LORONG PER-ADAB-AN

Reportase Kenduri Cinta Mei 2010

Bagaimana sebuah peradaban tercipta? Apakah ia sesuatu yang dihasilkan dari tempat sunyi, gelap, dan tersembunyi seperti lorong? Pertanyaan itulah yang mengantar Kenduri Cinta dengan tema Lorong Peradaban, Jumat malam, 14 Mei 2010 di Taman Ismail Marzuki. Tema Lorong Peradaban dikupas oleh beberapa narasumber yang dibagi dalam dua sesi.

Sesi pertama, berkesempatan hadir Haslinda Razalie, seorang arkeolog dari Yayasan Turangga Seta. Hadir juga Zainal Abidin, seorang inspirator dan penulis buku Monyet Aja Bisa Cari Duit! dan Drs. H Tatang Hidayat, Kepala Umum Lembaga Kebudayaan Betawi. Sesi diskusi ini dipandu secara apik oleh Suparman selaku moderator dan Adi Pudjo selaku pengantar diskusi. Sesi kedua, Andre Dwi menggali khasanah pemahaman lebih dalam narasumber, antara lain: Ulil Abshar Abdala, Syekh Nursamad Kamba dan Sabrang Mowo Damar Panuluh.

Ada yang spesial malam itu. Kenduri Cinta kedatangan beberapa sahabat yang berkesempatan tampil di sela-sela diskusi, yaitu Dik Doank bersama Kandank Jurank Doank Idol-nya, Faried putra almarhum Mbah Surip, Plompong, adik-adik dari SMU Muhammadiyah 18 dan Pepeng Si Pengamen Pengkolan.

Ibu Hazlinda Razalie kemudian memaparkan aktivitasnya sebagai arkeolog, yang dalam delapan tahun terakhir di bawah naungan Yayasan Turangga Seta melakukan penelitian terhadap huruf palawa dan relief yang terdapat di situs candi yang tersebar di pulau Jawa. Adab berasal dari bahasa Arab yang artinya tingkah laku. Adab adalah budi dan daya. Budi juga berarti luhur yang dimiliki oleh setiap manusia, menghasilkan sebuah daya yang kemudian kita kenal dengan istilah budaya.

“Pahami Alquran dan Hadits dengan nalar yang benar. Kuasai amarahmu dengan akalmu, itulah ciri-ciri manusia dengan peradaban tinggi.”

Ulil Abshar Abdala, Kenduri Cinta (Mei, 2010)

Sebagai seorang inspirator, Zainal Abidin tampil dengan semangatnya yang menggebu. Melalui slide presentasinya, ia mengajak jamaah untuk melihat fakta statistik bahwa telah terjadi peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia yang mencapai angka 13,5 juta orang, dimana rata-rata dari mereka adalah pengangguran terdidik. Menurutnya, ada 2 hal yang menyebabkan banyaknya pengangguran di Indonesia. Pertama, tenaga kerja melimpah, pekerjaan ada, tapi tidak ada yang mampu membayar. Kedua, pekerjaan ada, yang mengerjakan ada, yang membayar pun ada, tapi yang mau mengerjakan tidak ada. Dewasa ini, menurutnya, terdapat fenomena yang mencengangkan, dimana binatang telah diberdayakan tenaganya seperti manusia. Di Amerika Serikat, anjing kodi menjadi kasir. Monyet menjadi pramusaji restoran di Jepang. Hal ini bukan tanpa alasan. Pertama, monyet dan anjing yang tergolong binatang pintar, menjadi lebih berdaya setelah dilatih dalam kurun waktu tiga bulan. Binatang ini siap digaji murah, hanya dengan pisang dan kacang, anti demo, dan tidak akan “menguntit” omzet.

Dalam kesempatan berikutnya, Tatang Hidayat menyampaikan fakta bahwa sekarang ini seni budaya cenderung ditinggalkan. Dia mengajak jamaah Kenduri Cinta dan masyarakat Indonesia umumnya, untuk lebih mengapresiasi setiap seni budaya bangsa, dengan begitu, seni budaya tradisional yang telah ada mampu berjalan berdampingan dengan seni budaya modern.

“Peradaban yang sehat adalah peradaban yang kosmopolit, akomodatif terhadap segala aspek yang datang dari luar, terbuka, dalam artian mengambil yang baik-baiknya dan membuang yang buruk-buruknya.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Mei, 2010)

Diskusi sesi kedua, Ulil Abshar Abdala memaparkan sedikit mengenai beberapa wajah ulama dalam sejarah peradaban Islam yang berselera humor berdakwah. Sebut saja Al Jahiz, sastrawan Baghdad di abad ke-4 Hijriah. Dalam dakwahnya, dia pandai menjadikan dirinya sendiri sebagai objek lelucon. Dia menghasilkan karya buku bergenre humor yang kini merupakan salah satu khasanah kekayaan dalam peradaban Islam. Selanjutnya ada Al Asfani, penulis buku yang terdiri dari 20 ribu halaman mengenai musik. Kemudian ada Al Faraby, yang dikenal sebagai pemain Instrumen musik yang handal. Di jaman ini, Kenduri Cinta hadir dengan kekhasannya dalam berdakwah.

Peradaban Islam sangat kaya, tidak sempit sebatas halal-haram saja, yang terkesan kaku. Agama jika dipandang serius, dia akan menjadi berbahaya. Output-nya bahkan mungkin adalah kekerasan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Serius di sini dalam arti lebih mengekspresikan kekakuan dalam menterjemahkan Alquran dan Hadits, tanpa menggunakan akal dan pikirannya. Padahal manusia diciptakan selain diberi hati nurani (iman), dia juga dibekali Allah SWT akal, yang menandakan bahwa manusia adalah mahkluk yang paling sempurna dari semua makhluk ciptaan-Nya. Pahami Alquran dan Hadits dengan nalar yang benar. Kuasai amarahmu dengan akalmu, itulah ciri-ciri manusia dengan peradaban tinggi.

Berbeda jika humor pendekatannya, agama akan lebih mengena dalam perenungannya. Ulil lalu sampaikan salah satu humor dalam khasanah Islam, “Wahai Hoza, kenapa manusia kalau di pagi hari tersebar? Tidak ke timur saja semuanya?” — “Wahai kawan, jika seluruh manusia pergi ke timur saja, maka dunia ini akan   jomplang, tidak seimbang.” Dalam tradisi sufi, lelucon dipakai sebagai alat untuk menyampaikan kebijaksanaan.

Dari beberapa materi pemaparan yang disampaikan oleh Ulil, terdapat pemahaman bahwa dalam berdakwah pun ada berbagai cara dalam penyampaiannya. Tujuan yang mulia seyogyanya dicapai dengan cara yang mulia pula. Ulama besar Imam Al Gazali pun berpendapat, yaitu tidak diperbolehkan menyingkirkan kemungkaran dengan cara yang justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.

“Manusia secara sadar atau tidak, kadang membatasi pola pikirnya sendiri, memilah-milahnya, mengkotak-kotakkan yang menjadikan sempit cara berpikirnya. Padahal dunia terlalu luas untuk dibatas-batasi.”

Sabrang M.D.P., Kenduri Cinta (Mei, 2010)

Melanjutkan forum, Syekh Nursamad Kamba dalam kesempatannya kali itu menyampaikan bahwa peradaban yang sehat adalah peradaban yang kosmopolit, akomodatif terhadap segala aspek yang datang dari luar, terbuka, dalam artian mengambil yang baik-baiknya dan membuang yang buruk-buruknya. Alquran dan Hadits jangan dipahami secara kaku, mereduksinya menjadi seperti KUHP dalam pedoman penyidikan. Alquran bukan buatan manusia yang sifatnya konkrit, tetapi transeden, kalamullah. Perlu akal sehat untuk memahaminya. Menurut beliau, sejatinya menggunakan akal sehat dalam beribadah jauh lebih berat dari pada hanya sekedar salat dan puasa yang tanpa dipahami secara benar maksud dan tujuan dari salat dan puasa itu sendiri. Seperti filosofi lebah, akal menyerap semua yang ada, laksana lebah menghisap semua jenis bunga, yang kemudian keluarannya adalah madu yang bermanfaat.

Kedepan, peradaban adalah Maiyah dengan segala dimensinya. Maiyah yang berarti kebersamaan, antara makhluk dan pencipta-Nya, dan antara sesama makhluk, baik manusia dengan manusia, juga manusia dengan makhluk ciptaaan Tuhan lainnya. Melalui Maiyah, mari kita ciptakan peradaban melalui arus utama, tidak lagi lewat lorong yang cenderung sembunyi-sembunyi.

Narasumber berikutnya Sabrang Damar Panuluh. Sebagai narasumber termuda, dia mewakili kegelisahan anak muda dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan, seperti: apakah peradaban ditandai dengan kemajuan suatu teknologi? Atau tingkah laku manusianya itu sendiri? Apa parameter yang digunakan untuk mengukur kemajuan dan keterbelakangan suatu peradaban? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi menarik untuk dicermati lebih mendalam.

Menurut Sabrang, pada suatu titik peradaban, manusia laksana kotak, mempunyai limit atau batasan dari cara-cara berpikir. Manusia secara sadar atau tidak, kadang membatasi pola pikirnya sendiri, memilah-milahnya, mengkotak-kotakka yang menjadikan sempit cara berpikirnya. Padahal dunia terlalu luas untuk dibatas-batasi. Semakin besar dan luas sebuah kotak, semakin tinggi, semakin maju peradabannya. Namun di sisi lain, manusia semakin susah memahami keluasannya, semakin rumit. Untuk itulah kemudian manusia dengan segala keterbatasan dalam memahaminya harus “saling” antara satu dengan lainnya, yaitu melalui kebersamaan.

Pudji Asmanto selaku narasumber berikutnya, menghadirkan paparannya melalui film animasi pendek, yang menggambarkan bahwa manusia dewasa ini cenderung diperlakukan seperti modal, istilahnya human capital. Manusia dianggap seperti robot atau objek, dikotak-kotakkan atau mengkotak-kotakannya sendiri, padahal manusia diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi sebagai khalifah atau subjek. Adab merupakan keluaran output dari apa yang kita yakini, belief. Belief mempengaruhi pola berpikir, lalu membentuk persepsi, kemudian termanifestasi menjadi gerakan, yang jika dilakukan secara berulang membentuk kebiasaan-kebiasaan, menjadi sebuah tradisi, lebih besar lagi menjadi culture atau kebudayaan, semakin besar lagi yang kemudian kita kenal dengan istilah peradaban.

Di penghujung acara, Kyai Budi hadir dengan suguhan puisi-puisi cintanya yang luar biasa. Apa pun tingkah laku kita, jika didasari cinta kepada Allah SWT, maka yang akan ditebarkannya adalah kebaikan, cinta kasih. ∎