Reportase Bangbang Wetan Oktober 2014

Setelah tadarus dan salawatan, Cak Amin mengawali forum diskusi Bangbang Wetan malam itu dengan mengajak jamaah yang hadir untuk merapatkan jarak shaf agar jamaah yang terlambat hadir bisa bergabung dengan posisi senyaman mungkin. Kenyamanan adalah sebuah syarat utama yang membuat jamaah betah dalam sebuah forum diskusi, tidak terkecuali Bangbang Wetan. Dalam forum Bangbang Wetan sebelumnya, ada beberapa jamaah yang diwawancara dengan sebuah pertanyaan mengapa betah hadir di Bangbang Wetan dan bertahan sampai selesai, kebanyakan menjawab karena merasa nyaman.

Sebelum masuk ke diskusi, Cak Amin mengajak tiga jamaah untuk naik ke forum. Meminta mereka untuk sampaikan pemaparan perihal apa saja. Setelahnya, Cak Amin menggali lebih dalam lagi dari ketiga jamaah tersebut. Cak Amin juga mengajak jamaah untuk mengkritisi ketimpangan tayangan televisi, dimana ceramah agama lebih sering ditayangkan pada waktu yang terlalu pagi, bahkan sebelum Subuh. Sedangkan film kartun ditayangkan pada saat menjelang Magrib. Memposisikan diri sebagai orang tua, hal ini agar dapat merasakan sebuah keresahan yang cukup serius mendapati fakta ini. Tayangan yang bermuatan agama justru ditayangkan ketika anak-anak masih terlelap tidur, sedangkan tayangan film kartun disajikan pada saat menjelang Magrib dimana waktu tersebut banyak dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga di ruang keluarga di rumah.

Setelah mengajak beberapa jamaah berdiskusi di sesi awal, Cak Amin mempersilahkan grup band Fantasia untuk membawakan beberapa nomor tembang untuk sekedar menyegarkan suasana sebelum memasuki diskusi selanjutnya.


Pembicara awal malam itu, Hari, menyampaikan tentang maraknya perumahan-perumahan di beberapa lokasi yang kemudian membagi kasta-kasta masyarakat. Di wilayah tertentu dibangun rumah-rumah yang mewah, kemudian di wilayah lainnya dibangun rumah-rumah sederhana. Hal ini cukup mempengaruhi harga tanah disekitarnya. Padahal sudah ada undang-undang yang menyatakan bahwa susunan sebuah komplek perumahan seharusnya adalah 2-3 (2 rumah mewah dan 3 rumah sederhana). Setelah dianalisa, kondisi ini juga berpengaruh pada naiknya tingkat kecelakaan sepeda motor di Surabaya. Karena harga tanah di kota lebih mahal, banyak masyarakat yang bekerja di kota tetapi memilih untuk tinggal di kawasan pinggiran kota dan mau tidak mau menempuh perjalanan dari rumah ke tempat kerja dengan menggunakan sepeda motor. Kondisi ini tidak dibarengi dengan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah setempat dimana jalan raya yang ada ternyata banyak yang rusak dan berlubang. Inilah salah satu yang menyebabkan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, terutama para pengendara sepeda motor.

Cak Mat mengajak jamaah untuk selalu menyegarkan niatnya ketika hadir di forum maiyahan. Cak Mat tidak memungkiri peran Cak Nun sebagai tokoh sentral dalam forum-forum maiyahan, harus diakui bahwa jamaah susah “lepas” dari kehadiran Cak Nun selama ini, Bangbang Wetan salah satunya. Cak Mat mengajak para jamaah untuk tidak mengesampingkan kehadiran guru-guru yang lain di maiyahan seperti Cak Fuad dan Syeikh Nursamad Kamba.

Cak Mat mengutip sebuah kalimat yang pernah disampaikan oleh Cak Nun: Pencitraan adalah penipuan yang disamarkan dan pemalsuan yang disembunyikan. Dari kalimat ini Cak Mat mengelaborasi kondisi faktual yang ada di lapangan saat ini, bahwa mayoritas dari kita ternyata membutuhkan sebuah “eksistensi”. Banyak dari masyarakat saat ini menggunakan media sosial untuk mencitrakan dirinya. Menulis status atau posting dengan harapan dikenal oleh banyak orang, atau minimal dikenal di komunitasnya sendiri. Diakui atau tidak, fenomena pencitraan terhadap diri sendiri ini sedang menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat.

Fenomena ini tidak dipungkiri juga mewabah di kalangan jamaah Maiyah, dimana banyak di antara mereka yang mem-posting suatu tulisan di media sosial untuk kemudian bertujuan agar dirinya dianggap eksis. Cak Mat mengajak kepada jamaah Bangbang Wetan agar jangan berlebihan, Cak Mat mencontohkan bagaimana Cak Nun justru menghindari publikasi di media massa sejak awal 90-an. Dalam istilahnya Cak Nun yaitu: meniadakan diri. Sebisa mungkin Cak Nun menghindari publikasi di media massa. Belum lagi akhir-akhir ini juga muncul fenomena di dunia jurnalistik dimana seorang wartawan ketika mendapatkan sumber berita hanya dikutip satu kalimat di ujung wawancara saja, tidak berani memuat kalimat seluruhnya.

Cak Mat kemudian memberikan kesempatan Mas Icang yang kemudian mengelaborasi sebuah kaimat yang berasal dari tulisannya Sabrang ketika acara Benawa Sekar beberapa bulan yang lalu. Kalimat itu adalah: Penjajah yang paling berhasil adalah ia yang berhasil menjajah tanpa orang yg merasa dijajah merasa dirinya sedang dijajah. Mas Icang mengajak jamaah yang hadir untuk menelaah lebih dalam kalimat tersebut.


Mas Icang mengibaratkan manusia sekarang ini tidak ubahnya adalah sebuah komputer yang sudah di-install sebuah sistem operasi sehingga apa yang keluar dari komputer tersebut merupakan akibat dari hal-hal yang sudah di-input-kan sebelumnya. Manusia saat ini diberi input informasi dari banyak media, dan media massa baik itu cetak atau elektronik menjadi sumber utama saat ini, sehingga tidak mengherankan cara berpikir mereka juga tidak akan jauh dari apa yang mereka baca dan apa yang mereka lihat sehari-hari melalui media massa tersebut. Padahal seharusnya manusia memiliki teknologi yang lebih maju jika dibandingkan dengan sebuah mesin komputer. Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dan menganalisa lebih detail dari komputer.

Namun yang terjadi saat ini tidak demikian, cara pandang kebanyakan manusia merupakan output dari informasi yang ia cerna dari media massa setiap harinya. Dalam konteks ini Mas Icang menganggap bahwa manusia saat ini sudah terjajah oleh media massa dengan peluru bernama informasi. Dan hal ini sudah menjalar ke semua bidang, tidak hanya dalam bidang politik saja. Mas Icang mencontohkan bagaimana sebuah negara mampu membangun moda transportasi massal bernama MRT, tetapi proyek tersebut di Indonesia tidak semudah yang dibayangkan dalam membangunnya. Mas Icang menganggap karena masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat konsumen yang kerjaannya hanya mengkonsumsi saja, tidak memproduksi.

Mas Icang juga menduga bahwa kebanyakan masyarakat saat ini beragama dengan “by design“. Banyak sekali dari masyarakat saat ini merayakan hari raya beragama dalam koridor euforianya saja, namun substansi dari hari raya tersebut tidak mereka maknai lebih mendalam. Contoh terbaru adalah bagaimana Idul Adha lebih sering dirayakan dalam konteks senang-senangnya saja; menyembelih kambing, kemudian dagingnya dijadikan sate kambing. Padahal substansi Idul qurban bukanlah itu sebenarnya. Banyak dari kita yang kruang memaknai bagaimana Ibrahim pernah diuji untuk menyembelih Ismail, anak yang ia tunggu-tunggu kehadirannya dalam waktu yang lama justru diperintah oleh Allah untuk disembelih. Sebuah ujian keikhlasan yang luar biasa, namun sangat sedikit dari kita yang mampu menelaah lebih dalam dari kisah tersebut.

Mas Acang, salah satu penggiat Bangbang Wetan kemudian menambahkan, bahwa menurutnya peristiwa penyembelihan Ismail oleh Ibrahim merupakan wujud kecintaan Ibrahim kepada Ismail. Karena perintah menyembelih tersebut datang dari Allah. Ibrahim berhasil menapaki puncak kehambaannya kepada Allah sehingga apapun yang diperintah oleh Allah sudah pasti ia laksanakan, sekalipun untuk menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Dan sangat disayangkan peristiwa qurban saat ini hanya sebatas membeli seekor kambing, kemudian disembelih dan dinikmati dagingnya. Secara sosial mungkin ada bekasnya, karena pada faktanya saat ini di Indonesia jumlah hewan qurban yang disembelih setiap tahunnya terus meningkat, sehingga semakin banyak orang yang memiliki kesadaran untuk berbagi kepada sesama manusia. Sedangkan Idul Adha sendiri tidak bisa dilepaskan dari ibadah haji.

Penjajah yang paling berhasil adalah ia yang berhasil menjajah tanpa orang yg merasa dijajah merasa dirinya sedang dijajah.

Mas Rio kemudian mengelaborasi sebuah ungkapan dari Ian L Bets terhadap Cak Nun, Ian menganggap bahwa Cak Nun adalah salah satu orang yang frustasi terhadap Indonesia. Namun menurut Mas Rio, sekalipun Cak Nun frustasi terhadap Indonesia, namun dalam frustasinya itu Cak Nun justru menghasilkan daya kreatif yang cukup tinggi, dampaknya justru positif bagi masyarakat disekitarnya, dan hal ini terus menerus dilakukan oleh Cak Nun tanpa publikasi di media massa, kalaupun ada presentasinya tidak lebih dari 5% saja. Cak Nun berhasil mementahkan anggapan masyarakat bahwa untuk melakukan suatu kreatifitas yang berbuah energi positif harus dipublikasi oleh media massa mainstream, tanpa hal itu Cak Nun ternyata mampu melakukannya dan bertahan hingga saat ini.

Cak Amin menambahkan, bahwa grand design-nya Indonesia adalah masyarakat konsumtif. Masyarakat Indonesia diatur sedemikian rupa agar menjadi masyarakat konsumtif, bukan masyarakat produktif. Sejak usia dini hingga urusan kematian saat ini sudah menjadi industri di Indonesia. Sehingga daya kritis masyarakat Indonesia saat ini terhadap privatisasi BUMN dan penguasaan aset-aset negara oleh bangsa lain menjadi sangat kurang. Masyarakat kita disuguhi informasi sedemikian rupa agar tidak memiliki daya kritis di wilayah itu tadi, tapi lebih sering dibuat ribut dalam wilayah tertentu seperti politik dan agama. Kita melihat saat ini mahasiswa juga sudah sangat berkurang daya pergerakannya, tidak seperti zaman dahulu. Jangankan untuk melahirkan sebuah pergerakan, untuk berangan-angan mendirikan sebuah pergerakan saja saat ini sulit.

Mas Dudung kemudian sedikit bercerita tentang persambungan Timnas U-19 dengan Cak Nun juga dengan Maiyah secara luas. Sebelum berangkat ke Myanmar pada gelaran Piala Asia U-19, mereka menyambangi TKIT Alhamdulillah di Kasihan dan juga menyerahkan seekor sapi untuk dijadikan hewan kurban disana.


Dokter Ananto kemudian kembali memaparkan tentang sejarah Indonesia yang ternyata banyak salah difahami oleh orang Indonesia sendiri. Salah satunya adalah pertempuran di Surabaya tanggal 10 Nopember 1945. Bahwa sebenarnya pada 19 September 1945 terlebih dahulu terjadi sebuah pertempuran di Hotel Yamato Surabaya, singkat cerita peristiwa yang terjadi pada 10 Nopember 1945 adalah efek dari pertempuran pada 19 September 1945. Dari sekain pertempuran yang terjadi di Indonesia; serangan 6 jam di Jogja, pertempuran 5 hari di Semarang, bandung lautan api, gerilya Jenderal Soedirman tidak tercatat dalam sejarah bahwa kita adalah pemenang dalam pertempuran-pertempuran tersebut. Menurut dokter Ananto, secara pertempuran kita kalah.

Berdasarkan literatur yang dibaca oleh dokter Ananto, peristiwa 19 September 1945 adalah pertempuran dimana peristiwa tersebut adalah satu-satunya pertempuran yang dimenangkan oleh rakyat Indonesia dalam sebuah pertempuran. Dokter Ananto mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya rakyat memiliki kekuatan yang luar biasa yang tidak bisa ditandingi oleh militer sekalipun.

Dokter Ananto menambahkan bahwa ternyata secara fakta dulu kita tidak dijajah dengan militer seutuhnya. Belanda masuk ke Nusantara saat itu dengan menggunakan bendera bernama VOC. Dan saat ini, menurut dokter Ananto apabila memang kita masih ingin menggunakan kata penjajahan, maka kita saat ini dalam keadaan sangat terjajah. Berapa banyak produk yang masuk ke Indonesia yang ternyata bukan produk asli Indonesia? Bahkan beras impor sekarang beredar luas di masyarakat. Air mineral juga sudah dikuasai oleh perusahaan asing. Sehingga menegaskan apa yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat Indonesia ini adalah masyarakat konsumtif. Bahkan menurut dokter Ananto, perilaku anak-anak muda sekarang juga sudah bukan produk asli bangsa ini, mereka semakin sering menampilkan gaya hidup yang sejatinya bukan milik mereka sendiri.

Jamaah kemudian bersama-sama melantunkan Shohibu Baitiy sebelum memasuki diskusi selanjutnya. Rahmad kemudian menjelaskan kepada jamaah Bangbang Wetan bahwa dalam waktu dekat website Bangbang Wetan akan diaktifkan kembali dan direncanakan akan menjadi sebuah website yang lebih dinamis dari sebelumnya.

Grup Band Fantasia kemudian membawakan kembali beberapa nomor sebelum memasuki sesi tanya jawab.


Dahlan, seorang jamaah dari Gresik kemudian memberikan respon terkait forum Bangbang Wetan, menurutnya forum Maiyah bulanan seperti ini memberikan energi positif kepada setiap person yang hadir, karena banyak sekali ilmu yang bisa didapatkan oleh siapapun yang hadir di Bangbang Wetan. Dahlan kemudian mengajak semua yang hadir agar bisa melihat lebih dalam lagi kepada setiap peristiwa yang dijumpai, seperti yang sudah sering Cak Nun sampaikan bahwa dalam melihat sebuah persoalan kita harus seperti saat melaksanakan thawaf. Ketika seseorang melaksanakan thawaf, maka ia akan melihat Kabah dari keempat sisinya. Dalam kehidupan sehari-hari, sangat jarang kita mau melihat lebih dalam lagi ketika menghadapi sebuah persoalan, misalkan kita mendapati seorang pencuri, kebanyakan dari kita justru lebih suka untuk menghakimi, bukan mengadili. Kita tidak mau melihat apa sebabnya dia mencuri, apa latar belakangnya kenapa dia harus mencuri dan seterusnya.

Irul, seorang jamaah yang juga merupakan mahasiswa UNAIR mengajak semua jamaah yang hadir untuk menyadari bahwa forum Maiyah Bangbang Wetan sedianya adalah dari jamaah untuk jamaah, jangan sampai tidak tumbuh dalam hati siapapun saja yang hadir di Bangbang Wetan tentang rasa memiliki. Irul menambahkan, bahwa apabila infaq yang disumbangkan oleh jamaah hanya Rp. 5.000,- itu jelas sangat kecil jika dibandingkan dengan apa ilmu yang didapatkan di Bangbang Wetan setiap bulannya. Irul mengajak kepada semua yang hadir agar semua menumbuhkan dan menjaga rasa memiliki terhadap forum Bangbang Wetan ini. Karena menurut Irul, jika semua jamaah di dalam hatinya terdapat rasa memiliki forum Bangbang Wetan ini, maka semua akan ikut berpartisipasi aktif dalam terselenggarannya forum ini, mulai dari awal persiapannya hingga berakhirnya acara ikut menjaga kebersihan lokasi yang digunakan dalam melaksanakan forum Bangbang Wetan ini.

Fikri Abkori, jamaah asal Mojokerto yang sudah sejak tahun 2011 aktif mengikuti forum-forum Maiyah mengelaborasi peristiwa qurban dimana Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi tokoh utama dalam peristiwa yang menjadi asal muasal ibadah Qurban. Menurut Fikri, kebanyakan masyarakat saat ini hanya memaknai Idul qurban sebatas ritual saja. Banyak yang tidak mampu memahami betapa tunduk dan patuhnya Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim kepada Allah. Menurut Fikri, seperti dalam buku Cak Nun yang berjudul Jibril Tidak Pensiun, wahyu Allah menurutnya tidak berhenti hanya kepada Nabi Muhammad saja, melainkan kita sebagai manusia yang hidup di zaman ini juga bisa mendapatkan wahyu Allah melalui jalan spiritual kita masing-masing seperti: wirid, salat atau ibadah yang lainnya. Jika dalam Maiyah kita mengenal segitiga Cinta: Allah, Rasulullah dan manusia. Fikri merasa sangat bersyukur menemukan forum Maiyah yang mampu merangkul semuanya, sehingga dalam Maiyah tidak ada yang menghakimi kelompok mana yang benar dan kelompok mana yang salah, semua bisa berkumpul bersama di Maiyah.

Rahmad mencoba merespon pemaparan Fikri Abkori, bahwa apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sudah barang tentu menjadi sebuah suratan takdir yang sudah ditentukan oleh Allah. Mengenai wahyu Allah, untuk manusia saat ini tentu sangat mustahil mendapatkan wahyu Allah. tetapi dengan receiver yang berbeda setiap manusia mampu mendapatkan ilham, fadhillah, karomah atau ma’aunah. Dan setiap manusia memiliki receiver yang berbeda, sehingga tidak semua manusia dapat menerima ilham, fadhillah, karomah atau ma’aunah. Rahmad menambahkan, bahwa apapun yang muncul dalam hati manusia belum tentu itu merupakan pemberian Allah, itu bisa saja sebuah godaan yang muncul dalam lipatan logika dalam diri manusia.

Cak Amin menambahkan dalam sebuah momen Cak Nun pernah berpesan: Babah koen arep atheis arep opo sing penting siji cekelanmu, ojo rumongso bener dhewe (red: Terserah kamu mau atheis atau apa, yang penting satu yang harus kamu pegang, jangan merasa bener sendiri). Cak Nun memberi kata kunci tersebut.


Arik, jamaah asal Gresik berpendapat bahwa forum Bangbang Wetan ini adalah forum yang tepat bagi siapapun saja yang datang untuk meningkatkan level spiritualnya agar lebih dekat dengan Tuhan meskipun dengan tema atau pembahasan yang berbeda dari kajian spiritual biasanya. Arik menambahkan, apa yang disampaikan oleh Irul sebelumnya merupakan sebuah otokritik kepada para jamaah sendiri, bahwa sudah seharusnya setiap jamaah menjaga dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap forum Bangbang Wetan ini. Terkait pemaparan Dokter Ananto, Arik menanggapi bahwa realita saat ini yang terjadi adalah kebanyakan masyarakat enggan untuk bergerak melakukan sesuatu jika tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri. Arik mencontohkan bagaimana masyarakat saat ini sangat kurang menghargai budaya bangsa sendiri.

Rizal, jamaah dari Surabaya menanggapi pemaparan Rahmad di edisi Bangbang Wetan sebelumnya yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan perumpamaan dari sebuah tahyat akhir dalam salat. Rizal menemukan bahwa dalam Maiyah mengajarkan cara pandang yang berbeda dari biasanya, bahkan menurutnya lebih sering bertolak belakang dari cara pandang manusia kebanyakan. Mengutip pernyataan Syeikh Imran Hussain, Rizal mengatakan bahwa: Kesalahan terbesar umat Islam adalah mereka merebut tempat ibadah terbesar umat nasrani di Konstantinopel. Dalam sebuah film digambarkan bagaimana kaisar Ottoman dengan gagahnya berhasil mengalahkan kekaisaran Bizantium, dalam film tersebut diperlihatkan bagaiaman tentara-tentara kaisar Ottoman dengan gagahnya mengalahkan tentara-tentara Bizantium. Dalam Al-Quran dikisahkan: bangsa romawi itu hebat lalu dikalahkan oleh bangsa Persia, setelah dikalahkan bangsa Persia pada beberapa tahun kemudian bangsa Romawi akan menang setelah itu bergembiralah orang-orang beriman.

Menurut Rizal, saat ini kita sedang berada di pucuk akhir jaman, dimana tanda-tandanya sudah banyak terlihat: senjata-senjata nuklir yang sudah dibuat oleh beberapa negara, krisis ukraina yang kemudian menjadi rebutan bagi blok barat dan blok timur. Dan di akhir zaman ini Indonesia akan menjadi keroyokan bangsa-bangsa besar dunia.

Sigit Ghozali dari Tuban menanyakan tentang seperti apa sebenarnya wujud dari “jiwa yang kuat” dalam sebuah uangkapan “di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”, menurutnya ungkapan ini tidak berlaku bagi orang yang mengalami gangguan jiwa, karena banyak orang yang sedang terganggu jiwanya namun pada kenyataannya badannya sehat. Dokter Ananto merespon pertanyaan Sigit Ghozali, bahwa “jiwa yang sehat” dalam ungkapan tersebut adalah makna dalam terminologi positif. Menurut Dokter Ananto, untuk menampung jiwa yang kuat maka syaratnya adalah badan yang sehat.

Sebelum menutup Bangbang Wetan kali ini, Rahmad menambahkan bahwa jiwa yang kuat itu susah untuk didefinisikan, tetapi dalam terminologi Maiyah, jiwa yang kuat adalah bagaimana seseorang itu tidak mudah ditipu dan dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat saat ini. Rahmad kemudian mengutip kalimat yang pernah dilontarkan oleh Cak Nun: Aku iku nggak masalah mbok kate numpak becak, mangan nang warung kaki lima aku ki nggak onok masalah (red: Saya ini nggak masalah meskipun naik becak atau makan di warung kaki lima, nggak masalah). Hal itu memang tidak menjadi masalah bagi Cak Nun, kemudian Rahmad menjelaskan justru kita yang merasa hal tersebut menjadi masalah. Karena sudah tentu ini menjadi berkaitan dengan etika kita terhadap guru kita, terhadap orang tua kita.

Bangbang Wetan kemudian ditutup dengan doa bersama-sama yang dipimpin oleh Rahmad.

[Teks: Ravi Bakhtiar]