SEPAKBOLA CINTA

Reportase Maiyah Dusun Ambengan

Langit malam tampak cerah bertabur bintang pada gelaran maiyahan Ambengan (23 Desember 2015). Mengiringi kedatangan para jamaah memasuki pelataran lokasi maiyahan Rumah Hati Lampung, kru musik Jamus Kalimosodo mendarus Quran surah Muhammad. Seusai tadarus tartil ayat-ayat Alquran, pukul 20.00 WIB, personil Jamus Kalimosodo beralih posisi ke atas panggung memainkan beberapa nomor musik Kiai Kanjeng, serta sebuah nomor garapan Jamus Kalimosodo berjudul Syafaatmu, dipersembahkan untuk peringatan kelahiran Baginda Rasulullah SAW.

Membuka sesi acara, Mas Sunarto penggiat Maiyah Dusun Ambengan yang juga kepala dusun, me-review progres sejumlah kegiatan pendampingan yang dilakukan Maiyah Ambengan selama lima bulan berjalan terkait tema-tema Ambengan sebelumnya mengenai kesehatan dan peternakan. Narasumber dari Asosiasi Provinsi PSSI Lampung Bapak Josep Pratakari, diperkenalkan Mas Sunarto kepada jamaah, berkaitan dengan tema yang dibahas yakni Sepakbola Cinta. Turut hadir juga 70 anak-anak dusun usia 6-15 tahun yang dalam pengasuhan sepakbola di Maiyah Dusun Ambengan.

Seraya membangkitkan semangat persatuan dan keguyuban orang-orang kampung yang terjalin kental bertahun-tahun dari dunia sepakbola desa, Samsul Arifin sedikit bernostalgia ketika sebagai pemain bola pada zamannya. Dikatakan Samsul Arifin (Cak Sul), dalam bermain sepak bola ia selalu melibatkan Tuhan. Sebagai kiper, Cak Sul tak pernah lupa membaca Al-Fatehah dan ayat kursi saat bertanding. “Maka dulu pipi saya sampai habis diciumi suporter, karena selalu menang kalau adu pinalti. Ya, karena saya fatehai dan ayat kursi,” kata Cak Sul disambut tepuk tangan jamaah.

Pada bagian lain Cak Sul memaparkan hadirnya tim sepakbola anak-anak dusun bukan saja berharap menjadi pemain sepakbola, lebih dari itu, mereka meminta adanya Sekolah Sepak Bola (SSB) di desa mereka. Anak-anak itu bukan sekadar punya keinginan tetapi sudah menorehkan prestasi di laga sepakbola anak usia dini meski masih pada level kabupaten.

Kenapa mesti mengangkat tema sepakbola? Cak Sul menjelaskan, sepakbola itu menjadi wajah desa kita. Kalau sepakbolanya hidup, desa itu moncer dan bersinar, tetapi kalau sepakbolanya mati banyak desa menjadi suram. Sepakbola adalah wajah desa. Kultur anak muda yang menjadi penanda, para olahragawan atau para begundal yang terjebak ngelem katena akibat tak mampu beli narkoba.


Ambengan menjadi ruang diskusi rutin di desa yang berada di pedalaman Lampung itu selalu mengangkat tema-tema kemasyarakatan. Bukan hanya berdiskusi, Ambengan di Rumah Hati juga menjadi pusat latihan kelompok musik Gamelan Jamus Kalimosodo. Mereka beraksi memberdayakan warga sekaligus memberikan pendampingan pada masyarakat. Diskusi Ambengan juga upaya nguri-nguri budaya gotong royong yang selama ini kian tercerabut dari tradisi masyarakat desa. Sekecil apa pun berupaya merawat nilai-nilai luhur desa dan kemanusiaan.

Hadirnya tim sepakbola anak-anak dusun itu, dijelaskan Cak Sul, diawali dengan konsep yang tidak umum. Artinya benar-benar dilakukan atas kepasrahan pada Allah. Kenapa disebut ndak umum? Sebab, anak-anak ini sebelumnya kebingunan mau bermain sepakbola tidak ada yang mau melatih, lalu mereka mendatangi salah seorang penggiat Ambengan, Mas Razdika, meminta dilatih dan langsung diamini. Dengan modal nekat dan kepasrahan, berlatih 1 bulan lantas ikut turnamen Haornas Lampung Timur. Tanding pertama, menang 1-0. Tanding kedua semi final menang 1-0 lagi, lantas pada tanding final, semula kalah 2-0. Sebelum pertandingan selesai, bisa membalikkan keadaan. Menyeimbangkan kedudukan menjadi 2-2. Lalu adu penalti dan menang. Sampai kemudian jadi juara, dan ternyata ada hadiahnya uang pembinaan sebesar 1 juta rupiah. Semua itu benar-benar di luar perkiraan tim yang hanya berprinsip ingin main atas nama semangat anak-anak desa yang butuh berlari-lari mengejar bola.

Menurut Cak Sul, kesebelasan anak-anak Metro Kibang itu benar-benar dalam kendali Allah SWT. Semua dirawat dengan ketulusan dan keseriusan. Bahasa Cak Sul: menggulowentah. Karena, semua itu sudah dipesankan Nabi Besar Muhammad SAW: agar para orang tua mengajari anak-anaknya memanah, menunggung kuda dan berenang. Bisa saja dimaknai agar anak-anak dilatih untuk titis dalam membidik, bergerak cepat dan punya keseimbangan.

Jika anak-anak butuh sepatu baru, itu tugas orang tua untuk membelikan. Orang tua juga harus mengikhlaskan anaknya menjadi pemain sepakbola. Kalau dinilai mengganggu waktu ngarit, harus disiasati bagaimana agar ngarit-nya tetap jalan, berlatih sepakbola juga tetap dilaksanakan. “Anak-anak ini sebenarnya adalah guru kita semua. Mereka seperti dijalankan Tuhan, mengetuk hati para orang tua. Hadir ke Rumah Hati untuk mengajari kita semua tentang hakekat kerja sama,” kata Cak Sul.

MDS

Tak lupa, Cak Sul juga mengucapkan terima kasih pada Mas Wito yang sudah mengirimi boden (singkong), istri Cak Sul sendiri yang memetik pisang dari kebun, dan menyiapkan nasi goreng, ibu-ibu tetangga yang membantu kesibukan di dapur, H Jemu dan Mas Edi Susilo yang sedekah air mineral. Begitu juga Lek H. Sudarsono, tokoh masyarakat dari Kota Metro, yang sengaja hadir membersamai Ambengan ini dengan cinta dan keikhlasan.

Kepada anak-anak bola Lek Sudarsono memberikan tali asih uang saku. Ini semua, cerminan kebersamaan dan gotong royong yang sudah langka, bisa jadi sudah tidak ada di kota. “Indonesia hanya bisa dibangun oleh orang-orang desa yang ikhlas. Semacam acara ini, dari kita oleh kita dan untuk kita, demi Indonesia,” sapanya. Seusai menyapa anak-anak, Lek Dar menyumbangkan medley lagu Rek Ayo Rek dan Ojo Podo Nelongso diiringi musik Jamus Kalimosodo.

Meski bernama Ambengan, majelis ini menurut Cak Sul tidak dibagikan nasi berkat sebagaimana lazimnya setelah kenduri. Karena acara ini adalah ambengan hati. Belajar bersama, ngaji bareng-bareng tentang bagaimana menjaga hati agar selalu menjadi manfaat bagi manusia lain.

Nomor Suluk Pambuko mengadaptasi album Kado Muhammad Kiai Kanjeng kemudian disuguhkan kepada jamaah oleh teman-teman musik Jamus Kalimosodo.


Mas Josep Pratakari dari Asprof PSSI Lampung, yang juga seorang pelatih berstandar nasional, lalu diminta memberikan penjelasan dasar-dasar pembentukan SSB dan pentingnya menjaga sepakbola anak usia dini.”Biarlah elit-elit di atas berantem, tugas kita ini terus berlatih dan bagaimana menciptakan para pemain sepakbola yang baik.” Mas Josep melanjutkan, SSB Metro Kibang sudah didaftarkan untuk bertanding ke Stadion Pahoman, Bandar Lampung untuk ikut kompetisi level Provinsi Lampung bulan depan (Januari 2016). Beliau juga menjelaskan, banyak negara seperti Spanyol misalnya. Sepakbolanya maju karena mereka terus berlatih untuk berkembang. Mengikuti kompetisi pun, mereka berprinsip dengan no money and no medals. Menurut Mas Josep, mereka tidak memikirkan menang atau uang, tugas mereka para pemain sepakbola adalah menciptakan permainan yang benar-benar indah, terus berlatih untuk berkembang. Sementara kebanyakan di negeri kita ini, belum juga bermain baik sudah ribut soal uang, piala dan sebagainya.

“Majunya SSB itu tidak terlepas dari dukungan orang tua,” lanjut Josep, “Sepakbola itu kan menyehatkan, ini penting. Sebab kenakalan remaja saat ini sudah mulai merambah ke desa-desa. Terutama narkoba. Artinya, anak-anak yang sehat dan punya kegiatan positif seperti sepakbola bisa terhindarkan dari narkoba. Anak-anak harus diarahkan pada sepakbola.”

Josep juga menceritakan pengalamannya melatih dan mengawal kesebelasan anak-anak Lampung hingga ke pentas nasional. Sebenarnya, banyak anak-anak yang bisa meraih impiannya untuk sukses berbekal kemahiran bermain bola. Misalnya, beberapa anak SSB yang diasuhnya, ada yang disekolahkan (SMA) oleh pemerintah dan digaji 1,5 juta sebulan. Ada yang diterima jadi anggota Polri, ada yang jadi TNI semua itu karena direkrut sebab kemahiran mereka bermain bola.

Terlihat, 70an anak-anak Metro Kibang yang berjajar duduk di depan, menghadap warga yang jagongan di majelis Ambengan itu seperti mendapat angin segar dengan penjelasan Josep. Termasuk banyak orang tua yang hampir kebanyakan warga Kecamatan Metro Kibang itu manggut-manggut.

Meski begitu, lanjut Josep, ada kecenderungan sepa bola di Indonesia, khususnya anak-anak usia dini sering dikotori dengan permainan curang. Yakni, mencuri umur. “Pesan saya, jangan sampai memudakan umur karena itu kalau sudah masuk pelatnas atau pertandingan yang levelnya sudah nasional, pasti ketahuan. Ilmu kedokteran saat ini sudah sangat maju, dari struktur gigi dan atau darah bisa diketahui umur anak itu berapa. Pesan saya, jangan memudakan umur,” kata dia.


Jamaah juga sangat apresiatif dengan gagasan membuat SSB Metro Kibang. Hal itu terlihat dalam sesi diskusi. Mas Edi Susilo, yang seorang legenda sepakbola Kabupaten Lampung Timur, mengaku bersyukur atas hadirnya Majelis Ambengan, yang mau mengangkat tema sepakbola. Menurut dia, saat ini ada upaya mencetak pemain-pemain bola dari anak-anak. Sampai di desa-desa. Artinya, masyarakat sangat berharap, PSSI dan sepakbola di Indonesia bisa bangkit. “Masa ya, dari 300 juta warga, kita tak punya 11 orang yang bisa berlaga di pentas dunia,” tanyanya.

Lahirnya SSB Metro Kibang sebenarnya diawali keprihatinan penggiat Ambengan. Sebagaimana menurut Emha Ainun Nadjib yang menjelaskan ketika Sianu Bareng Cak Nun di Balai Desa Selopamioro bahwa anak-anak muda saat ini sudah terdesak. Musuh-musuh mereka sudah masuk ke rumah-rumah, yaitu televisi. Jauh sebelum hape, televisi telah merenggut prime time kultural mereka.
Lebih parahnya, saat ini musuh generasi muda kita sudah ada dalam genggaman mereka sendiri. Yakni hape atau gadget. Itulah sebabnya, sepakbola menjadi kultur tandingan atas kenikmatan mereka yang cenderung individualis, menjadi kenikmatan berkeringat dan bekerja sama di lapangan.

Teks: Redaksi MDA/Endri Kalianda