Cinta Nabi & Me-Muhammadkan Diri

Reportase Indonesia Cultural Night

Minggu, 13 Desember 2015, masyarakat Yogya kembali sinau bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng. Bertempat di Gedung Multi Purpose Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Cak Nun dan KiaiKanjeng memulai acara itu dengan mengajak hadirin untuk menyanyikan lagu Syukur karya habib Muntahar. “Ini adalah liqoun ‘adhim (perjumpaan agung). Untuk itu, kita buka dengan ungkapan syukur,” Cak Nun membuka acara di hadapan ratusan hadirin.

Usai mengekspresikan rasa syukur, Cak Nun mengajak hadirin kembali memahami arti santri dan siswa. “Masih ingat tidak perbedaan antara santri dan siswa,” tanya Cak Nun. Siswa, menurut Cak Nun, adalah seseorang yang belajar (ta‘lim). Pelakunya juga bisa disebut muta‘allim. Sedangkan, santri lebih luas cakupannya. Ia tak hanya belajar (ta‘lim), tapi juga memperadabkan, pemberadaban (ta’dib). Dan dalam laku ta‘dib, tokoh panutannya adalah Nabi Muhammad SAW.

Dalam upaya ta’dib, lanjut Cak Nun, panduan utamanya adalah Alquran. “Alquran itu Muhammad literer, Muhammad yang ditulis,” tegas Cak Nun. Maka dari itu, kita harus bershalawat kepada Nabi Muhammad. Ketika kita bershalawat kepada kekasih Allah, maka kita akan disayang Allah. Dalam khasanah Maiyah, hal itu disebut dialektika cinta segitiga, yakni Allah – Rasulullah – Kita.

Acara yang bertajuk Indonesia Cultural Night itu diselenggarakan oleh Yayasan Mata Air bekerjasama dengan Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora). Oleh karena Yayasan Mata Air bergerak dalam pendampingan santri dan siswa kurang mampu agar bisa masuk Perguruan Tinggi dengan penyelenggaraan bimbingan belajar, maka malam itu Cak Nun berpesan agar perspektif penyelenggaraan bimbingan belajar didasari oleh dialektika cinta segitiga, yakni Allah-Muhammad-Kita. “Bimbingan belajar itu tujuan utamanya menuju Allah SWT, melalui jalan Nabi Muhammad dan sumber referensinya Alquran,” jelas Cak Nun pada Mas Idris, salah seorang pengurus Yayasan Mata Air.

Cak Nun yang malam itu mengenakan kemeja jeans lengan pendek dan berkopyah ala Rusia, menegaskan bahwa hidup adalah dalam rangka me-Muhammadkan diri. “Di kalangan orientalis Barat, dulu Islam disangka ajaran Nabi Muhammad. Padahal kan tidak. Islam itu ajaran Allah yang disampaikan oleh para Nabi. Kita bisa melihat jika tahun Masehi patokannya adalah kelahiran Isa. Berbeda dengan Islam, yg dijadikan patokan tahun Hijriah adalah laku Nabi Muhammad, yakni peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah,” ungkap Cak Nun.

Kita diciptakan Allah menjadi manusia Indonesia yang diperintah menjaga dan merawat bumi Indonesia. Wajib hukumnya menjadi diri sendiri, sebagaimana ayam wajib menjadi ayam tidak lantas menjadi bebek. Allah menciptakan tiap wilayah berbeda musim dan cuaca. Eropa dan Amerika memiliki empat musim sehingga ketika memasuki musim panas, setelah sekian bulan banyak waktu habis di rumah saat musim dingin, orang-orang di sana berekreasi. Berbeda dengan di Indonesia yang tidak memiliki musim rekreasi, maka harus punya metode budaya sendiri. Seperti yang dilakukan bersama KiaiKanjeng ke manapun, setiap kreasi harus rekreatif. Dan tiap rekreasi harus kreatif. Berkreasi harus penuh nikmat dan syukur.

Ciri khas pendidikan timur adalah pesantren, sedangkan ciri pendidikan barat yaitu sekolah. Namun banyak orang pesantren yang tidak yakin jika tidak sekolah. Saat Belanda masuk, pesantren dipersempit hanya menjadi pendidikan ilmu fikih. Cak Nun mengungkapkan, “Ini semua akibat sekulerisme yakni memisahkan ada agama dan ada yang non agama. Padahal, tidak ada yang tidak terkait dengan agama/Tuhan.” Lebih lanjut Cak Nun mengurai, “Sekulerisme berbeda dengan sekularisasi. Dulu, yang dimaksud Cak Nur (Nurcholish Madjid) dengan sekularisasi adalah yang tidak sakral jangan disakral-sakralkan dan yang sudah sakral jangan didesakralisasi.”

Acara pada malam itu menyambung kembali yang terputus akibat sekulerisme. Agar santri dapat mengakses informasi mahasiswa, dan yang mahasiswa disantrikan.

Cak Nun kemudian mengajak hadirin untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad. Bershalawat adalah salah satu cara mengekspresikan cinta kita kepada Nabi Muhammad. Dan bershalawat tidaklah sama dengan menyanyikan lagu shalawat.

Usai bershalawat, Cak Nun berbicara tentang nasib Indonesia masa depan. “Pada suatu hari nanti, Indonesia adalah negara maju. Indonesia akan dipimpin oleh seorang negarawan,” tegas Cak Nun. Memang, saat ini di segala bidang, baik sosial, politik, ekonomi maupun hukum tidak ada seorang negarawan. Maka dari itu, Cak Nun berpesan kepada hadirin, yang mayoritas adalah generasi muda untuk mempelajari idiom-idiom seperti politisi, negarawan dan lain sebagainya. Hal itu agar generasi muda memiliki wacana tersebut. Sebab, negarawan-negarawan Indonesia di masa depan akan lahir dari generasi muda saat ini. “Indonesia, di masa depan sangat lengkap dan mampu menampung seluruh orang di dunia,” tutur Cak Nun memotivasi hadirin yang mayoritas generasi muda.

 

Cak Nun lalu meminta Mas Doni, vokalis KiaiKanjeng untuk menyapa dunia. Melalui KiaiKanjeng, Cak Nun ingin menunjukkan betapa kita mampu menampung segala macam jenis orang. Kemudian, Mas Doni menyanyikan salah satu lagu Maroon 5 dengan iringan musik Jawa khas KiaiKanjeng.

Cak Nun lalu membuka dialog kepada hadirin. Salah seorang perempuan yang hadir malam itu pun angkat bicara. “Shalawat memang ungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad, tapi kalau cuma kata-kata tanpa dibarengi tindakan bagaimana? Kenapa kita harus bersholawat?” tanyanya pada Cak Nun.

Cak Nun pun menegaskan kembali bahwa bershalawat merupakan ungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad. Tentu hal itu juga dibarengi tindakan lainnya. Lebih lanjut Cak Nun menjelaskan shalawat seringkali disalah-salahkan karena dianggap bid’ah. Untuk itu, Cak Nun menegaskan bahwa bid’ah boleh dilakukan, apabila masih dalam ranah ibadah muammalah. Sedangkan, dalam ranah ibadah mahdloh, bid’ah tak boleh dilakukan. “Kalau melakukan salat, jelas panduannya, yakni sebagaimana Nabi lakukan (shollu raitumuuni usholli). Jangan lantas dipadukan dengan gerakan yoga, misalnya,” Cak Nun memberikan contoh dan disambut tawa hadirin.

Seperti maiyahan pada malam ini adalah aplikasi dalam me-Muhammad-kan diri. Semua yang hadir mencari kebaikan. Orang-orang di kota hari-hari ini cenderung mencari kejelekan orang lain, maka dalam maiyahan kita selalu mencari kebaikan dari yang dikatakan orang bahwa itu buruk.

Cak Nun menambahkan terkait shalawatan tadi, kita yang hidup sangat jauh dari masa kehidupan Rasulullah sungguh-sungguh sangat beruntung. Semua yang hidup semasa atau bersama-sama Rasulullah disebut sahabat. Sedangkan Rasulullah menyebut kita yang hidup tidak semasa beliau sebagai saudaranya. Maka optimislah selalu dan bersyukur. Karena Allah sangat menyayangi kita yang tidak pernah berjumpa Rasulullah tapi banyak bershalawat kepada beliau.

Untuk mempertegas penjelasannya, Cak Nun kemudian meminta Kyai Muzammil untuk menjelaskan perkara bid’ah. “Bid’ah itu menciptakan tanpa contoh,” tutur Kyai Muzammil mengawali penjelasannya. Allah SWT, tegas Kyai Muzammil adalah contoh konkret pencipta tanpa contoh. Maka, Allah SWT disebut juga Al Mubdi’. Kyai Muzammil bertanya pada hadirin, “Shalawatan itu hukumnya apa?” Kiai Muzammil pun melontarkan pertanyaan kembali: “Mengikuti Nabi itu wajib atau tidak?” Menurutnya seseorang itu bisa mengikuti Nabi Muhammad kalau punya rasa cinta. Nah, apakah rasa cinta datang tiba-tiba? Jelas tidak. Maka dari itu, kita harus memperbanyak bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Turunan akibat dari sekulerisme adalah pandangan bahwa agama tidak boleh dicampuradukkan dengan budaya. Padahal budaya adalah wadah bagi agama. Pakaian adalah produk budaya. Jika tidak boleh dicampuradukkan dengan agama, maka jangan berpakaian dalam beribadah ritual keagamaan.

Kemudian ada tuduhan menyerupai suatu kaum. Jika tidak ada parameter tegas mengenai “menyerupai” itu, maka tinggalkan segala hal yang kita lakukan yang bukan diri kita. Kita lupa dari mana asalnya kacamata, dari mana asalnya jam tangan. Banyak hal kini yang kita gunakan bukan dari diri kita.

Lagu Malam Kudus, Shalawat, dan lain-lain, dalam Islam itu masuk dimensi muamalah, bukan ajaran mahdloh Allah. Lagu Malam Kudus dikarang oleh umat Kristen untuk menghormati Yesus. Sama halnya shalawat adalah karangan umat Islam untuk menunjukkan betapa sayangnya kepada Rasulullah.

Pada umumnya kita tidak memahami beda wilayah antara agama dengan budaya, antara mahdloh dengan muamalah, antara akidah dengan akhlak. Lagu Malam Kudus disangka wilayah mahdloh, agama, padahal itu budaya, sama dengan pohon natal, sinterklas, dan lain-lain itu budaya.

Indonesia Cultural Night kala itu, benar-benar terasa. Salah seorang tamu undangan asal Korea Selatan turut menyumbangkan lagu. Pelan-pelan malam itu KiaiKanjeng mengiringinya. Karena lagu itu mirip dengan lagu Apuse, lagu Papua, sontak hadirin menyanyikan lagu Apuse dengan iringan musik KiaiKanjeng.

Memasuki akhir acara, Cak Nun mengajak jamaah berdiri untuk menuju ke kemesraan di puncak acara. Kekhusyukan itu kemesraan dan ia adalah puncak agama. Khusyuk tidak ada dalam fikih, di atas itu semua adalah cinta. Malam itu, acara ditutup sekitar pukul 00.15.

Teks oleh Fafa Mustofa (Caknun.com)