DILARANG BERBICARA DENGAN SOPIR

Reportase Kenduri Cinta Oktober 2010

Forum Kenduri Cinta malam itu diawali setelah penampilan dari beberapa kelompok musik dan pembacaan tilawah Alquran. Judul tema Kenduri Cinta kali itu berupa kalimat yang lazim ditemukan di kendaraan umum. Indonesia diibaratkan sebagai sebuah kendaraan yang dijalankan oleh sopir — sopir adalah representasi kepemimpinan. Lalu mengapa “dilarang berbicara dengan sopir”? Kemungkinan besar, supaya sopir bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Meskipun sebenarnya kata yang lebih mendekati konsep pemimpin adalah kusir bukan sopir, karena tidak seperti sopir yang mengemudikan mesin, kusir harus mengendalikan makhluk hidup yang punya nafsu dan keinginan untuk merdeka.

Pudji Asmanto mengawali, menurutnya sopir merupakan pekerjaan tangan. Sopir bekerja untuk kepentingan penumpang, sehingga jabatannya tak lain adalah pesuruh sekaligus harus diikuti, ditaati aturan-aturannya. Terkait dengan “pekerjaan tangan”, jari-jari juga merupakan sebuah komponen. Ibu jari melambangkan keyakinan (believing), jari telunjuk menggambarkan hati (dictating), jari tengah merepresentasikan nafs (willingness), jari manis merupakan simbol dari jasad (securing), dan jari kelingking mewakili pikiran (managing). Aturan dalam permainan suit juga dapat digunakan untuk menggambarkan “kedudukan” tiap-tiap jari tersebut.

Ia menambahkan, sopir harus concern terhadap waktu, dengan demikian harus mampu menjembatani pekerjaan yang lama dengan pekerjaan yang cepat dengan sarana yang dinamakan teknologi. Mengelaborasi lebih dalam, Pudji mengurai tugas-tugas sopir yang ternyata memiliki persamaan dengan tugas pemimpin, yaitu mengantarkan penumpang hingga ke tujuan, bergerak maju — bukan mundur, memahami rute, memastikan keamanan semua penumpang, concern terhadap waktu, keep records-distance travel, driving time, far and near vision, ability to predict, skill, ability to quickly respond. Di sisi lain, penumpang juga diikat oleh aturan-aturan, seperti: dilarang berbicara dengan sopir, membicarakan sopir, mengeluarkan anggota badan dari kendaraan yang sedang melaju, membuang sampah ke luar kendaraan, harus duduk dengan tenang, dan membayar dengan uang pas. Tema “sopir” malam itu dikontekstualitaskan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan dengan baik oleh Pudji.

Orang hidup itu ada dua jalan: jalan pertama dia mencoba sendiri, menjalani sendiri, memutuskan sendiri dan menanggung akibatnya sendiri — jalan ini disebut ijtihad, subjeknya disebut mujtahid, berakar dari kata yang sama: jihad. Jalan kedua adalah mengikuti orang yang kita jadikan panutan. Rasyid Ridha membagi jalan kedua menjadi dua bagian, yaitu: ittiba’ dan taklid. Ittiba’, pelakunya disebut muttabi’, berarti mengikuti sesuatu dengan terlebih dahulu memahami apa yang diikutinya. Taklid, subjeknya disebut muqallid adalah mengikuti tanpa harus memahami apa yang diikutinya.

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Okt, 2010)

RASULULLAH ADALAH SOPIR SEJATI KITA

Forum malam itu dilanjutkan dengan mempelajari awal pergerakan intelektual di kalangan mahasiswa. Perintis awal tumbuhnya kelompok-kelompok diskusi selepas peristiwa G30S adalah kelompok diskusi Proklamasi di Yogyakarta, kelompok diskusi Salman ITB dan kelompok Salahudin UGM. Itulah tonggak pertama munculnya ghirah Islam di dunia kampus. Ketika masa 1970-an jarang sekali wanita-wanita— khususnya di kampus-kampus — yang mengenakan jilbab, gerakan-gerakan itulah yang aktif mendorong tumbuhnya “gerakan Islam”.

Gerakan jilbab awalnya dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap kemerdekaan wanita, juga dianggap sebagai bentuk pelanggaran konstitusi. Disitulah muncul pertama kali istilah “fundamentalis” untuk gerakan dan wanita-wanita yang mengenakan jilbab. Salah satu gerakan”fundamentalis” yang fenomenal masa itu adalah pementasan teater Lautan Jilbab, yang diselenggarakan pada tahun 1987 di Boulevard UGM. Teater Lautan Jilbab disutradarai oleh Agung Waskito yang malam itu ikut hadir di forum.

“Cak Nun adalah guru saya,” ujar Agung Waskito. “Yang diajarkan pertama kali olehnya adalah ilmu kewajaran. Dalam suara, cara menulis hingga cara berakting. Hingga kemudian saya menemukan bahwa kesenian adalah kewajaran, keberanian untuk berkarya, menulis, membuat sesuatu yang bermanfaat. Teater Lautan Jilbab dipentaskan dengan pemahaman itu,” tambah Agung Waskito, yang juga telah menciptakan 83 lagu.

Setelah perkenalan latar belakang Agung Waskito, Cak Nun kemudian melempar pertanyaan kepada jamaah, “Siapa tokoh dunia bukan nabi yang paling menjadi idola anda?” Sebuah jawaban kemudian dilontarkan jamaah, “Gus Dur!” Cak Nun melanjutkan dengan bertanya, “Kutipan apa yang anda ingat dari seorang Gus Dur?” Jamaah tak banyak menjawab, kecuali kutipan “DPR itu kayak anak TK” dan “Gitu saja kok repot”.

“Kebanyakan kita menokohkan seseorang bukan karena kita bener-bener tahu sejarah orang itu, melainkan hanya karena mitos. Dengan begitu kita tidak menghargai Gus Dur. Kita tidak mencari indahnya kalimat Gus Dur, ilmunya Gus Dur. Gus Dur tidak menjadi file. Rasulullah tidak online dalam kesadaran kita. Ternyata sekarang kita tidak ingat kok. Siapa guru kita? Katanya Gus Dur, tapi masa murid-muridnya cuma ingat dua kalimat: Gitu saja kok repot dan DPR itu kayak anak TK?” pungkas Cak Nun mengkritisi jamaah.

“Allah memberi keistimewaan pada setiap manusia. Ilmu Allah disebarkan menurut cara Allah sendiri. Yang perlu dilakukan adalah berendah diri untuk mau mendengarkan.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Okt, 2010)

AHMAD DAHLAN DAN MUHAMMADIYAH

Syekh Nursamad Kamba malam itu ikut berbagi pengetahuan dan tafsir kritisnya tentang pergerakan Muhammadiyah. Beliau memulai dengan menceritakan masa kecil Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan saat remaja bernama Darwis, hidup sebagai ketib di Masjid Agung. Darwis kecil mempunyai keinginan besar untuk belajar di tanah suci. Keinginan itu kemudian difasilitasi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang kemudian memberangkatkan Darwis ke tanah suci. Karena hal ini, hingga pulang kembali ke tanah air, Darwis sangat menghormati Kraton. Di tanah suci itulah beliau mengalami persentuhan dengan tokoh-tokoh Islam Timur Tengah. K.H. Ahmad Dahlan lalu membuat sekolah di rumahnya yang diperuntukkan para pribumi. Sri Sultan dhawuh 40 abdi dalem dari 4 wilayah untuk menjadi murid-murid pertama sekolah tersebut.

Tidak seperti makam ulama-ulama besar, makam K.H. Ahmad Dahlan termasuk sepi. Sebab beliau sendiri mengatakan bahwa selain keluarga tidak bisa mendoakan arwah manusia yang sudah mati. Kalau ditarik ke fikih, amal baik terputus pada saat meninggalnya seorang manusia kecuali tiga hal, yaitu shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan.

K.H Ahmad Dahlan banyak belajar dari ulama-ulama besar seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyyah. Muhammad Abduh, adalah seriang syekh besar lulusan Al-Azhar yang kemudian berkesempatan belajar di Eropa. Namun, menurut Syekh Nursamad Kamba, ajaran-ajaran Muhammadiyah tidaklah identik dengan pemikiran filosof-filosof modern tersebut. Yang lebih berpengaruh pada Muhammadiyah adalah ajaran Ibnu Taimiyah, yang dalam ilmu fikihnya menutup kemungkinan atas terbukanya dosa atau pelanggaran yang lebih besar karena mendekatkan umat pada bidah, sehingga terdapat pelarangan ziarah kubur misalnya, karena akan membuka kemungkinan untuk meminta sesuatu dari arwah yang diziarahi. Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang satu zaman dengan Ibnu Araby. Konsep-konsep Taimiyah digerakkan untuk melawan konsep-konsep tasawuf dari Ibnu Araby.

Syekh Kamba mengingatkan akan kita yang terpisah dari akar sejarahnya yang nyata. Apa yang menjadi pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah melarang taklid. Sekecil apapun, unggulkan semangat ijtihad. Namun sekarang yang ditransfer bukanlah semangat ijtihadnya melainkan semangat penolakan dan penentangan pada kelompok lain. “Jika saja ijtihad diterapkan di sekolah-sekolah Muhammadiyah saja, tak terbayang seberapa majunya bangsa kita sekarang,” Syekh Nurshamad Kamba menutup uraiannya.

IJTIHAD, ITTIBA’ ATAU TAKLID

Malam makin larut, forum masih berlanjut. Cak Nun ikut melengkapi uraian Syekh Nurshamad Kamba sebelumnya, “Orang hidup itu ada dua jalan: jalan pertama dia mencoba sendiri, menjalani sendiri, memutuskan sendiri dan menanggung akibatnya sendiri — jalan ini disebut ijtihad, subjeknya disebut mujtahidberakar dari kata yang sama: jihad. Jalan kedua adalah mengikuti orang yang kita jadikan panutan. Rasyid Ridha membagi jalan kedua menjadi dua bagian, yaitu: ittiba‘ dan taklid. Ittiba’, pelakunya disebut muttabi‘, berarti mengikuti sesuatu dengan terlebih dahulu memahami apa yang diikutinya. Taklidsubjeknya disebut muqallid adalah mengikuti tanpa harus memahami apa yang diikutinya. Yang menjadi “garis” Muhammadiyah adalah: jangan menjadi muqallid.”

Tentang ijtihad, ittiba’ dan taklid, Cak Nun tegaskan bahwa hal tersebut bukan hanya tentang urusan salat tetapi juga tentang urusan negara. Pasal-pasal hukum Indonesia, reformasi, demokrasi, semuanya adalah bentuk taklid. Maka kita adalah bangsa muqaliddin. Kita sering terbalik dan tertukar-tukar, di wilayah yang seharusnya merdeka kita justru bersikap taklid dan begitu pula sebaliknya.

Apabila dijadikan sebuah simpul, uraian Cak Nun tentang kepemimpinan juga menyinggung tentang dimensi kepemimpinan dalam Islam, yang bisa digolongkan menjadi 4 dimensi pemimpin, yaitu:

  • Raisberasal dari kata ra’sun yang berarti kepalaadalah pemimpin yang berada di jajaran paling atas dari suatu struktur.
  • Imamberasal dari kata ummun atau Ibu; adalah pemimpin yang mempunyai daya kasih sayang.
  • Amirberasal dari kata amr atau perintahyaitu pemimpin punya legitimasi untuk memerintah.
  • Qa’idh, berasal dari kata qudwah atau teladanadalah pemimpin yang memberikan keteladanan.

Dari khasanah Jawa kita bisa mendapatkan 3 dimensi kepemimpinan, yaitu:

  • Ing ngarsa sung tuladha, yaitu pemimpin yang berada di depan, memberikan teladan.
  • Ing madya mangun karsa — to be just someone among others, bekerja bersama, berada diantara yang dipimpinnya.
  • Tut wuri handayani, berada di belakang orang-orang yang dipimpinnya, menggembala, angon.

Perihal kepemimpinan, untuk menciptakan Indonesia yang tidak beta lagi, untuk merilis Indonesia yang sesungguhnya, kita bisa belajar dari Jawa, Bugis, Mandar, dan dari mana saja untuk berijtihad.

KITA HARUS MEMBAYAR

Cak Nun malam itu juga mengingatkan tentang pentingnya keutuhan keluarga, “Keluarga yang paling ideal adalah keluarga di Indonesia. Di Inggris, orang mati dilayat 5 orang itu sudah lumayan. Sedangkan sedengki-dengki manusia Indonesia, dia tetap menjunjung keluarganya. Banyak pekerja Dolly yang setelah melayani tamu dari jam 10 sampai jam 2 pagi, mandi besar kemudian bertahajud untuk kebaikan anak-anaknya. Tidak ada satu perempuan pun yang bercita-cita menjadi pelacur. Kalau ada pelacur, pasti ada sistem sosial yang salah. Allah hanya mempersyaratkan kecil saja sebagai bayaran kita itu, yaitu keutuhan keluarga.”

Seorang jamaah lantas menyampaikan bahwa ia telah belajar sangat banyak dari forum Maiyah, namun bingung dalam mengaplikasikannya. Hal itu kemudian direspon Cak Nun, “Kita sudah diajari jurus pirang-pirang tapi kok nggak perang-perang, gitu kan ya Mas? Perjalanan kita ini diiringi oleh para malaikah, yaitu makhluk-makhluk lain yang juga ikut bekerja. Ada 15 makhluk yang harus dikhalifahi manusia, tapi manusia tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin bahkan dirinya sendiri.”

Di tengah acara, Agung Waskito menyanyikan puisi Hizb. Kalau zikir dilakukan secara personal antara salik dengan Allah dan wirid diwasiatkan mursyid kepada salik untuk diamalkan secara rutin, Hizb adalah semacam mantra yang dibacakan pada saat-saat tertentu yang genting. Seperti contohnya Syadziliyah mempunyai Hizb NashrCak Nun sendiri pernah melakukan hizb dua kali di TIM, masing-masing untuk Bosnia Herzegovina dan Palestina. Hizb yang dinyanyikan Agung Waskito tentu bukan seperti Hizb Syadzili, melainkan sebuah puisi yang diciptakan di tahun 1983.

Pada akhir forum, Cak Nun menasehatkan beberapa pesan. Seperti perjalanan Khidlir dan Musa, pekerjaan kita sekarang adalah membocori kapal kita sendiri supaya tidak dirampok. Membocorkan kapal adalah tindakan berani untuk tidak mencuri, berani untuk tidak berebut, berani hidup walaupun seolah-olah tak ada lagi harapan untuk hidup. Dan keberanian ini harus bersamaan dengan kekuatan supaya kita tidak dihabisin awak kapal yang lain. Kalau kita sudah mampu membocori kapal kita sendiri, tahap selanjutnya adalah membunuhi anak-anak kecil (potensi-potensi keburukan) dalam diri kita sendiri. Kalau kita sudah menjalani keduanya, Tuhan akan kasih kepercayaan pada kita untuk menegakkan pagar, menjaga harta masa silam. Forum tak lama kemudian ditutup dengan doa bersama.