INDONESIA, PULANGLAH!

reportase kenduri cinta oktober 2012

Frasa “Indonesia, Pulanglah” seperti menunjukkan bahwa si Indonesia sedang berada “di sana” sehingga menimbulkan efek kehilangan bagi para pengamat, yaitu kita yang berdiri “di sini”. Lantas muncul pertanyaan, Indonesia yang bagaimanakah yang Kenduri Cinta rasakan kehilangan? Sebab jika Indonesia-nya masih hilang, pekerjaan “menegakkan cinta menuju Indonesia mulia” belum tuntas. Tema inilah yang menjadi landasan dalam beberapa jam diskusi ke depan—namun judul bukan sebagai pagar beton yang mengungkung kita dari pembelajaran tentang apa saja, dan membatasi dari sudut yang mana saja.

Sebuah puisi bertajuk Semesta Aksara dibawakan oleh Suwo, disusul dengan satu respon dari jamaah. Bagus Armin melontarkan pertanyaan mengenai siapa yang mampu menjamin Indonesia pulang kemudian menjadi segagah kakak-kakaknya dahulu: Majapahit, Siliwangi, dan sebagainya? Tentu saja tak akan cukup waktu untuk menyampaikan bahwa Indonesia merupakan kelompok yang sejak ratusan ribu tahun lalu telah mengalami sekian banyak pertemuan, pertemanan, dan persilangan dengan berbagai ras di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi, lewat hidup yang sehari-hari pun, di tengah serba ketidakmenentuan dalam berbagai bidang dan level, kita saksikan sendiri seberapa besar ketangguhan bangsa kita.

Pembicara malam itu adalah; Kevin (Ketua Pemuda Buddha Indonesia), Samuel (Ketua Pemuda Gereja Kristen Protestan), Fajri dan Haji Uncu Natsir dari grup diskusi Kosgoro.

“Ini forum yang jujur saya nggak ada persiapan. Saya sehari-hari biasa menjadi pembicara publik di radio, seminar, dan semacamnya. Terkait ke-Indonesia-an, saya akan memandang dari persepsi saya yang bisa saja sangat dangkal,” Kevin membuka penjelasannya, “Kalau bicara angka statistik, pendapatan perkapita kita melebihi USD 3.300. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah naik kelas, bukan lagi menyandang status sebagai bangsa tertinggal. Banyak apresiasi yang datang dari luar. Indonesia sangat ajaib, dan saya percaya sebenarnya yang menjadi kekhawatiran kita saat ini bukan hanya dari pergeseran fisik melainkan lebih ke mentalitas, pola pikir, dan daya hidup. Beberapa kelas masyarakat sudah kehilangan jati diri. Seolah kita tidak punya akar budaya, padahal jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka, toleransi sudah bukan merupakan hal asing. Makin lama kita semakin jauh dari jiwa asli kita.

“Saya ingat pernah ikut dalam forum yang diselenggarakan oleh pendiri ESQ Bapak Ari Ginanjar. Beliau mengutip salah satu rumus matematika sederhana yang menggambarkan bagaimana kita bisa mencapai yang kita inginkan, yakni: 1 dibagi 0 menghasilkan tak terbatas. Angka 1 simbol dari Tuhan; dan angka 0 adalah kita. Kegemerlapan kadang menjadikan kita tidak lagi berada di titik 0, sehingga lupa bagaimana caranya tawakal, bagaimana caranya bersyukur.”

Kevin juga mengutip salah satu ajaran Buddha yang terkemas dalam cerita. Suatu hari Sang Buddha ditanya oleh salah satu siswanya, “Wahai Buddha, aku ingin kebahagiaan. Di mana aku bisa mendapatkannya?” Sang Buddha kemudian menjawab, “Kalau kau menginginkan kebahagiaan, caranya: hilangkan kata aku kemudian hilangkan juga kata ingin.” Menghilangkan kata aku adalah cerminan dari langkah menghilangkan egoisme, menyingkirkan ke-aku-an. Kedua, menghilangkan keinginannya, menghilangkan hasrat yang berlebihan sampai kita terlalu disibukkan olehnya. Lupakan aku dan keinginan, maka yang tersisa hanya kebahagiaan.

“Jangan menambah ilmu kalau tak punya cukup ilmu untuk melaksanakannya. Nanti anda akan ditagih oleh ilmu itu.”

Emha Ainun Nadjib

Mengenai tema, salah satu jamaah, Samuel, berpendapat bahwa judul kali ini menjebak dan hiperbolis, seakan kita sudah jauh pergi. Samuel lalu berbagi pengalamannya, “Indonesia awalnya ya kaya gini ini, kumpul-kumpul akur; lalu Belanda datang dan bego-begoin kita. Lalu orang-orang Indonesia pada masa itu berkumpul di perpustakaan, membicarakan dan mencari jalan keluar dari kegelisahan-kegelisahan itu. Orang-orang terpelajar sadar bahwa mereka dibikin perang mulut; persoalan yang tak jauh beda dari yang terjadi pada hari ini. Sekarang agama-agama dijadikan alat provokasi. Ada agenda-agenda untuk membikin mereka terus-menerus berantem sampai terlampau sibuk untuk bisa membangun.

“Menurut gue, judul yang lebih cocok adalah Pulangin Indonesia. Ada buku yang gue baca pas kelas 4 SD, bercerita tentang perjalanan seekor panda. Si panda suatu hari bosan dengan daun bambu, dia mengembara menemui semua teman-temannya di hutan. Dia coba makan daging seperti singa, dan juga makanan-makanan binatang lain. Perutnya tak cocok, tapi dia teruskan perjalanan sampai dia pada suatu hari bertemu seekor kelinci yang memberinya daun-daun. Dan ternyata sangat lezat! Si panda bertanya: daun apakah itu. Daun bambu, jawab si kelinci. Begitu pula yang terjadi pada Indonesia. Ideologi-ideologi diimpor dari berbagai negara, yang nyatanya tak mampu membawa perbaikan pada Indonesia. Perut kita nggak cocok, Bung!”

Fajri melemparkan pertanyaan terkait judul. Siapakah Indonesia? Kalaupun mau pulang, pulang ke mana dia? Bagaimana mengidentifikasi mana yang Indonesia dan mana yang bukan? Sekat-sekat membikin kita hanya tahu kita ini orang Jawa, Batak, Betawi, atau yang lain. Kalau memang kita belum Indonesia, bagaimana bisa kita pulang? Kita bukan sedang mendambakan kemerdekaan, melainkan mengejar kebebasan; padahal merdeka belum tentu berarti bebas—begitu pula sebaliknya.

Setelah sajian lagu dan juga puisi dari Ari, Ramdansyah Bakir dari Panwaslu ikut mengambil bagian diskusi, “Apakah kemenangan pilkada DKI kemarin merupakan kemenangan visi-misi-program ataukah kemenangan personal branding belaka? Tinggal kita lihat apakah Jokowi-Ahok mampu melawan monster-monster legislatif. Untuk menjadi pemimpin, aspek yang diperhitungkan bukanlah aspek agama, personal branding, atau popularitas; melainkan kualitas. Pasangan Jokowi-Ahok akan teruji ke depannya, mereka menitikberatkan yang mana.”

“Tuhan tidak tersakiti oleh pengingkaran anda, tapi Dia sangat tersakiti jika anda berpura-pura menyembah-Nya.”

Emha Ainun Nadjib

269558_4787855624148_381479196_n

Empat jamaah dipersilakan memberi tanggapannya. Pertama, Eko, berpendapat bahwa pancasila lebih hebat daripada perjanjian hudaibiyyah karena alih-alih merupakan kebebasan beragama, Pancasila merupakan titik temu dari semua keyakinan yang ada di Indonesia yang darinya muncul kerjasama-kerjasama.

Mat Sarkowi yang mendasarkan opininya dari wacana sejarah, menyatakan bahwa Indonesia sudah pergi. Penjajahan terjadi terus-menerus melalui berbagai media, salah satunya adalah melalui buku. Misalnya di buku SMA, para siswa diarahkan untuk mengenali suku Bugis sebagai bajak laut.

Muhammad Nugroho Ari Natsir dari sisi utara mengungkapkan harapannya agar acara Kenduri Cinta bisa masuk ke SMA-SMA untuk membuka pemahaman para pemuda, pemegang masa depan.

Yang keempat datang dari Andri, “Dari tadi saya menanti angle-nya apa. Di mana kontinuitas bahasan kali ini dengan yang sudah kita lakukan di bulan lalu? Peradaban Akuwarium membawa kita berkenalan dengan peradaban hipokrit (munafik). Nah, judul sekarang mau kita maknai dengan metode DM (diterangkan-menerangkan) atau sebaliknya, MD (menerangkan-diterangkan)?”

“Kenduri Cinta ini adalah salah satu laboratorium bahwa Indonesia tetap Indonesia dan kita akan terus menjadi Indonesia.”

Emha Ainun Nadjib

MANUSIA HIBRIDA

Pada sesi berikutnya, memasuki acara, ada Cak Nun, Habib Hasan, Pramono, dan Mohammad Sobary; sementara Ustaz Haidar memilih tetap duduk di barisan jamaah.

Cak Nun mengawali, “Dengan atau tanpa Assalamu’alaikum, adanya Kenduri Cinta sudah merupakan aplikasi prinsip ucapan salam itu. Dia merupakan tawaran kepada pihak lain, terutama kepada yang bukan muslim, untuk menciptakan kebersamaan sosial dengan misi untuk saling menyelamatkan. Salam adalah janji. Setelah janjinya oke, baru bisa kita bikin peraturan-peraturan yang berguna untuk mentransformasikan rahmat menjadi barokah (warohmatullahi wabarakatuh), bukannya menjadi laknat (warohmatullahi walaknatullah). Nabi Muhammad memegang prinsip Trimurti penjagaan harta bersama, martabat satu sama lain, dan nyawa masing-masing.

“Tuhan tidak tersakiti oleh pengingkaran anda, tapi Dia sangat tersakiti jika anda berpura-pura menyembah-Nya. Berapa kali sudah kita mengkhianati kalimat salam ini? Untuk yang terlanjur tahu, saya tawarkan: jangan menambah ilmu kalau tak punya cukup ilmu untuk melaksanakannya. Nanti anda akan ditagih oleh ilmu itu. Maka tidak ada ajaran di Kenduri Cinta. Kita random, karena yang terpenting adalah tertanam kebaikan-kebaikan; yang suatu saat akan terolah dalam diri anda secara sunatullah. Pelaku Kenduri Cinta bukan lah para pengurusnya saja; melainkan semua orang yang menerapkannya dalam bentuk apa saja. Cara berpikirnya ruhiah dan kualitatif; walaupun dalam pengertian dan batasan tertentu diperlukan juga cara berpikir kuantitatif.

“Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah ilmu iku kelakone kanthi laku. Ada ilmu amaliyah (ilmunya adalah perbuatan-perbuatan itu sendiri) dan amal ilmiyah (perbuatan didasarkan pada ilmu, seperti yang dilakukan para dokter dan pemimpin).

“Nabi Adam adalah ciptaan hybrid. Bangsa Indonesia dan seluruh dunia adalah hibrida. Para ilmuwan pun sudah mulai mengeluarkan hipotesis serupa. Yang belum sampai mereka kuakkan adalah bahwa makhluk hibrida di Nusantara yang dulunya berupa satu daratan, merupakan hibrida plus. Dari Adam, Idris, Hud, jaraknya sekian ratus tahun. Hibrida baru merupakan peluang dari perkenan Iblis yang sebelumnya telah mendapat sertifikat Allah untuk melakukan negasi dan menjadi antagonis. Kiamat kan tidak harus terjadi satu kali; boleh beribu-ribu kali.

“Sekarang Iblis sudah kibar-kibar bendera karena taruhannya telah terbukti dalam durasi yang lebih cepat. Dalam riwayat Nabi Nuh, ketika beliau tidur dengan istrinya, Iblis masuk ke darah istrinya—dan memang ‘mengalir dalam darah’ merupakan kemampuan Iblis. Lahirlah anak mereka, Javed, yang kemudian melahirkan anak-turunnya di tanah Jawa. Maka kita sangat ahli menjadi iblis, malaikat, bahkan mencampurkan keduanya sekaligus. Bangsa Indonesia didatangi Hindu, Buddha, demokrasi, Islam, dan semua yang masuk itu justru tertipu. Segala yang masuk ke Indonesia pasti mengalami perubahan-perubahan dari aslinya. Apa yang datang ke Indonesia, dijadikan anak buahnya. Ketika pun negara hancur lebur, rakyatnya tenang-tenang saja.

KORUPSI RELIGIUS

Cak Nun kemudian mentransfer ilmu dari Syekh Nursamad Kamba yang pada kesempatan Kenduri Cinta bulan ini tidak bisa hadir. Ada lima tingkat manusia, yakni:

— Ahlul khawas; Adalah manusia-manusia yang mengikuti mekanisme jual-beli dan materialisme. Pada taraf tertentu, ia menjadi kapitalisme.
— Ahlul khifd; Mereka berada di dunia IT; mengerjakan transformasi melalui mekanisme gelombang. Sekarang, dunia ini juga digiring oleh kapitalisme.
— Ahlul khayal; Orang-orang pada wilayah ini berkaitan erat dengan simulasi, animasi, imajinasi, dan urusan-urusan para seniman. Yang menjadi masalah adalah kita tak punya kelas menengah yang percaya diri, tak memiliki investor yang percaya diri.
— Ahlul fikr; Jenis manusia ini mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran-pemikiran dan perumusan-perumusan. Untuk memimpin, mereka butuh keberadaan regulasi.
— Ahlul fa’al; Fa’al merupakan salah satu nama Allah, fa’alu lima yurid. Manusia jenis ini merupakan bangsa lelaku, bangsa yang bekerja tanpa dia harus tahu terlebih dulu. Karena ketekunannya itu dia mendapatkan barokah dan karomah.

Cak Nun kemudian menceritakan tentang sejarah gambus misri. Ketika Jombang didirikan menjadi kabupaten oleh KH Ahmad Zahid, maka ludruk mengalami toleransi sehingga dibikinkan jenis musik yang mirip ludruk tapi kompatibel dengan dunia santri, namanya: gambus. Gambus ini berorientasi ke melayu, India, dan Mesir sehingga disebut gambus misri. Cerita-cerita yang dimasukkan dalam gambus misri sebagian besar tentang Hasan-Husein atau Umar bin Abdul Aziz. Kemudian para khawas ada yang meng-copyright-kan Syi’ir Tanpo Waton dengan mengatasnamakan Gus Dur—setelah meninggalnya beliau. Padahal lagu itu berasal dari melayu, anonim; sementara syairnya diciptakan oleh KH Sahlan dari Kriyan.

“Indonesia yang pergi itu tidak pergi dari rakyat Indonesia, tapi pergi dari kaum intelektual, seniman, investor, dan pemerintah Indonesia. Kenduri Cinta ini adalah salah satu laboratorium bahwa Indonesia tetap Indonesia dan kita akan terus menjadi Indonesia. Anda semua ini yang akan mengurusi Indonesia, anda lah pemilik masa depan Indonesia. Anda ke sini saja sudah menunjukkan bahwa tidak ada yang mampu membunuh Indonesia. Kita adalah salik, pelaku hidup dengan keberanian yang luar biasa.”

293850_4787857744201_1733977518_n

SALIK CINTA

Melanjutkan forum, Cak Nun lantas memperkenalkan dan mempersilahkan Habib Hasan untuk menyampaikan apa saja yang bisa dibagi untuk bersama.

Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus mengomentari jargon Kenduri Cinta: menegakkan cinta menuju Indonesia mulia. Sebanyak 124.000 nabi dan rasul diutus Allah ke dunia hanya untuk mengajarkan cinta, mahabbah. Tuhan menciptakan biji-bijian agar ia tumbuh kuat dan kokoh, sampai tumbuh bunga yang sedap dipandang dan buah yang bermanfaat. Cinta pun demikian. Tuhan menumbuhkan kerajaan cinta di dalam hati. Kalau kerajaan itu tegak, cinta kita pada apapun menjadi bijaksana.

Cak Nun menambahkan, “Hanya dengan cinta, orang yang beribadah mampu bertemu dengan ketulusan. Jika tidak, yang dilakukan dalam peribadatannya hanyalah dalam rangka mengambil untung layaknya para pedagang. Di belakang kita ini ada teman-teman dari berbagai macam agama, dan sudah confirmed di Maiyah bahwa yang dinamakan teman seiman adalah siapa saja yang sama-sama mempercayai dan menyembah Tuhan—meskipun dengan sebutan yang berbeda-beda.

“Tambahan dari saya; Tuhan kalau bikin adegan itu suka menggelikan tapi selalu menggairahkan. Setelah fathul Makkah, misalnya, Abu Sufyan kehilangan posisi sosialnya. Nabi Muhammad lalu menyarankan Abu Sufyan untuk menikah sambil beliau tahu—dengan pengetahuannya sebagai nur Muhammad—bahwa anak dari hasil perkawinan Abu Sufyan itulah yang nanti akan membunuh cucu beliau.

“Setelah muawiyyah berkuasa, setiap khotbah Jumat diakhiri dengan kutukan-kutukan kepada Sayyidina Ali. Kelak, Umar bin Abdul Aziz, cucu dari pemrakarsa kutukan itu, yang justru menghapuskan tradisi itu. Hal yang sama terjadi pada Jenghis Khan, penghancur peradaban Islam di Baghdad. Cucunyalah yang kemudian membangunnya kembali.”

“Assalamualaikum merupakan tawaran kepada pihak lain, terutama kepada yang bukan muslim, untuk menciptakan kebersamaan sosial dengan misi untuk saling menyelamatkan. Salam adalah janji. Setelah janjinya oke, baru bisa kita bikin peraturan-peraturan yang berguna untuk mentransformasikan rahmat menjadi barokah, warohmatullahi wabarakatuh, bukannya menjadi laknat, warohmatullahi walaknatullah.”

Emha Ainun Nadjib

Sampai dini hari, Mohammad Sobary menyampaikan ke forum bahwa ia lebih memilih untuk bercerita yang lucu-lucu saja. “Konon ada seorang manusia yang telah selama 70 tahun menyembah patung. Suatu hari dia berdoa dan ternyata Allah mengabulkannya. Argumentasi Allah adalah, nek aku gak ngabulke, berarti aku sakderajat karo patung?” Mohammad Sobary melanjutkan dengan berbagai pengalaman dan cerita-cerita lucunya.

“Beliau ini seorang ilmuwan yang sangat dahsyat. Silahkan pelajari buku-buku beliau. Dan sekarang ini, beliau juga sedang mengembangkan bermacam-macam hal,” Cak Nun memberi komentarnya tentang Mohammad Sobary.

Sebelum acara ditutup, Cak Nun menyampaikan pesan kepada jamaah Maiyah dengan menggunakan riwayat Nabi Musa, “Ketika Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke laut, siapa yang membelah laut itu? Kita, jamaah Maiyah yang jumlahnya sangat tidak seberapa dibanding total penduduk Indonesia, tidak ingin mengubah Indonesia—dan kita tahu kita tidak punya kesanggupan untuk itu. Yang kita lakukan adalah membuat tongkat dan lalu memukulkannya ke laut pada momentum yang pas. Kita tidak sakti, sebagaimana Nabi Musa juga tidak sakti. Yang kita jalankan adalah syari’at perubahan kemanusiaan dan masyarakat. Yang kita persiapkan adalah sebatas uba rampe-nya saja. Sedangkan yang akan melakukan perubahan terhadap Indonesia adalah Allah.”

Acara forum maiyahan Kenduri Cinta tak lama disudahi, setelah sebelumnya berdoa untuk kebaikan bersama.