Maiyahan Bumi Pratama Mandira

Sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan PT. Wachyuni Mandira mencapai keuntungan sebesar 107% dari target, ribuan masyarakat plasma dan inti berkumpul dalam acara Ngaji Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Pertemuan syukur yang berlangsung pada hari Minggu 15 September 2013 dari pukul 13.20 sampai 17.00 ini diawali dengan qasidahan dan tarian Gending Sriwijaya dari siswi-siswi SMA Bina Darma Mandira. Dalam iringan musik hymne Kerajaan Sriwijaya, penari menyerahkan sekapur sirih kepada tamu istimewa yang datang dari Jogja, Cak Nun.

“Menurut Ibu-Ibu, Tuhan sayang nggak sama keluarga? Sayang saja atau makin disayang? Kenapa Tuhan sayang sama manusia? Karena kerja keras, jujur satu sama lain, saling cinta, dan menjaga jangan sampai anak perawannya hamil sebelum nikah,” Cak Nun memulai sapaannya dari Ibu-Ibu yang hadir.

Cak Nun kemudian berpesan supaya anak-anak jangan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Sekolah fungsinya hanya untuk memberi informasi pelajaran-pelajaran, membina kepandaian, tapi tidak punya urusan dengan akhlak. Tanggung jawab pendidikan anak tetap ada pada ibu dan bapaknya.

“Semoga pertemuan kita dua jam ke depan merupakan liqo’un adzim, pertemuan agung. Pertemuan agung itu ibarat calon suami ketemu calon istri di terminal. Meskipun di terminal, tapi karena mereka kemudian menjadi suami-istri, berarti pertemuannya adalah pertemuan agung. Tandanya liqo’un adzim adalah adanya mitsaqan ghalidza, adanya perjanjian mendasar yang membuat mereka menjadi suami-istri. Hubungan antara inti dengan plasma, antara perusahaan dengan bapak-bapak pejuang tambak udang, kalau bisa selalu membikin pertemuan yang sifatnya liqo’un adzim.”

Karena masyarakat yang datang kebanyakan berasal dari Sumatera dan Jawa, Cak Nun memberikan hadiah-hadiah dulu sebelum masuk ke pembicaraan yang lebih dalam. Kiai Kanjeng membawakan Pantun Berbudi, dilanjut dengan Laksamana Raja di Laut, Renungkanlah, dan Demak Ijo.

Memakai teori Rasulullah yang sudah dibahas pada sarasehan sebelumnya, jamaah itu barangsiapa robek bajunya di bagian depan, dia menempati shaf belakang. Barangsiapa robek bajunya di bagian belakang, dia menempati shaf depan. Sementara itu, dia yang robek bagian kanan bajunya mendapat tempat di baris kiri dan dia yang robek bagian kiri bajunya mendapat tempat di baris kanan.

Semua punya kelemahan. Yang harus kita miliki adalah iktikad baik untuk saling memperbaiki satu sama lain. Tidak boleh ada kebencian dan kecurangan di dalam hidup berjamaah. Sambil orang kagum melihat keutuhan masyarakat inti-plasma, diam-diam semua orang di dalam memperbaiki yang robek-robek.

Berjamaah itu hakikat hidup karena manusia tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Kalau cabe tidak mau dicampur dengan terasi, garam, dan bawang, dia tidak akan laku. Siapa saja yang tidak mau berjamaah akan terlempar, akan tidak laku, dan akan menderita.

PhotoGrid_1379752685091 copy

Cak Nun lalu beralih ke tembang dolanan Jawa, E dhayohe teka, e gelarno klasa, e klasane bedhah, e tembelen jadah, e jadahe mambu, e pakakno asu, e asune mati, e buangen kali, e kaline banjir, e buangen pinggir, e pinggire lunyu, e yo golek sangu. Meskipun dititipkan pada anak-anak, lagu ini memuat ajaran manajemen hidup yang sangat relevan bahkan untuk hari ini.

E dhayohe teka, e gelarno klasa. Ada tamu yang datang ke rumah kita, maka kita gelar tikar untuknya. Ini niat dan tindakan baik. Tapi kemudian muncul problem pertama, yaitu ternyata tikarnya sobek. E klasane bedhah. Langkah yang diambil adalah menambalnya dengan jadah, makanan dari ketan. Bukannya menyelesaikan masalah, justru problem bertambah: tamunya marah karena celananya lengket oleh jadah. Belum lagi terselesaikan, rupanya jadah itu busuk. Tamu pun makin marah. Terjadilah konflik sosial.

E pakakno asu, e asune mati, e buangen kali, e kaline banjir. Konflik sosial belum teratasi, masalah bertambah. Kali ini dengan anjing yang tersakiti dan mati, kemudian bangkainya dibuang ke sungai menyebabkan masalah lingkungan hidup. Timbul masalah-masalah baru: sumber air bersih tercemar, masyarakat kesusahan, lalu banjir datang.

Manajemen hidup harus terus dipelajari. Jangan sampai keharusan untuk mencari solusi justru menambah problem. Ini terjadi di banyak sekali bidang di Indonesia. Banyak sekali jalan keluar yang justru menimbulkan pertengkaran terus-menerus.

“Anda di sini jangan seperti itu. Kalau ada problem, langsung dirembug bareng-bareng, dimusyawarahkan dengan iktikad baik. Jangan sampai menumpuk-numpuk masalah.”

Setelah menyapa ibu-ibu dan bapak-bapak, Cak Nun meminta anak-anak kecil untuk berdiri di depan. Cak Nun menanyai beberapa calon penerus inti-plasma itu, meminta mereka menyanyi sebagai bentuk pendidikan ekspresi yang sangat penting buat anak-anak.

“Anak-anak ini jangan diatur sesuai dengan pikiran anda. Mereka bukan milik anda, mereka adalah milik Allah. Allah punya rencana terhadap mereka. Kewajiban orang tua adalah meneliti apa kehendak Allah terhadap anak, dan mengawalnya supaya akhlak baik mereka terbentuk.”

Sebagai pernyataan gembira dan syukur, Cak Nun mengajak semua menyanyikan Alhamdulillah wa syukrulillah azka sholati wa salami lirasulillah. Mudah-mudahan dengan ini oleh Allah dijaga hidupnya, dilindungi dari racun-racun luar, dipelihara perdamaiannya, dan diridhoi kerja kerasnya. Setelah itu, salah satu pimpinan bernama Pak Cahyono menyumbang satu lagu berjudul Gelandangan.

Kemudian Mbak Nia Kiai Kanjeng membawakan Ajining Urip versi bahasa Indonesia. Aji itu martabat hidup. Maka ngaji itu tidak sama dengan mengkaji. Mengkaji itu urusan pikiran dalam menganalisa dan memahami sesuatu, sementara ngaji adalah bekerja keras membangun diri menjadi manusia bermartabat.

Sekarang ini posisi plasma dan inti PT Wachyuni Mandira bukanlah untuk mencapai tapi untuk mempertahankan keberhasilan yang sudah berhasil diraih. Setahun kemarin memang tidak mudah, tapi setahun ke depan akan jauh lebih berat sebab mempertahankan itu jauh lebih berat dibanding mencapai.

Kalau selama mencapai harus melawan tantangan-tantangan dari luar, tantangan terberat dalam mempertahankan justru datang dari dalam diri kita sendiri. Tantangan dari dalam ini salah satu bentuknya adalah kesombongan. Orang bisa hancur karena kesombongannya, dan kesombongan ini mudah muncul pada orang yang punya kekayaan, kekuasaan, kepandaian, bahkan kealiman.

Rasulullah menyebut Perang Badar yang dahsyat sebagai perang kecil. Perang besar adalah perang sesudah kemenangan Perang Badar yaitu perang melawan hawa nafsu. Salah satu hawa nafsu adalah rasa sombong. Oleh karena itu masyarakat inti plasma harus selalu ingat bahwa semua saling membutuhkan.

“Maka saya datang ke sini bukan untuk menjadi ustadz atau kyai. Dalam hal tertentu mungkin saja saya lebih baik, tapi dalam hal-hal lain anda lebih baik dari saya. Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan masing-masing; tidak ada yang lebih baik daripada yang lain. Saya tidak boleh sombong karena hasil dari kesombongan pastilah kehancuran.”

Setelah persembahan lagu Widuri dan Kemesraan dari pimpinan CPB dan pimpinan WM, Cak Nun meminta bapak-bapak perwakilan dari kecamatan, Polsek, Koramil, dan WM untuk menegaskan bahwa mereka berkomitmen menjaga Bumi Pratama Mandira demi kesejahteraan bersama. Ngaji bareng kemudian dipuncaki dengan bukti kedekatan dengan Allah dan bukti kemesraan dengan Rasul-Nya. Cak Nun mengajak semua berdoa bersama dan bersalawat.