PERADABAN AKU-WARIUM

reportase kenduri cinta september 2012

Teruntuk Ibu Maiyah, Ibunda Chalimah, ayat-ayat surat Yaasiin mengalun dari tenda Kenduri Cinta malam itu di hari keempat belas di bulan September 2012. Selepas itu barulah para para pengurus Kenduri Cinta membuka bahasan tema bulan ini: Peradaban Akuwarium.

Penentuan tema berawal dari usulan Cak Nun mengenai tiga sub-tema, yakni Orde Prematur, Orde Malpraktik, dan Orde Kriminal. Akuarium, karena kita hidup dalam kotak kecil dengan lingkungan yang sebenarnya bukan habitat asli kita. Akuwarium, karena ketika hidup di dalam lingkungan sangat terbatas itu manusia cenderung mementingkan keberadaan aku-nya masing-masing, sehingga muncullah perang (war) dan dengan begitu yang kuat menjadi predator bagi yang lain. Karena terjadi secara kontinu, menjadilah pola ini sebuah peradaban.

Jamaah lalu sampaikan pertanyaan dan tanggapan. Karna, dari Purwokerto, bertanya, “Para motivator mengatakan bahwa ketika kita ingin mendapatkan 9, kita harus menetapkan target 10. Beberapa dari kita ingin menjadi pintar sebagaimana telah dicapai oleh Einstein, misalnya. Apakah kita harus belajar melakukan apa yang dilakukan orang-orang lain yang kita idolakan itu, atau apakah kita harus menyerap ke dalam, menemukannya di dalam diri kita?” Jamaah lainnya, Dharma, mengatakan bahwa manusia selalu ingin terlihat memiliki sesuatu. Peradaban merupakan pengulangan.

Ian menanggapi dengan mengatakan bahwa ketika kita mengidolakan satu tokoh, kita seringkali tak tahu detil kisah hidup tokoh tersebut. Kita mengidolakan Cak Nun, misalnya, tapi yakinkah kita tahu Cak Nun yang sekarang terbentuk dari peristiwa apa saja? Kita menjadi makhluk-makhluk prematur, mendambakan loncatan-loncatan untuk sampai pada tujuan. Kita diarahkan untuk berpikir instan, ingin mendapatkan surga secara instan.

“Orang-orang besar tak pernah bercita-cita; mereka hanya bekerja keras.”

Emha Ainun Nadjib

Adi menambahkan, “Semenjak lahirnya, manusia tidak dibiasakan untuk mencari sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh binatang. Pengambilan contoh atau patron merupakan kewajaran dari seseorang yang bisa berpikir, bahwa dia ingin mewujudkan keinginannya. Yang menkhawatirkan adalah sisi instannya. Pada saat itu, manusia lupa bahwa dia tidak melewati fase untuk menjadi diri sendiri. Orang Jawa punya term mokong untuk menyebut karakter semaunya sendiri, tak bisa diberi tahu. Saya berpendapat bahwa jangan sampai kita menjadi seperti itu.”

Sofyan, jamaah dari Sleman, juga melemparkan pertanyaan, “Kalau kita ingin bangkit dan maju, ingin soleh, apakah kita harus seperti Nabi Musa yang bertanya-tanya tentang Tuhan dari nol? Atau apakah kita harus seperti Nabi Muhammad yang bertapa di gua hira? Apakah itu bukan berarti penyia-nyiaan waktu yang begitu besar? Saya tidak setuju kalau kita harus betul-betul hanya merenungkan diri dan kemudian mencari ilham. Kita harus mencari referensi. Pencarian diri saya benarkan pada titik pemanfaatan potensi diri. Tentang akuwarium, saya sepakat dengan Mas Dharma. Yang harus digarisbawahi adalah bahwa di dalam akuarium kita dijebak, terjebak. Jangan mau dijadikan ikan dalam akuarium. Banyak yang tidak sadar bahwa kita sedang dibegitukan. Siapa pelakunya? Salah satunya adalah televisi.”

Cak Dil: “Yang bisa kita lakukan adalah memetik beberapa hal yang menggembirakan di tengah keruwetan sangat banyaknya. Keruwetan itu terjadi juga di lapangan. Masyarakat tani kita saling memakan antara satu dengan yang lain. Tidak ada kondisi ideal. Bagi kami ini sangat menyedihkan. Namun hal seperti ini tidak bisa diurus dengan wacana atau narasi. Yang dibutuhkan adalah langkah-langkah konkret yang pun tak bisa langsung menyelesaikan permasalahan. Sudah sangat membahagiakan kami perjalanan dalam menemukan jawaban-jawaban satu demi satu. Sekali lagi bukan berarti semua permasalahan terselesaikan.

“Pada mulanya, orang bertani untuk memproduksi beras. Tapi mulai orde baru tahun ’67, orang bertani untuk menjual gabah. Bahkan semakin mundur lagi menjadi sekadar menjual padi sebelum panennya. Petani hari ini berangkat dari kalah dan berakhir pula pada kekalahan. Dari sawahnya yang sempit, modalnya yang sangat sedikit, ditambah dengan suplai bibit mahal dari perusahaan asing dan pupuk dari BUMN. Hanya dua pihak itulah yang menikmati hasilnya.”

“Saya menghitung, dengan menanami 1 hektar sawah saya bisa melayani 60 keluarga. Suatu hari nanti ketika harga beras naik, petani bisa menikmati. Sekarang mereka tidak sampai menikmati hal itu. Saya bukan orang yang sangat optimis, karena stamina bangsa kita untuk bikin perubahan seperti mbakar kopi dengan blarak; panasnya munclak-munclak tapi cepat habis dan tidak cukup panas. Masyarakat kita adalah masyarakat blarak. Saya punya harapan jaringan Maiyah tidak seperti itu, tetapi seperti memasak dengan kayu, syukur-syukur dengan arang. Yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan bukan api blarak, melainkan api areng,” kata Cak Dil.

“Kita berkumpul setiap bulan di Cileungsi, berbicara tema-tema pertanian. Petani seharusnya tidak miskin. Tidak ada usaha yang dari satu titik bisa menghasilkan 5.000 sampai 25.000 titik, kecuali dalam pertanian. Keterlaluan kalau sampai rugi. Kita inginnya sampai menghasilkan 2.000 saja, tapi ada dari teman-teman yang bisa menghasilkan sampai 20.000 dalam waktu tiga bulan,” tambah Pak Tjuk.

BERTANI ADALAH MERUMAT HIDUP

Setelah alunan musik dari Kang Ho, Kang Jalu lalu dipersilakan ikut sumbangkan pemikirannya.

“Kalau konteksnya pertanian, mudah-mudahan dari peradaban akuarium itu muncul nusantara yang berdaulat, suci dan perkasa. Maksudnya adalah agar nusantara mampu mendefinisikan secara jelas dan mandiri, apakah dirinya sebagai wilayah maritim atau agraris. Orang Sunda mengenali alam, musim, dan bintang-bintang dalam bertani. Penduduk Ciptagelar bertani setahun sekali tapi tak pernah kekurangan beras. Di sana terdapat kurang-lebih 164 varietas bibit lokal. Pertaniannya hampir 100% organik. Hasil pertanian disimpan bukan di lumbung padi, melainkan di lumbung gabah. Gabah diperjualbelikan secara barter. Setelah berupa beras ia menjadi milik komunitas dan tidak bisa diperjualbelikan,” ujar Kang Jalu

Kang Jalu juga sampaikan bahwa dengan strategi pertanian yang pro alam, kita tidak butuh pupuk-pupuk kimia, tidak butuh makanan-makanan junkies, tidak butuh beras-beras yang mengandung residu kimiawi. Berbicara sebagai Negara agraris, kita bertemu dengan dikotomi pertanian dan perkebunan. Menurutnya, perkebunan yang ada saat ini adalah perkebunan warisan cultuur stelsel. Mengenai perkebunan, ia juga katakan bahwa saat ini kelapa menjadi tidak begitu diminati di Indonesia. Perkebunan-perkebunan kelapa dianggap tidak menguntungkan dan dengan demikian digantikan oleh perkebunan sawit. Memang ada budaya di balik keduanya, tapi bagaimana jika dilihat secara menyeluruh? Perkebunan sawit tidak menguntungkan penduduk lokal. Di samping itu butuh peralatan khusus untuk merawat sawit.

Mengenai isu kelapa dan sawit, Cak Dil menambahkan, “Sampai hari ini kalau kita tanya dokter, mereka selalu bilang bahwa santan bikin kolesterol. Citra minyak kelapa dalam dunia kesehatan masih selalu dianggap berbahaya. Ini merupakan hasil dari kampanye petani kedelai Amerika ketika pada waktu itu mereka bikin minyak kedelai dan minyak jagung lantaran di sana tak ada kelapa. Sementara itu, lembaga kesehatan Amerika membenarkan bahwa minyak kelapa merupakan minyak kehidupan. Sekarang lihat saja, di mana-mana orang menjual obat dalam bentuk VCO (Virgin Coconut Oil). Dari mana asalnya kalau bukan dari kelapa?

“Kita terlanjur menjadi manusia instan, memilih hanya karena murahnya. Dalam tiap butir sawit, terdapat kernel, cangkang, dan sabut. Nah, minyak goreng sawit yang beredar di pasaran merupakan hasil olahan sabut sawit, bukan dari kernelnya. Sabut sawit itu menghasilkan CPO (Crude Palm Oil), yang membutuhkan tiga kali proses penyaringan karena memang masih kotor.

“Minyak kelapa tradisional dicitrakan jelek karena aroma tengik yang dihasilkannya. Sebenarnya ini masalah teknologi pertanian saja. Pengolahan minyak kelapa menggunakan teknologi baja (Fe) yang dalam prosesnya mengalami oksidasi sehingga menghasilkan efek samping berupa aroma tengik. Cak Dil telah membuat teknologi alternatif untuk menghasilkan minyak kelapa yang bebas-tengik.

“Dalam 10 tahun terakhir, harga kopra berkisar antara 3.000 sampai 8.000 Rupiah. Kelapa tak pernah naik harganya secara signifikan. Harga kelapa di kebun Banten tidak lebih dari 500 Rupiah, kemudian dijual seharga 4.000 Rupiah. Tapi apakah petani kelapa yang menikmati selisihnya? Inilah yang mengakibatkan tidak ada energi untuk melakukan pertanian kelapa. Kelapa terzolimi.

“Di Indonesia, kelapa paling banyak menghasilkan 20 jenis produk. Sementara di Filipina bisa mencapai 100 jenis. Bahkan di Jepang, telah ada teknologi untuk mengolah air kelapa menjadi layar LCD.”

“Kehidupan pangan kita,” menurut Pak Tjuk, “ditentukan oleh beberapa stasiun TV. Kalau tidak ya hanya 1 atau 2 orang. Kita sudah biasa dari dulu makan yang macem-macem, dan cukup gizinya. Tahun 50-an kita punya kesepakatan 4 Sehat 5 Sempurna; dan yang ke-5 berasal dari susu sapi, padahal susu sapi di Indonesia hanya ada di Pengalengan, Boyolali, dan Lembang. Pertanyaannya, kenapa kita minum susu sapi? Jaman dulu kalau kita cari susu sapi, merknya Jabat Tangan, dari USA. Hal yang sama juga terjadi pada tembakau.

“Dulu kita meyakini bahwa pertanian tak lepas dari Yang Di Atas. Sebelum masuk masa tanam kita minta perlindungan, dan setelah masa panen kita syukuran. Cultuur stelsel memotong keyakinan itu, mengalihkannya pada rumus bahwa untuk mendapatkan hasil yang bagus, yang diperlukan adalah benih, pupuk, dan pestisida yang bagus. Kita diberi angan-angan. Pertanian saat ini menjadi sangat industrialis, mekanis, dan eksploitatif. Padahal sejatinya, tugas kita adalah melayani. Dalam pertanian, kita melayani bertemunya benih dengan media hidupnya, dan lalu memelihara kehidupannya. Dengan bertani kita me-rumat media hidup.

“Beras kita sekarang tidak kompetitif. Banyak yang lebih suka impor karena harganya jauh lebih murah. Banyaknya tingkat konsumsi kita terhadap item-item impor, meliputi benih, pupuk, dan pestisida, membuat harga beras kita menjadi mahal, terpaut sampai 30% dibanding harga beras impor.

“Saya kira di dalam maiyahan, kita diingatkan kembali pada tugas manusia. Kalau ada cacing, petani tak perlu mencangkul sebenarnya. Tapi saking pintarnya kita, sampai-sampai pekerjaan cacingpun kita gantikan. Ada memang waktu-waktu di mana kita butuh input dari luar, tapi bukan berarti setiap saat kita butuh itu. Sampai saat ini saya belum pernah bisa mengukur berapa harga satu cacing. Keanekaragaman hayati kita paling kaya. Di sini, satu hektar tanah bisa mengandung ribuan jenis biota. Jadi kalau dalam satu hektar itu hanya ditanami sawit, tidak sesuai dengan kekayaan yang dikandungnya.”

“Dalam pertanian, kita melayani bertemunya benih dengan media hidupnya, dan lalu memelihara kehidupannya. Dengan bertani kita me-rumat media hidup.”

Adil Amrullah

404652_4647780602360_136817632_n

Uraian dari Cak Dil tersebut disambung oleh Arya Palguna, “Ketahanan pangan pada titik awalnya adalah bagaimana kita bisa menentukan tingkat permintaan (demand) masyarakat, kemudian tingkat ketersediaan (supply), dan keterjangkauan (accessibility) yang di dalamnya termasuk instrumen harga. Karena merupakan kebutuhan pokok, tingkat permintaan terhadap pangan bersifat inelastis. Berapapun harga, tidak berpengaruh pada permintaan. Karena inelastis ini, produk-produk pangan kemudian dipolitisasi oleh para pengambil kebijakan sehingga lahirlah berbagai macam regulasi yang justru merugikan masyarakat.

“Merupakan fakta bahwa sistem hidrologi terbaik ada di Bali, yang dikenal dengan nama subak. Sistem ini lahir dari kesadaran adanya hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan juga dengan alam. Bagaimana mengatur air dengan mengundang intervensi Tuhan, sumber-sumber air selalu ditanami agar terjaga, juga air-air itu didistribusikan sesuai proporsi dan ketepatan waktu. Berkat subak, Bali tidak mengambil pangan dari luar. Di sana juga sudah sejak lama diterapkan tumpangsari. Tapi itu masa lalu. Sekarang subak sudah menjadi museum, padahal dunia mengakui kehandalan sistem tata air ini.”

Diskusi sesi pertama ditutup dengan sajian musik dari grup underground Es Coret, yang membawakan tiga lagunya: Anak Jalanan, Uninvited dan Padhangmbulan.

“Otak kita dikonsep bukan untuk masa depan, melainkan untuk masa sekarang. Banyak orang berat hidupnya karena dia gunakan otaknya untuk memprogram masa depan.”

Sabrang

RAYYA: CAHAYA DIATAS CAHAYA

Masuk ke diskusi sesi kedua, tim produksi film Rayya berbagi pengalaman selama “memasak” film Rayya: Cahaya di Atas Cahaya. Erik yang mengawal jalannya diskusi, melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada Viva Westi sang Sutradara film, produser film Dewi Umaya dan Sabrang.

“Begitu mendengar kata Rayya, saya langsung menghubungkannya dengan kata di dalam bahasa Jawa, ijo royo-royo, yang berarti daun-daunan yang terhembus angin sehingga seakan-akan warna hijaunya hilang karena bercahaya. Yang kemudian muncul adalah sangkaan orang bahwa ini merupakan film religi hanya karena skenarionya ditulis oleh Cak Nun. Seakan-akan ada motivasi bahwa apresiasi terhadap film ini adalah karena Cak Nun. Apakah benar begitu? Kemudian secara genre, film ini masuk mana?” tanya Erik mengawali.

“Kalau yang kita pahami sebagai film religius adalah seperti yang ditampilkan film Ayat-Ayat Cinta, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan yang semacam itu, maka film Rayya pasti tidak seperti itu. Tidak ada simbol-simbol agama di dalamnya, tapi bisa kita rasakan kehadiran Tuhan di situ. Secara genre, film ini termasuk drama percintaan. Film Rayya merupakan sebuah road movie yang mengisahkan perjalanan Rayya dengan fotografernya, Arya, dari Jakarta sampai Bali. Mungkin bisa disebut ini film spirituil,” ungkap Westi.

Dewi Umaya menambahkan bahwa film Rayya merupakan drama yang mengisahkan bagaimana seseorang menemukan cintanya yang sejati. Cintanya terhadap apa? Ya bisa bermacam-macam. Bukan hanya dengan kekasihnya, tapi cinta kepada kehidupan, kepada Tuhannya. Kalau nyatanya menyentuh sisi-sisi relijius, pesan moral bukan dibuat oleh tim kreator film melainkan ditangkap sendiri oleh penonton. “Kami tidak mengkhususkan pesan moralnya apa. Kami hanya bercerita.”

Road movie merupakan istilah yang asyik,” timpal Erik. “Daripada istilah film religi yang nggak cetho. Tadi disinggung mengenai cinta sejati. Nah, cinta sejati seperti apa yang dilukiskan dalam film ini? Bagaimana fenomenanya, visualnya, simbol-simbolnya?”

“Cinta sejati kalau saya analogikan seperti rasa manis,” jawab Sabrang, “Rasakan sendiri karena ia tak mungkin dideskripsikan. Perjalanan Rayya adalah perjalanan menemukan dirinya sendiri. Man ‘arofa nafsahu, faqod ‘arofa robbahu. Di mana kau menemukan dirimu sendiri, di situlah kau temukan Tuhan. Dalam menemukan diri sendiri, dia berkenalan dengan tahapan-tahapan cinta. Berangkat dari cinta terhadap diri sendiri, meningkat menjadi cinta kepada orang lain. Tapi ternyata dia masih tertipu. Apakah benar bahwa mencintai orang lain itu lebih luas daripada mencintai diri sendiri? Kalau anda cinta sama orang dan tidak dibalas apakah anda masih cinta sama dia? Atau justru sakit hati? Sebenarnya ketika sedang mencintai orang lain, kita sedang mencintai orang lain atau diri kita sendiri? Dia tertipu dengan itu. Ketika dia mencintai dia butuh alasan. Karena tidak seperti yang dia harapkan, dia menjadi terluka dan ingin bunuh diri.

“Cinta adalah skala; rindu menjadi dasarnya. Ketika kecil kita menemukan cinta pada mainan, kemudian seiring bertambahnya umur dia mencintai obyek di luar dirinya. Dia menemukan cinta pada istrinya, pada keluarganya. Lalu dia menderita karena cinta yang tak dia pahami, yaitu cinta kepada anaknya. Tapi tetap, rindunya belum terisi. Dia butuh menjadi bagian dari sesuatu, maka dia bergabung dalam milanisti atau juventini misalnya. Dia menemukan cinta kepada kelompoknya. Dia berkenalan dengan cinta kepada RT-nya, RW-nya, dan terus meluas menjadi cinta pada negaranya yang disebut sebagai nasionalisme. Ending-nya dia mencintai apapun ketika telah menemukan dirinya sendiri,” tutup Sabrang.


Erik menanyakan; “Denger-denger dalam proses pembuatan film, kru menemukan hal-hal yang lain yang tidak pernah ditemukan dalam proses pembuatan film-film lain? Sebuah resensi di Kompas yang terbit setelah press conference menyebutkan bahwa bahwa banyak kejadian sepanjang proses pembuatan yang memotivasi kru. Contohnya ketika Tio nggak bisa naik ke tebing, kemudian dia melihat orang berbadan lebih besar tapi bisa naik, sehingga Tio termotivasi. Apakah benar begitu?”

“Ini adalah film kelima saya,” ujar Viva Westi, “Yang saya rasakan paling berbeda adalah pada proses pembuatan skenario. Kenapa harus Cak Nun yang nulis, itu ada ceritanya. Berawal dari keinginan saya untuk bikin film yang dapat membuat hati penonton tersentuh tanpa harus digambarkan dalam ungkapan-ungkapan verbal. Mbak Dewi bilang bahwa yang nulis harus Cak Nun, tidak bisa yang lain. Yang menarik adalah Cak Nun tidak pernah membuat skenario itu selesai. Biasanya saya memulai syuting ketika skenario sudah final. Tapi tidak dengan film Rayya. Sampai selesai syuting, menurut Cak Nun sendiri skenarionya belum selesai. Bahkan sampai malam ini. Masih banyak yang harus diperbaiki. Cak Nun sendiri berkata, “Dia tak akan pernah selesai, jadi kerjakan saja.”

“Saya yakin bahwa niat awal akan mengikuti perjalanan kita. Begitu script Cak Nun saya terima, saya punya kru yang wajib baca skenarionya. Mereka merasa tersentuh. Perjalanan syuting kami tidak memiliki kendala yang biasa terjadi. Waktu itu musim hujan, tapi selama 25 hari perjalanan tidak turun hujan sama sekali. Tidak ada satu pun ban pecah pada ke-40 bus kami. Tidak ada yang jatuh sakit padahal kondisi kawah Ijen begitu beratnya, mencapai 0 derajat Celcius. Kami seperti didoakan oleh alam untuk terus bikin film ini. Dalam proses, dialog-dialog tak pernah keluar dari skenario Cak Nun bahkan sampai ke titik dan komanya.”

Sebagai produser, Dewi Umaya mengaku bahwa film ini merupakan pertama kalinya budget tak bisa dihitung dengan tepat. “Saya merasa bahwa kami dimudahkan, diperjalankan. Kok ya pas filmnya tentang perjalanan. Saya coba untuk mengalir, tidak menggunakan pakem-pakem yang biasa saya terapkan. Yang selalu saya ingat adalah nasihat Cak Nun: teruslah berjalan, ambil kunci-kuncinya, nanti akan kita temukan pintunya.”

“Salah satu bagian terberat dalam film ini,” ujar Sabrang, “adalah melibatkan Cak Nun. Karena kalau beliau sudah menulis, susah dihentikan. Dan kalau ada perubahan, itu bisa terjadi kapan saja. 40 halaman dengan Blackberry pun nggak masalah. Beliau bilang: momen hidayah tidak bisa kamu buru-buru. Bikin film ini senengnya luar biasa, tapi juga njarem luar biasa.”

Perlu diketahui bahwa Cak Nun mengetik skenario film Rayya di Blackberry ketika menempuh perjalanan ke berbagai tempat untuk menunaikan pekerjaannya mengurusi berbagai macam urusan. Sekali kirim bisa sampai 40 halaman, yang bisa saja beberapa hari kemudian beliau revisi, masih selalu merupakan hasil ketikan di BB. Merupakan pekerjaan berat bagi sutradara untuk mengatur para pemain untuk tidak berlebih-lebihan dalam aktingnya. Banyak dialog yang justru baru bisa dipahami ketika sudah jadi, tidak seperti layaknya film lain. Ini merupakan gambaran bagaimana ketidakteraturan baru dipahami di akhir.

“Skema besarnya seperti agama. Kalau IQ tidak mampu memahami, percaya dan rasakan saja. Maka agama disebut sebagai faith. Dirasakan saja, tanpa harus paham dulu di awalnya. Memangnya ada hidup yang teratur? Otak kita dikonsep bukan untuk masa depan, melainkan untuk masa sekarang. Banyak orang yang berat hidupnya karena dia gunakan otaknya untuk memprogram masa depan.”

Ketidakteraturan menjadi runut karena kita menjalaninya dengan percaya.

Erik kembali menanyakan, dari awal proses Westi sudah menulis tokohnya bernama Rayya tanpa mengerti apa maksudnya. Sepanjang proses sempat diganti menjadi dengan nama lain, tapi ketika menjelang akhir kembali lagi ke Rayya. Mengapa dengan ‘y’ dobel?

“Kanjeng Nabi ‘m’-nya dobel, bahkan Allah ‘L’-nya juga dobel. Kita tak harus paham, lihat saja polanya. Kita tak harus paham bagaimana cara kerjanya; ikuti saja dengan prasangka baik,” jawab Sabrang.

Rayya secara etimologis maknanya adalah angin semilir yang membuat sejuk, Erik menanyakan apakah ada hubungannya dengan lirik salah satu lagu Letto, Sebelum Cahaya?

“Kalau kita mau cari hubungan paralelnya susah. Tapi bisa kita lihat ke akarnya. Setiap kata memiliki akar, dan akar itu ada pada manusia. Rayya adalah angin yang berhembus mesra. Tokoh lain bernama Arya, yang artinya kata Tio adalah cahaya. Rayya—Arya, Angin—Cahaya. Kebetulankah? Tuhan tak pernah kebetulan. Tuhan itu Betul,” kata Sabrang menjawab Erik.

Menanggapi salah satu media yang beberapa hari lalu sempat mengulas film ini dan menyebutnya sebagai film yang terlalu puitis, Sabrang menganalogikannya dengan makan keripik Ma’ Icih. Misalnya ada orang yang sama-sama makan keripik Ma’ Icih level 4. Ambil 10 orang, kemudian tanyakan pada masing-masing apakah rasanya terlalu pedas atau kurang pedas. Secara inherent, dia pedas. Untuk yang tidak biasa makan pedas, dia menjadi terlalu pedas. Untuk yang biasa makan pedas, dia menjadi kurang pedas. Hal yang sama terjadi pula pada puitis dan filosofis. Tidak ada satu benda pun yang punya arti dengan dirinya sendiri. Yang memberi arti adalah manusianya sendiri. Yang menyematkan kata puitis dan filosofis pun manusia.

Beberapa jamaah kemudian mengacungkan jarinya untuk bertanya. Penanya pertama, Imam, menanyakan sisi spesial apa lagi yang ada pada film ini, selain dari penulis skenario, sutradara, pemain, dan produsernya? Disusul dengan Ilham yang menanyakan paparan lebih jelas dari tahapan cinta yang telah dijelaskan Sabrang sebelumnya. Pertanyaan ketiga mempertanyakan mengapa tokoh utamanya, Rayya, justru diambil dari kalangan artis papan atas yang tentu saja sangat berbeda dengan pengalaman orang kebanyakan. Penanya kelima menanyakan peran Sabrang dalam film, dan yang terakhir menanyakan sentuhan cinta yang seperti apa yang dirasakan oleh Sutradara ketika membuat film Rayya.

Dewi menjawab pertanyaan-pertanyaan satu demi satu, “Dalam film ini Sabrang berperan sebagai Produser yang mengurusi masalah-masalah kreatif sementara saya lebih ke perhitungannya. Untuk genre, film ini adalah drama, tapi juga spiritual, plus ada tambahan komedi di dalamnya. Yang spesial dari film ini adalah penonton dapat semua rasa: lucu, romantis, sedih. Ini merupakan pengalaman baru dalam film Indonesia.”

Sabrang ikut menambahkan, “Saya tidak setuju dengan yang dikatakan oleh salah satu media, “waktunya orang pintar nonton film”. Yang saya katakan adalah: ada asumsi bahwa film yang tidak bisa dinikmati dalam sekali tonton adalah jelek. Menurut saya ini merendahkan penonton, seolah-olah mereka tak mampu memahami.

“Kita bisa menggunakan analogi TV kabel. Film ini menyiapkan segala channel. Penonton akan mendapatkan sesuai dengan pengalamannya. Kalau anda meng-observe benar-benar mungkin anda akan menyerap semuanya.

“Mengenai tahapan cinta, cinta berangkatnya dari rindu yang tidak kita pahami. Rayya tidak full menceritakan sampai dia menemukan cinta sejati, karena ketika sudah menemukan justru tak bisa diceritakan. Apakah tahapannya harus seperti yang tadi saya sampaikan? Tidak. Kalau semua manusia sama, Tuhan tak akan menciptakan manusia sebanyak ini. Jalannya tidak pernah baku. Yang baku adalah: teruslah mencari.

“Kalau kenapa tokoh-tokohnya spesial, itu kan menurut anda, Mas. Kalau anda melihat bintang sebagai yang spesial, itu berangkat dari asumsi anda. Apakah bintang itu spesial padahal ada begitu banyak, sementara bulan hanya ada satu? Spesial atau tidak hanyalah pandanganmu terhadapnya. Esensi spesial adalah berlaku sesuai dengan perannya, bukan pada apakah dia pemecah batu atau bintang tenar. Kita ambil tokoh yang sangat eksplisit karena budaya kita menginginkan itu, menganggap peran semacam itu sebagai puncak. Tapi toh dia merasa ada yang kurang?”

Dewi menambahi dengan berkata bahwa meskipun tokohnya berupa bintang tenar, peristiwanya kan sama. Mereka pernah patah hati, ditolak, terjatuh. Pengalaman mereka adalah pengalaman kita juga.

EPILOG

Ustaz Wijayanto yang telah berada di panggung menyapa jamaah dengan guyonannya, kemudian menceritakan kisah Nabi Musa ketika dikejar 6.000 tentara Firaun. Keyakinan Nabi Musa sederhana saja, yakni Inna maiya-Rabbi, “Saya ke sini bukan karena pikiran saya, tapi karena Allah.”

Ustaz Wijayanto kemudian membahas tentang cinta. Bahwa ada hukum kekekalan cinta. Cinta tidak bisa dibunuh tapi bisa dialihkan. Cinta, dan juga benci, memiliki kekuatan. Ada jenis cinta hubb/mahabbah, ada pula mawadah. Mahabbah adalah cinta tapi masih tersamar, sementara mawadah berasal dari nama Allah sendiri, Al-Waduud, artinya cinta yang menyejukkan, cinta yang tanpa pamrih. Maka hubungan suami-istri adalah hubungan cinta yang mawadah, “Jangan gaji istri berdasarkan layanannya, dan jangan layani suami berdasar gajinya.”

Di penghujung acara, Sabrang menambahkan, “Kalau anda merasa hidup anda sudah selesai, jangan tonton film ini. Tapi kalau anda masih merasa belum lengkap, masih butuh pelajaran-pelajaran dalam hidup, silahkan tonton film Rayya.”

Lewat jam dua pagi, Kenduri Cinta ditutup dengan berdoa bersama.