JAZZ 7 LANGIT

reportase kenduri cinta april 2013

Ada yang berbeda di tata panggung Kenduri Cinta edisi April 2013. Alat musik bonang, saron, rebana, kendang, berjajar rapi di atas panggung, tampak ukuran panggung lebih luas dari biasanya. Alat musik tradisional ditata bersama dengan biola, keyboard, saxophone dan drum. Belum sampai pukul setengah delapan malam, jamaah telah berdatangan, menikmati gladi resik kelompok Kiai Kanjeng yang berkolaborasi dengan Beben Jazz and Friends.

Tepat pukul delapan, acara dibuka dengan tadarus surah Al-Fatihah. Tak lama Ibrahim, Adi Pujo, Anjar, Boim, dan Rusdianto maju ke forum mengawali acara.

“Sebagaimana mukadimah yang ditulis sendiri oleh Cak Nun, Jazz itu mengalir bukan aliran. Dan Jazz tidak terbatas hanya di dunia musik, tapi juga dalam bentuk-bentuk proses kehidupan yang kita jalani. Mengenai tafsir tujuh, orang Jawa punya beberapa kata yang mengandung unsur tujuh—pitu dalam bahasa Jawa— seperti: pitulungan, pituduh. Kita juga menyebut wujud kesepakatan dengan kata setuju bukan sepuluh atau yang lain. Orang Betawi juga punya tokoh pahlawan yang namanya Si Pitung. Tak hanya di Indonesia, di dunia luas juga dikenal ada seven wonders, seven habits. Maka pasti tujuh ini bukan hanya urusan orang Jawa. Ini rahasia Tuhan,” tukas Ibrahim.

Disampaikan oleh para pembicara, Al-Fatihah terdiri dari tujuh butir ayat. Sebelum sampai pada tujuh, kita harus terlebih dulu mengenal enam. Enam itu masa. Enam itu akhir. Kalau misalnya rumah kita bernomor 6, kemungkinan kita akan lama tinggal di rumah itu, atau bahkan mungkin akan seterusnya di situ. Allah sendiri menceritakan penciptaan langit dalam enam masa. Al-Quran berakhir pada surah ke-114—1+1+4=6—. Nama-nama Nabi yang diperkenalkan kepada kita ada 25—2+5=7—. Tujuh ini angkanya Nabi Muhammad. Thoriqoh Syadziliyah mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu pembuka dari yang tertutup dan penutup dari yang masa lalu. Nabi Muhammad berkedudukan sebagai penutup sekaligus pembuka. Mengenai tafsir langit, di Al-Quran langit disebut berpasangan dengan bumi, sammawati wal ardl. Bumi disebut dalam bentuk kata tunggal, sementara langit disebut dalam kata jamak, menunjukkan bahwa ia berlapis-lapis.

Pada edisi Kenduri Cinta kali ini, beberapa teman dari lingkar Maiyah kota lain juga turut hadir. Romadhon dari Bangbang Wetan Surabaya ikut menyampaikan pandangannya, “Di Bangbang Wetan itu ya mungkin hampir sama dengan forum Kenduri Cinta ini, tapi saya belum bisa mengkomparasikan juga karena baru kali ini saya bisa datang ke Kenduri Cinta. Tapi sekilas saya lihat muatan ilmu di sini lebih berbobot. Kalau durasinya ya hampir sama, sampai menjelang subuh. Saya sendiri hadir di Bangbang Wetan sejak pertama kali forum itu diadakan, tapi nggak rutin datangnya. Yang saya rasakan di setiap forum adalah rasa nyaman. Meskipun dari banyak yang disampaikan ada yang saya nggak ngerti, tapi ada keasyikan yang saya rasakan dalam kebersamaan di Maiyah ini. Saya merasa sangat mudah menjalin persahabatan melalui forum-forum Maiyah.”

“Jazz itu mengalir, bukan aliran. Dan Jazz tidak terbatas hanya di dunia musik, tetapi juga dalam bentuk-bentuk proses kehidupan yang kita jalani.”

Emha Ainun Nadjib

893008_10151586953322139_992720057_o

JAZZ, MUSIK YANG MEMERDEKAKAN

“Nggak terasa sudah satu tahun saya di  Kenduri Cinta,” Beben Jazz mengawali, “Dengan apresiasi yang luar biasa dari  Kenduri Cinta, setahun sangat tidak terasa. Main di mana-mana, Beben Jazz itu cirinya dua: topi dan kacamata. Karena kadang ketika main di festival Jazz saya merasa sepi dalam keramaian, maka saya bersembunyi di belakang kacamata saya. Saya selalu merem. Tapi hari ini di  Kenduri Cinta, saya mau buka kacamata saya untuk anda semua. Saya tidak berusaha untuk menunjukkan apa-apa, tidak ingin menunjukkan main gitar yang mlintir, yang akrobatik. Saya hanya ingin berusaha main Jazz dengan khusyuk, karena dari kekhusyukan ini lahir keindahan. Di sini saya ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian semua.”

Beben And Friends adalah Nick di saxophone, Ivan di keyboard, Ricky di bass, dan Nair di drum, malam itu membawakan 5 lagu. Lagu pertama berasal dari era 80-an: Just The Two of Us dari Grover Washington. Dilanjutkan dengan lagu pop Prancis yang di-Inggris-kan yang kemudian menjadi lagu kedua terpopuler abad XX setelah Yesterday-nya The Beatles: Autumn Leaves, dibawakan dalam blues. Lagu ketiga: Fly Me to The Moon dalam funk. Lalu: What A Wonderful World dalam swing dan irama bosas. Dipungkasi dengan: So Danco Samba-nya Antonio Carlos Jobim.

Setelah memainkan beberapa musik Jazz, Beben sampaikan, “Luar biasa apresiasi yang kami dapatkan di sini. Serunya, penonton sudah sangat mengerti kapan harus tepuk tangan. Setiap aliran musik punya cara tepuk tangan tersendiri. Kalau di rock anda bisa tepuk tangan di sepanjang lagu. Kalau musik klasik: belum boleh tepuk tangan kalau belum selesai. Di Jazz, seperti yang anda lakukan tadi, tepuk tangan tiap ada improvisasi.

“Jazz itu musik yang memerdekakan. Lalu kenapa mesti belajar? Supaya kita makin tahu apa yang kita mau. Ada orang yang inginnya musik seperti ini, tapi tidak bisa mewujudkannya karena kurang secara keilmuan. Di situlah pentingnya belajar; supaya apa yang dia inginkan sesuai dengan refleksikan. Orang yang bisa hidup menjadi dirinya sendiri, hidup sesuai yang dia pilih bukan hidup yang memilih dia. Kalau kita punya kesempatan seperti itu, berbahagialah. Kita di dalam komunitas jazz Kenduri Cinta ini diajak nge-jazz secara nggak langsung. Tanpa sadar kita makin punya kemerdekaan itu.”

Beben lalu mengundang siapapun yang berkeinginan belajar musik secara teknis untuk datang bergabung ke Komunitas Jazz Kemayoran atau ke Kandank Jurank Doank.

“Salah satu filosofi Jazz adalah bermain sambil mendengar. Bukannya tidak mau latihan, tapi kita selalu ingin ada misteri dalam permainan. Ada spontanitas. Bermain sambil mendengar, akhirnya dengan pertalian batin, kita bisa bermain kompak.” Beben mengomentari mukadimah acara yang ditulis oleh Cak Nun, “Luar biasa prolog yang dibuat oleh Cak Nun. Waktu terima email-nya, saya sangat terharu sampai menangis beberapa kali di depan istri saya. Saya terharu karena Cak Nun sangat nge-Jazz, bukan hanya sebagai aliran musik, tapi sebagai sikap hidup. Miles Davis dan John Coltrane-pun belum tentu bisa nulis se-jazzy Cak Nun. Dan senior-senior musisi Jazz juga belum ada yang bisa ngomong sedalam itu. Dalam rangka Jazz Tujuh Langit, selama seminggu saya dan istri ke Jogja untuk rekreasi sambil jam session dengan Kiai Kanjeng. Banyak musisi di Indonesia yang lupa pada hakikat atau falsafah musik. Saya di Jogja menemukan bahwa masih banyak musisi-musisi sejati di Jogja. Saya belajar banyak di sana.”

KC_J7L_02

Tak berapa lama personil Kiai Kanjeng naik bersamaan ke panggung menempati posisinya masing-masing. Terdengar tepuk tangan riuh rendah dari jamaah begitu Kiai Kanjeng membunyikan gamelannya. Zainul Arifin dan Novia Kolopaking sebagai “vokalis” Kiai Kanjeng mengawali acara dengan nomor lagu berjudul Kelahiran.

Novia berujar, “Tadinya saya bilang nggak bisa waktu diajak Cak Nun nge-Jazz, karena saya ini kan penyanyi pop, nggak bisa nyanyi Jazz yang meliuk-liuk. Di bayangan saya Jazz itu kan keren. Tapi Cak Nun menjelaskan apa yang dimaksud Jazz di sini, maka saya baru ngerti. Saking senengnya Kiai Kanjeng mau main Jazz, terus bikin baju baru. “Tak pesenke ning tonggoku,” kata Novia. Jamaah kemudian ikut tertawa mendengar Mbak Via. “Setelah mendengar penjelasan Cak Nun mengenai Jazz, lho kalau begitu ternyata setiap hari kami ini nge-Jazz. Nomor satunya keikhlasan, kadang nggak latihan untuk memunculkan spontanitas. Setiap pentas kita selalu nge-Jazz, karena nggak pernah tahu lagu apa yang mau dibawakan. Kadang sudah menyiapkan lagu ini tapi di panggung Cak Nun menyuruh kami membawakan lagu yang lain. Cak Nun itu Mr. Suddenly.”

Lagu kedua dari Kiai Kanjeng adalah Tembang Setan, lalu disusul dengan Semua Bernyanyi dan kemudian Gundul Pacul. Setelahnya, kolaborasi antara Kiai Kanjeng dan Inna Kamarie membawakan lagu: Menungso dengan beberapa adaptasi. Lalu: Someone Like You, dan lagu ketiga: Summer Time.

“Jazz adalah pekerjaan untuk selalu mencari peluang-peluang yang belum pernah ada, selalu melakukan ijtihad atau jihad hati dan pikiran, mencari kemungkinan-kemungkinan. Dan itu bisa terjadi bukan hanya pada musik.”

Emha Ainun Nadjib

KC_J7L_04

TIGA TINGKAT JAZZ

Jadi ada tiga tingkat Jazz yang akan saya jelaskan pada anda,” Cak Nun menyampaikan. “Jazz itu ada output-nya di bidang musik, ada output-nya di bidang kebudayaan yang lebih luas, dan ada output-nya di bidang kehidupan yang bukan hanya budaya tapi juga pada agama, politik, ekonomi. Jazz itu satu sikap hidup, satu cara memperlakukan hidup. Dia berpedoman pada sifat Tuhan. Sifat Tuhan yang pertama itu selalu menguak yang gaib. Kalau Allah itu ‘alimul ghoib, Mengetahui segala yang gaib. Kalau manusia mempelajari segala yang gaib.

“Jazz adalah pekerjaan untuk selalu mencari peluang-peluang yang belum pernah ada, selalu melakukan ijtihad atau jihad hati dan pikiran, mencari kemungkinan-kemungkinan. Dan itu bisa terjadi bukan hanya pada musik. Maka di dalam Islam ada jazzakumullah. Jadi Jazz ini orang yang sudah mendapat ijazah. Kalau di kalangan kyai, ijazah diberikan pada santri yang sudah dianggap pantas untuk mencapai suatu level dan dia dikasih kepercayaan untuk melakukan pekerjaan yang lebih tinggi atau lebih besar. Kemudian kata ijazah direbut oleh dunia sekolahan yang sangat kapitalistik, seolah-olah berasal dari mereka.

“Jazz itu sikap hidup, jadi tidak setiap orang punya kewajiban untuk seperti Beben yang mengaplikasikannya dalam aransemen dan composing nada dan irama. Orang boleh menerapkan watak Jazz itu di berbagai bidang. Anda kalau berdagang tidak jazzy ya gitu-gitu aja. Anda harus menguak kemungkinan-kemungkinan baru. Anda harus berijtihad. Anda harus kembali pada dasar, yaitu orang hidup itu cuma ada tiga: anda milih untuk ijtihad—inovatif dan kreatif; ittiba—mengikuti sesuatu yang dipahami; atau taqlid—anut grubyuk, pokoke melok.

“Jadi, Kiai Kanjeng ini bersikap Jazz, tapi mereka tidak punya peluang untuk bener-bener menciptakan output musikal karena waktu mereka digunakan untuk melayani masyarakat secara sosial, kebudayaan, dan agama. Maka Jazz-nya muncrat-muncrat pada berbagai hal. Output musik sedikit-sedikit ya bisa, tapi tidak bisa secara total menjadi musisi Jazz. Nek ndelok raine kan gak cocok blas, jan ra ono potongan. Maka di luar negeri mereka selalu diremehkan awalnya, tapi setelah selesai bermain orang-orang menciumi tangan mereka.

“Mereka kalau sudah sampai pada puncak jazzy-nya selalu merem. Waktu di Conservatorio—pusat musik klasik di Napoli—mereka mainnya sambil memejamkan mata. Tangannya sudah nggak tahu ke mana. Sukses waktu itu karena orang Itali nggak ngerti not gamelan.

“Tapi mereka ngejazz di wilayah kedua, yaitu di wilayah kebudayaan. Kiai Kanjeng membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada bedanya manusia di dunia ini. Kenapa kemudian Jazz hanya ada di Amerika? Kalau Blues di New Orleans, di Chicago? Kenapa Jazz hanya berbentuk seperti itu tadi? Kenapa tidak mungkin dia muncul di warung-warung, tidak muncul di perilaku-perilaku yang penuh terobosan? Kiai Kanjeng menyambung semua kemungkinan kebudayaan itu. Misal, lagu Israel, lagu Arab, lagu Jawa, diuleg jadi satu oleh Kiai Kanjeng. “Kenapa tiba-tiba kamu menjadi orang Arab, orang Yahudi, orang Jawa? Wong kamu berasal dari gen yang sama. Kita semua terkotak-kotak dan dan akan menyatu kembali dengan watak Jazz. Kalau tidak, manusia tidak akan pernah bersatu lagi.

“Bahkan tidak ada yang membayangkan bahwa puncak Jazz adalah tilawatil Quran. Sejazz-jazznya musik, dia masih memerlukan kunci awal, masih ada disiplin, meskipun dia cari peluang masuk di antara dua ketukan. Tapi qiroah tidak memerlukan kunci awal dan setiap titik bunyinya merupakan improvisasi. Qori adalah pelaku Jazz yang sebenarnya, kecuali yang kuliah akhir-akhir ini karena mereka kemudian dipaket-paket, ada qiroah sabah, ada model Mesir, model apa. Kalau Jazz ya sakmodel-modele,” ujar Cak Nun.


Cak Nun kembali memaparkan, “Level ketiga adalah nggak cuma di kebudayaan, tapi sampai ke agama dan segala macam. Anda jangan menyangka lagu Summer Time itu lagu Amerika. Ya memang dari Amerika, tapi apakah anda pernah mempelajari nasab-nya? Kaya kata jazz itu dari mana? Dalam bahasa Inggris tidak ada lho kebiasaan kata j-a-z-z. itu pasti agak arab-arab dikit. Dalam habitat bahasa Inggris kata jazz itu kan aneh.

“Lagu Summer Time misalnya, orang mendengarkannya kan tergantung pada khasanah sejarahnya. Kalau seperti saya—yang pernah hidup di Amerika dalam kesengsaraan—saya nggak bisa romantik dengan Summer Time. Dalam Jazz tidak ada lho yang namanya fals. Kalau anda ngomong ada suara fals, itu bukan fals tapi nada yang tidak pada tempatnya. Seharusnya bukan dia yang nongol, tapi kok dia. Misalnya do kurang dikit, lho kenapa dia di situ? Yang disebut fals sebenarnya adalah kekeliruan manajemen, karena seluruh benda, bunyi, dan apapun saja dalam kehidupan ini dijamin oleh Tuhan: tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang mubazir.

“Ini bukan pementasan, ini memberi contoh kepada anda bahwa anda bisa melakukan terobosan-terobosan. Saat ini Indonesia sedang buntu berat, kalau anda tidak punya daya terobosan dalam hidup anda, anda mau nunggu siapa? Anda yang harus melakukannya sendiri. Jadi sebenarnya Jazz ini dzikir, yang mengingatkan anda kalau anda bisa menembus,” jelas Cak Nun.

Cak Nun menambahkan, bahwa dalam pola-pola pembacaan Al-Quran maupun dialek etniknya, ada 7 macam. ‘Alimul ghoibi wa syahadah merupakan sifat Tuhan yang utama. Allah itu menguak kegaiban. Dia menyaksikan dan mengalami. Dia menyamar seolah belum tahu, padahal dia juga yang bikin, itu semata-mata untuk supaya kita belajar menjadi muta’alimul ghoibi wa syahadah.

“Pada ayat lain Tuhan bilang: Wahai jin dan manusia! Selalu jin dulu, baru manusia. Ini belum ada tafsirnya—mau Jalalain, Ibnu Katsir—kenapa jin dulu yang disebut? Karena manusia kalau meningkat dia akan menjadi jinius, maka dia menjadi bagian dari jin,” sontak jamaah tertawa terpingkal-pingkal.

“Jazz itu satu sikap hidup, satu cara memperlakukan hidup. Dia berpedoman pada sifat Tuhan. Sifat Tuhan yang pertama itu selalu menguak yang gaib. Kalau Allah itu ‘alimul ghoib, Mengetahui segala yang gaib. Kalau manusia mempelajari segala yang gaib.”

Emha Ainun Nadjib

KC_J7L_08

JAZZ DAN TAUHID

Syekh Nurshamad Kamba yang sedari tadi menyimak, lantas diberi waktu untuk menyampaikan pandangannya. “Saya nggak paham musik, tapi dari yang disuguhkan sejak awal jadi mengerti, oh ini yang namanya Jazz. Ini sebenarnya tanpa ceramah sudah paham. Jazz ini kalau bahasa agamanya: tauhid, tauhid yang sejati. Dalam beragama ada proses pendidikan. Kalau dalam antropologi agama, sosiologi agama, dan psikologi agama, ada perkembangan dari keberagamaan, dari awalnya melihat Tuhan itu banyak, sampai kemudian berkembang ke kesadaran bahwa Tuhan itu Maha Esa.

“Dalam proses penerapannya juga mengalami perkembangan. Kita masih terikat oleh lembaga-lembaga keagamaan. Kita masih merasa perlu melembagakan diri dalam institusi tertentu. Kita mengikat diri untuk beragama. Sepanjang kita mengurung diri dalam lembaga-lembaga, dalam pengkotak-kotakkan agama, kita tidak akan sampai pada seni dalam beragama atau seni tauhid. Tauhid itu keesaan Allah yang kita merupakan bagian di dalamnya.

“Tauhid yang sesungguhnya adalah dengan seni Jazz yang tersimpul dalam asmaul husna. Dalam asmaul husna, Tuhan itu Maha Kaya tapi juga Maha Miskin. Kalau orang sampai pada taraf tauhid sejati, dia memberi atas nama Tuhan, dan menerima juga atas nama Tuhan. Tuhan menjelma menjadi manusia dalam tataran yang berbeda. Maka dikatakan bahwa Tuhan itu lathiful kabir, lebih halus daripada yang paling halus.

“Dalam kitab suci, Tuhan seolah-oleh menampakkan Diri-Nya sebagai Maha narsis. Itu maksudnya supaya Tuhan bisa menjadi sosok idola bagi setiap makhluk-Nya. Kalau sudah menjadi idola, seorang idola kalau meminta kepada yang diidolakannya, sudah bukan merupakan beban, melainkan terdengar sebagai perintah yang dengan senang hati ditunaikan.

“Setiap agama yang datang ke Indonesia itu kan menciptakan peradaban. Karena pemahaman agama yang seperti itu yang menciptakan dorongan untuk berinteraksi secara individual maupun sosial, maka pendidikan agama harus berkembang supaya orang-orang beragama menjadi efektif, aktif dalam interaksi sosial untuk bisa membangun peradaban. Saya rasa itu penting bagi kita untuk menyikapi keterikatan kita pada institusi-institusi agama.

“Orang yang sampai pada taraf seni tauhid tidak perlu terikat dengan batasan-batasan tertentu untuk melangkah pada kebaikan. Dia punya logikanya sendiri, seperti orang yang ahli bela diri yang sudah tidak lagi memikirkan teori-teori untuk bergerak. Mereka sudah melampaui teori, mereka sudah sampai pada taraf kreatif.”


Cak Nun menyambung, “Tujuh langit itu bukan anda di langit pertama terus mau ke langit kedua. Bukan bumi berada di langit ke berapa, yang dimaksud bukanlah lapisan-lapisan jasad. Bukan di bumi dan langit, melainkan didalam. Langit yang didalamnya ada bumi itu ada di dalam kita, dan manusia ada di dalam Tuhan. Anda bisa mencapai langit ketujuh sekarang juga, tergantung apakah anda telah suwung atau tidak.

“Kalau di dalam dirimu masih ada yang membebanimu, kalau di dalam dirimu masih ada dirimu, masih ada yang seharusnya tidak membebanimu, maka kamu tak akan bisa terbang. Di dalam dirimu jangan ada dirimu. Kebanyakan orang, di dalam dirinya hanya ada dirinya, hanya ada ego dan eksistensinya. Kalau dirimu suwung, berarti yang ada di dalam dirimu hanyalah iradah Allah.”

“Jazz adalah sikap dan perilaku merdeka terhadap kehidupan. Kemerdekaan yang bisa membuat anda menembus-nembus, menemukan wilayah-wilayah yang sebelumnya belum ditemukan.”

Emha Ainun Nadjib

KC_J7L_03

UNIVERSALITAS JAZZ

Selanjutnya Sujiwo Tedjo, ia mengatakan bahwa dia menikmati musik kothekan. Kemudian dia bertanya kepada Cak Nun mengapa masyarakat kita belakangan ini menghadapi kematian dalam nuansa kesedihan, hitam-hitam, dengan cara Barat semua? Di mana sikap hidup ono tangis layu-layu, tangise wong wedi mati, gedhongono kuncenono, wong mati mongso wurungo?

Novia tak lama menjawab, “Anak saya yang paling kecil, Rampak, suatu hari menari-nari kayak Tedjo tadi sambil teriak-teriak: Ibu mati, yes, hore! Ibu mati, yes! Karena tante saya tidak terbiasa dengan yang begitu, dia panik, dipikirnya saya mau mati beneran. Lalu dipanggillah Rampak, ditanya kenapa teriak-teriak begitu? Dia jawabnya: Lho kenapa memangnya? Nggak seneng po mati? Yo seneng to mati, nggak seneng po ketemu Allah? Maksud dia, orang mati itu ketemu Allah, maka bersenang-senanglah. Menurut dia ketemu Allah itu menggembirakan, maka dia lari-lari keliling seperti itu.”

KC_J7L_07

Cak Nun merespon Sujiwo Tedjo, “Pembelajaran menyangkut ilmu Tuhan, meneliti sendiri seperti apapun, wacana utamanya tetap informasi Tuhan.” Cak Nun melanjutkan bahwa kalimat tayibahastaghfirullah, alhamdulilah, Allahu akbar, masya Allahsebenarnya tidak ada hubungannya dengan susah atau senang. Karena tidak ada apapun yang tidak menyenangkan. Tahun 1973 Cak Nun menulis di majalah Basis berjudul Ia Mati, Alhamdulillah. Sekarang ini kebudayaan dan psikologi sosial manusia sudah mendegradasikan kalimat-kalimat Tuhan itu untuk fakultas-fakultas budaya. Kalau manusia mendapat duit, disebutnya: alhamdulillah. Jadi alhamdulillah direndahkan. Padahal tidak ada yang tidak alhamdulillah, tidak ada yang tidak Allahu Akbar, tidak ada yang tidak masya Allah, tidak ada yang tidak subhanallah.

“Bahkan ulama-ulama tidak memandu masyarakat untuk konvensinya dulu. Apa bedanya Masya Allah dengan subhanallah? Konvensinya dulu? Kalau misalnya ada pohon tumbang, itu apa yang harus diucapkan? Karena kalimat tayibah sudah sedemikian terdegradasi dalam masyarakat kita, kalau suatu ketika ada rumah kebakaran lalu kita bilang alhamdulilah, ya dikepruki wong. Itu yang salah bukan alhamdulillah-nya, tapi degradasi yang  dilakukan oleh cara berpikir manusia terhadap kata-kata itu. Padahal tidak ada yang tidak memenuhi syarat untuk dikasih ucapan kalimat tayyibah,” tutur Cak Nun.

Sebagai manusia, kita harus berangkat dari fakultas-fakultas ini menuju universitas. Namun sekarang, tidak ada universitas dalam pengertian tersebut. Yang ada hanya kumpulan fakultas-fakultas. Yang ada hanya sarjana fakultas. Yang ada adalah paguyuban fakultas-fakultas.

“Yang ditanyakan Tedjo adalah secara kebudayaan Rakyat kita sudah sampai universitas, tiba-tiba kita menjadi orang modern balik menjadi fakultas lagi. Kalau gini alhamdulillah kalau gini subhanallah. Misal dulu ketika ada golnya David Villa, penyiar pertandingannya orang Arab, ada kejadian di mana kipernya maju hampir ke depan gawang lawan, oleh David Villa direbut bolanya, maju dikit, dilambungkan menuju gawang kiper yang sudah lari tadi. Ini kiper sipat kuping mlayu mbalik sampai gawangnya, dan betul pada langkah terakhir dia bisa menepis bolanya. Penyiarnya teriak-teriak Masya Allah! Allahu akbar! Masya Allah Allahu Akbar!

“Kenapa Masya Allah? Karena sesungguhnya hal itu tidak mampu dilakukan manusia. Karena Allah menghendaki, maka jadi mampu. Jadi Masya Allah diucapkan atas sesuatu yang seharusnya tidak terjadi tapi bisa terjadi. Tapi kalau sesuatu yang memang mesti terjadi dan benar-benar terjadi, lalu kamu terharu atas itu, maka subhanallah. Itu ada posisinya sendiri-sendiri, tapi daripada susah-susah, sebut apa saja, itu semua benar.

“Yang dimaksud Tedjo, masyarakat kita dulu sudah universitas, tidak primordial, sudah bukan firqah-firqah, sudah bukan syu’ub wa qobail. Anda mempersatukan diri dengan siapapun saja, maka menjadi manusia. Nanti manusia diganggu lagi oleh gender, misalnya. Pokoknya kalau perwakilan wanita harus 30% segala macem. Kalau memang niat, ya wanita diberi kesempatan yang sama, bukan minta jatah sekian persen. Maka saya tak pernah ikut ideologi gender, karena saya tidak pernah urusan wanita kecuali dengan istri saya. Selebihnya kan manusia.

“Di atasnya ada Abdullah, memposisikan diri terhadap Allah. Anda bersama dengan Allah. Lalu di atasnya kita menjadi khalifatullah. Anda ditugasi Allah, anda karyawannya Allah, sudah digaji, bayar pajak dikit kepada Allah karena sudah digaji luar biasa banyak.

“Kemarin ibunya Mas Nevi meninggal dunia. Waktu memberi sambutan saya guyon dan orang-orang tertawa: Lho gimana sih, wong beliau suci, murni, perintis, jujur, masa beliau gak masuk surga? Orang-orang bertanya: kok bisa yakin? – Lho mosok aku terus dikongkon ngomong iki mlebu neroko, ngono? Atau: ya mungkin dia masuk neraka ya gitu? Memang nggak ada yang bisa kita pastikan. Saya husnudzon dan saya tidak menemukan faktor-faktor pada ibunya Mas Nevi yang kira-kira bisa membuatnya masuk neraka. Aku husnuzon, dan punya keyakinan tentang yang dimaksud surga itu kaya gimana, neraka itu kaya gimana. Siapa yang harus masuk, siapa yang tidak. Wong saiki ki gak nduwe keyakinan tentang kebaikan.”

“Di ayat-ayat (dalam Al-Quran) selalu disebut bahwa yang terdengar didahulukan daripada yang terlihat. Lebih penting yang didengar daripada yang dilihat. Sami’un dulu baru bashirun.”

Emha Ainun Nadjib

TUJUH DIATAS TUJUH

Beben ikut membagi pengamatannya pada musik Jazz, “Kenapa 7? Karena 1 oktaf terdiri dari 7 note. Kebetulan Allah memberikan tanda-tanda. Kalau di musik, scale itu menunjukkan abjad, interval atau jarak antar not itu menujukkan suku kata, dan chord—tiga nada yang dibunyikan sekaligus—itu merupakan kata. Lagu secara keseluruhan merupakan satu karangan. Ada sebuah buku berjudul Jazz for Rock Guitarist, isinya pendalaman tentang chord, karena memang ciri khas Jazz salah satunya adalah penggunaan chord yang banyak, tapi bukan untuk pamer. Ada hal-hal yang kadang-kadang bisa dimasukkan, tapi karena kurang pengetahuan maka dia tidak dimasukkan. Dan kita bayangkan, orang yang memiliih perbendaharaan kata yang sedikit, akan terbatas untuk menyampaikan pikirannya.”

Beben melanjutkan, “Bumi dan planet lainnya diukur menurut jarak tertentu yang kalau diubah sedikit saja akan menyebabkan kekacauan. Ini tanda-tanda dari Allah. Phytagoras, ahli matematika, kosmolog sekaligus pemusik, menemukan hal ini secara lengkap. Bahwa jarak dari satu planet ke planet lain merupakan interval. Ketika belajar filsafat dan mentok, Phytagoras pergi ke Mesir. Di sana dia menemukan 4 nada suci. Waktu itu ada alat musik namanya lyra, menggambarkan 4 unsur alam semesta. Karena penasaran, dibawalah alat musik itu ke Yunani. Phytagoras mencoba menambahkan 4 nada lagi, tapi ternyata kacau. Dengan ilmu kosmologi kuno, dia mengetahui bahwa ada 7 planet dalam tata surya selain bumi. Dia hitung menggunakan monochord, sampai mendapatkan apa yang kini kita kenal dengan 1, 1 ½, dan seterusnya. Disitu, Phytagoras membagi 1 oktaf menjadi 8. Ada 7 not. 8 itu dari do ke do lagi.”

Melanjutkan penjelasannya tentang sejarah musik dan ilmu eksakta lainnya, Beben kembali menyampaikan apa yang ia telah pelajari, “Phytagoras menemukan bumi berputar pada porosnya mengeluarkan bunyi, tapi pada waktu itu belum diketahui jelas. Planet bumi berputar, sebagaimana saturnus, uranus, berputar mengeluarkan bunyi. Tahun 1619, Keppler menemukan bahwa bumi berputar dengan mengeluarkan bunyi mi, fa, mi. Penemuannya ini lebih detil dari apa yang ditemukan pendahulunya. Menurut kepercayaannya, suatu ketika bumi dan benda-benda langit pernah mengalami harmoni sempurna, bunyinya: do re mi fa so la si do, yaitu ketika terjadi Big Bang, penciptaan alam semesta.”

Buku Harmoni Alam Semesta dibukukan tahun 1619. Beben juga ceritakan bahwa buku itu diterbitkan bersamaan dengan pertama kali orang kulit hitam Afrika—kebanyakan datang dari desa Swahili—didatangkan sebagai budak di Amerika. Kalau orang hitam tak pernah datang ke Amerika, musik akan “lurus-lurus” saja.

“Lalu ada 7 warna—modes—dalam major scale. Ada 7 warna dalam harmonic minor, ada 7 warna dalam melodic minor. Kalau seni rupa menggambarkan dengan warna: sedih, sedih banget. Kalau baru belajar musik akan diberi gambaran, ini biru. Di musik pun ada biru muda, biru tua.”

Seven modes in major scale yang dimaksud Beben adalah: ionian, dorian, phrygian, lydian, mixolydian, aeolian, locrian.

“Dari 7 ini dibagi lagi menjadi 7 lagi, ada 7 tingkat. Ini gunanya untuk apa? Kalau Beethoven mengatakan bahwa belajar musik itu untuk menghancurkannya, orang Jazz bilang belajar musik untuk bermain-main. Panjang ceritanya, tapi yang pasti Phytagoras-lah yang membagi 1 oktaf menjadi 7. Bukan tidak mungkin dia, dan juga penemu-penemu lain melihat informasi itu di dalam Al-Quran.”

“Yang paling tinggi dalam kehidupan adalah kebaikan yang memproduksi kegembiraan bersama. Tidak ada gunanya kebaikan dan kebenaran kalau hasilnya bukan kegembiraan bersama. Tidak boleh kegembiraan sendiri, tapi bersama.”

Emha Ainun Nadjib

JAZZ KIAI KANJENG

Cak Nun: “Di ayat-ayat selalu disebut bahwa yang terdengar didahulukan daripada yang terlihat. Lebih penting yang didengar daripada yang dilihat. Sami’un dulu baru bashirun. Ini juga tanda yang luar biasa. Kalau para teknolog, manajer sosial, pemimpin-pemimpin negara, punya apresiasi musik seperti John F. Kennedy misalnya, termasuk sastra dan sebagainya, mereka akan mendapat penemuan-penemuan manajemen yang juga luar biasa.

“Yang kita nikmati sekarang, hingga perkembangan di dunia IT kan para jazzer yang berjasa. Mereka orang yang melakukan pekerjaan Jazz di berbagai bidang. Pekerjaan Jazz adalah pekerjaan luar biasa, dan pemusik Jazz ini adalah pemberi ingatan kepada seluruh laku kebudayaan, teknologi, dan kenegaraan. Kalau tidak ada Jazz, kita tidak ingat bahwa kita kreatif. Jadi saya ingin mengangkat Beben menjadi anggota majelis ulama. Kenapa majelis ulama? Majelis ulama itu sekarang hanya diisi oleh ahli fikih, padahal kehidupan itu begitu luasnya, harus ada ahli pertanian, ahli musik, ahil teknologi, ahli IT. Harusnya majelis ulama berisi semua alimyang banyak disebut ulama. Karena ulama maka dibutuhkan dari berbagai bidang yang mengurusi kekhalifahan manusia, karena Allah menyuruh kita menjadi khalifah. Sekarang yang terjadi adalah sekularisme, di mana yang disebut agama adalah ibadah mahdoh saja. Sementara pasar tidak dihubungkan dengan agama. Musik disebut anti agama, Kiai Kanjeng disebut musik gombal, bidah dan selanjutnya. Kita terima kasih kepada Beben, saya kira tidak kebetulan anda di Kenduri Cinta. Sekarang anda sudah Kyai-nya Kenduri Cinta, bukan musisi Jazz Kenduri Cinta. Yang namanya kyai itu kalau di Jawa Tengah namanya hajar/ajar.

“Bahwa Jazz yang dilakukan oleh Beben adalah Jazz di wilayah pengolahan musik dan kesenian. Sementara yang dilakukan Kiai Kanjeng adalah di wilayah kebudayaan. Yang dilakukan Kiai Kanjeng bukan eksplorasi nada dan musikal tapi eksplorasi kebudayaan, bagaimana orang dari berbagai wilayah di dunia ini bisa berjumpa, menjadi satu aransemen, satu komposisi, melalui inovasi-inovasinya Nevi Budiyanto. Mungkin beberapa temen belum tahu bahwa gamelan Kiai Kanjeng ini bukan gamelan Jawa. Ini gamelan Nevi Budiyanto, seorang guru seni rupa di sebuah sekolah menengah pertama.

“Ini upaya jazzing kultural, bukan jazzing musikal, sehingga bisa di mana-mana. Bisa di Italia, Mesir, Skotlandia, dan lain-lain. Ini pragmatis saja sebetulnya, tidak terlalu inovatif. Tapi Nevi mencari peluang-peluang di antara 7-7 tadi. Gimana itu, Nev, asal-usulnya kamu susun struktur nada ini?” tanya Cak Nun kepada Nevi Budiyanto.

“Ini struktur nadanya bukan pelog slendro tapi solmisasi,” terang Nevi Budiyanto, “Berawal dari nada dasar Do = G. Kemudian oleh temen-temen diadakan inovasi untuk tidak hanya bisa digunakan untuk Do = G, tapi bisa pula menggunakan Do = C. Ada semacam wilayah-wilayah seperti ini yang bisa dipasangkan.”

“Untuk apa?” tanya Cak Nun lagi.

“Supaya jangkauan nada yang ada di gamelan ini bisa dipakai untuk lebih kaya lagi,” jawab Nevi.

“Jadi upayanya kebudayaan, bukan musikal meskipun alatnya musik. Jadi misalnya Beethoven Symphoni 9. Ini bagaimana untuk bisa Arab segala macam? Untuk Jawa juga bisa?”

“Untuk Jawa bisa. Pelog bisa, slendro bisa. Sebenarnya ini upaya sederhana saja. Artinya bukan berawal dari bahwa saya ini ahli musik, terus ijtihad yang muluk-muluk. Wong saya ini bukan orang musik, mung senang dengan seni musik,” ujar Nevi.

Cak Nun menambahkan, “Jadi Nevi ini kan yang menang di mana-mana di luar negeri kan terkenal gamelannya. Kalau Umi Kultsum dimainkan dengan gamelan kan pingsan orang Mesir. Dan pemimpin orkestra Mesir, Yasser Muawwad, mencoba nuthuk ini tapi nggak bisa. Orang ber-dzikir dalam suatu thariqah bahwa hidup itu penuh kemungkinan, kamu harus mengeksplorasi.

“Beben mengatakan bahwa kalau tidak ada budak-budak dari Swahili, musik Amerika ya country doang. Begitu orang Afrika datang, musik dunia seperti sekarang. Nevi mungkin tidak punya jangkauan seperti itu, tapi ia bisa menyapa orang Italia, Belanda, Mesir, dan lain-lain. Dan Nevi memang tidak pernah merasa berinovasi karena Nevi itu saya kira orang yang sangat rendah hati sampai dia nanti untuk masuk surga pun agak nggak enak lah. Dia kalau mau di wawancara wartawan, lari masuk ke kamar mandi.

“Saya kalau bisa alat musik ya bakal sering ketemu Beben. Kalau saya bisa main gitar, saya pasti pilih Jazz. Tapi sudah latihan, tetep nggak bisa. Memang Allah tidak mengijinkan saya untuk main gitar.  Yang paling tinggi dalam kehidupan adalah kebaikan yang memproduksi kegembiraan bersama. Tidak ada gunanya kebaikan dan kebenaran kalau hasilnya bukan kegembiraan bersama. Tidak boleh kegembiraan sendiri, tapi bersama. Itulah gunanya Jazz.”

“Pekerjaan Jazz adalah pekerjaan luar biasa, dan pemusik Jazz adalah pemberi ingatan kepada seluruh laku kebudayaan, teknologi, dan kenegaraan. Kalau tidak ada Jazz, kita tidak ingat bahwa kita kreatif.”

Emha Ainun Nadjib

KC_J7L_06

KEMERDEKAAN UNTUK MENEMUKAN BATASAN

Sebelum memainkan lagu terakhir, Beben menyatakan, “Benar bahwa Cak Nun ini maestro. Banyak di dunia ini yang kita pikir ngerti musik, tapi nggak bisa baca not juga. Contohnya Yanni dan Pavarotti.”

Cak Nun kembali menyampaikan, “Jazz adalah sikap dan perilaku merdeka terhadap kehidupan. Kemerdekaan yang bisa membuat anda menembus-nembus, menemukan wilayah-wilayah yang sebelumnya belum ditemukan. Dari wilayah estetika sampai teknologi sampai spiritualitas. Pertanyaan saya, kemerdekaan itu jalan atau tujuan? Anda menempuh kemerdekaan itu untuk menemukan batasan anda. Anda akan berteduh, ilaihi rojiun, ilaina turjaun. Jadi bukan kemerdekaan sebagai ideologi, melainkan sebagai metodologi. Ideologinya adalah menemukan batasan-batasan anda, sebab begitu melewati batas, anda akan fals. Kurang batasnya, fals juga.

“Ini semua yang anda alami, dari jam 9 malam sampai jam 3 pagi ini, menjauhkan anda dari Tuhan atau mendekatkan anda kepada Tuhan? Sebenarnya kunci hidup itu cuma satu, mau main musik, mau dagang, mau jadi Presiden, itu produknya menjauhkan dari Tuhan atau mendekatkan anda kepada Tuhan? Kalau mendekatkan, bagus, beres. Parameternya cuma itu thok. Untuk itu, kita sekarang sudah sampai pada batas. Kita tidak pulang dengan kemerdekaan-kemerdekaan. Kita pulang dengan permenungan-permenungan tentang keterbatasan masing-masing. Kita sudah eksplorasi segala sesuatu, tapi masing-masing punya batasan. Kalau cocoknya jadi kepala gudang ya nggak usah jadi direktur.

“Perjalanan kita ini cembung ya, kita awali sampai memuncak ke kemerdekaan, kemudian menurun lagi ke sublimasi. Saya menipu anda dengan judul ini ya—insyaAllah dalam arti baik. Saya mengatakan Jazz 7 Langit, bukan Musik Jazz 7 Langit. Artinya, kita memperluas diri, bukan hanya di bidang musik tapi juga pemahaman-pemahaman dan pengembaraan-pengembaraan pemikiran, praktis di wilayah yang lebih luas.

“Mas Beben dan teman-teman Jazz se-Indonesia susah mengadakan acara Festival Jazz yang melebar-lebar seperti ini. Tapi perlu anda ketahui bahwa kamu semua yang tidak disebut sebagai orang Jazz ini sesungguhnya bukan sekadar pecinta Jazz, tapi juga pelaku-pelaku Jazz di wilayah yang mungkin berbeda. Produknya juga berbeda dengan anda, tapi kami melakukan watak yang sama, karakter yang sama, yaitu ijtihad.

“Tentang angka 7, Tuhan dramatis saja seolah-olah 7 penting. Padahal 9 ya penting, 11 ya penting, 17 ya penting. Semua penting. Misal kalau bapak kita meninggal, kita mengadakan 7 harian. Saya ditanya apakah boleh atau tidak mengadakan 7 harian. Saya jawab, jangankan 7 harian, tiap hari juga boleh tahlilan, asal jangan kemudian diniati sebagai ibadah mahdoh.


“Sekarang saya tanya kepada Zainul, dalam eksporasi dunia qiroah itu kenapa ada 7?” tanya Cak Nun kepada Zainul, personil Kiai Kanjeng yang sering membawakan qiroah.

“Di dalam dunia tilawatil Quran ada 7 nama lagu. Ada bayati, hijaz, shoba, ros, jiharkah, syika, dan nahawan,” jawab Zainul. Lantas Zainul memberikan contoh untuk masing-masing nama lagu tersebut, sampai ke bagaimana pembacaannya.

“Anda tidak bisa menyatu dengan Allah tanpa terlebih dahulu menyatu dengan makhluk-makhluk Allah. Jazz di benua tertentu, qiroah di benua lain, malam ini dipertemukan oleh Allah, disaksikan oleh Sunan Drajat. Sunan Kalijaga keliling-keliling,” terang Cak Nun.

“Kemerdekaan bukan sebagai ideologi, melainkan sebagai metodologi. Ideologinya adalah menemukan batasan-batasan.”

Emha Ainun Nadjib

KC_J7L_05

EPILOG

Selepas qiroah, Inna Kamarrie ungkapkan kesannya, “Aku tadi dengar di belakang, dan nemuin ada yang staccato. Tadi aku coba main-mainin nadanya Mas Zainul di heart beat, itu bisa jadi funk. Berarti mas bernyanyi dengan kata-kata Allah, saya bernyanyi Jazz, tapi ilmunya sama. Saya shock. Tiba-tiba kalau diritmekan, ada yang 3/4, ada yang 4/4, ada yang nggak tahu berapa per berapa. Ketika saya nyanyi saya bisa menjaga ritmik karena ada musik sehingga saya tidak kegok. Kalau musik nggak ada saya disuruh improve sendiri saya bingung. Mas Zainul lancar banget, tidak meleset sedikitpun. Berarti sepertinya saya harus belajar qiroah. Guru Beben bilang ke saya, kamu bukan belajar ilmu musik, sejarah musik. Hari ini juga terbukti. Anda semua beruntung sekali kalau anda ngerti.”

Allah mengubah hidup anda karena anda sudah mengubah hidup anda juga. Anda sudah mengubah, mematangkan cara berpikir dan cara bersikap anda. Anda akan menjadi utusan-utusan Allah yang diberi fasilitas oleh Allah selengkap-lengkapnya. Jaminan kepada keluarga anda, jaminan kepada masa depan anda, anak-cucu anda, karena anda sudah mengubah diri anda melalui Kenduri Cinta. Mari menyerahkan seluruh dunia yang kita urus kepada Allah, semoga Allah menilainya dengan kebaikan dan membalasnya dengan kemuliaan, dan barokah bagi anda semua.” demikian uraian Cak Nun menutup acara malam itu.

Kiai Kanjeng memuncaki dengan ‘Alimul Ghoibi, dilanjutkan dengan doa bersama yang dipimpin oleh Syekh Nurshamad Kamba. [FA]

Comments

Comments are closed.