Maiyahan Mamuju

MAIYAHAN UNTUK HARI JADI MAMUJU KE-473

Hari Senin 15 Juli 2013 bertempat di halaman Rujab lama Bupati Mamuju, sehabis ashar Kiai Kanjeng langsung check sound di lokasi, jamaah pun mulai berdatangan, acara dibuka oleh MC dengan menampilkan grup kasidah Sangkorang dari Mamuju membawakan dua lagu.

Acara dilanjutkan dengan laporan panitia yang sempat menyebut Cak Nun dengan Kyai Haji Emha Ainun Nadjib, selanjutnya sambutan Pak bupati Mamuju: “Saya bertemakasih atas semua undangan terkhusus Cak Nun. Bagaimana yang kita perhatikan bukan cuma perihal duniawi tapi juga ukhrawi, apa yang kita lakukan hari ini untuk kebaikan bersama bukan membuat dosa. Amanah harus kita emban, semakin besar amanah yang kita emban semakin besar konsekuensi yang kita tanggung. Hari ini kiita peringati hari jadi Mamuju yang ke-473 kita ingin berdzikir akan kebesaran Allah terus berdoa dan mendoakan masyarakat kita agar sehat sejahtera kalau ia petani ia jadi petani yang baik, kalau nelayan melimpah penghasilannya, kalau ia pedagang ia jadi pedagang yang baik, kalau ia abdi negara jadilah abdi negara yang baik. Semoga kita pelayan masyarakat menjadi ahli surga.”

Cak Nun dan Kiai Kanjeng lalu naik ke panggung dan menyapa jamaah, “Semakin tinggi amanah yang diberikan semakin tinggi juga tanggung jawabnya, sebutan kyai menjadi beban dan harapan bagi saya. Karena di Malaysia, di Arab Saudi sebutan kyai itu tidak ada, hanya orang Indonesia. Kyai itu untuk menyebut siapa saja dan apa saja yang kita hormati bukan cuma manusia bahkan kerbau di solo yang berkulit belang itu disebut Kyai Slamet.

“Islam itu tempatnya di dapur bukan di warung, Islam itu alat untuk mengolah kebaikan.” Cak Nun lalu bertanya ke jamaah, “Kalau orangtua itu selalu berpesan: Cari karir setinggi-tingginya tapi jangan lupa ibadah atau beribadahlah sebanyak-banyaknya yang penting ingat nafkah anak istri. Mana yang benar?” Ada yang menjawab yang pertama ada juga jamaah yang menjawab yang kedua. Nah kalau Allah memberi jawaban dalam Al-Quran: Wabtagi fima atakallahu ddaral akhirah wa la tansa nasibaka minaddunyadan carilah apa yang telah Allah persiapkan bagimu di akhirat tapi jangan lupakan nasibmu di dunia. Sudah jelas dunia itu wasilah (jalan) akhirat itu gayah (tujuan). Kalau manusia banyak yang menganggap sebaliknya, jalan dijadikan tujuan. Salat itu jalan, Allah tujuan kita.

“Kalau di Mamuju ini usianya 473 tahun itu berarti sudah berkali-kali khatam Al-Quran, Al-Quran yang diamalkan bukan cuma yang dibaca. Saya doakan kita semua masuk surga dan saya percaya kita semua akan masuk surga meskipun ada yang lewat neraka dulu, tapi kalau bisa saya minta jangan Pak Bupati yang merindukan surga tapi anda yang dirindukan surga, karena di antara makhluk Allah —termasuk surga— manusia paling mulia. Surga itu dimasuki oleh orang-orang yang teruji keikhlasannya di hadapan Allah, jadi semoga Allah meridoi kita.

Islam itu tempatnya di dapur bukan di warung, Islam itu alat untuk mengolah kebaikan.
Emha Ainun Nadjib

Setelahnya Cak Nun menjelaskan tentang kondisi terkini mengenai adanya umat Islam yang gampang sekali membidahkan, memusyrikkan bahkan mengkafirkan sesama Islam. Hal itu terjadi karena pemahaman yang keliru.

“Allah kasi kita benih padi bukan nasi, begitu juga dengan Allah kasinya agama bukan aliran agama. Ustaz-ustaz sekarang tidak memberi tahu umat tentang hal-hal seperti itu. Bidah itu kan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan, diperintahkan dan dianjurkan oleh Rasulullah, tapi dalam hal apa dulu? Yang bidah itu menyangkut rukun Islam atau ibadah mahdhah, kalo itu dirubah-rubah sedangkan kalau menyangkut urusan muamalah itu tidak ada bidah. Ada yang bertanya ke saya: Bolehkah habis salat kita salaman? Saya menjawab: Jangankan salaman, main bolapun boleh, asal itu tidak kita lakukan di dalam masjid. Apakah pukul terbang di masjid masalah agama? Bukan, itu masalah budaya.

“Ibadah mahdhah itu rumusnya: jangan lakukan apapun kecuali apa yang Allah perintahkan. Kalau ibadah muamalah: lakukan apa saja kecuali yang Allah larang. Wiridan itu bagus tapi menjadi tidak bagus ketika dilakukan tidak pada waktu dan tempatnya.

Cak Nun menjelaskan juga tentang sebutan Gus dan Kyai. “Kalau Gus itu sebutan anak kyai sejak baru lahir langsung disebut Gus, nah dia boleh berubah sebutan jadi Kyai kalau sudah menguasai banyak kitab kuning dan mengajarkannya serta sudah biasa mengimami salat, selama belum bisa ya tetap saja sebutannya Gus.”

Kembali menyikapi persoalan bidah, Cak Nun sampaikan, “Pelaku bidah yang utama itu kan justru khulafa’urrasyidi., Seperti ketika Al-Quran dimushafkan, mana ada perintah Nabi ketika beliau hidup untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran dalam satu mushaf? Juga perilaku Sayyidina Umar ketika Nabi masih hidup, juga banyak yang tidak dianjurkan Nabi, tapi Nabi mendiamkannya.

“Sebelum masuk doa buka puasa Hasbunallahu wa ni’mal wakil mengalun syahdu. Seluruh cinta yang saya jumpai disini hanya akan membawa kita ke rido Allah. Saya sudah berumur 60 tahun lebih tapi tak punya karir apa-apa, tidak pernah punya jabatan. Saya yakin Allah menilai bukan yang dilekatkan manusia itu tapi bagaimana karakter kita, akhlak kita, kepribadian kita terhadap orang-orang di sekitar kita dan itulah dimana-mana saya bangga mengaku orang Mandar yang lahir di Jombang.”

SALAWATAN DAN PENGAJIAN

Seusai salat tarwih, saatnya salawatan dan pengajian. Cak Nun memilih duduk di bawah panggung mengajak tokoh-tokoh masyarakat untuk duduk bersama, lalu Cak Nun membukanya dengan suasana dialogis: “Di tempat ini saya berharap kita ngobrol bareng-bareng untuk membuat tata ruang kebersamaan. Di setiap kita berkumpul harus ada konsep yang jelas, mau diskusi, mau hiburan atau apa. Saya pakai konsep ini agar kita bisa tertawa lepas, saya menggunakan prinsip Assalamu’alaikum karena dengan hal itu kita bisa saling mentransformasikan rahmat menjadi barokah. Mamuju dulu adalah tempat buangan orang-orang yg tidak disukai di Sulawesi Selatan tapi sekarang menjadi primadona di Sulawesi Barat, seperti gadis perawan yang menggiurkan.

“Kita lihat Arab Spring itu gimana? Bagaimana kejadian di Irak, Libya, Yaman, Suriah, Mesir sudah diobrak-abrik Amerika dan Israel. Orang Mamuju harus ada timnya sehingga rahmat Allah menjadi barokah, kalau Allah kasihnya rahmat dan kita mengolahnya jadi barokah, seperti halnya Allah kasih manggga kita mengolahnya jadi jus mangga.

“Kita mau melakukan apa? Agar perjumpaan ini menjadi perjumpaan yang agung atau liqa’un adhim maka waktu 1-2 jam ini harus menjadi sesuatu yang bermanfaat sehingga kita diikat oleh mitsaqon galidho atau ikatan yang erat. Gimana, jamaah? Kita mau memulai dengan apa?”

“Salawat!” jawab serentak ibu-ibu.

“Jadi kita tahu kan apa itu salawat? Allah memerintah kita dalam Al-Quran: innallaha wa malaikatahu yusholluwna alannabi ya ayyahulladzina amanuw sholluw alaihi wa sallimuw taslima. Kalau kita mencintai Rasulullah Allahpun mencintai kita, kalau ingin mencintai Allah yah kita ikuti Rasulullah dulu, konsepnya cinta segitiga antara kita, Muhammad dan Allah. Yang bisa kita andalkan di hadapan Allah itu hanya Rasulullah lewat salawat.

“Kalau di China itu kita tahu lebih dahulu mereka memeluk Islam dari orang Nusantara. Kemudian di Amerika itu bukan Indiannya yang dimusnahkan tetapi Islamnya. Ini saya sampaikan agar kita punya kejelasan dan anda jadi Mandar yang bangga sebagai Mandar. Sekarang kita di bulan puasa, puasa itu sangat privat dan rahasia antara kita dengan Allah. Jangan sampai Mamuju jadi kayak Kalimantan. Sebagaimana saya cinta kepada tanah kelahiranku Jombang saya sampaikan juga cintaku kepada Mandar Sulawesi Barat.”

Suasana apapun takkan mampu buat orang Indonesia tertekan atas hal-hal seperti itu, maka mana berani Amerika mengirim pasukannya. Kenapa orang Indonesia merasa minder dengan orang Arab orang Barat? Karena cara berpikir kita berpikir sebagai orang Arab dan Barat kita tidak bangga dengan Indonesia, dengan Mandar. Kalau cara saya lihat kulit orang Barat terlalu putih, lihat orang Afrika terlalu hitam maka saya pilih orang Indonesia karena kulitnya sawo matang: Khairulumuri awsatuha. Sebaik-baik perkara itu yang di tengah-tengah.

“Kalau urusan uranium di Mamuju bisa nggak dikelola dan diambil keuntungannya sendiri? Karena negara ini sifatnya NKRI bukan negara persemakmuran maka dari hasil kekayaan alam itu yang masyarakat Mamuju nikmati cuma 6 % sementara yang disetor ke pusat begitu banyak, padahal di sejarah Indonesia selama ini kan sistemnya negara persemakmuran, bagaimana sejarah Majapahit, Demak dan lain lain yang tidak wajib menyetor apa-apa ke pusat pemerintahan sebagai tanah perdikan.” jelas Cak Nun.

20130715_195659

Kalau kita mencintai Rasulullah Allah-pun mencintai kita, kalau ingin mencintai Allah yah kita ikuti Rasulullah, cinta segitiga antara kita, Muhammad dan Allah. Yang bisa kita andalkan di hadapan Allah itu hanya Rasulullah.
Emha Ainun Nadjib

FORUM dilanjutkan dengan salawat Alfu Salam tapi sebelum Kiai Kanjeng menyajikan salawat Maroko Cak Nun menghikmahi Maroko, “Bagaimana negara semiskin itu bisa jalanan-jalanannya enak, infrastruktur bagus, air minumnya gratis, pendidikannya dari TK sampai S3 gratis, kebutuhan pokoknya murah, apapun yang terjadi di pasaran dunia karena pemerintahannya bagus. Tapi di Indonesia tidak jelas, padahal kalau melihat kekayaan alamnya di Mamuju ini jauh lebih subur dari Maroko.”

Memasuki sesi tanya jawab dimulai oleh salah seorang tokoh masyarakat mengungkapkan, “Negara ini terlanjur salah urus, jadi mengarah ke Mamuju hari ini yang berusia 473 apa yang bisa kami lakukan? Mungkin ada masukan untuk perbaikan ke depan sesuai dengan visi Mamuju: Maju dan Mandiri.”

Cak Nun menjawab langsung: “Saya senang dengan apa yang bapak ungkapkan jadi sebisa mungkin kita mencari formulasi atau menjadi salik, kita mau maju ke arah mana dan mandiri seperti apa? Untuk membuka pemahaman tentang hal tersebut saya tanya: Indonesia yang Indonesia ada gak? Kan tidak ada, yang ada Indonesia yang Mandar, Indonesia yang Jawa, Indonesia yang Sunda, ini jangan dihilangkan seperti cara berpikir yang terjadi di pusat, Mandar ya tetap Mandar, Jawa tetap Jawa. Seperti yang terjadi di televisi, bagaimana kalau di sinetron orang Jawa selalu saja berperan sebagai pembantu dan berposisi rendah sedangkan yang melakukan itu orang Jawa sendiri dengan memedhog-medhogkan bahasanya yang sudah medhog, kita hancur karena martabat kita tidak ada, kita tidak percaya diri dengan diri kita.”

Cak Nun menyampaikan tentang tugas Iblis dan bedanya ia dengan Setan: “Ia dicipta untuk menjadi sparing partner manusia. Siapa itu Iblis? Iblis itu seniornya Jibril. Jabatannya dulu Kanzul Jannah (bendahara surga). Iblis itu sangat takdzim kepada Rasulullah SAW. Siapa itu Setan? Setan itu adalah alladzi yuwaswisu fi shudurinnasi minal jinnati wannas, jadi dia itu aura buruk dari diri kita. Saya berprinsip seburuk-buruk orang kita harus cari baiknya, mohon maaf saya jawabnya kepanjangan, semoga penjelasan tentang Iblis dan Setan cukup menyenangkan hati kita.”

 

Dialog diselingi dengan musik. “Sejak tadi siang saya dengar suara-suara ayat Al-Quran, suara tarhim enak banget, masa malam ini tidak ada yang mau menyanyi bersama Kiai Kanjeng?” tanya Cak Nun. Beberapa warga Mamuju tergerak naik ke panggung termasuk Mbak Hijrah dari Tinambung dan merundingkan lagu apa, hasilnya Mas Ilham dan Mbak Ria akan bernyanyi Kemesraan, tapi sebelumnya mas Doni KK menyanyikan lagu Wild World.

Cak Nun melanjutkan yang penting itu bagaimana kita bisa jadi sarjana bagi kehidupan kita atau jadi khalifatullahi fil-ardh. Tapi kalau kita berani menjadi apa saja, kaya saya dan Kiai Kanjeng tidak jelas sebagai apa tapi tetap menikmati ini, semakin ikhlas semakin nikmat hidupnya anak-anak kita ke depan.

Lagu Kemesraan mengalun mesra, dilanjut lagu ilir-ilir oleh Mbak Ria yang meski bukan orang Jawa tapi karena pernah aktif juga di Teater Flamboyan maka hasilnya cukup memuaskan dan untuk memuncaki maiyahan Cak Nun meminta sebuah lagu istimewa yang selama ini Mbak Hijrah bawakan keliling ketika ikut Kiai Kanjeng dulu sewaktu masih kuliah di Jogja yaitu: Shalawat Badar versi Mandar.

Memasuki sekitar jam 23.50, maiyahan malam itu ditutup doa oleh salah seorang tokoh agama di Mamuju.

[Teks: Abed eL Mubarak]