Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri

Reportase Diskusi Rutin Sewelasan perpustakaan EAN

Mendekati penghujung tahun, rahmat Tuhan turun dengan derasnya sejak senja hari hingga menjelang malam di Rumah Maiyah Kadipiro. Hujan segar tersebut menambahkan energi semangat Perpustakaan EAN dalam menyelenggarakan diskusi buku bulanan yang bertema ”Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri”. Dalam lingkup gerakan Maiyah Nusantara diskusi buku Sewelasan yang rutin diselenggarakan Perpustakaan EAN ini merupakan salah satu sub-organ Maiyah yang berusaha mengkaji khazanah literasi anak negeri dengan tema-tema inspiratif yang beragam, serta aktual dengan kehidupan masyarakat.

Dalam suasana gerimis, diskusi edisi #4 ini membahas buku Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri yang sekaligus menjadi tema dan menghadirkan pembicara yakni dua penulis buku tersebut, Muhsin Kalida dan Muhammad Mursyid serta Ibu Nadlrotussariroh selaku kepala Perpustakaan EAN yang juga Mahasiswa S2 Ilmu Perpustakaan UGM. Jalannya diskusi dimoderatori oleh Yasin Fatkhur Rizki dari Perpustakaan EAN. Diskusi dibuka dengan pembacaan surat Al-Fatihah bersama-sama oleh seluruh yang hadir dalam diskusi.

Ibu Nadlrotussariroh mengawali jalannya diskusi dengan menceritakan sejarah awal mula berdirinya Perpustakaan EAN. Berawal dari bertumpuknya buku dan berbagai naskah milik Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, seperti kumpulan puisi, novel, esai, prosa, artikel, kliping koran, dan lain sebagainya kemudian munculah inisiatif untuk membuat semacam “pusat dokumentasi” Emha Ainun Nadjib, guna menata dan mengelola sumber-sumber ilmu yang kaya tersebut. Dalam perkembangannya di Perpustakaan EAN kini dilengkapi dengan berbagai buku referensi dari bermacam bidang, serta ditambah koleksi naskah-naskah sastra peninggalan dari sastrawan Yogyakarta bapak Ragil Suwarna Pragolapati. Sebagai kepala perpustakaan, beliau juga bercerita tentang ketidaksengajaannya kuliah Ilmu perpustakaan di sekolah Pasca Sarjana UGM, juga mengenai pengalamannya bekerja di NGO, aktif di KPI dan berbagai aktivitas sosial lainnya. Menurut beliau, Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri ini adalah sebuah gerakan kreatif dan luhur yang perlu didukung dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, dan itu sejalan dengan berdirinya perpustakaan EAN yang beliau rintis.

Berikutnya pembicara kedua, Moh. Mursyid, sebagai penulis buku Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri sekaligus pustakawan di perpustakaan EAN, mengemukakan bahwa buku yang ditulisnya tersebut merupakan kumpulan artikel di berbagai media massa yang dikumpulkan. Penulisan buku menurutnya, merupakan salah satu bentuk dokumentasi. 3 tahap aktifitas literasi adalah membaca-menulis dan mendokumentasikan. Tiga tahapan ini harus berjalan sinergis dan berkesinambungan guna mempertahankan kualitas gerakan literasi. Mas Mursyid sebagai pustakawan juga mencermati, dan menggelisahkan dunia pendidikan sekarang yang memarjinalkan perpustakaan. Anggaran di lembaga-lembaga pendidikan tidak dimaksimalkan untuk mengoptimalkan fungsi perpustakaan.

Menurut pendapat beliau, yang paling mencemaskan dari keadaan itu adalah bahwa pihak sekolah sendiri tidak terlalu peduli pada kualitas perpustakaannya. Sekolah kurang memiliki kesadaran tentang arti penting perpustakaan bagi anak didik. Padahal perpustakaan justru merupakan ruang pembelajaran yang demokratis, dimana anak didik diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk membaca, menelaah, dan mengeksplorasi minat dan bakatnya melalui khazanah ilmu pengetahuan. Jadi perpustakaan dapat menjadi kelas alternatif, dan variasi pembelajaran, diluar pembelajaran di kelas melalui guru. Lebih luas lagi, pustakawan yang menempuh studi di S2 UIN Sunan Kalijaga ini memaparkan bahwa Ayah dan Ibu dalam sebuah keluarga semestinya menjadi “perpustakaan pertama” bagi anak-anaknya, dimana si buah hati dalam masa tumbuh-kembangnya yang paling dini dapat mendapat asupan-asupan ajaran atau pengetahuan yang positif dan bermakna sesuai perkembangan usianya.

Dalam konteks yang lebih makro, kemajuan sebuah bangsa dapat dilihat dari kondisi perpustakaannya, dan budaya baca dari masyarakat bangsa tersebut. Sejarah peradaban Islam mencapai keemasannya, juga tak luput dari peran penting perpustakaan (maktab), yakni tatkala khalifah Harun Al Rasyid berkuasa, sang pemimpin yang begitu mencintai ilmu pengetahuan, dan para ilmuwan/ulama sehingga perpustakaan dikelola dengan sangat telaten. Di masa keemasan ini terjadi dialektika dan dinamika ilmu yang pesat melalui penerjemahan karya-karya intelektual Yunani dan wilayah lain, pertukaran ilmu inilah yang di kemudian hari membuahkan karya-karya ilmuwan Islam yang abadi hingga sekarang. Moh. Mursyid menutup uraiannya dengan mengingatkan, “Tidak ada satupun orang besar yang tumbuh tanpa bersahabat dengan buku dan perpustakaan. Oleh karenanya dalam rangka menggiatkan Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri, mari mengajak masyarakat untuk lebih mencintai perpustakaan dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan dengan terlebih dahulu menjadikan diri sendiri sebagai pelopor.”

Banyak dari jamaah Maiyah yang masih keliru dengan menganggap bahwa sudah cukup belajar hanya dari ilmu dan wacana yang diberikan Cak Nun, kemudian berhenti melakukan pencarian dan pengkajian.

PERLUASAN MAKNA IQRA

Hawa dingin sisa hujan mulai merambati ruangan Perpustakaan EAN, menambah greget diskusi literasi malam itu. Pak Muhsin Kalida selaku penulis buku Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri, dan juga penggiat gerakan literasi, sekaligus ketua forum TBM Yogyakarta menceritakan dan memaparkan banyak hal mengenai pengalaman-pengalaman dan pandangannya mengenai aktifitas gerakan literasi di Indonesia. Awal mula merintis komunitas literasi dan TBM, Pak Muhsin —yang juga berprofesi sebagai dosen— bercerita bahwa ia memiliki banyak koleksi buku di raknya, termasuk buku-buku Emha Ainun Nadjib, dan ternyata ada tetanggga-tetangga yang tertarik dan menyukai bukunya tersebut. Dari sana mulai ada tetangga yang membaca, dan meminjam buku-buku koleksinya. Inilah embrio awal dari komunitas literasi dan TBM yang beliau bangun. Selanjutnya beliau juga menyinggung urgensi sebuah perpustakaan bagi perkembangan diri seseorang. Perpustakaan menurutnya adalah kunci bagaimana kecerdasan itu bermula. Berangkat dari perkenalan dengan berbagai wacana, dan gagasan yang tertuang dalam buku itulah, kecerdasan dan ide-ide kreatif mulai muncul kemudian tumbuh kembang. Dalam perjuangannya mengkampanyekan gerakan literasi, Pak Muhsin berjumpa dengan banyak TBM-TBM di berbagai wilayah di Indonesia dengan segala problema dan dinamikanya.

Beliau menyatakan bahwa untuk terus konsisten menghidupkan komunitas TBM membutuhkan kegigihan dan kesabaran yang besar. Mengenai buku yang ditulis bersama Moh. Mursyid ini, Pak Muhsin mengatakan bahwa buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan sederhana yang berisi pengalaman dan proses sehari-hari dalam penggalakan budaya literasi, komunitas TBM dan dinamika perpustakaan. Proses penerbitan hingga pemasaran buku ini dilakukan secara mandiri sehingga leluasa menyebarkan ide dan gagasan kreatifnya ke semua kalangan dan komunitas.

Satu hal menarik dari uraian Pak Muhsin adalah ketika beliau membuka kesadaran bahwa ternyata istilah “literasi” yang cukup populer dalam masyarakat tidak ditemukan artinya dalam kamus besar bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pengertiannya menjadi cair dan luas sekali, sesuai dengan karakter-situasi masing-masing masyarakat. Kemudian beliau juga menyampaikan tentang tiga tahap budaya yakni budaya lisan, budaya literasi (baca tulis), dan budaya visual digital. Menurut Pak Muhsin Indonesia ini mengalami suatu lompatan budaya dari budaya lisan langsung masuk ke budaya visual-digital, sehingga ada keterpenggalan proses. Inilah yang menyebabkan kualitas cara berfikir dan alam budaya masyarakat Indonesia tidak tumbuh dengan semestinya.

Menukik lebih dalam, mengenai “ideologi” perjuangan, atau landasan perjuangan yang selama ini beliau jalani adalah ayat pertama dalam Al-Quran: Iqra’. Dan menurutnya terjemahan kontekstual-konkrit dalam ranah sosial dari ayat tersebut —salah satunya— adalah melalui upaya Gerakan Literasi Mencerdsakan Negeri yang digiatkannya di banyak tempat. Beliau menuturkan perlu ada perluasan makna Iqra’ dalam berbagai dimensi. Iqra’ tidak bisa hanya diartikan sebagai membaca secara harfiah, tetapi juga membaca kehidupan, membaca realitas sosial, dan membaca alam semesta. Baginya, pustakawan yang hanya duduk dibalik kursi itu ibarat Iqra’-nya masih jilid satu. Ada Iqra’ dalam wilayah yang lebih luas dan kreatif, seperti menulis dan melakukan gerakan-gerakan literasi.

Kemajuan sebuah bangsa dapat dilihat dari kondisi perpustakaannya, dan budaya baca dari masyarakat bangsa tersebut. Sejarah peradaban Islam mencapai keemasannya, juga tak luput dari peran penting perpustakaan (maktab).

MAIYAH DAN GERAKAN LITERASI

Malam semakin larut ketika Mas Yasin selaku moderator membuka sesi sharing, tanggapan dan tanya jawab untuk peserta diskusi yang hadir malam itu. Muhammad Isa, mahasiswa sastra Inggris dari UNY, menanyakan apa makna asli atau apa hakikat dari literasi, karena ditengah masyarakat timbul beragam definisi. Kemudian ia melanjutkan dengan kisah terbakarnya sebuah perpustakaan di Mesopotamia di peradaban masa silam yang bisa menjadi pelajaran bagi penggiat perpustakaan dan TBM.

Selanjutnya Ahmad peserta diskusi dari Kudus menanyakan apa saja masalah-masalah dan tantangan yang akan dihadapi perpustakaan di masa mendatang, bagaimana solusi mengatasi keterputusan proses budaya literasi (baca-tulis), karena Indonesia melompat dari budaya lisan langsung menuju budaya visual-digital, lalu bagaimana memproses berdirinya TBM di wilayah desa yang notabene masyarakatnya asing dengan budaya baca, serta hubungan gerakan literasi ini dengan fenomena pembelajaran Maiyah.

Tanggapan berikutnya dari Pak Rahman, yang datang jauh dari Makassar. Beliau men-share pengalaman pribadinya mengenai dunia literasi. Di lima provinsi beliau mendapati ada perpustakaan yang tidak hanya menyediakan buku tetapi juga berfungsi sebagai “pusat data”. Misalnya di sebuah daerah ada perpustakaan, maka perpustakaan tersebut juga berfungsi sebagai pusat data dimana seluk-beluk dan berbagai macam informasi mengenai data penduduk, budaya, karakter geografis dan lainnya mengenai daerah yang bersangkutan tersedia. Pak Rahman berpendapat sebuah kampung atau desa akan sangat rugi manakala tidak mempunyai perpustakaan bagi warganya. Harus ada pemanfaatan ruang-ruang di desa guna dijadikan fasilitas sosial seperti perpustakaan dan TBM. Fasilitas sosial ini akan membantu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di desa tersebut.

Dalam sesi diskusi terakhir, ketiga pembicara bergantian menanggapi dan menjawab berbagai pertanyaan secara random.

Mas Mursyid menjawab pertanyaan mengenai tantangan apa saja yang akan dihadapi perpustakaan di masa kini dan mendatang. Pertama adalah tantangan dari perkembangan tekhnologi, dan ini berkaitan erat dengan “budaya instan” yang menggejala di masyarakat. Seperti beralihnya buku cetak menjadi e-book, dan akses internet yang kian maju, dan banyaknya varian gadget modern. Maka dari itu perpustakaan sebisa mungkin harus berkolaborasi dengan kemajuan tekhnologi, dengan cara terus mengembangkan sistem IT-nya. Kedua adalah tantangan budaya. Banyak perpustakaan yang kekurangan koleksi dan referensi mengenai budaya lokal daerahnya. Hal ini berbahaya dari sudut kelestarian budaya daerah itu sendiri. Menurut Muh. Mursyid, apabila perpustakaan tidak peka dan peduli dengan khazanah lokal yang kaya akan wisdom atau kearifan tradisi-adat daerah, maka akibatnya adalah generasi penerus akan kehilangan jati dirinya. Apalagi ditambah dengan infiltrasi budaya asing yang menggempur Indonesia terus menerus melalui berbagai media massa. Jadi perpustakaan harus berfungsi sebagai pusat dokumentasi khazanah-khazanah lokal dan aset-aset literasi budaya yang berharga.

Ibu Nadlrotussariroh menanggapi pertanyaan mengenai hubungan gerakan literasi ini dengan fenomena pembelajaran di Maiyah. Maiyah pada dasarnya merupakan gerakan sosial yang berdimensi vertikal sekaligus horizontal. Inni Ma’iya Robbi, yang menjadi landasan Maiyah ini menunjukkan gerakan kebersamaan baik dengan sesama manusia maupun kebersamaan bersama Allah dan Rasulullah. Menurut beliau banyak dari jamaah Maiyah yang masih keliru dengan menganggap bahwa sudah cukup belajar hanya dari ilmu dan wacana yang diberikan Cak Nun, kemudian berhenti melakukan pencarian dan pengkajian. Padahal Cak Nun sendiri berkali-kali menyampaikan bahwa gagasan dan ilmu di Maiyah adalah “kunci-kunci”, “benih ilmu”, atau “gelaran tikar” pengetahuan yang masing-masing jamaah harus menelusuri, menelaah dan memperdalamnya kembali di bilik pembelajarannya masing-masing.

Ikhtiar pencarian, penelusuran, pendalaman dan pengkajian ilmu itulah yang bisa diproses salah satunya melalui kajian literasi melalui proses membaca dan menulis. Inilah titik hubungan antara gerakan Maiyah dan Gerakan Literasi. Selanjutnya beliau mengutarakan gagasannya yang menarik mengenai perlunya perpustakaan di ruang tunggu rumah sakit. Ide ini berangkat dari keprihatinan beliau melihat pengunjung rumah sakit yang bosan dan “bengong” tanpa ada manfaat yang diperoleh. Yang terakhir beliau mengisahkan lahirnya perpustakaan EAN yang bertepatan dengan hari buku nasional, dan sejauh ini perpustakaan EAN mampu istiqomah berjalan dengan swadaya mandiri.

Di akhir sesi, Pak Muhsin Kalida memberikan poin-point penting gagasannya untuk menangggapi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari peserta. Mengenai definisi baku literasi memang belum ada, bahkan dalam KBBI. Akan tetapi hakikat literasi tidak jauh dari baca-tulis, aksara, bahasa, ke-informasian, dan bisa terus kita cari makna literasi yang paling “merakyat”. Kemudian beliau mengungkapkan sesungguhnya perpustakaan memiliki agenda humanisasi ditengah arus dehumanisasi yang sekarang gencar berlangsung. Beliau juga berpendapat bahwa sebaiknya perpustakaan memang harus berdiri secara swadaya, kecuali untuk perpus-perpus milik pemerintah.

Beliau kembali menggaris bawahi pentingnya perpustakaan bagi kemajuan sebuah bangsa, dengan mencontohkan titik nol kilometer di Singapura itu berdiri perpustakaan. Sementara menjawab mengenai keterputusan tahapan budaya literasi, Pak Muhsin menjelaskan perlunya mengadakan diskusi-diskusi seperti yang diselenggarakan perpus EAN sekarang. Hal itu untuk menggalakkan kembali budaya literasi. Kemudian dengan mempopulerkan perpustakaan dan TBM di tengah masyarakat. Untuk merintis TBM ditengah masyarakat yang tidak begitu tertarik pada buku dan baca-tulis memang membutuhkan kesungguhan dan ketahanan yang ekstra, serta perlu menjalin kerjasama dengan unsur-unsur desa seperti karang taruna, dan berbagai kelompok masyarakat yang ada di desa tersebut. Dan yang terpenting program TBM ini semestinya diintegrasikan dengan program pemerintah desa karena untuk menunjang pendidikan masyarakat sangat membutuhkan ilmu pengetahuan. TBM juga bisa dirintis berbasis karakter masyarakat yang ada, misalnya TBM berbasis ekonomi, TBM berbasis kesenian, TBM berbasis budaya dan seterusnya. Hingga kini beliau mengetuai forum TBM yang sudah berdiri di 34 provinsi minus Kalimantan Utara. Yogyakarta sendiri kini menjadi rujukan bagi daerah-daerah lain yang ingin mendirikan TBM.

Sebagai penutup diskusi Pak Muhsin menyampaikan bahwa inti dari semua gerakan ini adalah bahwa ayat iqra harus diterjemahkan ke dalam langkah nyata. Dari idealisme kita harus memprosesnya menjadi realisasi perjuangan. Dan buku Gerakan Literasi Mencerdasakan Negeri yang ditulisnya bersama Moh. Mursyid, serta berbagai kegiatan dalam forum TBM dan komunitas Cakruk, merupakan satu bentuk langkah nyata, dan manifestasi dari ayat Iqra’, perintah Allah yang pertama kepada Nabi Muhammad. Diskusi sewelasan malam itu memasuki akhir, dan Yasin Fatkhur Rizki menutup diskusi dengan bacaan hamdalah.

Di tengah kebudayaan Indonesia yang kering-kerontang seperti sekarang, Diskusi buku Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri, ini bagai “kipas” kecil yang mengirimkan angin kesadaran yang segar dan baru, minimal bagi para aktifis literasi, para penggiat perpustakaan dan TBM, serta menyebarkan gagasan dan kecerahan bagi alam berfikir masyarakat yang lebih luas.

TEKS: Ahmad F. Hakim