MAIYAHAN INTERNALAN

 

Memahami Ridho Allah

Cak Nun mengawali diskusi internalan malam itu dengan menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia garis akhirnya adalah ridho Allah. Kebanyakan orang menganggap ridho Allah ini sangat susah dicapai, justru ridho Allah adalah ridho yang paling mudah dicapai daripada ridho yang lain, seperti ridho tetangga, ridho istri, dan sebagainya. Ridho Allah itu simpel, jelas, syaratnya nomor satu adalah dengan menyekunderkan dunia. Bahwa bekerja itu adalah untuk bekerja, bukan untuk mencari uang, di Maiyah rumus-rumus seperti ini sudah sangat jelas.

Misalkan dalam sebuah pertemuan, kemudian setelah pembacaan ayat suci Al-Quran pembawa acara mengatakan “mudah-mudahan acara yang akan kita laksanakan ini mendapat ridho Allah SWT” Kemudian muncul pertanyaan, kalau sebuah acara yang sudah diniatkan dengan baik, diawali dengan membaca Al-Quran kok masih mengatakan “mudah-mudahan”. Seakan-akan bahwa ridho Allah ini masih abstrak bagi kita, padahal anda sudah sholat, sudah serius, sudah berusaha untuk khusyuk. Manusia masalahnya bukan urusan ridho Allah dalam perjuangannya sehari-hari karena kegagalan dalam mengurutkan eskalasinya, sehingga merasa susah mendapatkan ridho Allah. Hal ini dikarenakan masih terbebani dan mengutamakan dunia dalam kehidupan sehari-hari.

Manusia adalah makhluk Allah yang memiliki kemungkinan-kemungkinan. Berbeda dengan hewan dan tumbuhan. Jika hewan dan tumbuhan yang dimiliki adalah kepastian. Sedangkan manusia berada pada level yang berbeda, yaitu kemungkinan. Misalkan seekor macan, dia hanya memiliki sebuah kepastian sebagai pemangsa binatang yang lain. Ia tidak memiliki kemungkinan untuk memakan rumput, daun atau tumbuhan. Pada eskalasi ini kita bisa melihat bahwa seekor macan mengalami penderitaan yang luar biasa karena tidak ada kemungkinan lain selain membunuh binatang lainnya yang lebih lemah. ‘Sialnya’ kita menjadi manusia. Dalam beberapa surat didalam Al Quran manusia memiliki perjanjian dengan Allah tentang kelangsungan hidup di dunia. Sehingga manusia memiliki kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan di dunia.

Seekor ayam apabila dihadapkan dua buah piring yang satu berisi jagung dan yang satunya berisi kerikil, ayam tersebut memiliki kepastian untuk memilih piring yang berisi jagung. Manusia saat ini, terutama bangsa Indonesia ketika dihadapkan dua piring tersebut yang terjadi adalah menghabiskan apa yang ada diatas dua piring tersebut, ya jagungnya ya kerikilnya dimakan. Sejarah kemunculan Maiyah dan berkumpulnya kita di Maiyah adalah karena kita merasa “kok sepertinya hidup itu nggak seperti ini ya?” kemudian kita bersama-sama di Maiyah mencari hidup yang seharusnya itu seperti apa.

Dalam Maiyah tidak ada ukuran lama atau sebentar perjalanannya. Kita tidak usah mengukur Maiyah besar atau kecil, lama atau sebentar dan sebagainya.
Emha Ainun Nadjib

Manusia itu terlalu banyak perhitungan dalam segala hal, meskipun dalam kehidupan ini memang memerlukan perhitungan, namun tidak semua dalam kehidupan ini diperhitungkan. Manusia dengan kemungkinan yang dimiliki, ia juga memiliki kesadaran kehambaan (khalifatullah), bahwa manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Dengan Maiyah, kita berusaha untuk mencari diri kita kembali.

Ketika manusia menemukan utara-selatan, itu adalah kesepakatan bersama yang ditemukan untuk mengukur ruang yang sedang ia tempati. Karena jika kita menyadari dengan benar, kita akan menemukan bahwa tidak ada utara dan selatan di bumi. Berdasarkan pengetahuan yang kita miliki, bumi itu bulat, sehingga pada dimensi yang lebih tinggi kita tidak akan bersepakat bahwa ada utara dan selatan di bumi ini. Ketika anda membayangkan ruang, maka tidak akan anda temukan akhir dari sebuah ruang, karena ada ruang yang baru setelah anda memutuskan batas akhir sebuah ruang.

Manusia sebagai khalifah sendiri terbagi menjadi pemetaan-pemetaan yang semakin kecil lagi. Ada khalifah dalam skala keluarga, khalifah dalam skala kampung, sampai yang lebih luas hingga khalifah dalam skala Indonesia. Dalam Al Quran ayatnya jelas, Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa. Sehingga, setiap manusia tidak akan dibebani sebuah tanggung jawab yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Ada yang hanya dibebani tanggung jawab sebuah keluarga, ada yang dibebani tanggung jawab sebagai pemimpin perusahaan dan seterusnya. Sehingga, apabila kita tidak ikut ngurusi Indonesia, di hadapan Allah kita tidak bersalah. Karena mungkin kita tidak mampu ngurusi Indonesia atau Indonesia ini memang bukan tanggung jawab kita. Dan dengan Maiyah yang sudah kita lakukan selama ini, baik Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat, Padhang Mbulan dan seterusnya, kita tidak perlu menuntut Maiyah ini seakan-akan kita tidak melakukan apa-apa untuk Indonesia.

Saat ini yang harus kita lakukan adalah menyadari bahwa kita adalah orang yang tidak berdaya di hadapan Allah SWT. Kita sebagai manusia ini sama-sama bergantung kepada Allah tetapi tingkat ketergantungannya berbeda satu sama lain. Dalam Maiyah rumusnya juga jelas, dalam menjalani sesuatu pertimbangannya adalah bahwa apa yang akan dijalani ini diizinkan oleh Allah atau tidak.

Cak Nun mengungkapkan; “Kalau saya itu hanya berani kalau itu diperintah oleh Allah, apa saja saya jalani. In lam takun ‘alayya ghodobun, falaa ubaali.” Kesadaran menyadari ketidakberdayaan ini yang kita tekankan dalam Maiyah. Bukan berarti kita tidak berdaya terhadap siapa-siapa, melainkan pilihan sikap kita adalah laa haulaa walaa quwwata illa billahi-l-‘aliyyil adhziim. Bahwa kita dalam Maiyah menyadari bahwa kita tidak berdaya dihadapan Allah.

Cak Nun kemudian mencoba mengelaborasi hadits yang dijadikan patokan beberapa aliran masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah hadits tentang isbal, yaitu penggunaan kain yang melebihi mata kaki. Jika difahami lebih detail ada dua pesan utama dalam hadits ini, yaitu larangan tentang pemakaian kain yang melebihi mata kaki dan sombong. Tetapi yang diambil oleh beberapa aliran ini adalah tentang penggunaan kain yang melebihi mata kaki. Padahal dalam hadits tersebut jelas sekali terdapat dua hal yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Budaya masyarakat pada saat zaman Rasulullah SAW salah satunya adalah menggunakan kain yang melebihi mata kaki. Idiom budaya pada waktu itu, semakin kaya seseorang semakin berlimpah-limpah kainnya. Maka kain menjadi salah satu dari ekspresi kesombongan.

Kesalahfahaman hadits ini juga hampir sama dengan peristiwa ketika Rasulullah SAW melakukan sholat jenazah diatas kuburan salah seorang ibu-ibu tua yang pada masa hidupnya sering menyapu halaman masjid Nabawi. Ketika Rasulullah SAW mengetahui ibu tersebut sudah meninggal, karena beliau tidak mengetahui kabar meninggalnya ibu tersebut, maka Rasulullah SAW melakukan sholat jenazah diatas kuburan ibu tersebut. Dari peristiwa ini yang ditangkap oleh sebagian ulama adalah bahwa sholat jenazah diatas kuburan itu boleh. Tidak ada yang memahami betapa Rasulullah SAW sangat menghormati setiap orang yang ada disekitarnya. Ibu-ibu tua yang menyapu halaman Masjid Nabawi ini hanyalah satu dari sekian orang yang dihormati oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya.

Kita bukan hanya mencari dan menemukan kebenaran, tetapi ketepatan itu sendiri juga yang kita cari untuk kita temukan. Maiyah mewarisi benih bukan sawah dan kebun yang sudah ada tanaman dan buahnya.
Emha Ainun Nadjib

MANUSIA PRA ISLAM

Syeikh Nursamad Kamba melanjutkan penjelasan tentang Muhammad sebelum menjadi Rasulullah. Menurut Syeikh Nursamad, peristiwa yang dialami oleh Muhammad sebelum menjadi Rasulullah SAW ini adalah periode “pra Islam”. Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi Rasulullah, apakah beliau tahu bahwa beliau akan menjadi Nabi? Bukankah dalam Al Qur’an terdapat ayat Qul, innama ana basyarun mutslukum — Katakanlah (ya Muhammad) aku adalah manusia biasa seperti kalian.

Ada dua hal yang bisa kita contoh secara praktis dari Muhammad sebelum beliau menjadi Nabi. Pertama, sejak masa kecil hingga masa muda, Muhammad sudah melakukan pembersihan jiwa dari empat hal: hasad, dengki, iri dan curang. Ini menjadi salah satu penafsiran Ibnu Katsir dalam surat Al Insyiroh. Simbol-simbol pembersihan jiwa terhadap 4 hal tersebut merupakan sumber-sumber dari kerusakan dan kejahatan yang ada pada diri manusia. Maka Nabi Muhammad SAW bersabda Iyyakum wal hasada fainnal hasada ya’kulu-l-hasanaati kama ta’kulu-n-naaru alkhotoba. Waspadalah terhadap hasad, karena dia bisa memakan seluruh kebaikan seperti api yang membakar sebuah kayu bakar. Jadi, sepanjang kita dalam kehidupan sosial masih terdapat dengki, iri, hasad dan curang itu tidak akan pernah ada kebaikan yang lahir. Hal inilah yang kemudian menyebabkan tahsabuhum jamii’an wa qullubuhum syattaa. Hati tidak bisa bertemu satu sama lain karena didalam hati itu sendiri terdapat dengki. Empat sifat buruk tadi kemudian menjadi sumber dari sifat-sifat yang lain seperti tamak dan serakah.

Kemudian setelah melepaskan diri dari 4 hal tersebut, dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad kemudian meluaskan hatinya dan melapangkan dadanya. Hal ini kemudian membuat Nabi Muhammad memiliki kemampuan dalam bersikap akomodatif dalam menerima pandangan orang lain dan kemampuan memberi respek kepada orang lain. Sifat-sifat inilah yang kemudian melahirkan sifat amanah yang disematkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Cak Nun menyambung dengan mengelaborasi sebuah hadits, I’mal lidunyaaka ka’annaka ta’issyu abadan, wa’mal li aakhirotaka ka’annaka tamuutu ghodan. Menurut Cak Nun, hadits ini pernah dibahas dalam sebuah disertasi seorang doktor di UIN Makassar yang menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits palsu. Cak Nun menggunakan common sense dalam memahami hadits ini dan berpendapat bahwa hadits ini palsu. Hadits ini mengajarkan kerakusan yang luar biasa, pada kalimat selanjutnya adalah menyatakan sekularisme yang ekstrem. Membedakan dunia dan akhirat pada kotak yang berbeda. Tidak ada pekerjaan dunia yang tidak bernilai akhirat dan tidak ada pekerjaan akhirat yang tidak bermakna dunia.

Rasulullah SAW pernah mengatakan kurang lebih seperti ini: “Kalau ada kata-kataku yang menurut akalmu itu sejalan dengan yang difirmankan oleh Allah, maka lakukanlah. Tetapi kalau ada kata-kataku yang menurut akalmu tidak sejalan dengan perintah Allah, maka anggaplah aku tidak pernah mengatakan itu.” Jadi, dalam beragama kita seharusnya mengutamakan dan mengandalkan akal. Laa diina liman laa aqla lahu. Semua yang ada dalam Islam dapat kita jelaskan semuanya dengan akal. Syahadat, sholat, zakat, puasa, haji dan sebagainya dapat kita jelaskan dengan akal sehat.

Sehingga dapat kita simpulkan, banyak sekali hadits-hadits yang dimunculkan berdasarkan kepentingan-kepentingan. Dan jumlah hadits-hadits palsu yang berdasarkan kepentingan tersebut jumlahnya sangat banyak, bahkan sampai ratusan ribu. Sehingga akhirnya sekarang orang tidak bisa membedakan antara ibadah mahdhloh dan ibadah mu’amalah sehingga akhirnya antara satu sama lain merasa paling benar dengan propaganda istilah bid’ah.

Konsep yang dibuat Allah adalah “mina dzulumaati ilaa-n-nuur”. Konsep ini tidak pernah difahami oleh manusia. Pada awalnya terdapat densitas positif, dimana malaikat sujud kepada Adam. Kemudian densitas negatif muncul ketika iblis diizinkan untuk tidak sujud kepada Adam. Kalau kita mau agak cerdas, ketika kita diberli peluang untuk mengalami “dzulumaat”. Karena konsepnya jelas “laa ilaaha illallah”. Yang dieksploitir habis-habisan hanya pada kalimat “laa ilaaha”, tanpa mau beranjak kepada “illallah”.

Cak Nun menekankan, “Kamu jangan cari apa-apa di Maiyah, kalau kamu masih dibebani oleh dunia. Dibebani oleh dunia itu tidak sama dengan anda miskin.” Banyak kesalahfahaman manusia tentang konsep dunia. Ketika tidak mengejar dunia maka akan berakibat kepada kemiskinan. Ini pemahaman yang salah. Sayyidina Ali pernah mengatakan, “yaa dunya ghurri ghairii laqod tholaqtuka tsalasatan”, wahai dunia jangan coba-coba merayu aku karena aku sudah menalak tiga kamu. Tetapi kita sebagai manusia yang memiliki kemungkinan-kemungkinan, kita tidak harus mengikuti konsep yang dimiliki oleh Sayyidina Ali tersebut. Kita boleh menggunakan konsep yang lain, dunia tidak kita kejar namun apabila dunia mendatangi kita juga tidak kita tolak. Karena dunia mendatangi manusia habis-habisan. Yang harus dibentuk dalam diri manusia adalah membatasi diri agar manusia tidak berbalik mengejar dunia. Dunia memang kita tidak kejar, tetapi betapa bodohnya manusia yang menolak dunia yang mendatanginya.

Sepreman-premannya orang Indonesia, jika kelak nanti diberi pemimpin yang mengajak kepada kebaikan, maka preman pun akan berbuat kebaikan seperti yang dicontohkan oleh pemimpin tersebut.
Emha Ainun Nadjib

BELAJAR KEPADA PENDERITAAN

“Jangan dikira saya tidak menderita dalam hidup saya. Tetapi tidak bisa penderitaan membuatku menderita. Penderitaan silahkan engkau datang, tetapi jangan pikir aku akan menderita. Jangan dipikir sehelai bulu saya akan tanggal oleh itu, jangan dipikir darah saya menjadi tidak lancar oleh itu, jangan dipikir hati saya menjadi panas. Tidak, saya tidak akan berubah. Darah saya, jantung saya tidak berubah. Saya bertapa, yang berubah hanya kulit saya dan warna rambut saya. Saya tidak akan melamar Indonesia, Indonesia yang harus melamar saya,” lanjut Cak Nun.

Dahulu manusia Nusantara ini sangat unggul dalam segala hal. Semua berubah ketika Portugis datang, kemudian Belanda menyempurnakan perubahan di Nusantara ini. Cak Nun memberi perumpamaan yang sangat mudah, “Anda tidak ada masalah dalam hidup anda selama ini, tetangga anda baik, aman, kerjaan juga beres. Suatu hari dicuri barang dirumah anda, besoknya gaji anda dikorupsi, besoknya lagi motor anda diambil spionnya. Hingga kemudian anda mengalami keteraniayaan harta benda,” sambung Cak Nun.

Berdasarkan teori Ki Agus Sunyoto, bangsa Nusantara ini dirampok oleh Portugis. Dahulu, ketika kapal-kapal Majapahit mengekspor barang kemudian dirampok oleh Portugis dirampok. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan bangsa ini mengalami kemunduran yang luar biasa. Pertama adalah proses kemunduran teknologi kapal. Jika sebelumnya mereka membangun kapal yang besar karena kebutuhannya adalah untuk mengangkut barang yang banyak. Kapal yang awalnya berbentuk agak bulat seperti telur, karena sering dirampok kapal yang dibangun adalah kapal yang ukurannya lebih kecil karena kapalnya ringan dan siap untuk perang. Manusia nusantara yang pada awalnya tidak terlalu memikirkan harta benda, setelah mengalami perampokan oleh Portugis di tengah laut, akhirnya mereka justru fokus dalam harta benda. Ketika anda merasa aman dengan harta benda, anda tidak pernah berfikir kepada mengunci pintu. Tetapi ketika anda mengalami perampokan, anda kemudian mengunci pintu.

Sebab yang kedua adalah karena manusia Nusantara kalah dalam perang. Kenapa kita kalah dalam perang, karena kita ksatria. Seorang Ksatria apabila bertarung adalah dengan duel satu lawan satu, terserah nanti senjata yang akan digunakan apa. Portugis menyerang kapal-kapal Majapahit dengan merampok yang diawali pelemparan meriam dari kapal-kapal mereka ke kapal-kapal Majapahit. Sekarang kita mengalami kegamangan, kehilangan jiwa ksatria sekaligus kehilangan keberanian berperang. Di Maiyah kita mencoba mencari anti thesis dari fenomena yang terjadi saat ini.

Peristiwa diatas bersamaan dengan tidak matangnya kedatangan Islam di Nusantara. Pertama yang datang ke Nusantara adalah Islam tasawuf. Kemudian dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, salah satunya adalah yang dialami oleh Majapahit dan Demak. Di sisi lain manusia Nusantara dirampok di laut, kemudian fokusnya kepada harta benda dan peperangan, akhirnya yang tersisa dari Islam di Indonesia adalah urusan fiqih saja, Islam tersisa syariat formal saja. Islam filosofi atau kebatinan hanya diurusi oleh orang-orang yang kecewa, yaitu orang-orang yang tidak setuju Majapahit dijadikan Demak. Dan itu terjadi sampai hari ini, bahkan semua peristiwa disangkut pautkan dengan hal tersebut.

Diawal acara Cak Nun memberi perumpamaan seekor ayam yang dihadapkan dua buah piring yang isinya berbeda. Yang satu berisi jagung, yang satunya berisi kerikil. Seekor ayam yang nalurinya adakah hewan maka akan memakan jagung, meskipun bisa saja pada awalnya dia memilih piring yang berisi kerikil. Bangsa Indonesia jika dihadapkan kepada dua piring tersebut, maka kedua piring tersebut akan dilahap. Posisi ini sebenarnya sangat menguntungkan, meskipun juga saat ini merugikan. Suatu saat nanti apabila bangsa Indonesia disajikan sebuah piring “baldatun thoyyibatun warobbun ghaffur” maka akan diterima dengan baik. Ibaratnya, sepreman-premannya orang Indonesia, jika kelak nanti diberi pemimpin yang mengajak kepada kebaikan, maka preman pun akan berbuat kebaikan seperti yang dicontohkan oleh pemimpin tersebut.

Ketika adik-adik kita yang akan menempuh Ujian Nasional, yang pusing bukan cuma orang tua, saudara, atau gurunya. Dan untuk mempersiapkan Ujian Nasional tersebut mereka melakukan tahapan-tahapan yang sedemikian rupa banyaknya agar mencapai kelulusan. Mulai dari jam pelajaran tambahan, les tambahan sampai try out dan sebagainya. Tetapi sekarang, kita dihadapkan oleh seorang calon pemimpin bangsa yang kita tidak pernah mengujinya. Anak-anak SMA saja agar lulus dari SMA harus mengikuti Ujian Nasional terlebih dahulu. Ibaratnya, anda punya seorang supir yang anda pekerjakan. Kemudian supir itu anda suruh mengantar anda ke suatu tempat, ditengah jalan ia ditawari untuk menyupiri sebuah bis, dan dia menyetujui tawaran tersebut tanpa berdiskusi kepada anda yang saat ini mempekerjakannya. Bagaimana reaksi anda? Pasti anda marah. Kemudian, supir itu tadi baru sebentar menyupiri bis dia ditawari untuk menyupiri kendaraan yang lebih besar lagi, dan dia menyetujui tawaran tersebut. Undang-undang kita mengizinkan seorang pejabat negara yang sedang menjabat sebagai pemimpin suatu daerah untuk menjadi peserta pemilihan pemimpin di tempat lain dan pada skala yang lebih besar dari daerah yang dipimpin sebelumnya.

Maiyah ini mewarisi benih, bukan sawah dan kebun yang sudah ada tanaman dan buahnya.
Emha Ainun Nadjib

BAGAIMANA MAIYAH BERSIKAP

Dalam Maiyah, kita mempunyai teori tentang jenis manusia. Manusia macam apakah engkau? Manusia “Abu Bakar”, Manusia “Umar”, Manusia “Utsman” atau Manusia “Ali”. Manusia “Abu Bakar” adalah manusia kultural, manusia yang menemukan Allah dengan cara pendekatan kultural. Sedangkan Manusia “Umar” adalah manusia radikal, manusia yang menemukan Allah dengan cara tabrakan, duel, perang dan sebagainya. Manusia “Utsman” adalah manusia yang menemukan Allah setelah melalui pertimbangan-pertimbangan. Manusia “Ali” adalah manusia yang menemukan Allah dengan cara yang lebih halus dari 3 jenis sebelumnya, “Ali” tidak memakai metode dalam menemukan Allah. Ketika ia melihat daun, yang tampak adalah Allah. Ketika melihat pohon, yang tampak adalah Allah.

Dan inilah yang kita gunakan dalam Maiyah. Kita menghilangkan jarak antara diri kita dengan Allah.
Cak Nun memungkasi pertemuan malam itu dengan sebuah perenungan bersama tentang Maiyah. Maiyah memiliki skala berfikir, detail berfikir, wilayah berfikir, keluasan hati, jika dianggap bahwa Maiyah adalah sebuah ijtihad, maka Maiyah memiliki volume yang lebih luas dari yang dilakukan oleh organisasi masyarakat yang lain. Ini bukan dalam rangka merasa unggul atau tidak unggul. Karena dalam Maiyah kita mengeksplorasi banyak hal dengan sangat detail. Mulai dari sosial, budaya, agama, kesehatan, olahraga, filsafat bahkan pertanian. Maka yang harus disadari oleh Jamaah Maiyah adalah apabila suatu saat nanti Maiyah dalam menemukan bentuk sosial, budaya, spiritual bahkan sampai lembaga sejarah dan organisasinya itu memerlukan waktu yang lama, bahkan mungkin baru ditemukan pada generasi setelah generasi kita yang ada sekarang, maka kita harus menyadari bahwa tidak ada kekecewaan dalam hati kita. Seperti halnya Imam Syafi’i, ketika beliau meninggal maka tidak ada gerakan Syafi’iyah.

Maiyah ini mewarisi benih, bukan sawah dan kebun yang sudah ada tanaman dan buahnya. Artinya, Maiyah ini memiliki jalan yang sangat panjang yang jauh lebih panjang dari usia kita. Sehingga kita akan sedih apabila benih yang ada sekarang ini sudah diharapkan buahnya. Kita tidak ingin kebesaran, apalagi kebesaran secara dunia.

Yang direkomendasikan oleh Cak Nun adalah benarnya berfikir, tepatnya berfikir, tepatnya bersikap. Istilah jawanya adalah pener, yaitu tepat. Kita bukan hanya mencari dan menemukan kebenaran, tetapi ketepatan itu sendiri juga yang kita cari untuk kita temukan. Ibaratnya, selama ini kita hanya membikin pot bunga, bukan sawah atau kebun yang luas. Buah dari Maiyah ini belum tentu kita ikut menikmatinya, bisa saja yang menikmati adalah anak cucu kita, meskipun demikian kita juga boleh berharap ikut menikmati masa panen dari benih-benih yang ditanam itu tadi. Karena tanaman tidak hanya tergantung pada benihnya, melainkan juga harus cocok dengan tanahnya.

Acara kemudian ditutup dengan do’a bersama yang dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba.