Fanatisme Atas Bawah

BEBERAPA WAKTU lalu, berbagai media massa diramaikan terkait pemberitaan mengenai razia terhadap warung yang tetap buka di siang hari selama bulan puasa oleh petugas pemerintah. Reaksi masyarakat beragam, baik yang pro maupun yang kontra bermunculan setelah terus menerus dipublikasikan oleh banyak media massa. Belum lagi ditambah dengan munculnya reaksi Presiden dalam menanggapinya, seolah kejadian itu menjadi persoalan nasional. Dan ini benar-benar menjadi isu nasional, perdebatan pro-kontra masif terjadi di tengah masyarakat. Antar sesama karyawan pada saat jam istirahat, antar sesama jamaah masjid, antar sesama penumpang di angkutan umum, antar sesama mahasiswa, antar tetangga, bahkan pro-kontra sesama anggota keluarga terjadi di meja makan menanggapi kejadian itu dan berujung perdebatan. Tidak hanya di dunia nyata, perang opini-pun terjadi di media sosial dunia maya antara yang pro maupun yang kontra.

Pro-kontra mengenai razia semakin memanas dengan pasokan amunisi pemberitaan. Investigasi dilakukan oleh berbagai pihak yang berkepentingan dengan mengorek berbagai hal terkait kejadian itu. Seluk-beluk si pemilik warung ditelanjangi bulat-bulat dan dipertontonkan di hadapan publik tanpa mempedulikan kepatutan sebuah pemberitaan. Yang pro terhadap kejadian itu bahu-membahu saling menguatkan argumen untuk membenarkan razia, begitupun sebaliknya yang kontra saling melengkapi dengan mencari-cari fakta untuk menyalahkan kejadian itu. Yang pro maupun yang kontra sama-sama menganggap apapun yang menjadi argumennya adalah yang benar, sampai-sampai kedua belah pihak tidak menyadari jika ada aurat yang sedang mereka singkap dan martabat yang mungkin akan tercederai oleh apa yang sedang mereka beritakan.

Pro-Kontra mengenai apapun akan memunculkan fanatisme. Karenanya akan memunculkan keberpihakan yang menjadikan kendala terhadap ojektifitas informasi. Pada keadaan yang akut, pro-kontra dapat menjadi kacamata-kuda bagi siapa saja yang memakainya untuk menerjang atau mengelak apapun yang persis ada dihadapanya, namun tidak peduli dengan apa-apa yang ada di sekelilingnya. Efek fanatisme semacam ini dapat kita saksikan dengan jelas pada kejadian bentrok antar suporter yang terjadi akhir-akhir ini di Eropa. Tindakan brutal yang diluar kemanusiaan sangat mungkin muncul akibat fanatisme yang berlebihan.

Cara termudah untuk penggalangan massa adalah dengan cara memunculkan fanatisme di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang yang fanatik terhadap sesuatu akan terkoneksi dan saling mendukung atas dasar kesamaan kesukaan terhadap sesuatu. Cara ini sangat efektif digunakan oleh para operator politik dan sering kali tidak terdeteksi oleh masyarakat umum. Operator-operator politik sangat lihai dalam memainkan opini publik dan pandai dalam menempatkan bidak-bidak maupun tokoh-tokoh politiknya. Masyarakat digiring untuk memasuki permainan pro-kontra yang sengaja dipersiapkan untuk mengkotak-kotakkan masyarakat, dan selanjutnya operator politik akan dengan mudah mempermainkan masyarakat menggunakan alat media massa yang dikuasainya.

Istilah-istilah yang populer dan luwes digunakan untuk penggalangan massa, seperti; “Relawan si A”, “Sahabat si B”, “Kawan si C”, atau “Teman si D”. Masyarakat akan dengan senang hati menerima bujuk-rayu dari operator-operator politik. Tanpa curiga mereka dengan senang hati bahkan tidak sedikit yang justru ikut mati-matian menjadi fanatik pembela yang turut ambil bagian menjadi bidak-bidak politik yang sedang dipermainkan oleh operator-operator politik yang berada dibalik layar. Dukungan dan penggalangan massa dari masyarakat ini sifatnya temporal. Ketika tujuan politik para operator ini tercapai, dukungan masyarakat akan dengan mudah dicampakan dan jalinan persahabatan, perkawanan, pertemanan para relawan ini dengan sendirinya akan luntur.

Berbeda dengan jalinan persaudaraan Maiyah yang secara sporadis terus bermunculan di tengah masyarakat. Jamaah Maiyah tidak bertujuan politik tertentu yang bersifat temporal, bahkan Maiyah sendiri tidak menghendaki jamaah Maiyah menjadi kawanan yang tergantung kepada sosok atau figur. Setiap jamaah Maiyah memiliki kedaulatan, kemerdekaan dan kemandirian dalam menentukan keberpihakkan politiknya masing-masing. Fanatisme dan keberpihakan organisme Maiyah tidak terletak pada tujuan-tujuan praktis duniawi melainkan berada pada keistiqomahan masing-masing personal dalam setiap detail aktifitas kehidupan sehari-sehari dalam mengimplementasikan nilai-nilai Maiyah dan itu semua dipertanggungjawabkan langsung secara personal di hadapan Tuhannya. Simpul-simpul Maiyah yang rata-rata berusia puluhan tahun hadir di tengah masyarakat Indonesia dan dunia internasional bergerak dipelbagai bidang kehidupan sosial masyarakat, budaya, pendidikan, ekonomi, politik dan berbagai bidang sesuai karakteristik masing-masing simpul. Masyarakat Maiyah di Indonesia terus berusaha bersama-sama menumbuhkan kembali martabat dan kedaulatan sebagai rakyat dan bangsa. [AS]