Revolusi Diri Menuju Kesejatian dan Keseimbangan Negara

“KEMBALI ke oase yang menyegarkan jiwa”, sebuah cuitan dari @lipialifia melalui akun Twitternya disertai tagar #KCJuli terlihat di linimasa pada Jumat malam (6/7) lalu. Memang, banyak orang menganggap bahwa Kenduri Cinta adalah seperti oase yang menyegarkan di tengah gurun pasir. Kerinduan untuk kembali bertemu, meraakan nuansa kebersamaan yang penuh kegembiraan di Kenduri Cinta yang mengantarkan mereka untuk datang kembali di forum ini.

Seperti biasanya, sejak sore penggiat Kenduri Cinta sudah berada di Plaza Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mempersiapkan segala sesuatunya, utamanya persiapan teknis. Sejak beberapa hari sebelumnya, baliho penanda informasi diselenggarakannya Kenduri Cinta sudah terpasang di etalase halaman luar Taman Ismail Marzuki. Menjelang maghrib, peralatan tata suara telah terpasang, lampu-lampu di bawah tenda pun telah menyala. Satu persatu terpal yang dijadikan alas duduk digelar, kemudian dibersihkan oleh beberapa penggiat.

Sebuah backdrop terpasang di area belakang panggung bertuliskan “Tak Kunjung Negara” yang memang menjadi tema utama Kenduri Cinta kali ini. Tema yang tidak mudah dikupas, mengingat Kenduri Cinta ini bukanlah sebuah fakultas dari sebuah universitas yang memiliki kemampuan akademis menjelaskan apa itu Negara. Tetapi, beginilah Maiyahan berlangsung, mengangkat tema apa saja bukan untuk merasa diri paling unggul dan paling mampu dalam menjelaskan sesuatu maupun menemukan solusi dari sebuah persoalan. Maiyahan selama ini menyelenggarakan sinau bareng, sebuah konsep pembelajaran bersama, dengan fondasi kesadaran yang kuat untuk mencari apa yang benar bukan siapa yang benar.

SIAPAPUN boleh datang di Maiyahan, juga di Kenduri Cinta ini. Siapapun berhak untuk berbicara apapun saja, membantah apa yang diwacanakan oleh narasumber yang berbicara, menyampaikan wawasan baru, berbagi informasi atau sekedar berbagi pengalaman. Kenduri Cinta ini merupakan forum milik bersama, bukan hanya milik penggiat Kenduri Cinta saja. Kegembiraan forum Maiyahan di Jakarta ini dijaga bersama oleh siapa saja yang datang. Selama ini, Kenduri Cinta dan forum-forum Maiyahan di berbagai daerah menyelenggarakan sinau bareng, belajar bersama tentang ilmu apapun saja; Politik, Kesehatan, Agama, Olahraga, Budaya, Ekonomi, Sosial, Hukum dan banyak lagi dikupas dan dibahas bersama. Sekali lagi, bukan untuk mengukuhkan diri sebagai orang yang lebih paham akan suatu ilmu, tetapi justru dengan konsep sinau bareng ini, semua yang datang memiliki peran yang sama untuk sinau bareng.

Di sesi awal, Doni menjelaskan bahwa interaksi antar personal dalam sebuah koloni, setelah memenuhi kebutuhan hidup, mereka akan merasakan bahwa dibutuhkan sebuah kesepakatan bersama untuk memilih seorang dari mereka untuk menjadi Pemimpin. Pemimpin yang dimaksud adalah seseorang yang patut untuk diteladani, charisma yang ia miliki adalah kharisma kebijaksanaan sehingga ketika ia memimpin masyarakatnya, suasana yang terbangun dalam masyarakat itu adalah sebuah kenyamanan dalam hubungan sosial masyarakat.

“Pemimpin itu harus yang malati”, Doni mentadabburi salah satu judul Daur edisi Pertama yang ditulis oleh Cak Nun. Pemimpin itu harus “mengakibatkan kualat”. Seorang Pemimpin yang penuh kebijaksanaan, yang telah berlaku adil kepada seluruh rakyatnya, telah mengupayakan kesejahteraan hidup bangsanya, maka jika ada rakyat yang berusaha khianat kepada Pemimpin yang seperti ini, rakyat yang khianat itu yang akan kualat. Namun, untuk mencapai level malati ini tentu bukan hal yang mudah. Seorang Pemimpin yang malati ini benar-benar Pemimpin yang sangat dekat dengan Tuhan. Dalam khasanah jawa dikenal istilah Manunggaling Kawulo Gusti, Pemimpin adalah orang yang di dalam hatinya bersatu antara Tuhan dengan rakyat. Jika ia berkhianat kepada Tuhan, rakyat akan ikut menanggung akibatnya. Jika ia memimpin dengan cara menindas rakyat, Tuhan akan marah kepadanya. Jika konsep Manunggaling Kawulo Gusti ini belum tertanam dalam hati seorang Pemimpin, maka ia tidak akan mencapai pada titik Pemimpin yang Malati itu tadi.

Indonesia, secara syarat dan pra syarat sudah memenuhi disebut sebagai sebuah Negara. Artinya, secara material Indonesia ini memang sah disebut sebagai sebuah Negara. Pertanyaan yang selalu muncul di benak rakyat Indonesia adalah; Kapan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini terwujud? Sudah lebih dari 70 tahun bangsa ini merdeka, sudah berkali-kali melakukan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden, namun kesejahteraan dan keadilan sosial itu tak kunjung datang. Tak Kunjung Negara ini merupakan tema ke sekian yang diangkat di Kenduri Cinta untuk membahas seperti apa seharusnya Negara itu berlaku. Sebelumnya, Kenduri Cinta pernah mengangkat tema “Negara Dalam Gelembung”, “Negeri Setengah Hati”, “United Nation of Nusantara” dan tema-tema lainnya yang membahas tentang Negara.

Sekali lagi, bukan dalam rangka merasa bahwa Kenduri Cinta adalah forum yang memiliki kewajiban untuk merumuskan sebuah formula bagaimana kemudian Negara berlaku seharusnya. Boim, salah satu penggiat Kenduri Cinta menyampaikan bahwa di forum Maiyahan ini belum tentu suara kita didengar oleh Pemerintah, bahkan sekadar untuk diliput oleh media massa saja belum tentu laku. Ali Hasbullah memperkuat argumen ini, bahwa yang kita lakukan di Kenduri Cinta ini merupakan proses untuk setor kepada Allah. Kita datang ke Maiyahan ini dengan keresahan kita masing-masing, denan grundelan-grundelan yang belum tentu akan terurai di forum ini. Tetapi kita semua bergembira ketika datang ke forum ini.

Malam itu selain Bobby Semberengen yang di sesi awal menampilkan beberapa lagu, hadir Wakijo lan sedulur dari Gambang Syafaat yang sudah lama ingin silaturahmi ke Kenduri Cinta. Wakijo lan sedulur ini merupakan grup musik yang dinisiasi oleh penggiat Gambang Syafaat. Pada tanggal 25 setiap bulannya mereka berkumpul di Masjid Baiturrahman Simpang Lima Semarang untuk menyelenggarakan Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini. Jamaah tampak menikmati nomor-nomor yang dibawakan oleh Wakijo lan sedulur. Beberapa komentar jamaah di Twitter mengungkapkan bahwa kualitas musik Wakijo lan sedulur ini layak dikomersilkan.

“TIDAK ADA anak muda di Indonesia ini yang tidak cinta kepada Indonesia”, Fahmi menyampaikan bahwa kecintaan kita kepada Negara itu sudah otomatis terbangun dalam diri kita. Contoh paling mudah disampaikan oleh Fahmi melalui Piala Dunia yang mempertemukan 32 negara dalam sebuah turnamen sepakbola. Dari Piala Dunia yang hanya sekadar turnamen olahraga kita melihat betapa bangganya sebuah Negara yang lolos untuk tampil di Piala Dunia. Ketika lagu kebangsaan diperdengarkan di stadion, para pemain tampak meneteskan air mata kebahagiaan, dan ketika mereka harus kalah dalam suatu pertandingan, ada yang menangis karena mereka merasa gagal memberikan yang terbaik bagi negara yang mereka cintai.

Alangkah indah jika seluruh pelaku pengelola negara juga memiliki sikap yang sama seperti para pemain bola itu. Wujud pengabdian mereka terhadap negara hanya diwujudkan dalam permainan sepakbola selama 90 menit di lapangan. Tetapi mereka sungguh-sungguh menampilkan permainan terbaik mereka, untuk satu tujuan, mengharumkan nama negara mereka di mata internasional. Maka, ketika mereka harus mengalami kekalahan dan tidak bisa melanjutkan turnamen, mereka merasa gagal. Mereka merasa bersalah kepada negara dan rakyat yang lainnya.

Andaikan para pejabat di pemerintahan juga memiliki sikap hidup yang sama, tentu keadilan dan kesejahteraan rakyat bukan hanya jargon-jargon yang selalu diindahkan pada setiap pemilihan umum berlangsung. Ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah ternyata gaga mewujudkan kesejahteraan rakyat, sudah seharusnya mereka mengakui kegagalan dalam mengelola negara.

Hadir malam itu juga Ahmad Karim, jamaah maiyah yang saat ini sedang menempuh studi S3 di sebuah universitas di Belanda. Ia menyoroti bagaimana kemesraan di setiap Maiyahan ini terbangun. Forum yang egaliter, tidak ada batas atau sekat yang bukan saja untuk memisahkan jenis kelamin, bahkan anak-anak kecil pun membaur bersama mereka yang dewasa. Anak-anak kecil yang tentu saja belum tentu paham dengan apa yang dibicarakan di Maiyahan, tetapi mereka begitu asyik menikmati suasana forum. Nuansa kegembiraan forum ini yang akan loading dalam akal pikiran mereka, entah kapan mereka akan paham dan mengerti, namun suatu saat mereka akan menyadari bahwa proses Maiyahan di suatu malam ketika mereka masih kecil turut membangun karakter dan kepribadian mereka.

Menjelang pukul 3 dinihari, kegembiraan Maiyahan di Kenduri Cinta harus disudahi. Indal Qiyam dan doa bersama dlantunkan, kemudian dipuncaki dengan wirid hasbunallah bersama-sama.