Mukadimah: NALURI TRANSAKSIONAL

Naluri Transaksional

Kalau kucing melihat di depannya ada tikus, reaksi si kucing adalah menerkam si tikus dan memangsanya. Begitulah insting atau naluri bekerja, ia merupakan bekal Tuhan kepada makhluk-Nya. Naluri makhluk hidup termasuk manusia sudah ter-install sejak lahir, ia berguna untuk bertahan hidup serta untuk melindungi diri. Seperti saat tangan kita menyentuh ceret yang panas, kita bergerak secara instingtif menarik tangan dari ceret secara spontan.

Hidup di tengah zaman yang kian menantang. Daya beli yang semakin berjarak dengan harga-harga kebutuhan. Apakah kita membutuhkan semacam upgrade nurani dalam rangka kita tetap bisa bertahan hidup dan melindungi diri? Sehingga misalnya diantara kita yang pedagang dibenarkan untuk menaikkan harga sesuka hati atau mengurangi timbangan, demi memaksimalkan nilai transaksi. Atau aparat menjadi benar mencari sripilan transaksi disana-sini.

Nyatanya banyak kita jumpai misalnya saja oknum petugas di jalanan, ketika melihat kecelakaan, yang terbetik spontan adalah potensi transaksi “bisa jadi uang nih“. Uang seperti sudah mendarah-daging saja bahkan sudah menjadi naluri barangkali. Lalu, apa jadinya ketika profesi-profesi dijalankan berdasarkan naluri transaksional? Melayani pasien misalnya, urusannya penyedia jasa dan pelanggan, bukan lagi naluri kemanusiaan.

Pada cakupan yang lebih luas, adidaya baru dunia kini mendominasi transaksi di dunia. Hampir semua negara takluk. Hampir semua komoditas dikuasai. Tak ada urusan dengan fair-trade, eksploitasi dan imitasi yang penting transaksi semakin besar dan semakin besar. Inilah satu babak peradaban, dimana setiap jengkal dibenarkan adanya transaksi. Tak ada lagi peradaban caping, yang bambunya kita bisa menanam sendiri di belakang rumah, keahlian menganyamnya dikuasai banyak orang, sehingga alat pelindung panas sederhana tetapi mutakhir itu bisa dinikmati secara murah, bahkan gratis.