton demi menonton siaran langsung sepak bola. Dan sepak bola menjadi bahan perbincangan hangat di awal pekan di kantor, di sekolah ataupun angkutan umum. Hasil pertandingan tim kesayangan bisa berpengaruh terhadap emosi seseorang, jika hasil bagus mood pun oke, namun jika hasil buruk mood bisa berantakan seharian.

Diatas sudah disebutkan sepakbola bisa menjadi pemicu konflik antar masyarakat, namun bisa juga menjadi duta perdamaian. Artinya sepakbola punya magnet untuk membuat orang secara emosional terlibat dalam sebuah usaha, aksi ataupun gerakan, baik yang positif maupun yang negatif. Sepakbola bagi kita pribadi mungkin sebuah drama sunyi. Ada kalanya kita gembira, kesal, sedih bahkan jengkel. Tapi mungkin itu yang membuat sepak bola menjadi populer, menjadi anak emas dunia olahraga.