Satu Tahun Lalu, Zainul

Sidnan Nabi

Sidnan Nabi

Sidnan Nabi

 

DI DALAM ruang sempit yang dijadikan studio rekam, Yamaha Music Indonesia, Jakarta, Zainul Arifin memberi sengak’an pada akhir kalimat shalawat “Sidnan Nabi.” Suara itu menjadi pembeda diantara suara-suara koor Himpunan Masyarakat Shalawat (HAMAS). Tak henti-hentinya Cak Nun memberi pujian atas kreasi Zainul tersebut. Rekaman sekitar tahun 1998 itu menjadi salah satu nomor dalam album Jaman Wis Akhir, yang dirilis oleh Musica Studio, 1999, dengan dukungan vokal Cak Nun, Zainul Arifin, Haddad Alwi, Ki Sudrun. Muhammad Adib dan suara koor oleh HAMAS, serta musik oleh Mini KiaiKanjeng.

Zainul yang bergabung dengan KiaiKanjeng sejak awal-awal reformasi, memperkuat tim vokal yang sudah ada; Haddad Alwi, Ki Sudrun dan Muhammad Adib, selain Cak Nun sebagai vokalis utama.

Benar saja, ketika kemudian Haddad Alwi lebih sibuk rekaman dengan Sulis dalam album shalawat Cinta Rasul, disusul ketidak aktifannya Ki Sudrun dan Muhammad Adib; menjadikan Zainul sangat dibutuhkan. Baru kemudian diperkuat vokalis lain; Nia, Islamiyanto, Yudi Nasution. Lalu silih berganti datang yang lain, Imam Fatawi, Yuli, Seteng dst.

Kekuatan suara Zainul, selain merdu, ia mampu mengeksplorasi berbagai genre dan gaya atau cengkok lisanul arabi yang bertingkat-tingkat sampai 7 maqam tilawah. Zainul adalah ustadznya para qori’ yang akan bertanding dalam Musabaqah Tilawatil Quran untuk jenjang nasional dan internasional.

Seiring dengan gegap gempita reformasi, Cak Nun bersama gerakan shalawat yang diinisiasi oleh Cak Dil, (adik Cak Nun, Adil Amrullah), Himpunan Masyarakat Shalawat –HAMAS, berkeliling ke pelosok-pelosok Jakarta, dengan atau tanpa Mini Kiai Kanjeng. (Disebut Mini KiaiKanjeng, dengan alasan menghemat biaya perjalanan dan akomodasi Yogya-Jakarta PP, dengan beberapa personil player Kiai Kanjeng, bergantian).

Cak Nun dan KiaiKanjeng, sejak awal, seolah tak bisa dipisahkan. Ketika audiens yang dihadapi pasif, kurang responsif terhadap uraian yang disampaikan Cak Nun, dengan hadirnya musik yang dibawakan Kiai Kanjeng dan bergantian dengan para vokalis menyenandungkan puji-pujian atau shalawatan, secara perlahan suasana akan terangkat menjadi lebih hangat, hadirin-hadirat lebih siap menerima pesan-pesan. Di saat lain, ketika Cak Nun tanpa didampingi musik Mini KiaiKanjeng, kala itu, pelantun-pelantun shalawatlah, yakni; Zainul, Muhammad Adib, Ki Sudrun yang bertugas mengangkat suasana majelis shalawatan menjadi lebih hidup. Mereka, adalah vokalis-vokalis awal KiaiKanjeng, yang menyertai Cak Nun menebarkan shalawat ke pelosok-pelosok Tanah Air.

Dalam album video klip Berhijrah Dari Kegelapan, Zainul masih terlihat sangat lugu. Membawakan salah satu nomor, Suluk Rosamtuka, mengenakan kopiah hitam, berbaju koko warna putih, celana gelap berbahan kain halus, dipadu sepatu sport warna putih. Sangat bersahaja. Jika pembuatan video klip tersebut menyediakan bagian wardrobe, pastilah akan merombak penampilan Zainul dengan lebih stylish sesuai tuntutan syuting video klip.

Kemudian terdengar kabar Zainul mengikuti jejak Haddad Alwi, bergabung dalam satu manajemen. Rekaman dan penampilan-penampilan di berbagai kota. Dalam salah satu nomor Burdah Al Hubb, pada album Cinta Rasul 7, Zainul berduet dengan Sulis.

Engkau, Nul, bukan “manusia karir.”Kau tidak tahan. Kau menyerah untuk berkompromi dengan dunia industri kapitalis. Kau tinggalkan Jakarta. Menampik iming-iming kesuksesan. Kau kembali ke kampung. Pulang ke desa di pelosok Mojokerto. Mulang ngaji. Menemani orang-orang dusun berkasidah. Menjual alat-alat musik hadrah. Menjadi gurunya para qori’. Dan, tentu saja bergabung kembali dengan KiaiKanjeng.

Satu tahun lalu, 13 Juni 2015, setelah tiga bulan sakit, keluar masuk rumah sakit, engkau, Muhammad Zainul Arifin, meninggalkan para pencintanya. Suara merdumu hanya tersimpan dalam file-file digital, dan dalam benak orang-orang yang menyayangimu. Orang-orang yang mencintai, sepertimu, Kanjeng Rasul Muhammad, KekasihNya Allah. Tidak salah ketika ada yang menjulukimu sebagai Raja Shalawat. Di akhir hayatmu, seminggu sebelum kau pergi untuk selamanya, 13 Juni 2015, pada 7 Juni 2015, saat engkau berbaring kesakitan di Rumah Sakit Haji Sukolilo, Surabaya, kau masih menyempatkan diri meninggalkan sebuah lagu shalawat, yang kau rekam langsung melalui handphone-mu. Engkau sendiri yang memberi judul “Harapan Dan Doa.”

Satu tahun lalu, kata-kata Cak Nun saya kutip dalam salah satu tulisan untuk mengenangmu. Hari ini, saya ingin mengutip kembali, khusus untukmu, sahabatku.

“Suoromu nok getihku. Awakmu yang mengajarkan aku shalawatan,” isak Cak Nun di liang lahat.

Hari ini, setahun setelah engkau pergi, saya kembali terisak.