Salam Dari Hessen: Lernen aus Deutschland

RINTIK GERIMIS di luar sana turut menemani. Tak dinyana ternyata burung besi itu telah mendamparkanku di negeri antah berantah ini. Fruehling, spring, musim semi, bunga tulip, bunga manolia. Suhu tiga derajat yang sebelumnya hanya mampu dicicipi ketika menanjak di gunung sekarang menjadi menu harian. Tepatnya 13 April 2016, setelah empat tahun bertualang di kota Malang dan lima bulan berada di tanah kelahiran Magelang tercinta Tuhan dengan segala kuasa-Nya mengamanahkan diri ini untuk jengkar, hijrah, belajar di negeri orang yang perjalanannya menempuh waktu hingga 17 jam dengan burung besi.

Tentu bukanlah hal yang mudah, berat meninggalkan tanah air disaat para penggiat Maiyah di puncak ektase perjuangannya. Tapi garis langit sudah menuliskan demikian maka mau tidak mau, suka tidak suka semua yang sudah dimulai, diperjuangkan harus diakhiri dengan baik. Tak lain juga untuk membuat kedua malaikat pengasuhku berbahagia. Semoga. Terlintas kemudian pesan Simbah Guru, Muhammad Ainun Nadjib atau yang kerap disapa Cak Nun pada dokter Ade Hashman suatu ketika sebelum berpindah tugas dari Yogyakarta ke Kalimantan, “Manusia itu Mahluk Ruhani Mas. Jadi Jarak secara fisik bukan merupakan hal utama.“

Sementara itu, setahun silam Tuhan mengirimkan seorang kakak. Kesufiannya tertutupi sikapnya yang terkadang menggemaskan bak anak-anak. Namun ketangguhan pilihan hidupnya luar biasa. Disaat semua teman dan kakak seumuran memeras otak jungkir balik, dan telah mengorbankan dengan berbagai cara, waktu serta uang yang tidak sedikit untuk meniti karir meraih S2 di dalam atau di luar Negeri, dan hal-hal eksotis keduniaan lain namun ajaibnya ia memilih jalan sunyi. Perguruan-perguruan tinggi tersohor di Negeri Kanguru yang melamarnya pun ia campakkan. Ia “Maiyahwati”, Srikandi Maiyah dari Tlatah Sunda yang sangat menginspirasi di usianya yang masih sangat belia, terima kasih kakak telah mampir dan mengajarkan banyak hal di persimpangan waktu yang sempit ini.

INTERNATIONAL AIRPORT

PETUALANGAN BARU dimulai. Beserta keluarga tercinta dan tak disangka pula beberapa Keluarga Maneges Qudroh telah lebih dulu stand by di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Hal yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Ada cerita lain dari Adisucipto International Airport, benar pula yang disinggung Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Mas Noe Letto di forum Bangbang Wetan April beberapa hari lalu. Bahwa setiap pintu dan setiap jalan itu mengandung ilmu. Di siang teriknya kota Yogyakarta dan sambil menanti jadwal boarding setelah selesai check-in, tiba-tiba pihak bandara memanggil namaku. Owalah, ternyata koper tiba-tiba sobek ketika melewati mesin pemeriksaan beberapa meter setelahnya. Dan terjadilah blaming alias saling menyalahkan dan tidak tahu entah siapa yang bertanggung jawab antara pihak bandara dan pihak maskapai penerbangan. Catatan pertama pelajaran yang kudapat dan seharusnya bisa menjadi koreksi bagi yang bersangkutan.

Usai tiba di Jakarta turut mampir pula di forum Reboan Kenduri Cinta, menyaksikan dialektika evaluasi penggiat, sosial media, mukadimah, reportase dan semua yang berada di balik panggung Maiyahan bulanan. Kesungguhan memikirkan nasib jamaah dan gurauan renyah antar penggiat semakin menambah mesra indahnya persaudaraan berasas kebersamaan Maiyatulloh ini. Tak menyangka akan turut bergabung dalam pusaran lingkaran penggiat Kenduri Cinta tersebut.

Macetnya jalan menuju Soekarno Hatta International Airport turut pula menjadi obrolan renyah namun cukup serius dengan bapak pengemudi taksi. Sedang di Terminal Bandara telah menanti “Maiyahwati” Jamparing Asih yang jauh-jauh dari Bandung menyibak macetnya Jakarta hingga lima jam lamanya, datang hanya untuk mengantar adiknya yang juga tercerahkan olehnya itu. Benar-benar momen mengharukan akan kebersamaan Maiyah ini. Suwun Gusti uripku asyik, kata salah seorang penggiat Maiyah di Malang yang masih terngiang di telinga.

Obrolan asyik dalam taksi terus berlanjut. Ada tiga lapis pemeriksaan lewat bandara. Pertama saat mendaftarkan bagasi, kedua saat boarding pass dan ketiga pemeriksaan terakhir sebelum menuju burung besi. Dan terdapatlah kesimpulan bahwa pemeriksaan berlapis di bandara sangat tidak efektif dan efisien. Waktu berlebih, tenaga berlebih dan seakan terdapat rasa ketidakpercayaan teramat tinggi kepada konsumen. Kenapa pihak bersangkutan pun malah tidak memikirkan arus lalu lintas menuju bandara yang sangat sering macet sehingga mengakibatkan kerugian dipihak konsumen seperti ketinggalan pesawat.

00.20 Burung Besi membelah langit menuju Doha, Qatar. Transit dua jam disana cukup terasa, diri ini hanya seperti anak kecil nyasar di bandara yang entah dimana orang tuanya. Dan seperti pada umumnya yang dirasakan oleh orang yang baru pertama kali ke luar negeri adalah takut di pihak imigrasi dan segudang pikiran-pikiran negatif lain yang berkecamuk. Namun, semua hal itu tak terjadi. Yang mengasyikkan ternyata mereka cukup sekali saja pemeriksaan menuju penerbangan selanjutnya. Selain itu betapa ramahnya petugas pemeriksa di Hamad International Airport tersebut. Diantara sekian penumpang, sepertinya hanya diri ini yang disapa, “Indonesia, Apa kabar?” sambutan yang menarik setelah sekian lama berurusan dengan birokrasi, apalagi birokrasi di kedubes dalam negeri yang lumayan judes-judes dengan para pribumi. Dan setibanya di Frankfurt International Airport, pemeriksaan pun cukup sekali, tanpa berbelit dan Willkommen Deutschland.

KEBERSAMAAN MENUJU KE-SATU-AN

INGATAN INI kemudian melayang ke sebuah desa bersejarah di kabupaten Jombang. Dalam Pengajian Padhang mbulan setahun silam, jamaah Maiyah diperdengarkan sebuah rekaman Ustadz Yassin Hasan Abdullah dari Pondok Pesantren Daruttauhid Malang. Pertemuan beliau dengan Cak Nun tahun 1990 kala itu dalam rangka memperingati Maulid Kanjeng Nabi Rasulullah Muhammad Saw.

Diantara petikan ceramah Beliau yang cukup merasuk ke relung-relung jiwa, ”Ya Allah, mereka menyebut kebesaran Nabi saya, mereka menyebut keindahan Nabi saya, mereka menyebut keterlibatan Nabi saya,. Tetapi satu pun tidak pernah ada syariatnya yang dilakukan di Negara saya. Saudara-saudara betapa apesnya perasaan saya. Alhamdulillah saya agak terhibur, disamping saya masih punya saudara yang bernama kakang Ainun Nadjib, Beliau akan berbicara tentang bagaimana mencintai Nabi saya bukan bagaimana menilai Nabi saya.

Di tengah-tengah saya berdiri ini Ya Allah, Tembok Berlin telah dirobohkan oleh Jerman, mereka bersatu Ya Rasulullah. Mereka bersatu Ya Rasulullah, Jerman Timur dan Jerman Barat. 45 Tahun mereka pecah, sekarang bersatu Ya Rasulullah. Tetapi saya sesama Islam, Wallohi sedang berkelahi Ya Rasulullah. Malu rasanya. Pada hari ini saya menyaksikan persatuan Jerman dipersamaken pula saya menyaksikan perpecahan. Antara Irak, Saudi dengan yang lain sesama Muslim.

Ya Rasulullah, aku tidak membutuhkan jumlah Ainun Nadjib tetapi aku membutuhkan pengikutmu yang bernama Ainun Nadjib. Saya ingin meneruskan langkah dengan Kang Ainun Nadjib, bukan dengan merubah Pancasila, bukan dengan merubah bendera tetapi bagaimana kita akan mewarnai keduanya menjadi Rasulullah Saw. Mungkinkah kita akan masuk surga dengan modal Cinta pada Nabi kita, sodara? Padahal Bank saja ada uang mukanya.”  

Uraian Ustadz Yassin diatas patutlah untuk direnungi. Apakah kita benar-benar serius sudah mempelajari, dan mengamalkan tauladan yang telah Kanjeng Nabi Rasulullah Muhammad SAW contohkan? Sampai manakah hijrah kita? Seberapa besarkah kita mampu mencicipi penderitaan perjuangan beliau untuk ummat sehingga Islam bertahan sampai detik ini? Lalu, dimanakah posisi kita menjadi pemecah kesatuan atau menjadi penengah dan pengamal Islam yang Rohmatan lil ‘alamin?

Dimulai dari bersatu pada tahun 1990, Jerman terus membenahi dirinya. Berasas kebersamaan dan hari ini setelah 26 tahun rujuk, mereka mampu menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Uni-Eropa dan bahkan dunia. Belajar mereka tidak hanya berhenti pada titik mengetahui, namun menerapkan apa yang benar-benar diketahui. Berolahraga setiap hari, keliling kota dengan sepeda pancal yang berkilo-kilo jauhnya menjadi pemandangan biasa. Kekuatan fisik mereka teramat luar biasa.

Jika berkaca, alangkah kontrasnya dengan diri ini, baru gowes beberapa km sudah kepayahan. Teknologi yang sekarang membanjir di Indonesia jika tidak dikelola dengan baik dan bijaksana maka akan semakin membuat generasi muda lumpuh, mudah sakit dan tidak mudah survive dengan tantangan-tantangan ke depan yang semakin berat.

Pada musim semi seperti sekarang, fajar muncul pukul 03.21 pagi, Muslim di Jerman menunaikan sholat maghrib pukul 08.30 malam dan sholat Isya pukul 11 malam. Maka alangkah nikmatnya menikmati ibadah puasa di negeri yang memiliki waktu siang dan malam yang seimbang.

Nafisatul Wakhidah
Herzliche Grüße aus Hessen, Germany