Imam Ghazali dan Maiyah Nusantara

Pada abad ke-5 Hijriyah, tepatnya tahun 491 H / 1097 M, Tentara Salib berhasil menguasai Anthakiyyah dan terus melakukan serbuan sehingga berhasil merebut Baitul Maqdis (Palestina) setahun kemudian. Di setiap desa dan kota yang dilalui, mereka melakukan pembantaian terhadap penduduk dengan cara yang sangat keji, kuda-kuda yang mereka tunggangi berlumur darah korban-korban pembantaian, laki-laki, wanita maupun anak-anak.

Pencaplokan Al-Quds dan daerah-daerah lainnya oleh Tentara Salib bukannya membuat para sultan sadar akan penderitaan dan bahaya yang ada, malah memperburuknya dengan hanya memikirkan masalah kesenangan dan nafsu pribadi. Mereka memperkaya diri dengan tingginya pungutan pajak yang menyengsarakan rakyat. Mereka bangga serta lalai oleh gelimang kemewahan harta yang sebagiannya diperoleh dengan cara yang zalim. Rakyat mengalami kesengsaraan, ketakutan serta kelaparan yang dahsyat. Hingga ada yang harus memakan daging bangkai saudaranya sendiri yang mati. Akibatnya, muncul para kanibal dari Sudan yang biasa mencari korban orang-orang yang masih hidup. Mereka membantai dan memakannya ramai-ramai.

Inilah sekelumit gambaran kemerosotan kondisi umat Islam saat itu. Tapi kita tak bisa serta merta menyalahkan para sultan saja. Ada ketidakberesan dalam mayoritas umat, ada arus penyimpangan kolektif yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat setelah ditinggalkan oleh tiga generasi emas terdahulu (as-salafus-shalih). Penyimpangan yang merambah semua kalangan, baik pemerintah, ulama, tentara, kaum kaya dan rakyat jelata.

RATU ADIL?

Ajaibnya, 77 tahun kemudian, tampillah Shalahuddin al-Ayyubi yang memimpin pasukannya merebut Hitthin sebagai pembuka jalan untuk merebut Palestina. Apakah Shalahuddin Al-Ayyubi ini adalah sosok utusan langit yang datang begitu saja untuk menyelamatkan umat? Apakah dia adalah seorang pahlawan tunggal yang berjuang sendirian dan mengandalkan kesaktiannya?

Tentu tidak. Ada jarak lebih hampir satu abad antara jatuhnya Al-Quds ke tangan Tentara Salib hingga kembali ke tangan umat Islam. Tentu ada upaya sangat keras yang digerilyakan para ulama di masa jeda itu untuk memulihkan kondisi umat yang pesakitan.

Sepanjang masa keterpurukan itu, sekitar 50-an tahun, ada karya serta peran signifikan sejumlah ulama dan tokoh umat Islam dalam merekonstruksi umat. Seperti Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dan sederetan nama lainnya yang berhasil melakukan perubahan radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat. Garis bawahi: perubahan radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat! Mereka berhasil mengikis virus-virus yang menggerogoti imunitas internal umat. Rusaknya kondisi umat saat itu adalah akibat dari sakitnya pemikiran, salah satu sebabnya adalah pola pemikiran tasawuf dan filsafat yang menyimpang. Perselisihan mazhab yang anarkis terjadi di mana-mana, sering terjadi tawuran antar pengikut mazhab yang mengakibatkan kerusakan, perpecahan dan anarkisme sosial-politik menjadi-jadi, kesenjangan ekonomi antara pejabat dan rakyat merentang sangat tajam.

Fenomena kelaparan menjadi gejala yang banyak terjadi kala itu. Anarkisme sosial karena perselisihan antar mazhab muncul dalam bentuk kekerasan-kekerasan yang muncul. Demikian pula aspek politik umat, tidak banyak tokoh yang memiliki kelayakan untuk menjadi pemimpin. Perpecahan, perseteruan dan kudeta politik merupakan hal yang lumrah.

Intelejen musuh jelas mengetahui keadaan ini dan memanfaatkannya, mereka menyerang dan membantai kaum Muslimin yang sebelumnya sudah koyak dengan adanya perpecahan sektarian. Secara internal (pemikiran, sosial, politik, ekonomi dan militer) umat tidak memiliki kesiapan. Tidak ada pertolongan yang bisa diberikan untuk umat di sekitar Al-Quds ketika itu. Usaha untuk melakukan reformasi di tubuh umat pasca serangan Tentara Salib dilakukan oleh beberapa tokoh melalui jalur politik, seperti yang dilakukan oleh Nizham Al-Muluk, menteri dari Bani Saljuq yang menjabat selama 30 tahun. Tetapi tidak efektif, selain karena ia dibunuh, juga karena tidak memulai dari akar penyakit, yakni sekarat pemikiran.

Sebuah masyarakat terdiri dari tiga elemen utama: pemikiran (afkar), individu manusia (asykhas) dan benda atau materi (asy-ya’). Masyarakat mengalami kesehatan jika individu dan materi berporos pada pemikiran yang benar. Mata rantai lakon manusia bermula dari niat, lalu pemikiran dan kemauan, kemudian menjelma menjadi tindakan.

Maka, setelah niat dan keyakinan, kesehatan pemikiran adalah modal dasar menuju perubahan dan kesehatan sosial. Iniah yang kemudian ditelateni para ulama ketika itu dalam memulihkan kondisi umat. Salah satu simpul utama ulama yang mencoba memulihkan kondisi ini adalah Imam Al-Ghazali (hidup tahun 450-505 H) yang dengan akhlak, ilmu dan kecerdasannya, mampu menyatukan perpecahan madzhab yang terjadi. Ia menyadarkan para tokoh dan penganut madzhab, serta mengembalikan kondisi menjadi lebih baik. Selain usaha dan ilmu yang beliau ajarkan, curahan kecerdasannya menghasilkan karya-karya yang dengan izin Allah menyadarkan para penguasa, filosof, sufi sesat, serta kelompok ulama su’ atau ulama duniawi yang dengan ilmunya hanya bertujuan mencari simpati penguasa, harta, serta jabatan.

Fase pertama gerakan ishlah (reformasi) yang dipelopori oleh Imam Ghazali ini menggunakan metode baru untuk melakukan rekonstruksi umat. Beliau mundur dari lingkungan sosial politik yang penuh syubuhat, memfokuskan pada upaya pembenahan diri untuk mengevaluasi dan memperbarui pemikiran, kemudian kembali ke tengah masyarakat dan memulai proses ishlah. Gerakan Imam Ghazali ini tidak menyentuh secara langsung jihad untuk membebaskan Al-Quds, tetapi lebih ditekankan pada kritik diri untuk mengatasi kepecundangan mental dari tubuh umat, yakni dengan melakukan rekonstruksi pemikiran sebagai langkah awalnya. Selanjutnya Imam Ghazali melakukan kritik sosial atas umat; mulai dari ulama-ulamanya, pemimpin-pemimpin sosial politiknya hingga masyarakat pada umumnya. Imam Ghazali juga mendirikan madrasah untuk mendidik kader-kader umat masa depan, dengan pola pemikiran yang baru.

Pada fase kedua, pengaruh Imam Ghazali diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani (hidup tahun 470-561 H) dengan madrasah dan gerakan reformasinya. Pada saat Imam Ghazali meninggal, Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani sudah berusia 35 tahun. Pengaruh Imam Ghazali sangat nampak dalam berbagai tulisan Al-Jaylani. Aspek ishlah yang beliau tekankan pun sama seperti yang ditekankan oleh Imam Ghazali, dengan modifikasi strategi tertentu.

Pada fase ini, persebaran madrasah ishlah menjadi kian masif dan distributif. Madrasah pusat (seperti madrasah Abdul Qadir Al Jilani) menjadi pusat pendidikan utama (kaderisasi), madrasah model ini tersebar di banyak kota-kota besar dunia Islam timur ketika itu. Sedangkan madrasah-madrasah yang terletak di daerah pedesaan berfungsi untuk membimbing umat. Maka dari sinilah rantai Islah mulai solid dengan munculnya tokoh-tokoh ‘penguasa’ yang sadar akan pentingnya Islah, seperti Sultan Nuruddin Zanki yang beretnik Turki, lalu diteruskan oleh putra angkatnya yang beretnik Kurdi, Shalahuddin Al-Ayyubi.

Ketika Nuruddin Zanki dan Shalahudin Al Ayyubi melakukan reformasi sosial politik, banyak alumni-alumni madrasah ishlah yang sudah tercerahkan mengisi posisi penting. Para ulama (cendekiawan) bergabung dalam institusi politik dan militer. Masyarakat juga sudah memiliki kesiapan untuk menyongsong reformasi. Rekonstruksi sosial-ekonomi-politik kemudian menjadi mudah untuk dilakukan. Puncaknya adalah pada jihad militer untuk mengembalikan Al-Quds, pada tahun 569 H, di bawah komando Al-Ayyubi, umat Islam berhasil meraih kemenangan besar dengan menebas tuntas kaum Salib yang menguasai Palestina dan merebut kembali Masjidil Aqsha.

Dalam buku Hakadza Dzaharu Jil Shalahiddin wa Hakadza ‘Aadat al Quds susunan Dr. Majid Irsan Al-Kilani, kemenangan itu digambarkan sebagai berikut:

“…Pertempuran pun berkecamuk dengan begitu sengitnya. Pasukan Muslim menyerbu dengan gigih demi meraih balasan surga dan mati syahid. Akhirnya mereka berhasil memasuki kota suci Baitul Maqdis dengan penuh gema takbir ‘Allahu Akbar!’ dan tahlil ‘Laa Ilaaha Illa Allaah!’ Gelombang pasukan Muslim bergerak dengan pasti menuju Masjid Al-Aqsha yang telah bebas lalu membersihkannya dari segala noda dan kotoran yang ditinggalkan oleh kaum Salib.

Saat kaum muslimin melaksanakan Shalat Jum’at pertama, masjid begitu sesak dan mereka tidak kuasa menahan cucuran air mata karena haru. Shalahuddin Al-Ayyubi meminta Ibn Az-Zaki As-Syafi’i (pengikut madzhab Imam Syafi’i) untuk menyampaikan khutbah Jumat, beliau membuka khutbahnya dengan mengutip firman Allah SWT: “Maka orang-orang yang dzolim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am: 45)

Setelah melaksanakan shalat Jum’at, Shalahuddin memohon kepada Ibn Naja’ Al-Qadiri Al-Hambali (murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani serta pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal) untuk menyampaikan mau’idzah (wejangan) penyemangat umat, dan saat itu, banyaklah orang yang tidak sanggup menahan cucuran air mata mereka…”

KESADARAN KOLEKTIF

Sejarah selalu terulang dengan bentuk dan rupa yang lain. Namun polanya tetap sama, meskipun terjadi di ruang dan waktu yang jauh bereda. Jika kita membandingkan kondisi umat di masa keterpurukan pra-Ayyubi dengan keadaan kita sekarang di dunia, khususnya di Nusantara, maka kita akan menemukan banyak sekali kesamaan. Mulai dari disorientasi pendidikan, fanatisme golongan, filsafat materialisme, kesenjangan ekonomi, kerapuhan politik, kebusukan moral, dan banyak lagi penyakit sosial yang bisa disebutkan. Semua bentuk penyakit tersebut berakar dari pola pikir keliru yang terlanjur menggurita di tengah masyarakat, parahnya, terinstitusikan dalam lembaga-lembaga resmi. Maiyah berikhtiar memperbaiki itu.

Apa yang dilakukan Maiyah selama ini seirama dengan apa yang diupayakan para pejuang moral di masa kelam Islam abad ke-5 itu. Dengan simpul-simpul di berbagai kota, sejak 17 tahun lalu bersama Cak Nun dan penggerak-penggerak lainnya, Maiyah tidak hanya menampung mayarakat yang ‘sadar’, tetapi juga menabur sinergisitas berbagai dimensi kehidupan. Pemapanan pola pikir dan jati diri kemakhlukan menjadi inti ajaran yang selalu digaungkan di Maiyah. Sikap jaga jarak Maiyah dengan mainstream media dan politik menjadi tameng tak nampak yang membuatnya ‘kebal’ dari virus zaman.

Memang tidak hanya Maiyah yang melakukan upaya seperti ini, ada banyak tokoh di Nusantara dengan berbagai gerakannya masing-masing. Namun diukur dari kompleksitas sudut pandang dan frekuensi perjuangan, Maiyah nampak sangat khas dan gathuk dengan apa yang terjadi saat ini, sebanding dengan apa yang terjadi pada latar sejarah masa kelam dahulu.

Penulis tidak sedang meng-Ghazali-kan sosok Cak Nun atau siapapun. Apalagi menyetarakan, tidak. Namun tokoh-tokoh penyadar semacam mereka tetap akan ada sepanjang masa di tengah umat yang kelimpungan. Tinggal bagaimana kita, sebagai masyarakat yang mau sadar, memposisikan diri di dalamnya. Perubahan sosial tidak bisa terjadi dalam hitungan hari, butuh bertahun-tahun untuk mengupayakannya. Butuh lebih dari 50 tahun jaringan ulama mengobati penyakit umat di masa kelam umat Islam.

Penulis baru ikut melaronkan diri di kumparan cahaya Maiyah sejak awal 2010. Setidaknya penulis membaca ada 5 pola di atmosfer Maiyah yang serupa dengan lelaku para pejuang di masa kelam umat Islam satu milenium lalu. Pertama, identifikasi akar penyakit. Ada suatu upaya pencerahan terhadap pola pikir, karena sehat atau sakitnya suatu masyarakat berdasarkan atas kondisi pemikiran yang dianutnya. Kerancuan filsafat, keterpisahan tasawuf dan fikih, fanatisme mazhab, adalah contoh dampak negatif pemikiran yang dipulihkan Imam Ghazali. Dalam konteks ini, Maiyah juga berupaya membebaskan pola pikir dari kepalsuan.

Kedua, adanya evaluasi terhadap aspek pendidikan. Apa yang diupayakan Al-Ghazali, lalu kemudian dilanjutkan Al-Jaylani, bermula dari ranah pendidikan umat secara kultural dan komplit. Pembinaan moral umat tanpa tendensi politik kekuasaan. Maiyah jelas sudah berada di atas rel yang sama. Meski tidak berbentuk ‘sekolah formal’ semisal Nidzamiyah ala Ghazali atau Madrasah Abdul Qadir Jaylani, Maiyah selalu menyajikan informasi multidisiplin, yang universal dan tidak fakultatif, sekaligus ‘menemani’ bagaimana jamaah mengunyah dan menelannya dengan gigi dan kemampuan masing-masing.

Ketiga, mengoptimalkan potensi spiritual. Pemapanan mental spiritual sangat nampak pada perjuangan Al-Ghazali maupun Al-Jaylani, sebagaimana terbaca dalam karya mereka. Bukan kebatinan, melainkan olah rasa yang tetap terkoneksi dengan jangkar syariat dan kemudi akal. Persis seperti ‘kurikulum’ Maiyah.

Keempat, gerakan kolektif. Sadar bahwa perubahan masyarakat tak bisa dilakukan sendirian, Imam Ghazali mengkader murid-muridnya untuk melestarikan ide-ide reformasinya. Berlanjut ke Al-Jaylani, madrasah-madrasah yang ia dirikan di berbagai titik kota besar dan pelosok desa menjadi corong ide reformasi yang ampuh. Gerakan yang kemudian lahir adalah kombinasi berbagai unsur masyarakat yang tercerahkan berkat upaya puluhan tahun madrasah-madrasah tersebut. Kenduri Cinta, Juguran Syafaat, Papperandang Ate, Gambang Syafaat, Mocopat Syafaat, Padang mBulan, Bangbang Wetan, adalah contoh simpul Maiyah yang menjadi titik-titik resonansi cahaya.

Kelima, kesadaran teritorial. Persatuan umat yang diupayakan Zanki dan Al-Ayyubi tidak sekedar berdasar keyakinan sebagai umat Islam, tetapi juga kehormatan sebagai sebuah bangsa. Jamaah Maiyah, dengan berbagai keradikalan gagasannya, adalah orang-orang yang diajak mengenali dirinya sendiri sebagai bangsa Nusantara. Bukan sebagai penakluk, melainkan pengayom dunia.

Jika kita mampu membaca ‘tingkah polah’ sejarah ini, maka kita bisa menakar posisi Maiyah di tengah kancah sejarah saat ini, posisi Cak Nun, posisi kita, dan posisi siapapun dalam jaring-jaring Maiyah. Kita bisa pula menentukan bagaimana bersikap terhadap Maiyah dan keadaan yang melingkupinya dalam konteks Nusantara.

Kita juga tidak akan terburu-buru memanen hasil. Kita tidak pula gampang pesimis dengan kondisi yang tak kunjung berubah. Saat ini hal yang sedang diupayakan adalah perubahan radikal terhadap paradigma dan pola pikir. Akan ada momen sendiri bagi alumni Maiyah yang tercerahkan untuk melakukan perubahan struktural di tengah masyarakat.

Panen ada masanya. Imam Ghazali tidak mengalami masa kemenangan umat atas Al-Quds, namun kegemilangan yang terjadi saat itu adalah andil benih yang pernah ditanamnya. Begitupun Maiyah, persis kata Cak Nun, di sini kita tidak menghiraukan kapan akan panen, apalagi grusa-grusu, namun berupaya selalu setia untuk menanam dan menjaga.

Krapyak Yogyakarta, 17 September 2014
Tentang Penulis: Lahir di Tegal, 18 Desember 1989. Saat ini masih mengaji di beberapa tempat di Yogyakarta, di antaranya; Madrasah Huffadh Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, dan Maiyah Mocopat Syafaat.