PadhangmBulan Maret 2012

Padhang Mbulan malam itu terasa istimewa. Sebab, selain Cak Nun dan Cak Fuad, Kiai Kanjeng juga turut serta hadir di maiyahan. Materi malam itu merupakan pendalaman dan pengkayaan atas apa yang sudah disampaikan Cak Nun pada maiyahan di Gunung Anyar tempo hari.

Seperti telah menjadi ilmu bersama, maiyahan di Gunung Anyar sebelumnya bisa diidentifikasi sebagai pengantar pemahaman tauhid. Bagaimana Cak Nun memberikan pemahaman baru rahasia penciptaan, siapa sebenarnya Muhammad, apa posisi Muhammad dalam kontelasi penciptaan alam semesta hingga pada cara kembali kepada Allah: cara positif atau negatif.

Dalam kesempatan kali ini, Cak Nun menyegarkan kembali ingatan jamaah Maiyah kepada Muhammad dengan sebuah pertanyaan, “Kira-kira sejak kapan Muhammad bisa mengetahui hampir segala sesuatu, kesadarannya di bukak byak? Saat malaikat membelah dada Muhammad kecil. Itulah peristiwa yang indikatif dimana saat itulah struktur kesadaran dan struktur data di dalam diri Muhammad kecil diubah sedemikian rupa. Mungkin saja malaikat waktu itu menyambung beberapa “kabel” dalam diri Muhammad sehingga dalam seketika, kesadarannya berada di level yang jauh lebih tinggi dibanding manusia pada umumnya.”

Cak Nun juga memberikan contoh bagaimana level kesadaran Muhammad mencapai level tertinggi. Beliau (Muhammad) bisa memahami ada sistem pemerintahan alam semesta (malaikah) yang operasionalnya ditugaskan kepada makhluk-makhluk Allah yang diantaranya bernama Jibril, Mikail, Isrofil, dst. Di zaman kemudian, ditemukan makhluk di bumi yang ekosistem hidupnya adalah wilayah yang memiliki suhu diatas 300 derajat celcius. Ada pula sejenis kuman yang justru akan mati jika sampai bersentuhan dengan oksigen. Padahal, menurut pemahaman manusia hingga hari ini, oksigen adalah syarat mutlak adanya kehidupan. Muhammad sudah mengerti itu semua kendati tidak disampaikan secara detil kepada para sahabat. Mungkin karena mempertimbangkan level ilmu dan pengetahuan saat itu sehingga Muhammad akhirnya hanya menyampaikan pesan-pesan yang sifatnya aplikatif. Misalnya, Muhammad menganjurkan kepada umatnya untuk tidak meniup air yang hendak diminum atau menganjurkan untuk berdoa sebelum makan atau minum. Baru di zaman ini rahasia itu dibuka oleh ilmuwan Jepang bahwa mendoakan air sebelum diminum akan mengubah struktur partikel atau unsur-unsur di air menjadi positif untuk kesehatan.

 

Usai melambari jamaah Maiyah dengan pemahaman atas level kesadaran, Cak Nun meminta Cak Fuad mengkonfirmasikan klasifikasi 2 cara kembali pulang kepada Allah dengan Al Qur’an. Dan Cak Fuad menggunakan QS Al-Baqoroh ayat 204 sampai 207 sebagai pisau analisis untuk menilai klasifikasi tersebut. Dalam ayat tersebut, menurut sebuah versi tafsir, dikisahkan ada seorang bernama Akhnas bin Syuroiq. Dia bersumpah pada Nabi bahwa dirinya mu’min dan mencintai Nabi. Maka, Nabi mengajak Akhnas ini duduk dekat beliau. Namun, Nabi segera diperingatkan oleh Allah dengan menurunkan ayat ini. Bahwa ada sebagian manusia yang ucapannya menakjubkan untuk urusan-urusan dunia, tapi sama sekali tidak menakjubkan untuk urusan akherat. Sebabnya adalah perbedaan antara ucapan dan keyakinan. Sesungguhnya manusia tipe ini adalah penentang keras Allah. Namun ada pula sebagian manusia yang benar-benar serasi antara ucapan dan keyakinannya. Maiyah telah memperkenalkan dua tipe manusia ini sebagai “manusia padi” dan “manusia alang-alang”.

Manusia padi lebih kurang dimaknai sebagai manusia yang membawa manfaat bagi lingkungan kehidupannya. Keberadaannya dibutuhkan manusia lain dengan sikap yang positif. Layaknya padi yang menjadi sumber hidup bagi manusia. Sedangkan manusia alang-alang adalah manusia rerumputan yang kehadirannya lebih banyak mengganggu dibandingkan membantu kehidupan. Tidak ada yang bisa dipanen dari hidupnya. Layaknya rumput alang-alang.

Jika direfleksikan dengan klasifikasi Cak Nun soal cara pulang kepada Allah, maka manusia padi dinisbatkan kepada meniti kehidupan di jalan surga. Sedangkan manusia alang-alang sedang menempuh perjalanan sunyi menuju neraka. Namun, kedua-duanya pasti akan kembali kepada Allah. Sebab, tidak ada asal mula dan tidak ada tempat kembali kecuali hanya kepada Allah.

Tapi, cara kembali kepada Allah juga tidak mudah. Manusia-manusia awal membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk menemukan “peta jalan pulang”. Nabi Adam kabarnya hidup selama 2.000 tahun. Nabi Nuh selama lebih dari 900 tahun. Waktu yang sangat panjang itu pun belum menjamin bahwa manusia akan menemukan “peta jalan pulang”. Manusia Jawa sudah berusaha keras untuk mencari peta jalan itu hingga mencapai kesadaran yang sangat tinggi sebenarnya, namun masih belum sepenuhnya berhasil sampai kepada titik tuju alamat pulang. Maka, di Jawa muncullah hantu, genderuwo, kuntilanak, dsb yang sebenarnya adalah dismanagement manusia dalam mencari dirinya sendiri. Akhirnya, dia harus berhenti di halte antara kehidupan fana dan kehidupan abadi.

 

Untuk melengkapi pemahaman tentang “pulang kembali kepada asal”, Cak Nun memberikan pemahaman soal dunia dan akherat. “Jika dunia adalah babak perempat final, maka akherat adalah babak semifinal. Jika dunia adalah babak semifinal, maka akherat adalah babak final. Dan jika kehidupan dunia adalah babak final, maka akherat adalah turnamen berikutnya. Atau dengan terminologi lain, jika kehidupan dunia adalah Selasa, maka kehidupan akherat adalah Rabu. Jika kehidupan dunia Rabu, maka akheratmu adalah Kamis. Jika kehidupan duniamu adalah bluluk, maka berjuanglah menjadi cengkir. Jika kamu sekarang cengkir, maka berjuanglah menjadi degan. Dan jika saat ini kamu degan, berjuanglah menjadi kelapa.”

“Sebab, jasadmu ini adalah kendaraan sementara bagimu selama hidup di bumi. Jasad itu tidak lebih dari hologram. Maka sesungguhnya, setiap orang hidup lebih lama dibanding hologram-nya. Maka, jangan meremehkan statement Allah yang menyatakan bahwa “Aku tidak akan meng-adzab hamba-hambaKu selama engkau Muhammad, berada diantara mereka.” Kehadiran Rosulullah Muhammad tidak dalam wujud hologram. Dan Muhammad bisa hadir dimana saja dalam waktu bersamaan karena di alam Muhammad sekarang tidak mengenal jumlah. Beliau saat ini berada diatas ruang dan diatas waktu. Sehingga, tidak terikat dengan ruang, waktu apalagi jumlah.

“Maka Allah mengutus Muhammad untuk memberikan “peta jalan pulang” agar manusia tidak tertatih-tatih dan kelelahan mencari-cari sendiri. Boleh dikatakan bahwa Muhammad diutus untuk mengakselerasi kehidupan spiritual manusia hingga mencapai percepatan tertentu yang memungkinkan hanya dalam waktu 60-an tahun, seorang manusia sudah mencapai level kesadaran yang dibutuhkan untuk kembali langsung kepada Allah. Inilah salah satu hal indikatif yang bisa menjelaskan mengapa manusia dahulu hidup jauh lebih panjang dibanding manusia sekarang,” tutup Cak Nun.

[Teks: Prayogi R Saputra]