Belajar Pada Muhammad Sebelum Ber-Islam

Firman Allah: Katakan Muhammad, sesungguhnya aku adalah basyar, manusia biasa yang diwahyui Allah. QS. Al-Kahf: 110; QS. Fussilat: 6. Nabi Muhammad SAW adalah manusia biasa memang betul, tapi beliau suci dan sucinya sesuai dengan karakteristik manusia. Sucinya bukan seperti malaikat, bahkan tidak seperti nabi-nabi sebelumnya yang pada umumnya dilahirkan dalam keadaan sudah menjadi nabi. Isa AS sudah nabi sedang masih bayi. Musa AS sudah nabi sejak diletakkan dalam keranjang dan dialirkan oleh ibunya ke sungai. Muhammad menjadi nabi setelah berumur 40 tahun. Mengapa? Agar menjadi tauladan, supaya manusia modern terutama manusia masa kini yang paling mampu membuat dan merekayasa alasan-alasan, misalnya, dengan mengatakan: ah, namanya juga nabi ya pasti sucilah.

Nabi Muhammad SAW dihadapkan kepada berbagai keadaan yang menyulitkan semenjak kecil, bahkan semasih dalam kandungan ayahnya sudah tiada. Semasih kecil ibundanya sudah tiada. Beliau harus berjuang mencari nafkah, membiayai hidupnya karena beliau harus tahu diri dan belajar mandiri. Maka setelah berangkat remaja, beliau sudah mempunyai profesi dan berdagang ikut pamannya ke Syam. Sebuah riwayat menceritakan bahwa semasa usianya menginjak sekitar 10 tahun beberapa bulan, beliau mengalami bedah dada untuk mengeluarkan hasad, irihati, dengki dan curang dari dalam dirinya, selanjutnya menggantinya dengan lemah lembut, kasih sayang dan keterbukaan. Diriwayatkan pula bahwa sebelum isra’ mi’raj, Rasulullah kembali mengalami bedah dada dengan mengeluarkan sifat-sifat dengki dan segala sifat-sifat yang menjadi penyakit jiwa manusia.

Menurut Ibn Katsir, operasi bedah yang dimaksud dalam QS. Al-Insyirah bersifat mental tetapi tidak menafikan pemahaman secara fisik dari uraian hadis. Yang nyata adalah bahwa beliau memiliki kelapangan dada yang membuatnya mampu menanamkan simpati dan kewibawaan dalam pergaulan. Ibn Katsier menafsirkan ayat 1 Al-Insyirah: maknanya Allah mencahayai hatinya dan menjadikannya lapang dada, berpandangan luas, dan akomodatif serta bersifat fleksibel. Apakah Muhammad SAW sudah mengetahui dirinya akan menjadi nabi semenjak kecil atau bahkan saat-saat sebelum peristiwa turunnya wahyu pertama di gua hira?

Dari HR. Bukhari tentang awal turunnya wahyu yang menguraikan secara rinci keadaan serta kondisi kejiwaan Rasulullah sesaat dan sesudah turunnya wahyu pertama, dapat dipastikan bahwa hingga turunnya wahyu beliau sama sekali tidak menyadari bahwa peristiwa yang dialaminya merupakan prosesi transformasi dirinya dari manusia biasa menjadi nabi dan rasul. Beliau bingung, panik, tegang, resah, gelisah dan sangat tertekan dengan semua itu. Salah satu riwayat mengisahkan: Beliau pernah bermaksud menjatuhkan diri dari atas puncak gunung, tetapi urung karena mendengar suara dari langit: Ya Muhammad, engkau adalah nabi.

Mengapa pertanyaan itu (apakah Nabi sudah tau sejak awal bahwa beliau akan menjadi nabi?) penting? Karena untuk memastikan bahwa segala langkah yang diambil oleh Muhammad sebelum prosesi transformasi menjadi nabi adalah murni pilihan-pilihan manusiawi. Artinya bisa menjadi pedoman untuk diikuti dan ditauladani. Mulai dari kegiatannya berdagang. Ini bisa menjadi kata kunci bahwa pemuda harus ada pekerjaan. Memang, bekerja bukan untuk mencari rezeki karena rezeki sudah ditanggung oleh Allah. Tapi bekerja merupakan bagian yang terpenting dalam membentuk kepribadian yang integral. Nabi sangat tidak toleran terhadap pemalas. dalam do’anya: allahumma inni a’uzu bika min al’ajzi wa al kasali.. (ya Allah aku berlindung padamu dari lemah dan malas..). Kalau saja umat Islam mengikuti Nabi yakni mengikuti sunnah Nabi dalam hal perlunya bekerja dan memiliki profesi sejak masih muda pasti umat Islam menjadi unggul sebagaimana yang diharapkan Allah dalam Al-Quran (Al-Baqarah: 143). Umat Islam unggul bukan karena namanya Islam atau sekedar bergabung ke dalam barisan muslim melainkan unggul jika mengikuti nabinya yang profesional sejak masa muda sebagaimana dibuktikan oleh para sahabat. Namun, apa hendak dikata umat yang membanggakan beliau hanya suka memperalat nabinya untuk kebutuhan pribadi masing-masing.

Kita juga bisa mengambil hikmah di sini bahwa berdagang dan menjadi pengusaha adalah profesi yang paling ideal untuk mengukur dan menguji kredibilitas hidup dan integritas kepribadian. Nabi membuktikan bahwa indikator utama keberhasilan dalam berdagang adalah amanah, jujur dan bertanggung jawab, hingga beliau dijuluki al amiin. Orang yang berdagang tapi menjaga kejujuran itu pertanda memiliki integritas pribadi yang tinggi. Makanya Sayyidah Khadijah memilih untuk mempercayakan usahanya kepada Muhammad karena kejujurannya.

Adakah korelasi antara bedah dada Nabi dengan sikap dan sifat serta perilaku jujurnya? Jika memahami kisah metaforis pembedahan yang dilakukan oleh malaikat dengan mengeluarkan rasa dengki, hasad, iri hati dan curang, selanjutnya mengganti dengan lemah lembut, kasih sayang, dan rasa hormat kepada yang lain, semua itu menunjukkan bahwa untuk memperoleh kelapangan dada dan berpandangan luas serta akomodatif ialah dengan cara membedah dada dan mengeluarkan hasad, dengki, iri hati dan curang.

Ini ajaran universal, seseorang tidak akan pernah mampu berlapang dada sepanjang dalam dirinya ada rasa dengki, hasad, iri dan curang. Dengki ialah menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena iri yg amat sangat kepada keberuntungan orang lain. Iri hati adalah merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain; kecemburuan melihat kelebihan orang lain.

Seseorang tidak akan pernah mampu memiliki pandangan luas jika tidak memiliki kelapangan dada. Seseorang tidak akan akomodatif dan bersikap fleksibel jika tidak memiliki pandangan yang luas. Walhasil, seseorang tidak akan jujur jika tidak memiliki kelapangan dada, pandangan luas, akomodatif dan sikap fleksibilitas. Sedangkan untuk tujuan itu perlu membebaskan diri dari hasad, dengki, iri dan curang. Maka Nabi mengingatkan: iyyakum wa al hasad fa inn al hasada ya’kul al hasanat kama ya’kulu al nar al hathab. (hati-hati dengan hasad karena ia memusnahkan segala kebaikan ibarat api melahap kayu bakar).

Misalkan wahyu tidak turun kepada Muhammad, apakah ajaran membersihkan diri dari dengki tidak baik? Tetaplah baik. Ini yang kita sebut khairun bizatihi. Ini berarti ajaran pertama yang diterapkan oleh seorang Muhammad adalah membebaskan diri dari hasad, dengki, iri, dan curang. Dengan membebaskan jiwa dari hasad, dengki, iri dan curang kemudian muncul lapang dada, pandangan luas, kasih sayang dan respek atau rasa hormat. Hasilnya luar biasa! Karater Al amanah (kejujuran).
Jika meminjam teori antropologi sosial tentang internalisasi, aktualisasi dan eksternalisasi kita dapat memformulasikan suatu paradigma begini: jika ketidak-jujuran merebak dalam masyarakat itu merupakan pertanda bahwa para anggota masyarakat belum terbebas dari rasa dengki, hasad, iri dan curang. Dan berhati-hatilah jika ketidak-jujuran merebak karena hal itu mengancam akan memakan semua kebaikan/keberkahan dalam kehidupan bermasyarakat ibarat api melahap kayu bakar.

Dapat disimpulkan bahwa ajaran yang paling awal dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah melepaskan diri dari hasad, dengki, iri dan curang selanjutnya mengisi jiwa dengan sifat-sifat lemah lembut, lapang dada, dan akomodatif. Tujuan utama pembersihan jiwa dalam kaitan ini adalah agar mampu menerapkan sikap amanah dalam mengembangkan profesi. Intinya, kalau mau membentuk karakter jujur dengan cara membebaskan diri dari hasad, dengki, iri dan curang; pada saat yang sama memiliki kelapangan dada, lemah lembut, akomodatif, dan respek kepada yang lain. Ajaran-ajaran murni ini kemudian dilembagakan dalam Al-Quran untuk menjadi pedoman umum bagi umat manusia secara keseluruhan. Peristiwa bedah dada Nabi yang merupakan esensi pembersihan diri dari hasad, dengki, iri serta curang pada saat yang sama memiliki sifat-sifat lemah lembut, lapang dada, akomodatif, dan respek seolah-olah menjadi pendahuluan dan pengantar menuju Islam. Sebelum menjadi Islam bersihkan diri dulu dari hasad, dengki, dan iri. Sebelum menjadi Islam miliki dulu sifat-sifat lemah lembut, lapang dada, akomodatif, dan respek. Intinya, untuk menjadi muslim yang baik dan paripurna haruslah memiliki sifat amanah (jujur dan bertanggung jawab). Tanpa melakukan tazkiyatunnafs ini Islam kita akan menjadi hanya sekedar nama dan tidak dapat memperoleh keunggulan-keunggulan yang dijanjikan dalam Kitab Suci Al-Quran baik di dunia maupun di akhirat.

Sifat kelapangan dada Nabi SAW dipraktekan sepanjang hidupnya dan menjadi modal utama bagi keunggulan perjuangan Islam. Perhatikanlah sirah Nabi bahwa walaupun bermacam-macam halangan dan rintangan yang dihadapi, benteng kebencian dan perlawanan demikian kuatnya menghadang, pelbagai kegiatan teror dan siksaan menimpa beliau dan para pengikutnya, sepanjang periode tersebut beliau tidak pernah —walau sekalipun— kehilangan daya kontrol dan kendali diri; baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sama sekali tidak pernah kehilangan kesabaran, tidak pula sedikitpun pernah merasa putus asa. Suatu sikap perjuangan yang perlu kita pedomani pada diri Rasulullah SAW. Berbeda dengan sikap sebagian dari yang mengaku umatnya, belum apa-apa sudah menghunuskan pedang.

Selain tazkiyatunnafas dari hasad, Nabi juga melakukan suatu hal yang rutin sebelum prosesi kenabiannya. Yakni kebiasaan ber-khalwat.Yang menarik dari kegiatan ber-khalwat, Nabi tidak hanya sekedar mengasingkan diri dari keramaian lalu melakukan perenungan dan kontemplasi. Khalwat Nabi adalah semacam paket tazkiyah yang terdiri atas kegaiatan-kegiatan perenungan, pertapaan yang terpadu dan dibarengi dengan pelayanan sosial. Kata tazkiyah lebih kaya makna dari pada kata tasfiyah. Tazkiyah mengandung makna sosial, sedangkan tasfiyah lebih kepada penyendirian. Menurut sejarawan Mesir modern, Husain Mu’nis: Sebelum Muhammad memasuki tahap-tahap prosesi kenabian, jiwa, hati, dan seluruh perhatiannya sudah tercurahkan dan terpusatkan pada pencarian kebenaran, seperti yang dilakukan oleh kelompok “al-Hanifiyah” yang sadar bahwa penyembahan berhala-berhala adalah pekerjaan sia-sia. Beliau mendambakan agama Nabi Ibrahim AS. Diriwayatkan oleh al Bukhari bahwa prosesi yang mendahului turunnya wahyu pertama adalah al ru’yah al salihah (visi yang layak). Yakni mimpi yang nyata, indah, melapangkan dada, menenangkan dan menyegarkan jiwa. Keadaan seperti itu mulai dialami Rasulullah sejak menginjak umur 39 tahun, sebagai akibat khalwat-nya di gua hira atau di tempat-tempat sunyi lainnya.

Mu’nis menulis: Semenjak jiwanya sadar dan bergejolak mencari kebenaran, agama Ibrahim as; Muhammad sudah sering melakukan khalwat di hampir setiap gua yang ada pada bukit-bukit yang mengitari kota Mekkah. Sesungguhnya pemandangan-pemandangan indah yang terlihat oleh Muhammad dalam mimpi-mimpi itu adalah semacam pengetahuan emanasi dari kontemplasi spiritual yang membuat beliau penuh lapang dada dan melihat kehidupan amat indah tatkala bangun dari tidurnya. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh pengalaman seperti ini adalah kecenderungan untuk meninggalkan aktifitas-aktifitas yang tidak berarti. Namun beliau dalam hal ini tidak memisahkan diri dari keramaian dan pergaulan hidup. Hal itu adalah suatu persiapan untuk memasuki tahap kenabian. Kata-kata yang digunakan untuk mengekspresikan pengalaman tersebut, yakni falaq al-shubh (fajar menyingsing) dapat memberikan gambaran tentang perihalnya. Seseorang diantara kita yang pada malam hari tidur nyenyak dan pulas, lalu bangun di pagi hari dan melayangkan pandangan ke taman bunga maka ia akan merasa dirinya diliputi cahaya sejuk ibarat sejuknya cahaya fajar menyingsing. Al-falaq sendiri adalah terminologi Al-Quran seperti dalam QS: 113 al-Falaq: 1. Allah berfirman: Katakanlah (Muhammad) aku berlindung kepada Allah Tuhan al-Falaq. Menurut para pakar tafsir, falaq berarti Allah membelah kehampaan yang gelap dengan cahaya keimanan. Dan cahaya seperti itulah yang dirasakan oleh Muhammad meliputi dirinya setiap kali sadar dari mimpi-mimpi yang shalihah itu. Tidak mesti mimpi-mimpi yang emanatif ibarat cahaya fajar tersebut terjadi ketika Muhammad sedang tidur di malam hari, tetapi bisa saja terjadi di siang hari setiap kali Muhammad lengah atau mengalami kontemplasi spiritual lalu terlihat olehnya pemandangan-pemandangan indah yang melapangkan dada dan menyejukkan jiwanya..” Walaupun rajin ber-khalwat Muhammad tetap menjalankan kegiatan bisnisnya. Dan dalam ber-khalwat Nabi melakukan tahannuts.

Kata al-tahannuts adalah istilah baru yang menurut sebagian penafsiran penulis Sirah berarti: beribadah sepanjang malam. Sedangkan menurut penafsiran yang lain berarti: kegiatan berderma dalam rangka pembersihan jiwa. Sehubungan dengan ini al-Thabari meriwayatkan pendapat Ibnu Humeid yang mengatakan bahwa: Setiap tahun Rasulullah SAW berderma memberi makan setiap fakir miskin selama satu bulan. Kegiatan yang sudah menjadi tradisi mereka yang termasuk golongan al-hanifiyah, pencari kebenaran.

Apa saja yang dilakukan oleh Nabi jika berada di dalam pertapaannya? Salah-satu hadis Nabi mengajarkan: uzkuru hazima al lazzat (ingatlah selalu penghancur kelezatan). Maksudnya, ingatlah selalu kematian, karena hal itu akan membuatmu tidak betah dalam kelezatan duniawi. Menurut Nabi, mengingat kematian adalah bagian utama dalam tazkiyatunnafs karena hubbuddunya ra’su kulli khati’atin (mencintai dunia adalah pangkal segala kejahatan). Tapi di sini harus pandai-pandai membedakan antara mencintai dunia dengan mengelola dunia. Hubbuka li shshay’i yu’mi wa yu simm, cintamu kepada sesuatu membuatmu buta dan tuli. Mengelola bukan mencintai. Mengelola dunia adalah salah-satu tugas kekhalifahan yang diwajibkan, tetapi bukan untuk mencintainya melainkan untuk menyebarkan kebaikan di muka bumi. Menjadi sumber dan media tersebarnya kebaikan di bumi merupakan indikator pencapaian spiritual yang tinggi. Artinya, pertanda bahwa seseorang telah berhasil melakukan tazkiyatunnafs.

Apakah di dunia kita sekarang ini perlu khalwat dan tahannuts? Kegiatan khalwat Nabi sudah barang tentu bermakna menghindarkan diri dari kegiatan penyembahan berhala-berhala dan memusatkan perhatian pada penyembahan kepada Allah. Mengapa Nabi mengenal Allah padahal tidak pernah belajar teologi, filsafat, maupun agama? Karena mengenal Allah adalah fitrah dalam diri manusia. Semacam software (meminjam bahasa komputer) dalam program roh yang ditiupkan Tuhan kedalam jiwa manusia. Perhatikan QS. Al-Rum: 30 Maka hadapkanlah dirimu kepada agama secara hanif. Adalah fitratallah yang membentuk diri manusia, tiada ganti ciptaan Allah, demikian itulah agama yang bernilai tapi sebagian besar umat manusia tidak menyadari. Mengapa software roh ini tidak muncul pada kebanyakan orang karena tertutup oleh virus hubbuddunya. Fitratallah itulah yang mendorong Nabi melakukan khalwat dan tahannuts.

Berhala-berhala pada masa Nabi masih simple dan gampang menghindarinya. Brahala-berhala modern lebih kompleks dan sulit menghindarinya. Dulu harta dan kekuasaan hanya sebagai pengantar menuju kepada keberhalaan. Kini, harta dan kekuasaan sendiri malah sudah menjadi berhala. Kondisi ini semakin menegaskan pentingnya tazkiyatunnnafs. Ajaran-ajaran formal agama sudah kurang efektif membendung penetrasi godaan berhala-berhala termasuk idola-idola modern. Kita perlu ber-khalwat dan tahannuts, yakni perenungan dan kontemplasi, beribadah secara hanif, yakni ibadah yang bermutu dan efektif merubah perilaku menjadi lebih baik. Pada saat yang sama perlu tahannuts yakni ibadah yang dibarengi dengan bakti sosial.

Jika bagi Nabi, khalwat dan tahannuts menghantarkannya kepada mimpi-mimpi yang indah, benar, dan nyata maka bagi manusia modern program khalwat dan tahannuts menghasilkan visi-visi yang cemerlang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa khalwat dan tahannuts adalah tazkiyatunnafs Nabi dalam menyongsong turunnya wahyu. Perenungan dan kontemplasi yang dibarengi dengan tahannuts (bakti sosial) akan melahirkan visi-visi yang cemerlang dan mencerahkan. Dengan khalwat manusia menghindarkan dirinya dari berhala-berhala yang dipersonifikasikan dalam kata ad dunya. Yakni bentuk mu’annats dari al adna (yang terendah). Maka kata dunia berarti sesuatu yang berada pada titik terendah berhadapan dengan Yang Maha Tinggi yakni Allah SWT. Tapi di sini perlu re-interpretasi, karena makna menghindarkan dunia maksudnya tidak tergantung pada dunia, tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidup. Bahwa dunia harus dikelola dan diatur dengan baik merupakan kewajiban dan tugas utama manusia sebagai khalifah di bumi.

Intinya, jika dekat kepada Tuhan pasti jauh dari pengaruh dan godaan duniawi, jika dekat dan patuh kepada godaan duniawi pasti jauh dari Tuhan. Nah, bagaimana cara hidup yang dekat kepada Tuhan tapi tetap hidup di dunia? Dengan tazkiyatunnafs a la Rasulullah SAW, yakni:

  1. Membebaskan diri dari dengki, hasad, iri, dan curang
  2. Memiliki sifat-sifat lapang dada, berpikiran luas, dan akomodatif atau fleksibal.
  3. Ber-khalwat melakukan kontemplasi perenungan-perenungan mendalam.
  4. Ber-tahannuts: melakukan ibadah dengan sekhusyu’ mungkin.
  5. Bakti sosial: memberikan pelayanan dan bantuan kepada sesama.

Barangkali, tidak berlebihan manakala kelima poin dalam tazkiyatunnaf Rasulullah SAW tersebut merupakan intisari ajaran yang termuat secara rinci dan panjang lebar dalam Al-Quran. Diriwayatkan bahwa Aisyah mengatakan: Akhlak Rasulullah itu adalah Al-Quran. Yaitu karakter yang mempersonifikasikan al asmaul husna, tapi pada saat yang sama mengelola kehidupan dunia dengan baik. Tazkiyatunnafs dilakukan supaya dapat mengelola hidup ini dengan cemerlang dan mencerahkan. Dalam tradisi tasawuf ini dilakukan melalui sistimatika ahwal dan maqamat, yang pada esensinya tiada lain adalah usaha dan upaya (ijtihad) yang berkesinambungan untuk menjalin koneksitas kepada Allah (ma’iyatullah), sehingga berkarakter dan berakhlak mulia dalam rangka melaksanakan tugas selaku khalifah Allah di bumi.

Seharusnya kita malu pada Kanjeng Nabi, sudah terlanjur mengaku muslim tapi pada saat yang sama memendam dengki, iri, dan kecurangan. Seharusnya kita malu pada Kanjeng Nabi, sudah terlanjur muslim tapi pada saat yang sama tidak mampu berlapang dada, berpandangan luas, dan tidak saling menghormati. Seharusnya kita malu pada Kanjeng Nabi, sudah terlanjur muslim tapi pada saat yang sama tidak berkarakter jujur. Mari belajar jujur dulu sebelum ber-Islam.