Dinamisnya Kegiatan Maiyahan

DI LUAR forum Maiyahan rutin yang biasanya digelar sebulan sekali di berbagai kota, ada juga kegiatan lain yang bisa diikuti oleh Jamaah Maiyah. Workshop, FGD (Focus Group Discussion), berbagai jenis pementasan, atau sekedar cangkrukan. Kegiatan-kegiatan itu ada yang diselenggarakan di Rumah Maiyah di Kadipiro, Yogyakarta dan ada pula kegiatan yang dilaksanakan di tempat lain serta di luar kota.

Beberapa hari yang lalu misalnya, digelar diskusi yang di narasumberi oleh para personel Letto Band. Diskusi tentang musik ini dimotori penyelenggaraannya oleh perpustakaan Emha Ainun Nadjib. Wah, perpustakaan kok membuat diskusi musik? Tidak salah ini? Ya, tidak salah. Sebab di Maiyah yang disebut membaca kan bukan hanya membaca abjad, kalimat dan buku, tetapi musik juga menarik untuk dibaca: penampilannya, sejarahnya, dinamika pemainnya dan lain sebagainya.

Lalu akan ada kegiatan lagi di penghujung bulan nanti, Cak Nun dan Kiai Kanjeng akan menyambangi Mandar, Sulawesi Selatan. Cak Nun dan KiaiKanjeng akan terlibat di dalam kegiatan festival yang dinamai Rihlah Cammanallah. Bunda Cammana yang akan dikunjungi nanti beliau adalah salah seorang penerima ijazah dan syahadah Maiyah yang penganugerahannya diberikan lima tahun yang lalu di Surabaya.

Ijazah dan syahadah Maiyah diberikan kepada mereka yang menyakini, mempertahankan, dan berusaha untuk menjalankan nilai-nilai kesungguhan, kualitas, otentitas, kesetiaan dan keikhlasan. Arti penting dari digelarnya event ijazah dan syahadah maiyah adalah untuk menginspirasi dan memperkuat keyakinan atas nilai-nilai bagi jamaah maiyah. Memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa lima poin nilai-nilai di atas dapat menyelamatkan dunia.

Begitu dinamisnya kegiatan Maiyahan. Karena memang Maiyahan bukan rutinitas bulanan belaka, bukan ritual menonton Youtube belaka. Ada kekayaan khasanah ilmu dan pembangunan nilai-nilai yang bisa kira raup seleluasa mungkin dari dinamisnya kegiatan Maiyahan baik dari forum rutinan maupun forum-forum diluar rutinan.

Diantara kegiatan diluar forum rutinan bulanan yang saya berkesempatan mengikutinya adalah workshop keorganisasian Maiyah. Fasilitator workshop ini adalah salah satu suhu di Maiyah, beliau dijuluki sebagai Bapaknya LSM di Indonesia. Dalam workshop itu disampaikan beberapa materi-materi tentang substansi organisasi. Diantara materi yang menarik bagiku adalah refleksi keorganisasian alamiah ala masyarakat Suku Boti yang berada di wilayah Soe, Nusa Tenggara Timur.

Dalam video yang berdurasi tidak terlalu panjang, saya dan peserta workshop lainnya diajak untuk menyaksikan alamiahnya sistem organisasi di suku pedalaman di Indonesia Timur itu. Namun, meskipun mereka adalah suku pedalaman, berada di daerah yang terpencil, tetapi mereka hidup rukun dan berkecukupan. Ada sistem yang demikian rapi dan dijaga bersama-sama di dalam komunitas mereka.

Saya terhenyak menyaksikan tayangan video Suku Boti tersebut. Salah satu yang ada di dalam tayangan misalnya, mereka sedari muda sudah dididik untuk membuat perkakas kebutuhan hidup mereka sendiri. Seseorang di suku tersebut belum dianggap dewasa jika belum bisa mandiri membuat perkakas kebutuhannya sendiri.

Untuk hal tersebut, nampaknya kita yang ngakunya sebagai orang modern ternyata ketinggalan dari mereka. Karena kita baru mulai tertarik dengan slogan Do It Yourself! (DIY), karena baru mulai sadar selama ini betapa kita sudah sangat tergantung dari penyediaan perkakas kebutuhan hidup dari komoditas yang disediakan oleh pasar.

Kebiasaan apa saja tinggal membeli, memanjakan diri sebatas sebagai konsumen, tanpa sadar sudah mengikis life-skill kita. Bayangkan, kalau tiba-tiba terjadi goncangan ekonomi, seperti yang terjadi di Jepang saat tragedy hebat Bom Hirosima dan Nagasaki. Pasar kolaps, pasokan barang-barang kebutuhan hidup terhambat, sementara kita kadung tidak punya keahlian keterampilan menyediakan kebutuhan dasar sehari-hari. Apa yang akan terjadi? Sementara Suku Boti dengan adem ayemnya tidak akan terganggu oleh gejolak pasar. Karena toh mereka sudah bisa mandiri berdiri di atas kaki sendiri, minimal untuk kebutuhan-kebutuhan yang paling mendasar.

Kebiasaan sebatas mengkonsumsi kini bukan hanya terjadi pada urusan piring-gelas, baju dan sepatu. Bahkan untuk urusan ilmu dan pemikiran, kitapun sudah terbuai sebatas menjadi konsumen belaka. Yang kita jumpai adalah ilmu dan pemikiran yang sudah dalam bentuk barang jadi siap saji, di dalam buku teori, jurnal hingga kitab tafsir produk dari generasi sebelum kita.

Maiyahan di berbagai kota secara alamiah melahirkan simpul-simpul kecil. Ndilalahnya saya dipeluangi untuk terlibat di dalam simpul Maiyah yang ada dikotaku. Simpul Maiyah bagiku seperti podium bebas tapi bertanggung jawab. Penggiat di simpul-simpul Maiyah mendapat keleluasaan untuk menjadi tidak sekedar sebagai konsumen ilmu dan pemikiran. Penggiat simpul diberi kesempatan dan senantiasa dibimbimbing untuk bisa memasak dan memproduksi ilmu dan pemikiran. Bagaimana bahan-bahan dari forum Maiyahan rutin dan non-rutin itu diserap, lalu selanjutnya simpul-simpul Maiyah menjadi semacam dapur tempat mengolah untuk melakukan intepretasi dan kontekstualisasi untuk menjawab tema dan persoalan lokal yang sedang terjadi. Ini adalah ruang berharga, bagi kita untuk dapat belajar mandiri dalam merumuskan gagasan dan penyelesaian masalah, tidak sekedar mencatut atau meng-copy paste teori sana-sini.