Bukan Cuma Different, Divergent

KITA BERADA di peradaban dimana identitas itu dinomorsatukan oleh banyak orang. Kalau berkenalan dengan orang baru, salah satu yang harus ada dalam list perkenalan yang harus ditanyakan adalah, “Kerjanya dimana?”. Berharap setelahnya kita dapat membuat nama panggilan yang kewes sesuai identitasnya. Mas pegawai, om dokter, pakde montir, juragan bos, bro anggota, mbak LSM dan sebagainya.

Setelah sekian lama menceburkan diri di Maiyah, saya berkenalan dengan banyak orang. Mereka menjadi saudara baru bagiku. Namun begitu, banyak diantara kenalan baru dan saudara baruku itu yang sampai hari ini bahkan saya tak tahu apa profesinya, dia gawe dimana, dia makaryo apa. Ini bukan sesuatu yang baik untuk dicontoh, karena kalau tidak tahu identitas dan profesi bagaimana bisa menjalin networking dan membicarakan peluang-peluang income tambahan? Atau minimal kita kehilangan pengetahuan siapa-siapa sasaran untuk dipinjami uang saat kepepet.

Profesi dan pekerjaan memang tidak bisa menjadi pintu untuk mengenali identitas Jamaah Maiyah. Maiyah bukan forum pengajiannya kalangan profesi atau kasta ekonomi tertentu saja. Ada tukang parkir yang Jamaah Maiyah, dari parkiran emperan ruko sampai juru parkir bandara. Sopir yang Jamaah Maiyah juga ada, ya sopir angkot, ya sopir pesawat. Dari anggota pramuka sampai anggota kesatuan militer. Ketua RT sampai anggota Dewan yang terhormat. Preman sampai santri. Islam fundamentalis, moderat juga abangan. Bukan Islam juga banyak. Atheis pun ada.

Jamaah Maiyah lebih bisa dikenali dari misalnya kaos yang ia kenakan. Kalau ia mengenakan kaos oblong kok tulisannya “Luwih becik nuthuk saron, tinimbang nuthuk ndasmu”, maka bisa dipastikan dia adalah seorang Jamaah Maiyah. Terlebih jika dikuatkan dengan ia mengenakan peci merah putih. Maka secara absah dan mutlak bisa dipastikan dia adalah benar-benar seorang Jamaah Maiyah. Terkecuali, kaos dan pecinya itu ternyata barang pinjaman.

Selain dari identitas kostum yang dikenakan, seseorang dapat diindikasii sebagai suspect Jamaah Maiyah dari cuap-cuapnya di media sosial. Dalam menanggapi isu-isu yang sedang hot di media sosial, Jamaah Maiyah seringnya mempunyai cara pandang yang berbeda. Kadang malah bukan cuma berbeda, tetapi nyleneh. Malah banyak yang nggak cuma nyleneh, tapi usil, jail, nyentil.

Oleh kawan-kawanku, saya dikenali sebagai Jamaah Maiyah salah satunya karena kegemaranku bercuap-cuap di medsos. Bercuap-cuap tentang hal yang berbeda, nyleneh, usil, jail dan nyentil. Atas apa saja isu yang sedang santer, rasa-rasanya kok gatal ya kalau nggak ikut berkomentar.

Ketika sedang santer isu sweeping di bulan Ramadhan, saya santer bercuap kalimat yang kerap terlontar di Maiyahan, “Hormatilah orang yang tidak berpuasa”. Juga ketika ramai aksi mendukung slogan hebat KPK “Berani jujur hebat”, lewat akun medsosku saya justru getol berseloroh “Jujur itu biasa saja”.

Yang tidak saya sadari sebagai Jamaah Maiyah newbie adalah bahwa tidak semua quote-quote yang muncul di Maiyahan bisa diterima oleh orang awam di luar Maiyahan. Orang awam yang tidak memahami seluk beluk, sangkan paran, intensi-atensi dari suatu pernyataan memiliki potensi untuk salah paham terhadapnya.

Orang awam mungkin berpikir, orang tidak puasa itu dihormati apanya? Ia menyangka ajakan menghormati itu adalah bentuk merendahkan orang yang sedang berpuasa. Bukankah yang berpuasa sejatinya lebih tinggi derajatnya dihadapan Tuhan? Begitu mungkin pikirnya. Padahal maksudnya adalah, orang yang sedang berpuasa lebih mulia membangun akhlak menghormati keberagaman dalam rangka amar ma’ruf, ketimbang royokan menyeruduk warung-warung dengan emosi berkedok nahi munkar.

Pun demikian dengan slogan KPK, bukan berarti orang jujur tidak boleh diapresiasi. Tapi bahwa wajarnya, biasanya, default-nya manusia itu ya memang sudah seharusnya hidup dengan jujur. Kalau seseorang menganggap jujur itu prestasi, nanti ia menyangka korupsi itu biasa saja, wajar. Yang mendapat prestasi menjadi juara itu sedikit, jadi tidak semua orang loh ya harus berprestasi.

Namun, memang orang-orang yang menyalahpahami kalimat-kalimat itu tidaklah boleh serta merta harus disalahkan. Butuh beberapa semester pendadaran cara berpikir untuk seseorang dapat mendudukkan cara pandang yang benar pada kalimat-kalimat yang menghampiri mereka. Wajar, sebab kita terlanjur hidup di tengah hutan rimba pemikiran yang demikian semrawut.

Sulit kita mengusut muara dan asal dari pemikiran-pemikiran di dalam benak kita saat ini. Sehingga susah kita menggugat pemahaman-pemahaman yang sudah kadung tertanam di benak kita. Misalnya kok ada iklan shampo yang mengklaim 9 dari 10 wanita telah menggunakan produk itu, tapi produk itu masih gencar saja iklannya di televisi. Kalau memang benar klaim atas survey mereka itu, untuk apa membelanjakan uang besar untuk meraup sisa market share yang hanya sisa sepersepuluh bagian?

Dari iklan shampo sampai slogan pemerintah, “Pembayar Pajak adalah Patriot Bangsa”. Kalau semua orang di negeri ini menggunakan BBM, lalu setiap pembelian BBM terdapat komponen pajak 15%. Berarti semua orang di negeri ini adalah patriot. Apakah masih perlu julukan patriot kalau semuanya sudah patriot? Berbanggalah kita jadi penduduk Negeri Para Patriot.

Begitulah, media terlebih media sosial akan menjadi lebih tenteram ketika orang-orang mau belajar beberapa semester dulu untuk memahami seluk beluk, sangkan paran, intensi-atensi, muara-hulu, motif-tujuan, kerangka-kemasan untuk menghadapi kalimat-kalimat yang menghampiri mereka.

Sepertihalnya kaos dan peci merah putih yang dapat dijadikan pengenalan sebagai identitas Jamaah Maiyah karena benda-benda itu sering dipakai oleh sebagian Jamaah Maiyah, demikian juga dengan cuap-cuap nyleneh dan ‘berani’ di media sosial. Mungkin sikap nyleneh dan berani itu dapat saja dijadikan identitas pengenalan bahwa ia Jamaah Maiyah, tapi bukan berarti semua Jamaah Maiyah seperti itu adanya. Dalam Maiyahan tidak pernah ada kewajiban instruktif bagi Jamaah Maiyah itu usil dan nyleneh, sepertihalnya tidak ada kewajiban mengenakan kostum tertentu. KTA pun tak ada.

Kalau menonton film Insurgent, film science fiction yang rilis pada tahun lalu mengisahkan tentang seseorang yang lolos tahap-tahap simulasi kehidupan, Jamaah Maiyah yang baru bisa nyleneh dan berani di media sosial itu posisinya barulah lolos di simulasi Dauntless, simulasi level pertama. Yakni, ia yang mampu memilih berani dan mengalahkan rasa takut. Minimal ia sudah menunjukkan bahwa ia berani berpikir diluar kebiasaan berpikir mainstream.

Berapa banyak hari ini orang yang tidak berani keluar dari cara berpikir mainstream, sekalipun cara berpikir mainstream sudah sedemikian janggal. Sudah banyak juga ternyata orang yang lebih memilih me-remove akun medsosku karena merasa kemapanan berpikirnya diganggu-ganggu oleh keusilanku.

Shailene Woodley si pemeran Tris Prior, pemain utama di Insurgent setelah lolos di simulasi pertama ia kemudian masuk ke simulasi kedua. Simulasi yang sangat sederhana, sang Ibu dalam simulasi itu memuji bahwa Tris adalah seorang yang berani. Tris lalu menjawab bahwa dirinya bukanlah seorang pemberani, ia hanya ingin dilihat berani oleh orang lain. Atas jawaban itu, Tris lolos dalam simulasi yang kedua ini.

Begitu pula para tukang usil di medsos, ia yang masih mengejar pengakuan orang lain, merasa bangga disebut anti mainstream, atau bahkan cita-citanya adalah ingin membangun eksistensi diri mendambakan julukan sebagai The Different ia berarti belum lolos di simulasi kedua yang di film Insurgent disebut simulasi Candor.

Jamaah Maiyah tekun membangun cara berpikir untuk tidak larut dalam permainan atau simulasi-simulasi hidup. Kita semua diajak untuk memilih antara berani dan takut. Lalu diajak untuk memilih membangun eksistensi atau melakukan deeksistensi.

Abnegation, adalah simulasi yang harus ditempuh di tahap ketiga. Apakah seseorang mau memaafkan orang yang telah berbuat salah kepadanya atau tidak. Mana yang dipilih untuk didahulukan, rasa kemanusiaan atau rasa dendam. Rasa tidak tega, atau emosi yang membara.

Menonton film kedua dari The Divergent Series ini, saya dikuatkan kesadarannya kembali bahwa dunia ini hanya permainan atau simulasi belaka. Simulasi keempat adalah simulasi Erudite, dalam adegan di film itu digambarkan Tris memiliki cinta yang begitu mendalam kepada Four kekasihnya, tetapi ia tetap mampu memilih sikap yang rasional, tidak terbuai oleh rasa cintanya sendiri.

Wah, ini jenis simulasi tingkat tinggi. Berapa banyak orang memilih gagal, memilih berkompromi dengan keadaan dengan dalih demi orang-orang yang dia kasihi. Apakah pengertian kita tentang cinta dan rasionalitas selama ini sudah benar adanya. Adakah pengertian lain yang lebih expert? Sehingga keduanya tidak bersilangan juga tidak tumpang tindih? Di simulasi level ini, mana yang dipilih, idealisme atau rasionalitas? dalih atau sikap menyerah?

Beranjaklah pada simulasi terakhir, Amity. Dalam ruang simulasi yang sangat canggih yang dibangun oleh Jeanine si musuh utama dalam film itu, seperti nglindur di dalam tidur, Tris bertemu dengan dirinya sendiri. Ini simulasi paling puncak, apakah kita memilih mengalahkan diri sendiri atau kalah oleh dirinya sendiri? Melawan dirinya sendiri atau mengelolanya.

Begitulah di film itu Tris disebut sebagai seorang Divergent, karena ia lolos dari simulasi demi simulasi kehidupan yang harus ia hadapi. Bagi kita yang kebetulan tak disibukkan perhatiannya untuk mengurusi kenaikan jenjang karier, tidak ada salahnya kalau kita menyibukkan diri mengamati kenaikan level simulasi-simulasi kehidupan kita sendiri.