BAKAT KAYA RAYA

REPORTASE JUGURAN SYAFAAT JULI 2015

Ramadan yang tinggal sekian hari, menambah semangat penggiat dalam menyelenggarakan forum Maiyah rutinan Juguran Syafaat. Meski diluar Pendopo Ex Kotatip Purwokerto ramai masyarakat berbondong-bondong menyambut lebaran dengan berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan, masyarakat Juguran Syafaat menikmati akhir Ramadan dengan saling bersilaturahim dan gendu-gendu rasa. Malam itu adalah penyelenggaraan ke-28 Juguran Syafaat.

Sebelum memasuki diskusi, beberapa musik dan selawatan disuguhkan oleh Ki Ageng Juguran sebagai pengantar, dilanjutkan dengan membaca Alquran (Surat Muhammad) dengan tartil terpimpin dan wirid Padhangmbulan secara bersama.

CERMIN MONOPOLI

Ilustrasi poster Juguran Syafaat kali itu mengambil gambar permainan “monopoli”, hal itu dikaitkan Kusworo dengan sejarah bagaimana monopoli direkomendasikan oleh ilmu Barat untuk orang yang ingin belajar mengelola aset kekayaan. Dalam monopoli sendiri yang menarik bahwa kita tidak bisa menentukan berapa langkah bidak kita maju ke depan, karena itu tergantung mutlak oleh dadu yang bergulir. Inilah yang disebut takdir Tuhan. Yang bisa kita lakukan adalah berstrategi menghadapi permainan. Dalam permainan monopoli kita bisa menarik refleksi dalam kehidupan sehari-hari.

“Jangan-jangan hidup ini hanya mainan monopoli. Kita sendiri larut sampai bertengkar, berebutan ini itu. Padahal semuanya hanya permainan belaka. Uangnya mainan, kepemilikannya mainan,” ucap Kusworo.

Kukuh menambahkan, ketika kita larut pada permainan monopoli maka nasib kita dalam permainan menjadi melekat dalam hati. Tetapi jika kita bisa naik dimensi, berpikir bahwa ini hanyalah permainan, maka kita bisa lebih bertahan dalam menghadapi kesulitan hidup.

“Tanpa menyinggung SARA, dalam kesadaran kita terbangun bahwa etnis China itu harus kaya, dan kalaupun orang Jawa miskin itu biasa. Ketika kita melihat orang China hidup miskin, kita merasa kasihan luar biasa. Tetapi melihat orang Jawa miskin, kita biasa saja. Ada yang salah dengan paradigma kita,” tambah Kukuh.

Ki Ageng Juguran kemudian bawakan nomor Neng Ndunyo Piro Suwene – Change, Untuk Simbah Guru dan Senandung Desa, disambung Titut Edi dengan beberapa nomor lagu karyanya sendiri.

RELEVANSI DOA

Sesi diskusi selanjutnya diawali dengan uraian Agus Sukoco tentang relevansi doa-doa dalam kehidupan kita. Pada satu sisi Tuhan menyarankan kita untuk berdoa, namun di sisi lain Tuhan juga berkali-kali mengatakan: nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Ini antara diperintah meminta tapi juga harus pekewuh kepada Tuhan.

“Ketika kita diturunkan ke bumi, itu adalah sebuah penugasan dalam membangun peradaban alam semesta ini. Titik tengahnya adalah ketepatan dalam meminta sesuatu kepada Tuhan yang relevan dengan tugas kita di bumi, bukan semata-mata keluhan kita kepada Tuhan,” terang Agus.

Analoginya seperti ketika kita ditugasi membuat kandang ayam oleh majikan kita, kemudian kita mengerjakannya dan kurang bahan paku. Maka kita minta ke majikan boleh, karena terkait dengan pekerjaan yang dia suruh. Kalau memohon salah seperti meminta jus jeruk. Tidak hubungannya antara kandang ayam dengan jus jeruk. Kalau jus jeruk tidak usah kita minta, sebagai majikan yang baik nantinya pasti akan memberikan jus itu sebagai tanda kasih sayangnya.

“Kita sering berdoa hanya untuk subyektivitas kepentingan kita,” kembali ia menambahkan, “Ketika Tuhan tidak mengabulkan doa kita, disitulah kita musti membuka lipatan-lipatan dimensi rahasia Tuhan. Athoilah pernah mengatakan, Tuhan memberi dengan cara mengambil dan Tuhan mengambil dengan cara memberi. Disinilah diperlukan ketajaman makrifat untuk mengetahui yang substansi.”

Fikry lalu menambah khasanah tentang konsep pahala yang menurutnya hanyalah seperti iming-iming kepada anak-anak. Orang-orang mau beribadah itu seperti anak kecil yang diiming-imingi mainan ketika mau mandi. Padahal mandi itu baik untuk anak tersebut, tapi karena kebelumdewasaannya anak itu tidak mengerti maksud dari orang tuanya. Sama seperti sikap kita dalam beragama sekarang ini.

“Agama adalah tool yang diberikan Tuhan, digunakan manusia untuk bisa kembali lagi kepada-Nya. Tool ini sudah sangat user friendly, bisa digunakan oleh orang yang professional hingga yang pemula,” jelas Fikry.

juguran syafaat

SESI TANYA JAWAB

Pada sesi tanya-jawab, Feri dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto sampaikan bahwa forum seperti Maiyah ini adalah oase atas kehausannya dari pertanyaan-pertanyaan hidupnya. Dalam forum ini semua jawaban nampak realistis, tidak seperti pengajian pada umumnya. Feri yang mengaku sempat agnostik, malam itu banyak memperrtanyakan tentang takdir, Tuhan dan agama. Hal yang kemudian memancing banyak respon dari para sedulur yang hadir.

“Industri menyeret orang untuk melampiaskan segala sesuatu, sedangkan agama adalah thoriqoh untuk mengerti batas. Sedangkan agama sekarang diperkenalkan melalui media industri. Sangat wajar kalau kita merasa gelisah dan forum-forum seperti ini menjadi oase bersama dimana sudah tidak ada lagi sumber informasi yang sehat. Tidak ada lagi jawaban-jawaban atas pertanyaan yang sangat mendasar dalam hidup kita,” ungkap Kusworo.

Menguatkan pengalaman spiritual Feri sebelumnya, Titut Edi berbagi cerita pengalaman hidupnya dalam pencarian Tuhan. Endro dari Ki Ageng Juguran juga merespon dengan menyanyikan sebuah nomor lagu yang bercerita tentang pencarian ketuhanan sebagai respon atas Feri sebelumnya.

Terkait tema kekayaan, Rahmad Saleh dari Purwokerto, berpendapat bahwa kaya itu adalah kaya batin alias berkecukupan. Siapapun bisa menjadi kaya, jika semua kebutuhannya tercukupi, dan pasti akan tercukupi karena Tuhan Maha Mencukupi. Kita boleh kaya secara materi tapi yang terpenting adalah pendistribusian kekayaan. Ditambahkan Yasin, sedulur dari Majenang, ukuran kekayaan adalah ketika bisa membahagiakan orang lain.

Diskusi bertambah hangat saat Anggit dari Cilacap membahas dan mempertanyakan beberapa hal tentang intervensi Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Agus Sukoco mengibaratkan intervensi tersebut seperti permainan petak umpet. Tuhan itu seperti orang yang sedang bermain petak umpet. Dia berusaha bersembunyi, namun tidak mungkin jauh-jauh persembunyiannya. Karena kalau terlalu jauh, permainan menjadi tidak asyik lagi. Sedangkan tugas manusia adalah seperti yang sedang jaga, yaitu mencari Tuhan dalam setiap persembunyiaannya. Ini adalah bentuk romantisme hubungan kita dengan Tuhan.

Ki Ageng Juguran menutup kebersamaan malam itu dengan Hasbunallah. Jam 02.00 menjelang sahur, Juguran Syafaat ditutup.