Tasyakuran Nahdlatul Muhammadiyin

Dalam hidup ini, baik ketika kita bicara soal manusia, umat, masyarakat, bangsa, ataupun kemanusiaan secara keseluruhan, ada aransemen yang sedang bekerja, ada yang sendiri-sendiri, tapi kadang juga ada keterkaitan. Aransemen —atau untuk selanjutnya kita namakan arus— pertama, didorong oleh energi-energi pragmatis, misalnya sistem negara, peta modal, atau kekuasaan politik.

Arus kedua, didorong oleh kemandirian manusia, terkait dengan naluri dan proses berpikirnya. Misalnya, ada manusia yang tidak mau diperdaya oleh arus berpikir yang mainstream, maka dia cari wilayah-wilayah mandiri di dalam dirinya sendiri. Sementara itu, arus ketiga, sifatnya lebih ruhaniah, kandungannya iradah atau skenario Allah, hal-hal yang tidak bisa diteliti secara kognitif tapi harus dialami dan di-titeni secara terus-menerus. Produk dari ketiga arus ini bermacam-macam. Arus yang tak terpahami oleh arus pertama mungkin membawa dampak yang lebih besar daripada yang kita sangka-sangka. Pada saat yang sama, ada arus yang lebih tersembunyi lagi.

Diri kita bisa memuat satu arus atau ketiganya sekaligus. Atau mungkin, kita terlibat dalam ketiga arus tapi cara berpikir kita membuat kita menemukan diri hanya dalam salah satu arus. Cak Nun berpesan kepada semuanya untuk mencari dan menemukan arus yang berbeda-beda ini, yang beberapa bisa dikatakan berdiri secara mandiri.

Maiyah adalah perjalanan dialektika di dalam semua kemungkinan ini. Itulah mengapa kita harus terus-menerus mengeksplorasi ilmu supaya dengan itu kita semakin sanggup pun tuk menemukan, mirsani, ngrasakke, nduwenipamriksa, menemukan makrifat dari level paling kecil sampai yang besar. Kita harus punya multiple intelligence, multiple consciousness, multiple awareness, multiple sensibility. Maiyah harus bisa merangkum semuanya secara komprehensif.

Ketiga arus tadi bisa menjadi sangat merepotkan karena kadang-kadang mereka saling bertentangan, meskipun bukan tidak mungkin bisa bertemu dalam harmoni. Manusia yang mampu berada dalam komprehensi tiga arus itu akan menjadi lebih kuat, lebih tidak mudah menderita, dan lebih tidak mudah sedih. Di Indonesia ini semua sedang menderita. Bahkan mereka yang seolah hidup berfoya-foya pun sebenarnya menderita. Presiden, para anggota DPR, dan menteri-menteri itu, mereka tidak akan mau berubah karena sistem yang berlaku saat inilah yang sangat membuka kesempatan bagi mereka untuk terus melakukan molimo.

Sekarang ini yang diutamakan bukan nilai Islam-nya, melainkan rasa Islam-nya. Kita tidak berada dalam arus budaya yang mengandalkan substansi karena yang kita pentingkan adalah performa budayanya. Dalam istilah kesenian kuda lumping, kita sedang ndadi.

Output dari ndadi ini adalah pengikisan sekian persen nilai mendasar dalam hidup. Seharusnya manusia makan nasi, kalau sedang ndadi diamakan padi. Semestinya makan keripik, malah makan beling. Dalam skala yang lebih besar dan lebih nyata, pejabat-pejabat sanggup melahap apa saja.

Mereka kehilangan rasionalitas kehidupan. Kalau orang kecil mencuri satu bungkus nasi, itu masih rasional. Tapi pencurian mereka sudah sama sekali tidak rasional. Seolah-olah perut mereka sedemikian besarnya hingga mampu menampung kekayaan sedemikian besar.

TENTUKAN KALIBERMU

Kasihan-20130717-03163

Maiyah berkewajiban untuk nyicil meneliti keterlibatan diri kita masing-masing di dalam ketiga arus tadi. Kita harus menentukan kaliber diri kita masing-masing, menentukan skala prioritas. Mana yang nomor satu: diri kita sebagai orang Indonesia, sebagai muslim, sebagai aktivis Muhammadiyah, sebagai Maiyah, sebagai orang Jawa, atau apa? Sebab kalau tidak diperjelas skalanya, tidak jelas pula kemakhlukan kita.

Kalau kita mengutamakan ke-Islam-an kita, apakah itu tandanya tidak nasionalis dan sektarian? Kalau kita mengutamakan Jawa atau Bugis atau Sunda kita, apakah berarti kita kembali ke masa lalu? Sekarang yang berlaku di mana-mana, orang Jawa tidak boleh mengembangkan diri menjadi orang Jawa sehingga sastra Jawa selamanya menjadi sastra tradisional, tidak mungkin menjadi sastra modern. Kita sedang bunuh diri.

Andaikan Indonesia merupakan semangkuk sup yang didalamnya ada kubis, bihun, wortel, kentang, dan brokoli. Kalau wortel di dalam sup Indonesia itu membina dirinya menjadi sehebat-hebatnya wortel, apakah berarti telah terjadi gerakan wortel-sentris? Ini yang dikumandangkan oleh para aktivis itu.

Untuk mendapatkan sup Indonesia yang enak, kubis harus dibina dan membina diri menjadi kubis yang sekubis-kubisnya. Karena kebingungan dalam hal ini, akhirnya yang disebut sebagai logat Indonesia adalah logat mereka yang berada di pusat, yakni Betawi. Penyiar radio di Papua pun menggunakan logat Betawi. Ini produk dari ketidakjelasan konsep budaya.

Manusia Maiyah harus mampu menentukan skala ini. Jangan seperti Indonesia sekarang ini, yang dadi pitik ra entuk, dadi manuk ra kelakon. Kehancuran-kehancuran ini merupakan kehancuran dalam arus pertama. Dalam arus kedua, mungkin ini bukan kehancuran. Dalam arus ketiga, bisa jadi ini justru merupakan awal kebangkitan.

Sudah saatnya kita mempercayai umat, mempercayai kecerdasan intelektual dan daya tafsir setiap orang. Yang nomor satu dalam Maiyah bukanlah menunggu fatwa, melainkan eksplorasi kecerdasan dan ijtihad umatnya.
Emha Ainun Nadjib

EKSPLORASI KECERDASAN UMAT

Cak Nun kemudian berpesan, bahwa mulai malam ini harus ada pembagian tugas ke-kyai-an dalam Maiyah. Yai Toto Rahardjo, misalnya, merupakan kyai dalam ilmu sosial dan pengalaman kerakyatan. Sementara EH Kartanegara merupakan kyai dalam olah budaya, estetika, dan komunikasi. Mereka jangan diandalkan untuk memimpin shalawatan atau doa bersama, karena wilayah mereka bukan di situ.

Di samping itu, Cak Nun juga meminta jamaah untuk menuliskan satu atau beberapa kalimat ke dalam kotak lautan ilmu Maiyah, disertai dengan nama, alamat, dan nomor kontak yang jelas. Nanti ini akan menjadi investasi luar biasa. Sudah saatnya kita mempercayai umat, mempercayai kecerdasan intelektual dan daya tafsir setiap orang. Yang nomor satu dalam Maiyah bukanlah menunggu fatwa, melainkan eksplorasi kecerdasan dan ijtihad umatnya.

Sebagai oleh-oleh dari Makassar, Cak Nun menceritakan pengalamannya kemarin. Di sana Cak Nun punya sahabat sangat dekat bernama Pak Fuad Rumi — seorang suporter dan partisipator Maiyah. Beliau ini doktor, sufi, hafiz, tokoh di Universitas Muslim Indonesia Makassar, tulisannya sangat banyak di mana-mana, juga seorang habib, mukhlis, tapi beliau sama sekali tidak bergaya kearab-araban.

Kedekatan persahabatan mereka disaksikan oleh orang banyak sehingga siapapun tahu bahwa jika salah satu dari mereka meninggal dunia, satu yang lain merupakan orang yang paling harus ada di sisi jenazahnya. Kalau melihat jarak, ini sangat mustahil.

Tapi kemarin, Allah men-skenario-kan keindahan. Ketika berada di Mamuju, Cak Nun meminta kepada anak-anak Mandar untuk mencari tiga orang: Pak Fuad Rumi, Pak Najamuddin, dan Bu Rini Widodo. Yang kedua dan ketiga tidak terlacak Karena mengganti nomor teleponnya. Pak Fuad Rumi saja yang bisa mereka temukan, dalam keadaan sudah menjadi jenazah.

Sesuai jadwal, Cak Nun dan rombongan berjalan ke Makassar tanpa terburu-buru. Sesampai di sana, Cak Nun langsung berganti baju, ke masjid, dapat tempat, dan pada waktu itu pula imam memulai shalat jenazah. Satu menit saja Cak Nun terlambat, akan berbeda ceritanya.

Selesai salat jenazah dan berdoa, datang menghampiri Cak Nun putra sulung dari Pak Fuad Rumi. Atas permintaannya, Cak Nun memimpin seluruh upacara pemakaman Pak Fuad Rumi. Ikut ke makam, macul, menaburkan minyak wangi pertama, danberpidato.

“Yang ingin saya katakan adalah, apa yang saya alami di Makassar kemarin itu merupakan arus ketiga yang tidak bisa kita rencanakan. Tinggal kita mau bergabung atau tidak. Mudah-mudahan nanti yang mengubah Indonesia adalah arus ketiga dengan pelaku-pelaku di arus kedua,” tutup Cak Nun.

[Verbatim: Ratri Dian Ariani]