Behind the Kurungan

[1]

Teman-teman Bangbang Wetan yang mendapat kehormatan menggelar panggung untuk pergelaran Nabi Darurat Rasul Ad-hoc di Surabaya, mungkin tidak seberuntung saudara-saudaranya di Yogyakarta yang berkali-kali mengikuti latihan dan gladi resik di Kadipiro untuk pergelaran di TBY. Mungkin juga tidak seberuntung saudara-saudaranya di Jakarta yang mendapatkan karunia sebuah sesi khusus Gladi Resik di Gedung GKJ sehingga pada saat acara, bisa fokus pada teknis pelaksanaanya. Saya dan teman-teman Bangbang Wetan hanya bisa “mencuri pandang” dan “mencuri dengar” pergelaran yang berlangsung selama 2 hari di Gedung Cak Durasim Surabaya, sebab harus membagi konsentrasi pada pelaksanaan.Maka tidak adil jika serakan catatan ini bercerita tentang lakon pergelaran tersebut. Lagipula, reportase tentang pergelaran ini sudah tersebar di media massa, seperti Kompas, Republika, Surya, JawaPos, Sindo, MetroTV, SCTV dan beberapa TV lokal. Meskipun secara substantif, kandungan nilainya hanya sekitar 20%-30% saja yang terliput.[2]

Perjalanan persiapan Pergelaran Nabi Darurat Rasul Ad-hoc Surabaya ini bukannya tanpa adanya hambatan. Bahkan hingga H-1 semua hal untuk pergelaran masih serba samar-samar. Rentetan permasalahan terentang sejak dari persiapan teknis pelaksanaan acara maupun hal-hal lain di luar teknis yang juga adalah masalah tersendiri. Kalau anda pernah ada di dalam kepengurusan sebuah Event Organizer, atau minimal kepanitiaan 17 Agustus-an di RT anda, maka saya berani bertaruh anda akan putus asa menyaksikan bagaimana teman-teman panitia Nabi Darurat Rasul Ad-hoc disusun, diurus, dijalankan dan bagaimana teman-teman panitia Nabi Darurat Rasul Ad-hoc bekerja.

Dan ketika beban mengenai persiapan pelaksanaan acara sudah sedemikian absurdnya, maka kesuksesan pelaksanaannya adalah jalan buntu yang tidak bisa dihindarkan. Dan itulah pilihan satu-satunya yang dimiliki oleh Panitia, yang untuk itu dibutuhkan kekuatan mental yang luar biasa besarnya, yang hampir saja mustahil “diperkenankan” oleh Allah, kalau saja tidak memiliki sedikit pengetahuan tentang cinta segitiga Allah-Muhammad-kita.

[3]

Dan berdasarkan jarak, sudut dan posisi pandang saya terhadap permasalahan ini, saya menemukan potongan-potongan gambar puzzle jawabannya saat konferensi pers acara ini.

Alex Sarpin:

Panitia macam apa ini? Kepanitiaan sebuah event organizer seharusnya di-manage dengan baik. Pembagian struktur organisasinya harus efisien, efektif dan memenuhi tugas-tugas yang harus dilakukan. Pembagian job description, dan beban kerjanya juga harus professional, tidak boleh ada tumpang tindih. Bagaimana mungkin bagian publikasi harus mengurusi konferensi pers? Apa jadinya bagian perlengkapan harus menjamin konsumsi para pelakon? Bagaimana bisa orang-orang yang tidak dari sedari awal dalam kepanitiaan, tiba-tiba harus menjalankan tugas kepanitiaan tanpa adanya arahan sama sekali?

Menurut ensiklopedia, baik online maupun offline, baik resmi maupun bajakan. Jika sebuah kepengurusan sebuah organisasi, apalagi sebuah organisasi pelaksanaan acara -event organizer- tidak di-manage dengan baik, maka dipastikan berjalannya tugas-tugas kepanitiaan pasti akan tersendat dan tersekat. Tidak akan bisa ! Tidak !

Mbah Soimun:

Mungkin Ruwat “panitia” Sengkolo cucuku ini, bukanlah sebuah panitia, nak Alex. Ini hanya sekumpulan tangan, kaki, badan, kepala, yang masing-masing bersedia untuk menyediakan dirinya demi bergeraknya sebuah tubuh besar yang kau maksudkan dengan “panitia”

Pak Jangkep:

Dhuh, Ruwat “panitia” Sengkolo anakku

Gaspol:

Saya diperintahkan membubarkan Ruwat “panitia” Sengkolo! Sebab jika acara pergelaran ini diurusi oleh sebuah kepanitiaan se-darurat Ruwat “panitia” Sengkolo, maka dipastikan pergelaran akan menimbulkan banyak masalah!

Ki Janggan:

Ruwat “panitia” Sengkolo. Pernahkah gurumu ini mengajarkanmu untuk bekerja dengan seruduk sana seruduk sini semacam ini?

Pak Lurah Sangkan:

Demi keamanan dan kebaikan semuanya, saya harap nak Ruwat “panitia” Sengkolo menyerahkan tugas kepanitiaannya kepada yang lebih memiliki kompetensi dan profesionalisme.

Brah Abadon:

Siapa kamu semua! Yang merasa berhak untuk menilai tentang Ruwat “panitia” Sengkolo ? Mestinya kau mendobrak dan membebaskan diri dari kekerdilan berpikir makhluk-makhluk di Bumi. Kalian manusia Bumi tidak pernah paham karakter Ruang di atas Waktu, dan karakter Waktu di atas Ruang. Tidak mempelajari perspektif Cahaya dan koordinat-koordinat Cinta. Maka puncak pencapaian kalian adalah kebuntuan. Kalian terpuruk dan melayang-layang di ruang hampa Kemudian mendengar jawaban dari Tuhan seperti dulu kepada Malaikat yang ragu atas kekhalifahan manusia: “Kalian tak tahu, Aku yang tahu!”

Tahukan kalian ? Bagi para pencari, pergelaran ini akan memberikan air segar sebagai jawaban atas dahaga pencarian yang dilakukan. Dan bagi mereka yang mengurung pemikiran bahwa pergelaran ini hanyalah tontonan di atas panggung, pergelaran ini akan memeberikan hadiah pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka bawa pulang. Dan dua-duanya adalah laba pergelaran ini, yang nilainya jauh lebih bernilai daripada sebanyak apapun tiket yang terjual!

Ruwat “panitia” Sengkolo:

Aku ini lemah, dan bukan siapa-siapa. Dan pergelaran ini. Pergelaran ini bukan sebuah pertunjukan kesenian, melainkan sebuah perjalanan ruhani. Dan kepanitiaan semacam aku, hanyalah ubo rampe belaka.

Ini Lelaku

Tidak untuk mencari kegagahan

Ini hanya jalan mematuhi kerinduan

Kepada ilmu dan pengetahuan

Ini Nenepi

Tidak untuk membangun kehebatan

Ini langkah-langkah sangat kecil

Untuk menyadari kekerdilan

[4]

Dan akhirnya, Teater Perdikan, Letto, sound crew, lighting, dan ia sang penulis naskah, mengunjungi Gedung Cak Durasim sebagai persiapan terakhir untuk pergelaran besok hari. Teater Perdikan dan Letto memainkan beberapa potongan adegan untuk mengukur keselarasan dan keserasian dengan sound dan lighting. Selama ujicoba ini, Cak Nun sebagai penulis naskah amat sangat terlihat melakukan pengukuran-pengukuran terhadap semua hal, khususnya tentang efektifitas adegan-adegan yang nantinya akan dilakukan. Beberapa modifikasi dilakukan terhadap beberapa adegan.

Malam semakin larut, dan para pejuang veteran Teater Perdikan harus terlebih dahulu kembali ke penginapan untuk menghemat tenaga dan energi. Yang tinggal di venue adalah hanya Letto dan Penulis Naskah. Sang penulis naskah sangat serius mengarahkan Letto melakukan beberapa adegan, sampai-sampai ia harus melepas baju luarnya dan hanya memakai kaos dalam saja saat mengarahkan Letto. Keseriusan dan perhatiannya terhadap detail, menerbangkan aku ke beberapa waktu silam, di Kadipiro, ketika seusai MS sempat berbincang-bincang dengan sang penulis naskah dan beberapa orang lainnya. Dalam perhubungan kemanusiaan semacam itu, aku dapat melihat dengan jelas, raut mukanya yang begitu penuh dengan beban-beban yang mungkin seharusnya tidak dipikulnya. Usia sepuh-nya sangat kentara subuh itu. Ia, sah saja untuk tidak ikut menanggungkan keresahan-keresahan itu. Sah-sah saja untuk tidak turut menyediakan pundak bagi keluh-kesah dunia yang sudah sedemikian renta. Tetapi tidak, ia malah “menanggalkan baju luarnya” dan hanya dengan “kaos dalam putih tanpa kerah” yang menempel di badannya, ia menumpahkan seluruh perhatian dan keseriusannya untuk mendedahkan keresahan-keresahan itu melalui pergelaran ini.

Dan adakah jalan yang lebih sunyi dan sepi, dibandingkan ketika engkau memiliki sebuah pengetahuan dan informasi yang amat sangat penting tentang sesuatu, tetapi engkau tidak mungkin menyampaikannya, tetapi engkau tidak memiliki bahasa yang presisi untuk menyebutkannya.

Dan inilah sebenarnya yang menjadi tulang belakang mental panitia teman-teman BangbangWetan untuk juga melakukan bagiannya, yakni menumpahkan seluruh perhatian dan keseriusan untuk sukses dan lancarnya pergelaran ini. At all cost !

[5]

Pergelaran, pun digelar !

Dan alam tidak tinggal diam. Meskipun pada malam pertama, alam masih melakukan sedikit verifikasi terhadap pergelaran ini namun secara umum, pergelaran malam pertama berjalan dengan lancar. Dan puncaknya adalah pada malam kedua, ketika Ruwat “panitia” Sengkolo dan Ruwat “Joko Kamto” Sengkolo menyempurnakan pertalian ruhani yang memancar bi ruhin ‘abadan, alam bersama para penonton malam kedua “duduk” dengan khusyu’ mengendarai keresahan-keresahan sang penulis naskah, untuk menuju ke dalam diri masing-masing, menemukan keresahan yang sama dan sekaligus merumuskan beberapa hal yang pasti akan menjadi jawabannya.

Pergelaran ini, dari sudut, posisi dan jarak pandangku pribadi, tidak bisa dipisahkan dengan pergelaran sebelumnya, terutama dengan Presiden Balkadaba dan Tikungan Iblis.

Jika siklus lima millenium photon belt adalah sebuah rakaat sempurna shalat kehidupan, maka pergelaran Nabi Darurat Rasul Ad-hoc ini adalah saat-saat dimana shalat ini sedang pada posisi duduk diantara dua sujud di rakaat terakhir, menuju persiapan sujud terakhir. Semua rumusan-rumusan yang terkumpul sejak Presiden Balkadaba hingga Nabi Darurat Rasul Ad-hoc ini, akan menjadi mantra ruhani saat sujud nanti. Sesungguhnya yang kita lakukan adalah wal tandzur maa qaddamat lighad.

Dan ketika tiba saat-saat mendebarkan itu dimulai, pelan-pelan harus kita sujudkan semua diri kita sendiri, melafalkan mantra ruhani tadi saat tiba dua hari gelap gulita tanpa surya tanpa cahaya, dingin merasuk hingga ke pusat sukma, semua manusia sirna kepercayaan dirinya, menatap dengan sangat gamblang kebodohannya, dan hatinya ambruk dalam penyesalan yang tak terkira-kira.

Dan ketika dua hari berikutnya, semburat bangbang wetan memulai sapaannya, cahaya temaram fajar yang menyiratkan harapan, pelan-pelan khusyu’ bangkit dari sujud menuju tahiyat akhir. Dan ketika sampai pada syahadat, saat itulah garis lurus tawhid kepada Sang Maha Ganjil yang paling Genap ditegakkan. Muncul garis lurus, cahaya dari inti bumi, melalui kelamin kita, aura prana qalbun fana, membelah ruang kosong diantara kedua otak kita, lurus alif, memuncak di alcyon pusat semesta.

Dan tahiyyat akhir kita sempurnakan dalam dua hari dimana cahaya memancar tanpa menciptakan senja sebagai proses pembersihan. Yang setelahnya kita ucapkan salam ke arah kanan semesta dan ke arah kiri semesta, untuk kemudian kita siap untuk fantasyiru fil ‘ardhl.

al-fatihah !