NILAI TANPA ANGKA

Reportase Kenduri Cinta januari 2011

Dua puluh menit lepas dari pukul delapan malam, panggung forum Kenduri Cinta dipenuhi suara pembacaan ayat-ayat suci Alquran. Sekitar empat puluh menit kemudian disambung dengan lantunan selawat Nabi.

Tema Kenduri Cinta bulan Desember 2010 awalnya adalah Ukuran Tanpa Angka, dikembangkan menjadi Nilai Tanpa Angka yang kemudian dipakai resmi pada tema malam itu. Meskipun sebenarnya keberadaan tema dalam Kenduri Cinta secara teknis menjadi tidak ‘terlalu penting’, karena toh jamaah dan para narasumber dapat membicarakan hal apa saja tanpa ‘kaku’ pada batas-batas tematik acara. Secara umum, tema-tema di forum Kenduri Cinta berfungsi sebagai titik berpijak dan memayungi forum, bukan untuk pagar diskusi.

Dalam kehidupan, segala sesuatu harus bernilai. Namun tidak yang berlaku saat ini, terutama di masyarakat perkotaan, nilai diartikan harus berupa angka. Ada sebuah keluarga yang dikepalai seorang kepala keluarga yang berprofesi sebagai sopir bajaj dengan penghasilan bersih ‘hanya’ Rp15.000 per hari, namun nyatanya mereka hidup bahagia. Arti ‘nilai’ pada setiap orang sangat dipengaruhi oleh persepsinya. Pada dasarnya segala sesuatu itu bernilai, karena segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah.

“Kita perlu ketat dalam politik nilai. Tinggalkan politik transaksional, tinggalkan politik dagang sapi.”

Rahmat, Kenduri Cinta (Jan, 2011)

Sebagai awalan diskusi malam itu, Boim sampaikan, “Gaji buruh menurut UMP Jakarta Rp1.290.000. Sekilas angka itu terlihat besar, tapi dengan tingkat kebutuhan hidup di Jakarta, bukan sesuatu yang aneh jika terjadi demonstrasi menuntut kenaikan gaji buruh. Mungkinkah ini yang bisa kita sebut sebagai angka tanpa nilai.”

Menyambung, Rusdi dari Asosiasi Pekerja ikut menyampaikan bahwa buruh itu bukan pemikir, tapi banyak pikiran. Selain 1 Mei (May Day) bulan Desember menjadi bulan demonstrasi para buruh karena pada waktu itulah terjadi penetapan UMP (Upah Minimum Propinsi). Kesejahteraan memang merupakan hal yang abstrak. Tidak ada angka yang tepat yang dapat mewakili sebuah kesejahteraan. UMP hanyalah jaring pengaman untuk perusahaan-perusahaan dalam menggaji para karyawannya. UMP ditetapkan oleh gubernur pada dua bulan sebelum awal tahun. Untuk DKI, gubernur pada akhirnya menetapkan Rp1.290.000. Di Papua, Rp1.410.000, di Jawa Tengah Rp670.000. Mengapa berbeda antara satu propinsi dengan yang lain? Karena ada dewan pengupahan di tiap-tiap daerah yang mengusulkan besaran UMP tersebut. Menjelang akhir Oktober, dewan pengupahan mengusulkan besaran angka UMP. Untuk DKI, per 26 Oktober 2010 dewan mengusulkan Rp1.190.000 dan tahun sebelumnya Rp1.118.000.

Rusdi juga katakan bahwa salah satu landasan penetapan UMP adalah KHL (Kebutuhan Hidup Layak) pekerja lajang. Berdasarkan survey, KHL untuk DKI adalah sebesar Rp1.190.000. Ia lalu mempertanyakan: apakah cukup pekerja dengan Rp1.190.000 menjalani hidup yang layak? Ia menyayangkan karena ternyata besaran usulan UMP untuk Jakarta lebih rendah daripada Depok atau Bekasi. ASPEK, sebuah organisasi pekerja dimana ia mengambil peran disana, sedang memperjuangkan Jamsostek bagi seluruh buruh di Indonesia. Karena menurutnya, dasar UMP sebenarnya hanyalah untuk para pekerja lajang, tetapi pengenaannya ternyata juga untuk para pekerja yang sudah berkeluarga. Dapat dikatakan bahwa kebijakan penetapan UMP di bawah standar ini merupakan tindakan inkonstitusional.

“Di dunia ini, orang hanya punya tiga pekerjaan: (1) jual-beli profesional atau dol tinuku; (2) pergerakan yaitu orang sendiri atau bersama menyepakati gerakan bersama, memberi energi untuk mengubah masyarakat, bisa lokal maupun global; dan (3) silaturahmi atau paguyuban atau seneng-seneng, bersaudara, kemesraan bersama.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2011)

Menanggapi isu buruh, Arya Palguna ikut berbagi pendapat. Ia meragukan data-data yang dimiliki oleh pemerintah. Menurutnya, data-data tersebut berbeda dengan data-data faktual. Data-data BPS standarisasi kesejahteraan adalah Rp6.000 per hari, sedangkan standar kesejahteraan yang ditetapkan dari World Bank adalah 2 USD per hari. Ia juga mengkritisi materi yang disampaikan para narasumber sebelumnya. Menurutnya, yang dibicarakan sejak tadi adalah sektor formal saja sehingga pendekatannya menjadi sangat formalistik. Lantas bagaimana dengan komponen-komponen di sektor non-formal?

“Saya meragukan militansi gerakan saat ini. Kalau ada order baru jalan. Bukannya bermaksud merendahkan, tetapi inilah realitas yang ada. Pada titik dan momentum tertentu kita bisa menjadi kawan, sedangkan pada titik dan momentum yang lain kita bisa saja menjadi lawan. Inilah yang mestinya kita mediasi, sehingga terciptalah apa yang dinamakan harmoni. Nilai-nilai ini yang sekarang sudah hilang dari masyarakat kita,” tutupnya.

Menanggapi Arya Palguna, Atma Winata dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara menyampaikan pendapatnya, “Tahun 1997 hingga 1999, Indonesia mengalami transformasi besar-besaran yang puncaknya pada Mei 1998 dengan gerakan reformasi. Energi, harta, nyawa, telah kita pertaruhkan. Saya tidak menafikkan keraguan Mas Arya terhadap militansi gerakan saat ini, tapi saya juga tidak menyetujui sepenuhnya. Memang ada sponsor-sponsor yang menunggangi gerakan-gerakan tertentu, tapi perlu kita pertimbangkan seberapa besar peranan sponsor dalam gerakan tersebut. Saya percaya, saya masih punya optimisme, saya menatap Indonesia jauh ke depan. Harapan itu masih ada. Indonesia merupakan negara yang sangat besar baik dalam jumlah penduduknya maupun potensialitas sumber dayanya. Di mana di situ ada nilai ekonomi, di situlah orang-orang akan berbondong-bondong datang. Tanggal 28 Januari nanti, adalah persis merupakan 100 hari pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, ini harus kita sikapi dengan benar. Kalau memang tidak berhasil, harus siap di-reshuffle.”

Adi Sumbogo dari Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), juga ikut merespon dengan mengingatkan kembali para jamaah yang hadir dengan sosok Wiji Thukul yang selama ini telah banyak dilupakan. Perwakilan dari Gerakan Pemuda Islam (GPI), Rahmat Kardi malam itu juga hadir. Ia mengatakan, “GPI lahir tanggal 2 Oktober 1945. GPI pernah memimpin Indonesia, yang pada tahun 1955 ketua-nya pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia. Saya minta doa dari seluruh jamaah Maiyah untuk mengambil koperasi sebagai jalan keluar. Saya sebagai ketua umum berencana untuk melakukan kaderisasi 1 juta pemuda Islam.”

“Kalau ada ingin harmonisasi, jangan mendamaikan orang-orangnya. Kuncinya adalah keadilan. Kalau pemerintah sudah benar maka perdamaian itu output, ketertataan pemerintahan yang benar lah input-nya.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2011)

Setelah diskusi, jamaah diberikan kesempatan untuk sampaikan pandangannya, Aiz Paseba lalu menyampaikan pendapatnya. “Selamat datang di negeri cabe. Mengapa di Indonesia ini hanya buruh saja yang diperjuangkan? Lalu bagaimana dengan pemulung? Angka Rp1.190.000 adalah angka yang sangat kecil menurut saya. Seharusnya Rp5.000.000. No pain no gain. Menurut saya, pergerakan perburuhan di Indonesia ini tidak strategis. Selama ini yang diserang hanya gubernur dan bupati, padahal kita punya DPR. Sekarang kita punya tugas: melakukan gerakan revolusi semesta. Masuk ke DPR! Sebagai penutup, kita turunkan sedikit hati kita, buat apa kita jadi anak bangsa jika masih banyak orang miskin?” kata Ais sambil berorasi.

Mulyono dari Ciputat, juga ikut sampaikan pendapatnya, “Pernah ada demo mahasiswa dan lucunya ada juga mahasiswa yang datang untuk menonton. Dan anehnya, demo bikin macet. Kemudian saya bertanya, kalian memperjuangkan rakyat yang mana sih? Kalau memperjuangkan rakyat benar-benar ya jangan bikin susah rakyat dong. Saya yakin bahwa mahasiswa harus mengetahui posisinya. Saya yakin, boleh lah kalian demo, tapi ada alternatif, misalnya dengan menulis. Ada yang mengatakan bahwa mahasiswa yang nongkrong adalah mahasiswa yang nggak kritis. Bagaimana jika mereka ternyata nongkrong, berjuang dalam cyber world secara lebih efektif. Saya ingin bertanya pada para dosen, apa sebenarnya orientasi mahasiswa? Saya kira mahasiswa sekarang ini terlalu terpancang pada nilai-nilai IPK dan sejenisnya. Saya ingin berpesan kepada para mahasiswa, rakyat sudah susah, jangan dibikin tambah susah,” tegas Mulyono.

Jamaah lainnya, Arafah dari Condet, ikut mengutarakan, “Saya lihat kasus Century sungguh heboh. Mengapa kok mahasiswa tak pernah berontak pada Gayus? Kok bisa dia bikin paspor palsu hanya seharga 900 juta Siapa yang berani dengan Gayus? Ada satu kunci terhadap Gayus yang tidak bisa diketahui. Kok Gayus bisa keluar ya? Ada apa di balik semua itu? Tak akan habis nilai tanpa angka, yang terkait dengan Gayus. Masalah energi, yang saya lihat dari OPEC kita terbaik dalam oil-nya dan dalam investasi. Mahasiswa jika ingin bergerak, bergeraklah di bidang energi. Di bidang beras, beras kita lebih bagus dari Vietnam.”

Pada kesempatan berikutnya, ada Ainurdin dari Bekasi. Ia sampaikan, “Saya yakin barangkali apa yang tadi disampaikan oleh organisasi buruh tadi belum semua dilakukan. Saya khawatir justru angka tanpa nilai. Kalau misalnya organisasi buruh ini bergerak dalam wilayah angka, apa yang dilakukan dalam wilayah nilai? Walaupun nilai ini abstrak sifatnya. Misalnya kita ambil nilai-nilai dari Pancasila. Kita tidak bisa mengacu hanya pada angka saja.”

Gilang, sambil berdiri ia ikut berdiskusi. “Saya seorang tunanetra, tidak bisa menangkap layar televisi maupun internet, tapi saya selalu mengikuti informasi yang ada. Saya bukan orang yang berpendidikan tinggi. Saya ingin kasih satu masukan, rakyat bukan hanya pemulung, bukan hanya mahasiswa. Saya adalah anak jalanan, saya adalah rakyat juga lho. Jadi tolong untuk para Kamtib, jangan mengejar-ngejar kami seperti anjing. Mahasiswa harus merangkul semua dari atas sampai bawah, jangan cuma cari muka saja. Salam hormat untuk Cak Nun dari saya.”

“Bangsa dengan kompleksitas bahasa, sumber daya alam dan manusia seperti Nusantara ini harus menjadi pemimpin dunia karena mampu menampung seluruh fenomena.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2011)

Para narasumber lalu merespon. Rusdi katakan bahwa psikologi orang-orang tertindas ternyata psikologi yang dipenuhi rasa curiga. “Dari semua pihak-pihak yang dikebiri Soeharto, yang belum bisa bangkit adalah para buruh. PKI, Masyumi, PNI, dahulu punya organisasi-organisasi pergerakan buruh. Tahun 1993 mereka dikebiri sehingga menjadi satu: SBSI. Sejak saat itulah gerakan buruh kehilangan ideologi. Ini realita. Ketika aktivis masuk ke organisasi serikat buruh, karir mereka mentok, tak ada fasilitas gaji, juga tak ada akses politik. Inilah realitasnya.”

Ia menyambung penjelasannya dengan pertanyaan: mengapa Indonesia mengalami masa paling lama bangkit dari kebangkrutan ekonomi dibanding negara-negara lainnya? Menurutnya, hal itu karena Indonesia tidak mempunyai sistem tabungan nasional. Di Malaysia, Korea bahkan di negara-negara Eropa, tabungan nasional telah menjadi sumber dana yang besar bagi negara, dimana dana tabungan nasional diambil dari dana buruh.

Atma, mengatakan, “Hari ini kita mengalami fase tren demokrasi yang terbuka dan semakin lebar. Hampir setiap hari jalanan diwarnai dengan demokrasi, tapi ada titik nadir dimana gerakan justru menjadi antiklimaks. Tapi ini wajar, karena memang demokrasi kita sedang mencari bentuknya. Saya yakin perjalanan demokrasi kita ini akan segera menemukan bentuknya.”

Narasumber lain, Rahmat, sampaikan bahwa negara kita mengalami kebangkrutan nilai. Ia mengajak jamaah untuk menularkan nilai-nilai yang bisa membangun bangsa ini menjadi lebih makmur. Gaya hidup tidak harus menjadi metropolis, melainkan gaya hidup yang sesuai dengan karakter bangsa. “Saat ini kita perlu makin ketat dalam politik nilai kita. Tinggalkan politik transaksional, tinggalkan politik dagang sapi,” pesannya. “Forum Kenduri Cinta harus menjadi gerakan yang militan, berideologi dan massif,” tutup Rahmat.

“Jadilah orang yang luas. Jangan menagih siapapun untuk mencintai siapa saja, kapan saja, kecuali pada dirimu sendiri. Jangan menderita oleh keburukan orang dan kebencian orang. Kita harus memahami mana ghayyah mana wasilah. Yang harus benar bukan hanya ghayyah-nya saja.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2011)

Setelah banyak pendapat, Arya Palguna yang malam itu berperan sebagai moderator, mencoba membuat sebuah analisa-analisa dari rangkaian diskusi. Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dipetik bahwa peran mahasiswa berbeda dengan perannya saat gerakan reformasi sebelumnya. Dulu, DPR tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai “jembatan” sehingga mahasiswa mengambil peran. Kini, adalah bagaimana kita mampu mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan riset-riset. Paling penting adalah bagaimana supaya masyarakat tidak berada pada posisi nyaman, agar kreativitas juga terus berjalan.

Zainal Akroman, salah satu penggiat ikut menyampaikan, “Kalau saya lihat, lembaga mahasiswa sudah sangat banyak, tetapi apakah mereka mau bersatu? Mau maiyah nggak mereka? Temen-temen Kenduri Cinta siap nggak sih membuat Indonesia lebih baik? Kita datangkan teman-temen mahasiswa kan salah satunya supaya komitmen bersatunya adalah benar-benar bersatu semuanya. Yang jelas, Kenduri Cinta siap untuk togetherness.”

Andre Dwi Wiyono menyambung, “Revolusi adalah bagaimana kita bisa menguasai 4 elemen: air, angin, api, dan tanah. Dalam mitologi Jawa, ada 4 tokoh yang masing-masing mewakili air, tanah, angin, dan api itu. Mereka adalah Antasena, anak dari Dewi Orang-Aring; Antareja, anak dari Dewi Nagagini; Gatotkaca, dan Wisanggeni. Dimensi itu harus mampu kita tundukkan dulu sebelum revolusi ke luar. Itulah Pancasila yang diajarkan dalam Bhagavat Gita, yang kemudian direkonstruksi pada zaman perjuangan menjadi Pancasila Indonesia.

Melewati tengah malam, Cak Nun hadir dengan menegaskan bahwa hidup haruslah jelas subjek-subjeknya. Cak Nun juga mengingatkan bahwa semua jamaah yang berkumpul pada forum Kenduri Cinta malam itu tidak dituntut untuk menjadi pelaku revolusi.

“Untuk apa saya hidup kalau tidak pasti? Maka saya butuh yang bisa ngasih kepastian, butuh mawaddah warrahmah, yaitu kitab suci. Saya tidak punya kepastian, maka saya harus meminjam kepastian itu dari Yang Punya Kepastian. Karena itulah ada kitab suci dan itu sudah teruji sedemikian rupa.” Sebelumnya Cak Nun juga menjelaskan bahwa kitab suci telah diturunkan ribuan tahun sebelum kitab-kitab suci yang kita kenal sekarang. Kitab suci itu adalah bentuk-bentuk kepastian yang dapat kita pegang sebagai sebuah kebenaran.

Mengkritisi gerakan-gerakan keorganisasian, Cak Nun mengaskan hal yang mendasar, “Di dunia ini, orang hanya punya tiga pekerjaan: (1) jual-beli profesional atau dol tinuku; (2) pergerakan yaitu orang sendiri atau bersama menyepakati gerakan bersama, memberi energi untuk mengubah masyarakat, bisa lokal maupun global; dan (3) silaturahmi atau paguyuban atau seneng-seneng, bersaudara, kemesraan bersama. Diantara ketiganya, Kenduri Cinta masuk yang mana? Kalau mau jual-beli, Kenduri Cinta ini bisa kita jual sejak 8 tahun yang lalu. Maka pasti ini (red: Kenduri Cinta) bukan profesional. Lalu pemerintah kita ini yang mana? Profesional atau pergerakan atau silaturahmi? Negara ini, negara ataukah perusahaan? Pemilu, Pilkada itu peristiwa politik atau peristiwa ekonomi?”

“Agama itu basyiran wa nadhiran. Agama itu harus membahagiakan, tapi jangan sampai kebahagiaan itu kelewatan, melampaui batas. Kebahagiaan tidak terletak di mana-mana. Kebahagiaan ada di dalam hatimu yang bertapa. Hatimu harus dikurung oleh akal pikiran.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2011)

Cak Nun juga menjelaskan tentang keadilan, yang merupakan kunci dari harmonisnya sebuah tatanan masyarakat. “Kalau ada ingin harmonisasi, jangan mendamaikan orang-orangnya. Kuncinya adalah keadilan. Kalau pemerintah sudah benar maka perdamaian itu output, ketertataan pemerintahan yang benar lah input-nya.”

Carut marut hubungan antara ekonomi, politik dan hukum yang seringkali terjadi, menurut Cak Nun dapat diselesaikan dengan belajar pada kearifan-kearifan lokal, dalam hal ini: nilai-nilai keraton. “Dalam tradisi keraton, ada dialektika dan kerjasama yang harmonis antara politik, spiritualitas, pasar, dan hukum. Diantara keempat komponen itu mana yang menang? Apakah masjid, hukum, dan politik telah berlaku sebagaimana mestinya? Atau ketiganya hanya melakukan peran pasar semua?” Cak Nun mengkritik bagaimana politik, agama dan hukum saat ini justru berperilaku seperti pasar.

“Ada kalimat dalam kearifan Jawa: nek dadi ojo dudu, nek dudu ojo dadi. Sekarang ini kacau. Wong dudu kok dadi dan begitu pula sebaliknya. Bangsa dengan kompleksitas bahasa, sumber daya alam dan manusia seperti Nusantara ini harus menjadi pemimpin dunia karena mampu menampung seluruh fenomena,” tutur Cak Nun.

“Jadilah orang yang luas. Jangan menagih siapapun untuk mencintai siapa saja, kapan saja, kecuali pada dirimu sendiri. Jangan menderita oleh keburukan orang dan kebencian orang. Kita harus memahami mana ghayyah mana wasilah. Yang harus benar bukan hanya ghayyah-nya saja,” Cak Nun juga menambahkan, “Tidak akan hancur Indonesia karena dua hal: anda masih sungguh-sungguh dalam berkeluarga dan ibadah. Perkara khusyuk atau tidak khusyuk, hal itu bukan syarat dalam fikih. Agama itu basyiran wa nadhiran. Agama itu harus membahagiakan, tapi jangan sampai kebahagiaan itu kelewatan, melampaui batas. Kebahagiaan tidak terletak di mana-mana. Kebahagiaan ada di dalam hatimu yang bertapa. Hatimu harus dikurung oleh akal pikiran.”

“Jangan berpikir tentang Tuhan. Soal agama yang banyak, biarkan saja semuanya berproses. Masing-masing orang diberi fadilah oleh Allah, karena Dia memberi kenikmatan kepada siapapun.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2011)

Sudah menjadi hal biasa, tanya jawab terjadi dalam forum Kenduri Cinta. Malam itu, jamaah diberi waktu untuk menyampaikan pendapat, dengan waktu yang seluas-luasnya, juga untuk menyampaikan hal-hal yang seringkali bersifat kegelisahan pribadi. Beberapa hal yang dipertanyakan oleh jamaah:

Bagaimana cara kita mendapatkan angka sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai?

Agama Islam bertuhan, begitu juga dengan agama dan keyakinan yang lain. Tuhan itu satu, kenapa ada banyak agama? Tuhan itu agamanya apa?

Cak Nun menanggapi satu-persatu, “Ada ilmu hudur, ada ilmu tajalallah. Dalam tajalallah, Allah hadir. Untuk menangkap kehadiran Allah, anda jangan menggunakan pendekatan makhluk. Anda jangan menunggu bisa melihat Tuhan dengan frame kemampuan jasadiahmu.

“Mulai sekarang tentukan simbol, baik berupa warna ataupun angka, yang dengan itu kau bisa temukan kehadiran Allah,” Cak Nun mengajak untuk menangkap kehadiran Allah melalui simbol, namun Cak Nun juga mengingatkan, “Allah itu tan keno kiniro, tan kinoyo ngopo. Begitu kau bayangkan surga dalam pikiranmu, maka itu bukanlah surga.” Melanjutkan, Cak Nun katakan, “Kebaikan itu butuh maqamat, butuh proporsi yang benar. Anda harus tahu wilayah dari segala macam hal. Mencari angka harus dalam wilayah angka.”

Merespon pertanyaan perihal agamanya Tuhan, Cak Nun katakan, “Agama itu cara Tuhan ngasih tahu kita supaya kita nggak salah jalan. Nggak usah tanya Tuhan itu agamanya apa. Wong cacing aja nggak butuh punya agama kok. Jangan berpikir tentang Tuhan. Soal agama yang banyak, biarkan saja semuanya berproses. Masing-masing orang diberi fadilah oleh Allah, karena Dia memberi kenikmatan kepada siapapun.” Setelah diskusi beberapa lama, forum kemudian ditutup dengan doa bersama.