Bangkit Kembali Kejayaanmu

Hari Jumat, 6 September 2013, Merpati memperingati ulang tahunnya yang ke-51. Mengangkat tema Bangkit Kembali Kejayaanmu, acara yang berlangsung selama satu jam mulai pukul 10.00 WIB ini dibuka dengan uraian Captain Asep Ekanegara selaku perwakilan dari jajaran direksi.

Mengingat kejayaan Merpati yang pada masa lalu mampu melayani penerbangan hingga ke Australia, Los Angeles, dan ke tanah suci, Capt. Asep mengajak seluruh staf untuk tidak terjebak dalam kubu-kubu sehingga mampu kompak mencapai kejayaan itu kembali. Sesudah itu beliau memimpin doa bersama.

“Saya mulai dari mengamini doanya Pak Asep saja,” ujar Cak Nun mengawali uraiannya, “Salah satunya tadi: Ya Allah mudahkanlah, jangan disukarkan. Kalau begitu sekalian saja, di sini subyek nomor satunya adalah Allah, lalu Rasulullah. Untuk teman-teman Kristen, Katholik, Buddha, tinggal disusun siapa struktur subyeknya.”

Cak Nun kemudian menceritakan pengalamannya sejak tahun ’70-an berlangganan Merpati. Cak Nun memiliki kedekatan baik itu dengan staf-staf Merpati di kantor, di hanggarnya di Surabaya, maupun dengan para pilotnya. Tak jarang Cak Nun diminta untuk duduk di kokpit selama penerbangan.

“Saya ini terlanjur cinta sama Merpati dan tidak akan rela kalau pemerintah sampai menelantarkannya. Saya nggak terima kenapa saya harus naik pesawat merah yang membeli 250 armada atas perintah Obama di Bali, di mana pembeliannya dijamin oleh presiden dalam jangka waktu yang sangat lama. Menurut saya Boeing 737-800 dan Boeing 737-900 itu haknya Merpati untuk dijamin presiden. Anak sendiri kok ditelantarkan, sementara anak tetangga malah diurusi.”

Kalau kemudian ada problem yang dihadapi Merpati dalam jangka waktu yang cukup panjang, harus dipersentase akar problem itu yang paling besar terletak di dalam tubuh Merpati sendiri atau pada diri pemerintahnya atau pada aturan-aturan birokrasi dan perundang-undangan negara yang tidak santun kepada anaknya sendiri.

Cak Nun mengingatkan bahwa Tuhan juga punya staf, punya birokrasi, punya perdana menteri dan jajaran menteri, punya kepala bagian. Ada yang ditugasi mengurus tumbuhnya padi, asap yang membubung, turunnya hujan, jalannya pesawat di padatan-padatan atmosfer, dan masih banyak lagi. Maka nomor satu yang mesti dilakukan adalah setiap pilot dan pramugari sebelum menapakkan kaki dari tanah ke tangga pesawat mengucapkan salam kepada malaikat.

Selain keselamatan yang terjamin, salam itu juga membikin malaikat terharu sehingga kalau ada apapun yang coba-coba menghalangi Merpati, malaikat turun tangan. Tuhan berperan dalam dimensi-Nya yang sangat lembut yang tak mampu kita lihat.

Kalau dari perjalanan sejarah, Cak Nun mengibaratkan nasib Merpati ini mirip dengan nasib Habil putra Adam dan Ismail putra Ibrahim. Ketika Habil dibunuh, ruhnya dimasukkan ke anak Adam yang terlahir tidak kembar: Sis namanya. Sis kemudian menurunkan dua anak, Anwar dan Anwas. Karena derita dari ruhnya Habil, Tuhan membayarnya dengan kesejahteraan di mana anak cucu dari Anwas dijadikan bangsa di dataran paling subur, yakni Nusantara.

Sama halnya dengan Ismail yang oleh Tuhan diperintahkan untuk disembelih oleh bapaknya. Begitu pedang Ibrahim sampai ke leher Ismail bersamaan dengan ujung kalimat Subhanallah wa laa illaha ilallahu allahu akbar, Ismail ditukar dengan kambing. Ismail tiba-tiba sudah duduk di sebelah Ibrahim. Masa depan orang-orang yang ‘disembelih’ akan sangat bagus.

“Kalau memang anda percaya sama Tuhan, anda harus mempercayai perkenan-perkenan-Nya. Merpati ini terbengkalai, tak diurus sama bapaknya, rutenya diambil oleh saudaranya sendiri padahal anak bangsa pertama itu Merpati, baru kemudian muncul Garuda dan Pelita. Kok sekarang nasibnya dibeginikan?”

Orang sukses dari berdagang itu tidak masalah, tapi harus ada aturan yang jelas dari negara. BUMN adalah warungnya negara yang harusnya dinomorsatukan. Meminjam lagu Gundhul-Gundhul Pacul, BUMN adalah wakul-nya rakyat yang seharusnya ditaruh di atas kepala presiden, Menteri BUMN, Menteri Perhubungan.

Kalau hari-hari ini di Merpati muncul kubu-kubuan, ini harus sungguh-sungguh dicari apa akarnya: apakah orang Indonesia memang punya budaya seperti itu atau ada hal-hal lain yang menjadi penyebabnya? Mungkin saja, kita tidak tepat meletakkan niat kita.

Indonesia ini rusak karena orang tidak serius menempatkan dirinya secara tepat. Berdagang itu bagus, tapi harus pada tempatnya. Sebelum menjadi nabi, Muhammad SAW merupakan direktur utama Khadjiah Corp. Dengan gaji sangat besar sampai dia berani melamar sang owner. Tapi gaji sangat besar itu digunakan Muhammad hanya untuk membeli tiga lembar baju, rumah sepanjang 4,8 meter dengan lebar 4,62 meter. Sisanya beliau gunakan untuk menyulai UKM-UKM di Madinah sehingga ketika beliau hijrah, masyarakat Madinah sangat menerima.

Tapi di Indonesia ini orang jadi presiden, nyaleg, jadi anggota DPR, bukan dengan niat mengabdi tapi semata-mata untuk cari laba. Akhirnya garam dan cabe mahal karena menterinya berdagang. Padahal ada tempat-tempat di mana kita tidak boleh berdagang di dalamnya: agama, kebudayaan, kesehatan, dan pendidikan. Kalaupun nanti ada uang yang masuk, itu hanya merupakan efek samping.

“Di sini orang-orang nyaleg karena mereka nggak mampu kerja. Nggak bisa ngurusi warung, mereka menggunakan politik sebagai alat untuk laba pribadi mereka.

“Kalau sekarang Merpati terpuruk, jangan pikir itu berarti Merpati benar-benar terpuruk. Sejarah masih panjang! Menurut saya, seluruh orang Merpati dari tingkat direktur sampai level paling bawah jangan tidak punya keyakinan bahwa Merpati akan punya nasib sendiri yang tidak seperti ini, bahwa akan ada wolak-waliking jaman.”

Selain jalan keluar di dunia politik dan birokrasi, ada jalan keluar yang sifatnya di dalam diri kita. Ada transaksi antara manusia dengan Tuhan yang diajarkan dalam Surah Ath-Thalaq ayat 2–3. Kalau konsentrasi kita terus kepada Tuhan, Tuhan berjanji akan memberikan dua hal: jalan keluar atas setiap problem kita dan rezeki dari arah yang tak terduga-duga. Kalau kita mengikatkan hati kepada Tuhan, Tuhan berjanji memberikan dua hal lagi: menghitung seluruh urusan dan mengantarkan kita kepada cita-cita.

“Doa saya sederhana saja. Semoga anda tidak kaya tapi kalau pas butuh ada. Allahuma tuhno, begitu kata Sunan Kalijaga,” kata Cak Nun mengakhiri.