JUGGERNAUT — INDONESIA PASTI TIDAK PASTI

reportase kenduri cinta september 2013

Juggernaut, berasal dari bahasa Sansekerta jagannatha, berarti kereta raksasa yang digunakan Dewa Kresna. Juggernaut juga dipakai sebagai simbol atas kondisi ketidakstabilan yang masif. Ketidaktstabilan itu diibaratkan seperti suatu benda yang memiliki potensi untuk menggelundung jatuh liar dari atas gunung, tanpa arah yang jelas dan merusak semua yang dilewati dan sekelilingnya. Tokoh inteletual modern yang mempopulerkan wacana juggernaut salah satunya adalah Anthony Giddens, seorang sosiolog yang pandangannya dijadikan tuntunan oleh para banyak pemimpin dunia. Menurut Giddens, kondisi ketidakpastian dunia sekarang ini muncul dari rekayasa-rekayasa yang dibuat oleh manusia sendiri. Ketidakpastian-ketidakpastian itu pada akhirnya menimbulkan kebuntuan di sana-sini.

Kondisi serupa terjadi di Indonesia. Teori-teori apapun dinilai sudah tidak mampu menyembuhkan kebuntuan. Praktek demokrasi sudah jelas menghancurkan, tapi masih saja dipakai dan dipercaya sebagai solusi atas kehancuran. Maka  Kenduri Cinta ini lahir sebagai jalan ketiga kalau meminjam istilah Giddens – dengan keunikan karakter dan pengaturan jaraknya sendiri.

KETIDAKPASTIAN EKOSISTEM

Agus berpendapat bahwa ketidakpastian dalam sektor riil berpangkal pada diperdagangkannya mata uang dalam forex market. Saat ini Indonesia menjadi negara forex trader kedua terbesar setelah Rusia. Ada empat sisi yang bisa digunakan untuk melihat apakah forex trade merupakan investasi ataukah judi. Dari sisi keuntungan, judi merupakan zero sum game di mana tidak ada keuntungan secara aggregat, keuntungan satu pihak sama dengan kerugian pihak yang kalah. Sementara dalam perdagangan konvensional, pembeli tidak menderita kerugian karena dia mendapat nilai dari produk yang dia butuhkan. Kalau dari sisi kerugian, judi memiliki karakter total loss, berbeda dengan bisnis konvensional di mana kerugian hanya berarti tidak ada uang masuk tapi produk masih ada. Dari sisi benefit, judi tidak memberikan output kepada lingkungan luar karena tidak ada produk barang maupun jasa. Dari sisi kompetisi, judi merupakan 100% kompetisi tanpa ada unsur saling melengkapi.

Iswan, narasumber berikutnya, menyorot isu meroketnya nilai tukar dollar, langkanya kedelai, dan defisit neraca perdagangan. Ini merupakan isu besar yang jika terjadi di negara maju bisa digunakan untuk menjatuhkan menteri, tapi toh di Indonesia menteri yang seharusnya bertanggung jawab masih bisa cengengesan dan bahkan nyapres. Ini merupakan bagian dari ketidakpastian. Kita semakin tidak mampu membedakan mana emas mana loyang. Hidup kita menjadi tidak pasti. Langkah paling ekstrim adalah melupakan Indonesia supaya hidup keluarga kita tidak tergantung pada kondisi ketidakpastian ini.

Mengenai kelangkaan kedelai, Pak Cuk mengatakan bahwa memang ada masalah pada tingkat pertanian kedelainya. Kedelai yang kita tanam adalah kedelai tropis yang agak susah tumbuh di tanah Jawa. Kita diarahkan untuk tidak melihat adanya alternatif lain, bahwa ada kedelai rawa dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang tinggi tanamannya hingga mencapai satu meter, bisa memberikan hasil paling tidak tujuh kali lipat dari kedelai Jawa. Hal ini terjadi bukan hanya pada kedelai, tapi juga pada padi, kelapa sawit, susu, daging, dan banyak lagi. Indonesia miliki spektrum varietas tanaman yang sangat luas, tapi justru padi yang kita tanam adalah jenis padi yang tidak cukup bagus. Padahal kalau pertanian dikelola dengan benar, mestinya kita tertawa kalau kurs dollar naik karena kita menjadi produsen komoditas pertanian.

Pak Cuk kemudian menceritakan kunjungannya ke pabrik Ajinomoto di Kawasaki, Jepang. Ternyata selain memproduksi vetsin, mereka juga memproduksi pupuk. Mereka manfaatkan tebu mulai dari tetesnya sampai residu-residunya. Selain itu, di sana Pak Cuk juga ditunjuki penyimpanan beras. Dengan mempertahankan suhu pada 8 derajat celcius, beras Jepang tahan selama 2 tahun. Itu terjadi karena iklim di sana memang dingin, mereka turun suhu selama 6 bulan dalam satu tahun. Kalau metode ini kita terapkan di Indonesia yang beriklim tropis, tentu akan memakan biaya sangat besar. Sebenarnya kita punya cara tradisi yang bisa menyimpan gabah sampai puluhan bahkan seratus tahun. Ini masih dipraktekkan oleh orang Badui, sementara orang-orang modern sudah melupakannya. Pak Cuk bersama Cak Dil sedang membentuk jamaah Residu Nol di Malang. Selain pertaniannya, orangnya juga sebisa mungkin memberikan residu nol bagi masyarakat sekitar. Kalaupun tak bisa memberi manfaat, paling tidak jangan sampai merugikan orang lain.

“Anda harus menjadi orang merdeka sehingga punya sidik paningal (kejernihan dan ketepatan penglihatan). Nanti puncaknya adalah putus pamriksa (makrifat), di mana anda melihat sesuatu sampai ke ufuknya secara sangat jelas.”

Emha Ainun Nadjib

SUMANTRI – SUKRASANA

Dalam acara Kenduri Cinta edisi September 2013 kali ini, tema Juggernaut juga diperkaya dengan illustrasi poster yang didesain tematik oleh Erik Supit. Ia menjelaskan simbol-simbol  dalam desain visual poster Kenduri Cinta adalah tampilan sebuah kereta kerajaan Inggris. Jika merujuk pada model-model kereta yang digunakan di Jogja setelah Perjanjian Giyanti, maka kereta tersebut bukan kereta kencana Jogja atau Surakarta. Kereta itu ditarik oleh dua ekor kuda yang orientasinya berlawanan, menggambarkan Indonesia yang saat ini sedang ditarik ke mana-mana sehingga kita yang berada di dalam kereta selalu jalan di tempat, bertengger pada harapan-harapan sambil mengunyah janji-janji yang disuguhkan. Akhirnya kepastian yang kita tunggu pun tidak pasti adanya.

Cak Nun memulai uraiannya, “Juggernaut itu kan dimaksudkan teman-teman sebagai solusi. Kresna Duta adalah salah satu kemungkinan solusi. Kita mundur satu langkah untuk melihat apa masalahnya, siapa yang punya masalah, kemungkinan solusinya bagaimana, dan bagaimana masalah itu berproses menimpa orang lain.

“Berangkat dari etnik, orang Jawa punya lagu anak-anak E dhayohe teka, e gelarno klasa, e klasane bedhah, e tembelen jadah, e jadahe mambu, e pakakno asu, e asune mati, e buangen kali, e kaline banjir, e buangen pinggir, e pinggire lunyu, e yo golek sangu. Pada langkah pertama dan kedua, kita sudah benar. Kita gelarkan tikar untuk tamu kita. Tapi ketika muncul problem pertama, yaitu tikar yang sobek, kita salah solusi, menambalnya dengan jadah (red: makanan dari ketan). Belum terselesaikan sobeknya tikar, muncul problem berikutnya: jadah itu ternyata busuk. Si tamu pun makin jengkel lantaran celananya kotor duduk di atas jadah busuk. Lalu ditambah lagi dengan ketidaktepatan sikap memberikan jadah busuk itu ke anjing. Anjingnya mati, bangkainya kita buang ke sungai sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Sudah jelas-jelas banjir, masih saja ditaruh di pinggirannya.

“Anda harus punya kecerdasan sosial, politik, dan budaya, supaya idiom seperti ini bisa langsung anda asosiasikan ke berbagai macam hal. Banyak tikar-tikar sobek di dalam persoalan Indonesia yang solusinya dengan ditambal jadah. Kedelai, bawang, bulog, cabe, caleg. Solusi yang tidak tepat akan menambah masalah, mungkin bisa dalam deret hitung, tapi lama-lama ia akan menjadi deret ukur. Saat ini percepatan masalah kita sudah mencapai deret ukur sehingga kita sudah tidak mampu lagi fokus, tidak punya lagi pengendapan atau sublimasi untuk melihat masalah-masalah dengan jernih.

“Anda harus menjadi orang merdeka sehingga punya sidik paningal (kejernihan dan ketepatan penglihatan). Nanti puncaknya adalah putus pamriksa (makrifat), di mana anda melihat sesuatu sampai ke ufuknya secara sangat jelas. Jangan sampai anda melangkah lebih lanjut sebelum meyakini kepastian bahwa solusi yang anda lakukan sudah tepat. Perkara gagal itu lain masalah, tapi ketepatan adalah nomor satu.

“Maka yang harus menjadi ingatan sehari-hari kita dalam mengambil langkah apa saja adalah kalimat Allah di dalam Al-Quran yang berbunyi: asa antukrihu syai’an wa huwa khoirullakum wa asa antuhibbu syai’an wa huwa syarullakum. Apa yang kamu pikir itu jelek dan salah sehingga kamu remehkan, jangan-jangan itu yang sebenarnya kamu butuhkan untuk keselamatanmu, dan apa yang kamu junjung-junjung, kamu sangka kebaikan, harapan, dan kepahlawanan, bisa jadi itu adalah potensi bencana bagimu.

“Kata baik dan buruk dalam ayat itu bisa kita ganti dengan satuan-satuan lain, misalnya sehat-tidak sehat, cantik-busuk, dan seterusnya. Maka kita harus punya kecerdasan imajinatif dan asosiatif, ada asosiasi intelektual rasional, asosiasi emotif, dan asosiasi spiritual. Kalau melihat pisang, misalnya, anda harus punya pengembaraan asosiatif dan imajinatif. Misalnya anda jadi ingat; kebun pisang, lingkungan hidup, hubungan tanah dan air, petani pisang, policy yang diambil Kementerian Pertanian terhadap petani pisang, sampai ke ingatan bahwa semua nabi makan pisang. Dari sebuah pisang, anda bisa sampai ke apa saja, ke Allah, ke jagad raya sebelah manapun. Jangan sampai hilang kemampuan seperti ini,” jelas Cak Nun.

TRANSFORMASI MAJAPAHIT-DEMAK-MATARAM

Di Maiyah, anda harus jadi orang yang dengan satu pandangan anda dapatkan seribu penglihatan. Ibarat pendekar, meskipun disuruh konsentrasi pada satu titik tetap bisa menangkis serangan dari samping dan belakang. Sebab melihat ke satu titik itu merupakan satu tugas di antara tugas-tugas yang lain. Sebenarnya pandangan itu ke seluruh titik.

“Kenduri Cinta mencoba menawarkan suatu solusi atas ketidakpastian yang kita alami melalui cerita kegagalan negosiasi Kresna dengan penguasa Astina yang menghasilkan kemarahan, membuat dia menjadi juggernaut atau ber-tiwikrama. Ini salah satu solusinya. Sebagai komparasi, di Jogja sedang akan dipentaskan oleh rekonsiliasi semua seniman Jogja, pementasan yang ide dasarnya hampir sama dengan juggernaut, yaitu mencari solusi terhadap deret ukur permasalahan Indonesia. Lakon wayang yang diangkat adalah Sumantri-Sukrasana.

Sumantri merupakan tipe aktivis yang percaya bahwa dia bisa mengubah keadaan melalui birokrasi, maka dia masuk ke struktur kekuasaan untuk melakukan perbaikan keadaan. Sementara adiknya, Sukrasana, memilih untuk mengambil jarak dari kekuasaan. Dia tetap menjadi rakyat yang bergerak di lapangan swasta; otonom dan independen. Ide para seniman Jogja ini adalah Sumantri dan Sukrasana harus mulai mengubah dirinya menjadi subyek yang tidak dikalahkan oleh tipuan-tipuan atau keterpesonaan terhadap keadaan.

“Yang menjadi landasan pemikiran adalah bangsa Indonesia tidak pernah lagi menjadi subyek sejarah sejak gagalnya pengaturan-pengaturan kenegaraan dan kebangsaan pasca Majapahit. Majapahit  adalah negara persemakmuran; tidak ada upeti yang disetor dari tanah-tanah perdikan ke Majapahit. Kalaupun ada setoran, itu tergantung pada rasa terima kasih tanah perdikan kepada pengayomnya.

“Pada masa Majapahit ada upacara Kendi Mas di mana setiap 35 hari Raja-raja dari daerah yang tergabung dalam persemakmuran datang ke Trowulan, melingkar, kemudian Raja Majapahit Hayam Wuruk mengeluarkan kendi emas yang berisi air; setiap Raja bergiliran meminumnya, baru yang terakhir Hayam Wuruk. Majapahit jauh lebih modern daripada NKRI. Hayam Wuruk berposisi sebagai kepala negara dan Patih Gajah Mada sebagai perdana menteri atau kepala pemerintahan. Sementara Indonesia saat ini merangkap dua posisi itu sehingga terjadi kerancuan di mana-mana. Pihak yang mengawasi dan yang paling harus diawasi menjadi satu tubuh.

“Transformasi Majapahit menjadi Demak dipandu oleh Sunan Kalijaga yang hidupnya hampir mencapai 200 tahun. Demak juga sifatnya persemakmuran. Tapi kemudian ada konflik dalam Demak, antara sunni-syiah oleh Joko Tingkir–Aryo Jipang, antara Islam Jawa dengan Jawa Islam atau Islam santri dengan Islam abangan, dan konflik antara kaum priyayi yang merasa berhak meneruskan kerajaan Majapahit tapi tidak mendapatkan haknya. Ada multi konflik yang bersilang-silang, dan itu coba diatasi oleh Sunan Kalijaga dengan diasisteni Sunan Kudus. Meskipun metode yang dijalankan sangat kultural, arif, taktis, strategis, sangat tidak menyakiti, sangat memanusiakan, tapi sampai akhir hayat beliau tidak berhasil juga.

“Sampai kemudian terjadi kemunduran ketika menjadi Pajang, dan semakin parah ketika menjadi Mataram, cikal bakal NKRI. Tidak seperti Majapahit yang gelar rajanya “prabu” (berasal dari filosofi Jawa) atau Demak yang menyebutnya “sultan” (berasal dari konsep Islam), Mataram menggelari rajanya dengan sebutan “panembahan”. Padahal di dalam filosofi Jawa, panembahan tidak boleh berhubungan dengan kekuasaan. Panembahan adalah resi yang sudah mengendap, universal, tidak lagi duduk di kursi dunia. Pemahaman ini dilanggar oleh raja pertama Mataram yang menamai dirinya Panembahan Senopati, anak dari salah satu murid Sunan Kalijaga bernama Ki Ageng Pemanahan. Temannya, Ki Mondoroko atau Juru Martani dan Ki Penjawi adalah juga muridnya Sunan Kalijaga. Tapi sebagaimana di Maiyah, murid dari Sunan Kalijaga sangat bermacam-macam.

“Sampai saat ini orang percaya bahwa Sunan Kalijaga adalah perampok atau tukang begal jalanan. Fakta bahwa dia merupakan anak dari Bupati Tuban menunjukkan pasti motivasinya merampok bukanlah motivasi ekonomi. Untuk menunjukkan kehebatan? Hebat apa kalau cuma merampok pedagang-pedagang kecil di jalan? Sunan Kalijaga sengaja mbegal orang di tempat yang gampang dicari, yaitu di jalanan bukan di hutan, untuk memancing kedatangan Sunan Bonang. Sekian kali merampok, dia isukan sendiri bahwa dia adalah Brandal Lokajaya. Sunan Kalijaga sudah punya naluri bahwa dia akan punya tugas besar sehingga harus berguru kepada Sunan Bonang.

“Kembali ke Demak, dengan adanya perkembangan Islam yang pesat, beliau harus membuat formula baru tanpa menghancurkan Majapahit tapi punya masa depan. Sistemnya sama, tapi namanya mau tidak mau harus toleran dengan anak ke-17 Raden Brawijaya, yakni Raden Patah. Sejak gagalnya transformasi itu kemudian ada masalah baru di dalam Mataram. Yang paling penting adalah adanya peralihan dari setting politik religi ke setting politik kebatinan. Kekuatan spiritual Demak dan Pajang adalah Walisongo. Tapi begitu Mataram, mulai bergeser ke Nyi Roro Kidul. Sejak itu bangsa Indonesia tidak bisa mengatasi dirinya, maka makin kecil kemampuannya untuk menjadi subyek dari sejarahnya. Masalah yang diwarisi dari abad sebelumnya belum selesai, datanglah VOC, Portugis, dan seterusnya. Semakin parah ketidakmampuan kita menjadi subyek.

“Sekarang ini Sumantri sedang ragu-ragu. Sementara Sukrasana diam-diam bercita-cita menjadi Sumantri. Begitu berhasil masuk ke dalam sistem dan menjadi perampok, diupayakannya supaya rampokan itu konstan dan tersimpan aman. Maka yang menjadi pejabat berikutnya harus orangnya dia juga, entah itu istrinya, anaknya, besannya, ponakannya. Karena Sumantri dan Sukrasana tidak mungkin diharapkan untuk memperbaiki keadaan, maka yang kita butuhkan adalah sosok Punakawan. Punakawan lah yang membatalkan struktur vertikal dalam kepriyayian Jawa. Kyai Semar Bodronoyo berada di posisi paling bawah sebagai abdi para priyayi, tapi ternyata dia adalah dewa yang paling senior. Maka titik paling atas dan titik paling bawah itu ternyata satu; akhirnya garis lurus menjadi lingkaran.

“Maka kalau harus ada Punakawan, harus ada peran-peran langit. Ini bisa bermacam-macam. Maka pelajarilah apa yang oleh mbah-mbahmu dulu dimengerti. Apakah dewa itu hasil penglihatan spiritual manusia untuk melihat kekuatan-kekuatan di atas manusia? Ataukah dewa sebenarnya manusia yang memiliki sulthon? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mesti kembali ke sejarah penciptaan nenek moyang kita, manusia hibrida pertama yang bernama Adam. Dulu awalnya yang berkuasa di tata surya adalah jin, hancur, lalu diganti banujan, hancur lagi. Maka diutuslah malaikat mengambil tanah liat di bumi. Jibril, Mikail, dan Israfil gagal. Izrail yang mampu mengambilnya, lalu disuruh membentuk tanah liat itu dalam citra Allah yang ditangkap Izrail. Setelah jasadnya sempurna, dengan mengandung seluruh unsur dari jagad raya, Allah meniupkan ruh-Nya tiga kali.

“Tiupan pertama menghidupkan kepalanya (intelektualitasnya), tiupan kedua menjadikan hidup perut dan dadanya (spiritualitasnya), dan tiupan ketiga menjadikan bernyawa syahwatnya. Ketika itu Nabi Adam menjerit, Alhamdulillah! Para malaikat menjawabnya dengan yarhamukallah, lalu Nabi Adam menjawab lagi dengan yahdikumullah wa yuslihu balakum.

“Nabi Adam punya sekitar 126 anak, semuanya kembar kecuali dua orang; salah satunya Nabi Sis. Anak-anak yang kembar kawin dengan saudaranya dengan mendapat privilege untuk tidak terjadi incest, tapi Nabi Sis kawin dengan sisa-sisa makhluk sebelumnya, homo erectus. Dalam perjalanannya, anak-cucu Adam disebut Sang Hyang. Sang Hyang Sis punya anak Yazid Anwar dan Yazid Anwas. Yang satu menurunkan manusia yang diasuh Semar, yang lain menurunkan manusia yang diasuh Togog. Ini boleh dianggap sebagai simbolisme atau bisa juga sebagai fakta. Setelah ada akselerasi populasi dari Adam ke anak-cucunya, kelengkapan unsur-unsur tadi menjadi terdistorsi. Manusia nusantara adalah satu-satunya bangsa yang tingkat kelengkapannya paling tinggi di antara semua anak-cucu Adam. Dan justru karena kelengkapan itulah kita terpuruk enam abad belakangan. Kita kehilangan kemampuan untuk mengelola kelengkapan itu karena tak mampu menjadi subyek atas diri kita sendiri.

“Maka solusinya adalah kita harus ngomong mengenai kemampauan-kemampuan yang lebih tinggi dari kita. Ada nggak yang ingin bermimpi ditemui Rasulullah? Saya nggak ngomong ini, tapi betulkah kita sudah tidak hidup bersama mereka lagi? Mereka tetap bersama kita; masalahnya anda tidak pernah dididik untuk mengembangkan kepekaan dan pengetahuan untuk kontak dengan mereka. Pada dasarnya ada tiga macam orang yang sudah meninggal tapi bisa bertemu dengan kita, yaitu orang yang lulus karena kualitasnya, orang yang tidak lulus tapi mendapat kemungkinan dari Allah untuk mengulang dan meneliti kembali, serta orang yang sudah pasti tidak bisa dapat jatah untuk kembali tapi memaksa karena tak puas hidupnya. Mereka inilah yang kita kenal sebagai hantu yang mengganggu di pojok-pojok rumah kita. Mereka tak punya hak tapi terus memberontak.

“Relakan kehilangan beras karena dia akan menjadi nasi. Yang disebut yaumul qiyamah adalah kehancuran beras dan kebangkitan nasi. Banyak orang takut kehilangan beras, maka tak pernah didapatkannya nasi.”

Emha Ainun Nadjib

Cak Nun melanjutkan, “Kembali ke soal juggernaut, siapa di Indonesia yang mau ber-tiwikrama sehingga ketakutanlah Duryudana dan 99 adiknya sehingga mereka turuti rekonsiliasi dengan Pandawa?

“Maka sekarang adalah saat di mana anda –tidak peduli apakah anda tahu masalah di Indonesia atau tidak, tidak peduli apakah anda orang Indonesia atau bukan– tapi ada satu yang pasti: sekarang ini anda harus merenung dan siap mengambil keputusan-keputusan mendasar dalam hidup anda, entah itu masalah keluargamu, dirimu, atau bangsamu. Jangan sampai lewat waktu.

“Malam ini sedang ada gelombang sangat bagus yang turun dari langit. Anda rasakan, bagaimana anda sehat di dalam sakit anda, jernih di dalam keburaman anda, semangat di dalam keputusasaan anda. Fakta anda mungkin menggelisahkan, tapi anda rasakan di dalam diri anda baik-baik saja. Sekarang sedang turun itu, dan anda dibantu oleh Tuhan untuk mengambil keputusan-keputusan besar.

“Anda jangan pakai frame anda kalau memahami hidup, karena frame-mu bisa berubah tiap jam. Anda harus mengambil keputusan supaya anda bisa mulai menghancurkan dirimu yang sekarang demi menjadi dirimu yang besok. Relakan kehilangan beras karena dia akan menjadi nasi. Yang disebut yaumul qiyamah adalah kehancuran beras dan kebangkitan nasi. Banyak orang takut kehilangan beras, dia dekap beras itu erat-erat, maka tak pernah didapatkannya nasi. Ruwatan dalam bahasa Jawa adalah penghancuran seperti itu.

“Saya doakan apapun keadaannya, hidup anda diberi kemudahan oleh Allah di semua urusan. Pagi anda dimudahkan, siang agak sedikit sulit tapi kemudian diberi kemudahan yang lebih besar. Begitulah hidup, kemudahan itu justru pada momen tertentu dibangun oleh kesulitan. Maka dikatakan inna ma’al ‘usri yusra, bersamaan dengan kesulitan sudah ada kemudahan. Tinggal kamu mainkan nadanya bagaimana, berangkat dari lagu apa,” jelas Cak Nun.

Menurut Cak Nun, kekeliruan orang modern ialah pemikirannya digiring untuk selalu menuju keadaan yang dipersyarati oleh standardisaasi. Hal-hal tertentu dalam hidup memang harus distandardisasi, misalnya dalam aturan bisnis dan aturan-aturan teknis negara. Tapi standardisasi bisa berbahaya ketika diterapkan saat kita belajar agama, kebatinan, tasawuf, dan ilmu-ilmu tinggi karena mereka akan menjadi kerdil oleh ilmunya; menolak pengetahuan yang tidak seperti yang dikenalkan kepadanya. Sama seperti keris, kalau distandardisasi berarti dia bisa dibuat di pabrik. Padahal letak hebatnya keris bukan pada kerisnya tapi pada sang Empu. Kehebatan kebudayaan Indonesia bukan terletak pada ekspresi budayanya, tapi pada pelakunya.

“Kita harus tahu apa itu ironi, apa itu sarkasme, parodi. Seringkali saya ngomong sarkasme tapi dikira ngomong beneran. Ini karena dunia teater sudah tidak hidup di Indonesia. Anda jangan percaya pada kata karena kata bisa diubah oleh nada, nada bisa diubah oleh nuansa, dan nuansa bisa dibatalkan oleh yang lebih tinggi dan lebih lembut daripada itu.

“Ruwatan itu kan kiamat, bukan hari kehancuran tapi hari kebangkitan. Hari penghancuranmu hari ini untuk kelahiranmu besok pagi. Ini yang namanya qiyamah. Di indonesia begitu disebut kiamat bayangannya kehancuran-kehancuran. Kiamat itu bisa berlapis-lapis; bisa shugra, kubra, sedengan, software, maupun hardware. Yang banyak dipahami secara umum adalah kehancuran hardware.”

“Seperti keris, kalau distandardisasi berarti dia bisa dibuat di pabrik, padahal letak hebatnya keris bukan pada kerisnya tapi pada sang Empu. Kehebatan kebudayaan Indonesia bukan terletak pada ekspresi budayanya, tapi pada pelakunya.”

Emha Ainun Nadjib

Jamaah kemudian merespon dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan.

Muhammad Shodiq: “Tidak lama lagi NKRI akan menggelar pesta demokrasi. Saya sangat ingin terjadi perubahan mendasar dan signifikan untuk NKRI. Bagaimanakah ciri-ciri, kriteria dan syarat yang layak menjadi anggota DPR dan pemimpin di negeri ini?”

“Kriteria itu bisa anda ambil dari common sense, dari tradisi, dari ajaran agama, dari buku-buku modern, sangat banyak. Tinggal diurut. Kalau menurut saya, ya nggak lulus semua. Bagus kalau anda tanamkan kriteria itu di dalam kesadaran, cuma tidak usah memimpikan itu akan diterapkan di pemilu karena pemilu tidak ada urusannya dengan kualitas hidup, tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai kepemimpinan dan kemanusiaan.”

Ahmad Muhyidin: “Bagaimana cara saya bisa hancur?” 

“Hancur itu yang pertama melintas di benak anda pasti soal kehancuran fisik. Lewati itu. Kalaupun urusan fisik, selmu hari ini bukan selmu yang besok karena dia sudah menjadi lebih matang dan lebih kuat. Apapun saja yang anda alami dalam hidup ini, rugi atau laba, sedih atau senang, dapet duit atau nggak, frustrasi atau gembira, beri satu kesadaran, bahwa seberat dan seenak apapun, semua harus menjadikan anda lebih kuat. Ya sel tubuhmu, ya hatimu, ya pikiranmu.

“Kalau anda sudah memproduksi proses yang seperti itu, anda akan menjadi manusia yang akan semakin mengerti kehancuran. Masih ngomong fisik, lapar itu lebih baik daripada kenyang. Semakin banyak anda lapar, semakin kuat sel-sel anda. itulah mengapa Rasulullah mengajarkan untuk jangan makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Tapi jangan sampai menabrak garis kelaparan. Kelaparan itu sudah mulai tidak sehat, tidak bener, maka anda harus wajib makan. Yang hancur adalah ide mengenai kenyang. Kehancuran itu anda detail, unsurnya apa, konteksnya apa, peristiwanya kapan, di mana. Kehancuran adalah ketika anda menemukan yang sejati dari yang palsu. Begitu anda mendapat cahaya, kegelapan menjadi hancur. Anda harus bisa menciptakan cahaya dari kegelapan, sebagaimana Allah menciptakan kematian menjadi kehidupan dan sebaliknya.

“Hidup itu dibolak-balik. Senang-susah jangan anda tolak, tapi keduanya harus anda bikin taat kepada anda. Dan Allah menyayangi hamba-Nya dengan tetep membuat hamba-Nya membawa kelemahan ke mana-mana. Kalau Anda lupa, bersyukur kepada Allah, karena dengannya anda menjadi tidak sombong kepada Allah.

“Kalau anda sudah menemukan keasyikan proses, anda sudah tidak menomorsatukan dunia dan uang. Sekarang ini orang tidak mengerti bahwa kenikmatan yang sejati adalah kenikmatan menjadi orang yang berhijrah (bertransformasi) terus-menerus.”

Jamaah: “Bagaimana penjelasan dari ayat yang menerangkan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan sebelum kaum itu mengubahnya?”

“Pemahaman dasarnya begini: kapasitas yang lebih primer melakukan perubahan adalah Allah. Perubahan yang dilakukan manusia adalah menyingkal tanah, mengairinya, menanam padi, menyiangi rumput-rumput liarnya. Tapi puncak perubahan, yakni berbuahnya padi, adalah karya Allah. Kalau anda jadi pengawas pemilu, niatkan supaya Allah mengubah; jangan niatkan terlalu serius bahwa pengawasan anda akan mengubah pemilu. Anda tidak mampu menumbuhkan padi dan menciptakan panen.

“Yang saya lakukan dengan Maiyah, Kenduri Cinta, ruwatan wayang itu sebenarnya hanya nyingkal tanah dan menanam padi. Saya nggak mampu bikin panen. Punakawan yang kita butuhkan sekarang sebenarnya satu jenjang untuk memahami bahwa harus ada peran di atas manusia, yaitu peran spiritual, peran dari Allah dan malaikat-Nya, aparat-aparat-Nya dari perdana menteri, menteri, dirjen, kepala dinas.

“Secara sederhana, anda sekolah untuk memahami bagaimana menggunakan logika mengenai baik-buruk, sehingga ada ekspertasi, ada spesialisasi. Bahwa Menteri Pertanian seharusnya adalah orang yang mencintai para petani dan mengerti betul dunia pertanian dari soal tanam, bisnis pertanian, sampai konstelasi politik pertanian, dalam rangka menyejahterakan petani. Tapi pernahkah ada kabinet yang disusun berdasarkan expertise? Kita tidak ada masalah siapapun yang menjadi menteri, gubernur, presiden. Kita harus ikhlas. Tapi kita punya nalar; kalaupun orang itu yang menjadi menteri, orang-orang yang benar-benar belajar dan terbukti mencintai urusan itu kok malah nggak jadi menteri?

“Sistem demokrasi kita ini ibarat warung yang selalu menyuguhkan makanan beracun, lalu anda bertanya makanan beracun jenis apa yang akan disuguhkan di 2014? Apakah saya harus menjawab bahwa saya tidak akan mengandalkan warung itu untuk perubahan yang sebenarnya? Saya menghendaki perubahan yang tidak cukup hanya dilakukan oleh Sumantri dan Sukrasana, maka kita butuh peran-peran yang lebih besar dan tinggi. Itulah sebabnya Kenduri Cinta tidak berafiliasi dengan politik tertentu. Kita hanya setor kepada Allah bahwa kita sudah nyingkal tanah, tanam padi, toleran kepada burung-burung dan makhluk-makhluk lain, roh-roh, bikin sesaji di perempatan. Semua ini saya jadikan sesaji karena yang bisa mengubah hanya Allah.

“Kita itu saking miskin dan laparnya, ada makanan sedikit senengnya luar biasa. Orang indonesia ini seperti sandera yang akhirnya mencintai penyanderanya. Sekadar mengambilkan makanan, air segelas, kamu jadikan dia pahlawan seolah-olah dia satrio piningit. Padahal ya memang begitu seharusnya. Itu nggak ada yang hebat. Wajar-wajar saja seperti itu. Bikin monorel, mestinya dari dulu dong. Kita jangan jadi orang yang tersandera yang jadi mencintai penyandera secara tidak obyektif.

“Maka kita mohon sama Allah jalan keluarnya lebih kualitatif, yang merupakan formula perubahan yang lebih bermutu tidak fisik. Sebab kalau gunung berapi meletus, gempa, tidak milih orang-orang baik untuk diselamatkan. Bisa ada kategorisasi, tapi sangat sedikit.

“Tapi ingin saya katakan pada anda, kalaupun jalan keluarnya nanti adalah gunung-gunung meletus, kemudian terbuka kapal di atas gunung terbesar di dunia itu, meleleh, kita menunggu beberapa tahun untuk meletus sehingga penguasa dunia akan kalang kabut dan habis di seberang sana, itu juga bukan jalan keluar yang sesungguhnya saya impikan. Saya ingin seluruh proses intelektual, spiritual, dan moral seperti ini oleh Allah diridoi sehingga rakyat Indonesia memiliki kecerdasan baru.

“Kalau rakyat punya kecerdasan dan kepekaan mengenai pemimpin yang sejati, kalau yang didaftar jadi capres nggak memenuhi syarat ya tinggal rakyat nggak usah milih, kan gitu. Karena tidak memilih adalah pilihan. Saya dari dulu berdoa, tahun 2014 Allah ikut Pemilu. Kalau Tuhan ikut Pemilu berarti Dia menyebarkan hidayah ke seluruh rakyat Indonesia sehingga rakyat punya kecerdasan, kepekaan, dan kekuatan baru sehingga ketika memilih dia punya ketegasan dan kejernihan.”

Jamaah: “Menurut prediksi Cak Nun, akan seperti apa pemimpin di pemilu 2014 nanti?”

“Saya tidak bisa memprediksi. Yang bisa saya lakukan adalah nyingkal tanah, nanam padi, mencabuti rumput-rumput liar, kemudian kasih persembahan-persembahan ruhaniah kepada Tuhan. Kita di sini kan dalam rangka mengubah. Nomor satu anda datang ke mari untuk mengubah hidupmu dan keluargamu, nomor dua mengubah masyarakat dan bangsamu semuanya. Dan ini hanya Tuhan yang bisa menolong anda, sebab perubahan primer tadi terjadi tidak oleh kita melainkan oleh Tuhan. Dan ini bukan fatalisme.

“Tapi pokoknya kalaupun tak terjadi penyelesaian dalam bentuk gempa, gunung meletus, atau hidayah dari Allah, mudah-mudahan ada opsi ketiga, yaitu Tuhan menjebak kita. Kadang-kadang Tuhan itu menyimpan sesuatu yang baik di balik sesuatu yang buruk. Tuhan sering menyimpan kemuliaan-kemuliaan di balik kenyataan yang semua orang menganggapnya sebagai kehinaan.

“Sama ketika Allah menyimpan ashabul kahfi 309 tahun dengan dikawal kaki anjing yang menjuntai di mulut gua sehingga sekian generasi umat manusia menyimpulkan gua itu sebagai sarang anjing. Maka tak ada yang masuk ke dalamnya. Semoga dalam keadaan yang buruk, kita di masukkan ke dalam gua oleh Tuhan.”

Tepat pukul 03.40 dini hari, seluruh pertanyaan tuntas dijawab dan Kenduri Cinta dipuncaki dengan berdoa bersama. [FA]