LINTASAN KEBAIKAN

Reportase Kenduri Cinta April 2010

Etika mengajarkan tentang nilai-nilai, tentang baik dan buruk. Sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan digolongkan sebagai kebaikan. Kebaikan biasa disepadankan dengan istilah kebajikan atau kesalehan. Adapun sesuatu yang merugikan dalam kehidupan sering disebut sebagai suatu keburukan.

Etika merupakan landasan dasar moralitas yang menentukan peradaban manusia. Tuhan menciptakan manusia lengkap dengan seperangkat aturan dan ajaran untuk keselamatan hidup manusia. Bagaikan sebuah perusahaan peralatan elektronik yang menyertakan user manual untuk setiap produknya, Tuhan pun mewahyukan kitab suci sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Dengan demikian, sebenarnya Tuhan telah menggariskan suatu tuntunan, suatu alur, jalur atau lintasan yang mustinya dilalui oleh makhuk-makhluk-Nya. Lintasan inilah yang dimaksudkan sebagai “lintasan kebaikan”.

Sejatinya, manusia dihidupkan untuk menjalankan misi-misi Tuhan dalam memakmurkan bumi. Andai melakukan satu perjalanan, manusia bagaikan pereli yang melalui satu lintasan yang telah ditentukan. Manusia tidak begitu saja blusukan, menerjang hutan, gunung dan jurang tanpa arah serta navigasi yang jelas. Segala hal mengenai lintasan kebaikan yang harus ditempuh manusia telah lengkap tertulis di dalam ayat-ayat-Nya.

“Kebaikan dalam bahasa Arab memiliki beberapa istilah; khoir, hasan, ma’ruf, dan birr. Masing-masing istilah sebenarnya menunjuk pada hirarki, tingkatan atau derajat kadar setiap kebaikan.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Apr, 2010)

32025_430165497138_5662866_n

Syekh Nursamad Kamba lebih jauh menguraikan bahwa kebaikan dalam bahasa Arab memiliki beberapa istilah; khoir, hasan, ma’ruf, dan birr. Masing-masing istilah sebenarnya menunjuk pada hirarki, tingkatan atau derajat kadar setiap kebaikan. Hasan merupakan perasaan dan tindakan yang dilandasi dengan prasangka baik kepada Allah, tanpa pernah sekalipun menyangsikan kehendak-Nya. Ma’ruf memiliki pengertian sebagai kebaikan dalam berperilaku sosial. Adapun khoir adalah kebaikan yang bersifat pribadi atau personal yang melandasi suatu pergaulan dan menentukan status sosial. Sebagai puncak kebaikan adalah kebaikan yang telah teruji kebaikannya, inilah birr seperti halnya ibadah haji yang telah mencapai kemabruran.

Dr. Idris merupakan praktisi dunia pendidikan yang fokus pada manajemen sumber daya. Beliau menekankan bahwa kebaikan berbanding lurus dengan kemanfaatan. Rasulullah bersabda: khoirunnas anfauhum linnas; sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Tentu saja pengertian ini dapat diperluas dan diperdalam maknanya menjadi bermanfaat bagi diri sendiri maupun manusia lainnya, bagi alam dan lingkungan sekitar. Pendidikan juga disebutnya sebagai salah satu cara untuk menginternalisasi nilai dalam memperkenalkan kebaikan dan keburukan. Dengan mengetahui batasan dan rambu antara kedua hal tersebut, manusia semestinya dapat menjaga perilakunya untuk tetap berada dalam koridor lintasan kebaikan yang dikehendaki Tuhan.

Prof. Aryono, sebagai pengelola Yayasan Ambulan Gawat Darurat 118 menjelaskan alasannya mengapa ia mendirikan yayasan tersebut. Awalnya ia prihatin dengan tingkat kematian yang tinggi di Jakarta, menurutnya hal itu sebagai akibat dari lambannya respon medis yang disebabkan kendala angkutan ambulan. Meminta bantuan ambulan di ibukota dibutuhkan waktu lama jika dibanding memesan fast food. Apakah nilai daging ayam lebih mahal dibandingkan nyawa manusia? Inlah yang mengakibatkan angka kematian di ibukota menjadi tinggi.

Adapun dr. Ahmad Mediana adalah seorang ahli di bidang kebidanan. Malam itu ia menyampaikan tentang praktik kesehariannya. Ia acapkali menjumpai orang miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Atas dorongan nurani ia ingin berbuat sesuatu dengan membentuk Yayasan Rumah Hati. Yayasan ini bergerak dalam pengumpulan dana untuk kegiatan sosial kemasyarakatan bidang kesehatan, kemiskinan dan pendidikan. Ia yakin apabila manusia bekerja untuk kebaikan maka Tuhan pun juga akan “bekerja” untuk menolong manusia.

Dokter Ahmad menambahkan agar kebaikan dijadikan tradisi, pengajaran tentang memberi sebaiknya mulai diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin. Namun kita juga musti waspada, tidak sedikit kebaikan seseorang seringkali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi-pribadi yang sempit. Oleh karenanya, dokter Ahmad menyarankan, dalam memberi sesuatu harus diketahui dengan pasti siapa yang akan menerima, buat apa dan bagaimana hasilnya. Dengan demikian pemberian kebaikan itu bisa lebih tepat sasaran.

“Apabila manusia bekerja untuk kebaikan maka Tuhan pun juga akan ‘bekerja’ untuk menolong manusia.”

Ahmad Mediana, Kenduri Cinta (Apr, 2010)

32025_430165592138_4847965_n

Narasumber berikutnya adalah Cak Heri. Bersama komunitasnya ia ingin menanamkan rasa cinta pada alam, menghargai tanah tidak sekedar bernilai ekonomi namun juga sisi eco value-nya. Ia juga mengembangkan pertanian-kota di Depok dan Sawangan dengan sekaligus melakukan konservasi situ berbasis masyarakat.

Cak Pudji pada sesi selanjutnya ikut berbagi ilmu dengan menampilkan presentasi tentang perilaku manusia yang mengeksploitasi sumber daya alam demi memenuhi kebutuhannya. Dalam pandangan Cak Pudji, saat manusia dalam kondisi lemah dan kurang maka ia mengalami kemiskinan. Jika manusia dalam kondisi lemah dan berkelebihan maka ia akan bersikap pelit. Manusia yang kuat namun selalu merasa kekurangan itulah yang disebut dengan manusia kaya. Adapun manusia yang memiliki kekuatan sekaligus kelebihan, maka ia akan selalu serakah untuk mendapatkan yang lebih dan lebih lagi. Bila ia kemudian menuruti keserakahannya maka ia pun akan mengalami kebangkrutan dan jatuh miskin kembali. Itulah siklus kehidupan dalam pandangan Cak Pudji.

Ketika menanggapi pertanyaan dari jamaah tentang ketatnya persaingan bisnis, bagi Cak Pudji: hidup bukanlah pertandingan. Dalam pertandingan satu pihak menganggap pihak lain sebagai rival, bahkan musuh yang harus dikalahkan. Di sinilah kemudian hukum rimba akan berlaku, dimana yang kuat akan memakan yang lemah. Dalam pertandingan, satu pihak menghadapkan mukanya kepada pihak lain sebagai musuh, hingga akhirnya muncul kemenangan versus kekalahan. Usaha apapun dalam hidup semestinya dipandang sebagai sebuah perlombaan. Dalam perlombaan, satu pihak dengan pihak yang lain tidak saling berhadapan muka. Masing-masing pihak telah memiliki lintasan kebaikannya. Dalam perlombaan setiap pihak akan lebih berkonsentrasi untuk memaksimalkan potensi dalam diri dan peluang untuk selalu mengembangkannya. Perlombaan dapat diibaratkan sebagai sebuah festival yang menggembirakan dan menguntungkan semua pihak yang terlibat. Di sini nampak bahwa masing-masing pihak akan duduk sebagai partisipan yang satu sama lain akan bekerja sama, saling mendukung dan melengkapi.

Sebagaimana sering disinggung Cak Nun, tujuan hidup adalah beramal. Predikat dari manusia adalah bekerja. “Maka bekerja lah karena anda sehat dan jadikan itu sebagai perwujudan pelaksanaan amanat Tuhan serta rasa syukur atas segala nikmat dan potensi kebaikan yang anda miliki. Rejeki jangan dicari. Memangnya Tuhan menyembunyikan rejeki?” ujar Cak Pudji. “Kekayaan bukanlah ukuran keberhasilan dalam bekerja. Daripada menjadi rich man, orang kaya, lebih baik bila kita memilih menjadi orang yang wealthy alias sejahtera. Kesejahteraan diukur secara ruhaniah, hingga lebih berdimensi vertikal dan kekal. Inilah pentingnya dalam setiap kerja dan karya bakti kita untuk senantiasa melibatkan Tuhan sebagai sumber utama inspirasi,” tutupnya.

“Bekerja lah karena anda sehat dan jadikan itu sebagai perwujudan pelaksanaan amanat Tuhan serta rasa syukur atas segala nikmat dan potensi kebaikan yang anda miliki.”

Pudji Asmanto, Kenduri Cinta (Apr, 2010)

32025_430165607138_6073272_n (1)

Sebagai puncak hikmah, Kyai Budi tampil bak Sang Jalaluddin Rumi. Ditegaskan olehnya bahwasanya kelahiran merupakan matinya keinginan. Lihatlah sosok bayi yang datang ke muka bumi dengan tangisnya, sementara orang-orang di sekitarnya tersenyum bahagia. Seorang bayi menginginkan bicara, menginginkan minum susu, ingin bicara, ingin segera berjalan dan bermain. Semua keinginan itu tentu saja belum dapat diwujudkan, karena memang keinginan itu masih mati. Meski demikian, Tuhan menggerakkan orang-orang di sekitar si bayi untuk memenuhi setiap keinginan dan kebutuhannya.

Adapun dalam kematian terdapat kepasrahan dan ketidakberdayaan. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Ibrahim kedatangan Israil untuk menjemputnya. Dengan penuh percaya diri Ibrahim menjawab, “Wahai Israil, Tuhan adalah kekasihku. Adakah seorang kekasih akan tega mematikanku?” Israil pun kalah akal dan kembali kepada Tuhan seraya melaporkan ulah Ibrahim. Tuhan pun kemudian memberikan perintah baru, “Katakanlah kepada Ibrahim, apakah seorang kekasih sejati menolak untuk berjumpa dengan kekasihnya?” Tatkala hal itu disampaikan kepada Ibrahim, ia pun pasrah memenuhi panggilan cinta dari Sang Kekasih. Maka dari itu para sufi mengajarkan: mutu qabla anta mutu; matilah kamu sebelum kamu mati. Kosongkanlah diri dari ego dan nafsu. Tiadakanlah diri sehingga menjadi ada.

Bila manusia hanya mengedepankan akal dan rasionalnya tanpa menggunakan hati, jadilah kesombongan dan kebodohan yang hadir bersamaan. Manusia membawa seguci air pada Allah padahal Allah adalah luasan samudra tiada batas. Manusia membawa segenggam pasir padahal Tuhan adalah gurun pasir nan luas terbentang. Manusia membawa seberkas obor padahal Tuhan adalah cahaya maha cahaya. Manusia penuh diliputi ketidaktahuan dan kebodohan di muka Tuhannya. Maka bila hanya otak yang menjadi parameter dalam bertindak, hidup hanyalah sebuah transaksi ekonomi yang berbicara tentang untung rugi. Hidup akan semakin hampa karena tiada cinta sejati antara hamba dan Tuhannya.

Kyai Budi kembali menambahkan, “Setelah kesadaran jiwa menyelimuti dirimu, segeralah kepakkan sayapmu dan tinggalkanlah sarangmu yang penuh kotoran itu. Terbanglah tinggi dan jauh melanglang buana. Jadilah burung elang yang terbang tinggi dan dapat menerawang luas ke batas cakrawala. Temukanlah dalam ketinggian itu kesunyian sejati, jagad awang-uwung dimana makna kesejatian terbabar dalam hidup kita.

“Janganlah diri kita terbang hanya laksana si hitam burung gagak. Burung gagak hanya mampu terbang rendah, dan dalam kerendahan itu ia hanya mampu makan dari sisa-sisa makanan makhluk lain, pemakan bangkai.

“Jika memang dalam kehidupan sehari-hari kita senantiasa diselimuti penderitaan duniawi, sesungguhnya itu hanyalah bagian dari muaqobah. Tebuslah dosa dan kesalahanmu dengan deritamu. Maka sejatinya dengan penderitaan itu, Allah bermahkota di dalam diri kita, bila kita senantiasa memanggil penuh kepasrahan bahwasanya semuanya itu berasal dari-Nya dan sudah semestinya kita kembalikan kepada-Nya pula. Kalaulah penderitaan itu masih dapat kita rasakan sebagai rasa sakit, itu hanyalah wujud jasadiyah. Maka bila kita telah mencapai kematangan jiwa dalam peniadaan diri seorang hamba di hadapan-Nya dan mampu meruhaniahkan setiap fenomena jasadiyah, yakinlah bahwa penderitaan itu tiada akan terasa oleh jasad kita.

“Dunia bagaikan pohon yang membuahkan buah kehidupan. Buah yang telah matang harus berpisah dari induk pohonnya untuk memberikan kemanfaatan kepada makhluk lainnya. Ia harus mandiri dan di-sapeh dari segala ketergantungan hidup.

“Sejatinya kematian adalah pembebasan derita duniawi yang penuh dengan kotoran ruhaniah. Dengan demikian setiap inti dari pelaksanaan ibadah yang telah dituntunkan-Nya kepada hamba-Nya adalah upaya pembersihan diri untuk kembali lagi suci seperti bayi, dan siap untuk menghadap dan berjumpa dengan Sang Kekasih Sejati, Allah SWT.”

Kenduri Cinta ditutup dengan doa bersama.