Hobi Diskusi

MUNCUL PERTANYAAN dibenak saya, mengapa ada orang tahan duduk berlama-lama berdiskusi mengernyitkan dahi? Mereka melewatkan waktu untuk memikirkan banyak hal, dari tema diskusi yang remeh-temeh hingga yang berat ihwal isen-isen jagad. Dari urusan pencarian diri, rerasan tentang realitas sosial hingga ketakjuban pada penciptaan semesta dan meta-semesta. Mencakup bidang yang sangat luas, lintas poleksosbudhankamratasara (politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, rakyat semesta, suku, agama, ras, antar-golongan).

Bukankah setahu saya diskusi itu adalah sesuatu pekerjaan yang membosankan? Program “wawancara” berupa diskusi di televisi jaman dulu selalu ditinggalkan para penonton, mereka lebih memilih menonton sinetron kegemarannya. Menonton program acara tersebut sepertinya hanya menambah beratnya pikiran saja kalau disimak. Baru-baru ini saja situasi menjadi berbeda, setelah televisi banyak iklannya, acara diskusi hampir setiap hari digelar, siang dan malam. Tepatnya bukan diskusi mungkin, tapi tontonan orang ngomong (talk show). Program televisi yang selalu saja lebih banyak unsur hiburannya, ketimbang muatan substansi keilmuannya.

Kalau sebuah program menghibur, akan membuat banyak yang menonton. Kalau banyak yang menonton, akan jadi banyak pemasang iklannya. kalau banyak iklan yang masuk, income pun menjadi terraup banyak. Justru sebaliknya, kalau yang primer adalah aspek keilmuannya, khawatirnya malah secara tidak sengaja program talk show itu bisa melahirkan solusi. Iya kalau solusinya sejalan dengan si peng-order isu. Kalau berbeda dengan kehendak mereka? Wah, berabeh. Kalau yang seharusnya menjadi solusi adalah proyek A padahal yang dikehendaki mereka adalah proyek B bagaimana? Kalau yang dikehendaki yang masuk penjara hanya sejumlah orang tapi malah seluruh orang terjerat, bagaimana? Heum.. repot sekali industri diskusi di televisi.

Kalau Jamaah Maiyah berdiskusi, itu bukan untuk keperluan industri. Bukan juga untuk kepentingan jual beli. Bukan tijaroh dalam kamuflase apapun. Kantong-kantong diskusi yang termanifestasi dalam kantong-kantong komunitas jamaah Maiyah di berbagai kota tumbuh tidak ada urusannya sama sekali dengan pecandu hiburan, pemasang iklan dan para peng-order serta peng-order highlight berita.

Walaupun tidak tepat persis, tapi yang saya lihat, mereka di simpul-simpul Maiyah berkumpul nongkrong, ngariung, nyangkruk, njugur lalu kemudian mengemas forum diskusi menurut selera mereka, hal itu dilakukan sebagai semacam hobi belaka barangkali.

Welah.. aneh-aneh apalagi ini. Hobi kok diskusi. Tidak keren sekali. Sama sekali tidak mendukung lifestyle, hobi kok diskusi. Memilih hobi mbok iyao misalnya mengoleksi barang antik, atau touring dengan sepeda motor, atau hobi itu nge-mal. Itu baru sesuai lifestyle, sesuai dengan asas-asas sosialita di dalam falsafah kekinian.

Disini saya menemukan bahwa setidaknya ada dua hal yang bisa saya dekonstruksi. Pertama adalah dekonstruksi tentang diskusi. Dan kedua adalah dekonstruksi tentang hobi.

Diskusi itu mumet, mesti mengeryit-ngernyitkan dahi, membuat sepaneng otak. Itu terjadi kalau tujuan dari diskusi adalah obsesi memperoleh target hasil tertentu. Misalnya target untuk problem solving, atau untuk menghasilkan sebuah rumusan berupa jurnal ilmiah atau proposal proyek. Atau tujuannya untuk adu pemikiran dan menang-menangan argumentasi.

Namun, kalau diskusi tujuannya untuk bersama-sama menangkapi pendaran-pendaran cahaya ilmu dan kunang-kunang hidayah, yang dengan ilmu dan hidayah itu kita jadi lebih punya keluasan cakrawala berpikir atas segala sesuatu yang sedang kita hadapi. Maka diskusi menjadi sesuatu yang menyenangkan, bukan? Kalau dengan pendaran dan kunang-kunang itu kita jadi bisa memperbaiki kuda-kuda manajemen hidup kita, maka diskusi menjadi kenikmatan tersendiri, bukan?

Sesuatu membikin jadi pusing kepala itu jika sebuah masalah dihadapi dengan cakrawala pandang yang begitu-begitu saja. Sudut pandang tidak diubah, tidak digeser, tidak diluaskan. Solusi didepan mata menjadi tidak terlihat, karena cakrawala berpikir kita sempit dan tidak dluaskan untuk mampu menjangkaunya.

Kalau orang sudah mendekonstruki apa itu diskusi. Maka menjadi wajar kalau orang tersebut menjadi merasa butuh diskusi. Pada tingkat lebih lanjut malah menjadi menghobii diskusi. Kemungkinan paling parahnya, bisa-bisa seseorang itu kecanduan diskusi. Haha…

Kalau memang orang yang memiliki hobi diskusi itu dianggap aneh. Maka bukannya orang yang memiliki hobi menonton orang diskusi (menonton talkshow) di televisi sebetulnya mereka lebih aneh lagi? Menjadi tidak aneh kan ketika hobi yang kita kerjakan itu memiliki hubungan dengan uang, terdapat potensi transaksi didalamnya. Minimal berpotensi tergiur pada iklan-iklan yang ditayangkan disela-sela tayangan talkshow.

Saya lantas menjadi tertarik untuk mendekosntruksi tentang apa itu hobi. Pernahkah terbetik dibenak kita, sebetulnya hobi itu sesuatu yang pokok dalam hidup atau ia hanya merupakan pelengkap? Mana yang primer, mengerjakan hobi atau bekerja? Yang terjadi selama ini, orang menghabiskan waktu bekerja dalam 80% waktu produktifnya. Di sisa waktu yang 20% barulah seseorang itu merasa butuh mengerjakan hobi. Jangan-jangan itupun, bukan karena benar-benar butuh hobi, tapi hobi butuh dikerjakan dalam rangka untuk merawat etos kerja dan produktivitas kita saja.

Jadi 80% waktu kita menghimpun uang dengan bekerja. 20% waktu sisanya kita membuang uang untuk mengerjakan hobi. Ups, bukan membuang uang tepatnya, tapi menginvestasikan uang kita untuk menjaga produktivitas kita selanjutnya.

Lah ini, kita ini manusia atau mesin kalau begitu? Kok seperti mesin kendaraan saja, butuh mengerjakan hobi sepertihalnya butuhnya sepeda motor untuk tune up rutin dan ganti oli.

Kita seolah dituntut untuk mengerjakan hobi dalam rangka menjaga produktivitas kerja. Padahal jangan-jangan yang sebenarnya terjadi, kita dipaksa harus bekerja adalah demi bisa memiliki uang agar bisa membiayai hobi kita. Kalau hobi bukan kebutuhan dasar, bukan kebutuhan naluriah manusia, tak perlulah capek-capek kita membiayainya. Makan cukup, tidur cukup, hidup selesai. Nyatanya tidak ada satu orangpun yang bisa hidup berlepas dari hobi yang ia gemari.

Sayangnya, cara kita mengerjakan hobi itu sudah disetir entah siapa. Pergi nge-mall, melancong ke tempat wisata, touring, mengoleksi benda-benda berharga mahal. Coba bayangkan kalau kita bisa membangun hobi atau kegemaran kita sendiri, merumuskan hobi kita sendiri. Memilih menggemari hobi yang berbiaya rendah atau kalau bisa yang gratis. Wah, ya tidak perlu bekerja untuk membiayai hobi-hobi kita itu to?

Jadi bekerja hanya pelengkap untuk memungkinkan kita memenuhi kebutuhan pokok kita mengerjakan hobi. Maka beruntunglah orang-orang yang pekerjaannya adalah hobinya.

Suatu ketika seseorang bertanya pada saya, nanti bagaimana simpul-simpul Maiyah ini dijamin akan terus berlanjut berkegiatan dan berdiskusi? Sontak saya menjawab: Sepanjang masih ada orang-orang yang merasa butuh mengerjakan simpul Maiyah, sebagaimana ia mengerjakan hobi, maka simpul-simpul Maiyah akan tetap berkegiatan. Kalau orang sudah tidak merasa butuh, berarti itu tandanya simpul sudah tidak diperlukan.

Simpul Maiyah membuat kegiatan bukan dari donasi, sponsor atau sumber fundrising dari manapun. Namun, hanya berasal dari urunan dan gotong-royong orang-orang yang mengeluarkan uang sebagaimana ia mengeluarkan uang untuk membiayai hobinya.

Yang kalau dibandingkan dengan biaya hobi-hobi lainnya, hobi diskusi jenis ini sangatlah murah sekali. Cukup dengan sekresek gula kopi atau se-stoples rempeyek kita sudah bisa bergembira bersama mengerjakan apa yang kita senangi.