Hari Raya Kenduri Cinta

SETIAP perjalanan hidup bolehlah kita mengambil hikmahnya masing-masing. Tak ubahnya berlian dengan ratusan karat, dilihat dari berbagai sisi, tentu akan beda hasil pengamatannya. Setiap orang boleh mengintepretasikan keindahan berliannya dengan sudut pandangnya masing-masing. Saking begitu luasnya cara pandang manusia.

Pun tentang berpuasa, mudik, dan hari raya. Usai menjalankan ibadah puasa, tarawih dan lain sebagainya pada bulan Ramadan, menuju Syawal, kita bisa merayakan hari kemenangan dengan perayaan Idul Fitri. Bertakbir bersama, mudik ke kampung halaman, berkumpul dengan keluarga, bercengkerama dengan teman lama.

Tak ubahnya berpuasa, yang hakekat artinya adalah menahan diri. Hidup di Jakarta itu keras. Kata orang, ibukota lebih kejam daripada ibu tiri. Waktu yang menggilas kehidupan. Kemacetan sepanjang jalan. Wajah-wajah angker di tengah kota. Persaingan kanan kiri, gesek sana, dorong sini. Gaya hidup individualis. Memaksa kita sedikit tidak menjadi manusia. Melupakan diri dari yang sejati. Disitulah, kita butuh hari raya.

Kenduri Cinta hadir. Sebulan sekali, sebagai kampung halaman.

Energi mudik itu energi kebaikan. Niat baik manusia urban yang menginginkan dirinya kembali ke kampung halaman. Bertemu dengan orang tua, sanak famili dan tetangga kerabat. Usai sebulan bekerja di tanah Jakarta, kita bisa mudik kembali ke Kenduri Cinta, bertemu dengan orang tua kita, Mbah Nun dan sesepuh serta keluarga Kenduri Cinta. Kegembiraan dalam kebersamaan. Seneng-seneng sing disenengi Gusti Allah. Itu pesan dari Mbah Nun.

Kenduri Cinta hadir. Sebulan sekali, sebagai tempat silaturahmi.

Orang saling bertatap muka, bertegur sapa. Mungkin bagi yang sudah muak dengan pertemanan di media sosial, Kenduri Cinta bisa jadi obatnya. Berkumpulah hampir 1000-3000 manusia urban di Taman Ismail Marzuki setiap bulannya. Yang tujuannya bukan untuk menonton sesuatu, tapi sinau bareng perihal kehidupan, keseharian dan Tuhan. Masing-masing bisa gendu-gendu rasa, sharing perasaan dan pikiran. Sehingga plong dan lega apa yang mengganjal dari dalam hari-hari mereka.

Kenduri Cinta hadir. Sebulan sekali, sebagai perayaan hari raya.

Disini siapa saja boleh berbicara. Dan semua diapresiasi. Sebuah majelis ilmu dengan satu panggung seribu podium. Ada musik, ada puisi, ada orasi. Semua bentuk kegembiraan merayakan hari raya. Merayakan cinta bersama-sama. Mengharap syafaat Kanjeng Nabi dan ridho Allah SWT.

Maka betapa bersyukurlah orang yang sudah menjalani ‘puasa’ dan kemudian menikmati ‘hari raya’ dengan sangat gembira. Gembira karena bisa menemukan makna. Gembira karena bisa menemukan hakekat kesejatian. Alhamdulillah.

Kepada para Jamaah Kenduri Cinta, saya ucapkan selamat menunaikan ibadah Kenduri Cinta. Bersetialah dalam kegembiraan bersama Allah.

Kepada para penggiat, saya ucapkan salut beribu salut. Ditengah hingar bingar manusia Jakarta mengais rejeki kehidupan, mereka masih merelakan waktunya istikomah mengawal kegiatan Kenduri Cinta dari awal hinggal akhir tak henti-henti.

Kepada Mbah Nun, salam sungkem takdzim saya, masih mau membersamai kami di tengah gurun Jakarta. Memberikan oase segar, ditengah kehidupan yang makin dekat dengan kepalsuan.

Selamat 19 tahun Kenduri Cinta.

Selamat Hari Raya.